Posts made by Aprilia Mutiasari 2423031011

ECOPEDAGOGYIPS25 -> Forum Diskusi

by Aprilia Mutiasari 2423031011 -
Ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal di daerah Lampung sangat potensial dikembangkan dengan mengintegrasikan nilai-nilai dan tradisi adat yang mengajarkan hubungan harmonis manusia dengan alam sekitar. Misalnya, kearifan lokal Hulu Tulung di Lampung yang merupakan tradisi menjaga sumber mata air sebagai penopang hidup masyarakat dan menjaga kelestarian ekosistem air dan lingkungan sekitarnya. Hulu Tulung tidak hanya aspek ekologis tapi juga dimensi spiritual, sehingga bisa menjadi materi pembelajaran yang mendorong kesadaran ekologis siswa sekaligus penghormatan nilai-nilai budaya lokal.
Selain itu, filosofi Piil Pesenggiri yang mengajarkan menjaga harga diri dan integritas dapat dikaitkan dengan tanggung jawab sosial dan ekologis dalam menjaga lingkungan. Tradisi gotong royong dalam kegiatan seperti Nyalau (bersih-bersih sawah bersama) juga memuat nilai sosial yang mendukung pelestarian lingkungan secara komunitas.
Pendekatan pembelajaran dapat berupa studi kasus, diskusi, dan proyek kolaboratif bersama masyarakat untuk merawat Hulu Tulung atau pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal tersebut. Dengan metode ini, peserta didik tidak hanya memahami ilmu secara teori tetapi juga menghayati nilai, sikap, dan perilaku yang mencerminkan ecopedagogy berbasis kearifan lokal Lampung. Pendekatan interdisipliner dan transdisipliner sangat relevan agar siswa mengaitkan aspek sosial, budaya, dan lingkungan dalam pembelajaran IPS.
Kesimpulannya, ecopedagogy berbasis kearifan lokal di Lampung bisa mengangkat tradisi Hulu Tulung, Piil Pesenggiri, dan Nyalau sebagai sumber inspirasi pembelajaran yang holistik dan kontekstual di sekolah atau perguruan tinggi.

ECOPEDAGOGYIPS25 -> Tugas Mandiri

by Aprilia Mutiasari 2423031011 -
Kearifan lokal (local wisdom) merupakan sistem nilai, norma, dan praktik yang berkembang secara turun-temurun dalam suatu masyarakat dan menjadi pedoman dalam berinteraksi dengan alam. Di Indonesia, kearifan lokal berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena mengandung prinsip-prinsip konservasi dan penghormatan terhadap lingkungan hidup. Misalnya, masyarakat adat di Bali memiliki konsep “Tri Hita Karana”, yang menekankan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Prinsip ini mendorong masyarakat untuk menjaga alam sebagai bagian dari keseimbangan spiritual dan sosial (Arsana, 2021). Sementara itu, masyarakat Baduy di Banten dan masyarakat Dayak di Kalimantan menerapkan aturan adat yang melarang penebangan hutan sembarangan dan mengatur pola tanam bergilir untuk menjaga kesuburan tanah.
Kearifan lokal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisional dapat menjadi landasan penting dalam pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat. Dengan memanfaatkan kearifan lokal, program pelestarian lingkungan dapat berjalan selaras dengan identitas budaya setempat. Misalnya, praktik sasi laut di Maluku, yaitu larangan sementara untuk mengambil hasil laut di area tertentu, terbukti efektif dalam menjaga populasi ikan dan keseimbangan ekosistem laut. Hal ini membuktikan bahwa kearifan lokal bukan hanya bentuk tradisi, tetapi juga mekanisme sosial-ekologis yang mampu menciptakan keberlanjutan sumber daya alam (Rahman & Rumbiak, 2022).
Lebih jauh, pemberdayaan masyarakat lokal menjadi kunci dalam mengoptimalkan potensi kearifan lokal tersebut. Ketika masyarakat dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan sumber daya alam—seperti melalui ekowisata, pertanian organik, atau program desa hijau—kesadaran ekologis tumbuh secara alami karena masyarakat merasakan langsung manfaat ekonomi dan sosial dari lingkungan yang lestari. Pemberdayaan ini sejalan dengan konsep community-based environmental management, di mana masyarakat bukan hanya objek kebijakan, tetapi juga menjadi subjek utama dalam menjaga lingkungan (Prasetyo, 2023).
Dengan demikian, integrasi antara kearifan lokal, kebijakan lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat lokal akan memperkuat gerakan kesadaran ekologis di Indonesia. Kearifan lokal dapat menjadi jembatan antara nilai-nilai tradisional dan inovasi modern dalam pengelolaan lingkungan, sehingga keberlanjutan ekologis tidak hanya menjadi wacana global, tetapi juga bagian dari praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Referensi :
• Arsana, I. N. (2021). Tri Hita Karana sebagai Falsafah Pembangunan Berkelanjutan di Bali. Jurnal Kebudayaan Nusantara, 5(1), 22–31.
• Rahman, A., & Rumbiak, J. (2022). Kearifan Lokal Sasi Laut dalam Konservasi Ekosistem Pesisir di Maluku. Jurnal Ekologi Pesisir, 8(2), 76–85.
• Prasetyo, M. (2023). Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal untuk Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan. Jurnal Sosial dan Ekologi, 11(1), 44–58.

ECOPEDAGOGYIPS25 -> Forum Diskusi

by Aprilia Mutiasari 2423031011 -
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan paradigma pembangunan yang berupaya menyeimbangkan tiga aspek utama, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep ini menekankan bahwa kemajuan ekonomi tidak boleh mengorbankan kelestarian alam dan kesejahteraan generasi mendatang. Dalam konteks global, pembangunan berkelanjutan menjadi agenda penting melalui Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2015. Salah satu tujuannya, yakni SDG 13 tentang penanganan perubahan iklim, menegaskan pentingnya tindakan kolektif dunia dalam mengurangi dampak eksploitasi alam dan degradasi lingkungan (United Nations, 2015).
Di Indonesia, penerapan pembangunan berkelanjutan diatur dalam berbagai kebijakan nasional, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 yang menempatkan aspek lingkungan hidup dan ketahanan sumber daya alam sebagai prioritas pembangunan. Namun, tantangan utama masih terletak pada praktik eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan untuk kepentingan industri dan ekspor. Oleh karena itu, Indonesia mulai mendorong implementasi ekonomi hijau (green economy) dan energi terbarukan guna mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan memperkuat daya dukung lingkungan (Kementerian PPN/Bappenas, 2023).
Salah satu inisiatif yang relevan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di bidang pendidikan dan kesadaran lingkungan adalah gerakan Greenmetric. Program ini awalnya digagas oleh Universitas Indonesia (UI) dan kini diikuti oleh banyak perguruan tinggi di seluruh dunia. Greenmetric berfokus pada penilaian dan pemeringkatan kampus berdasarkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan lingkungan melalui indikator seperti penggunaan energi, pengelolaan limbah, transportasi hijau, dan pendidikan lingkungan (UI Greenmetric, 2022). Gerakan ini menjadi sarana strategis dalam menanamkan nilai-nilai ekologis dan tanggung jawab lingkungan di kalangan generasi muda, khususnya mahasiswa yang kelak menjadi pengambil kebijakan dan pelaku pembangunan.
Relevansi antara pembangunan berkelanjutan dan gerakan ramah lingkungan seperti Greenmetric terletak pada tujuan bersama untuk membentuk kesadaran ekologis masyarakat. Melalui pendidikan dan partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan ramah lingkungan, seperti penghijauan, daur ulang, dan efisiensi energi, nilai-nilai keberlanjutan dapat diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari sejauh mana masyarakat mampu hidup harmonis dengan alam. Kesadaran ekologis inilah yang menjadi fondasi utama agar pembangunan berkelanjutan dapat berjalan konsisten dan berdampak jangka panjang bagi keberlanjutan planet bumi (Sukmana, 2021).

Referensi:
• Kementerian PPN/Bappenas. (2023). Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau di Indonesia. Jakarta: Bappenas.
• Sukmana, R. (2021). Kesadaran Ekologis dan Implementasi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Sosio-Ekologis, 9(2), 101–113.
• UI Greenmetric. (2022). UI Greenmetric World University Rankings: Guideline 2022. Depok: Universitas Indonesia.
• United Nations. (2015). Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. New York: United Nations.

ECOPEDAGOGYIPS25 -> Forum Diskusi

by Aprilia Mutiasari 2423031011 -
Era Revolusi Industri 4.0 ditandai oleh integrasi teknologi digital, otomatisasi, Internet of Things (IoT), dan kecerdasan buatan dalam berbagai sektor industri. Transformasi ini membawa efisiensi tinggi dalam produksi, namun juga menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam. Peningkatan kebutuhan energi, bahan baku, serta perangkat digital menyebabkan meningkatnya eksploitasi tambang mineral seperti nikel, kobalt, dan litium yang digunakan untuk baterai dan komponen elektronik. Hal ini berdampak pada degradasi lingkungan, deforestasi, dan pencemaran air di wilayah pertambangan (Nurdiansyah, 2020).
Selain itu, meskipun teknologi industri 4.0 mendorong efisiensi dan penggunaan energi terbarukan, penerapan yang tidak bijak dapat memperparah ketimpangan ekologi. Industri yang berorientasi pada produksi massal tetap menghasilkan limbah elektronik (e-waste) dalam jumlah besar yang sulit didaur ulang. Dalam konteks ini, perlu diterapkan prinsip “green industry” yang menekankan produksi berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk menekan dampak negatif eksploitasi alam (Sukmawati & Hidayat, 2021).
Pendidikan dan kesadaran lingkungan juga menjadi bagian penting dalam mengatasi tantangan ini. Revolusi Industri 4.0 seharusnya tidak hanya berfokus pada efisiensi ekonomi, tetapi juga mengintegrasikan nilai ekologis dan moral dalam pengelolaan sumber daya alam agar tercipta keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kelestarian lingkungan.
Penerapan teknologi digital dan otomatisasi dalam Revolusi Industri 4.0 juga berdampak pada cara manusia berinteraksi dengan alam. Di satu sisi, teknologi seperti big data dan artificial intelligence (AI) dapat dimanfaatkan untuk memantau kualitas udara, air, dan perubahan iklim secara real time. Hal ini membantu perusahaan maupun pemerintah dalam mengambil keputusan berbasis data untuk pengelolaan lingkungan yang lebih efisien (Rahmawati, 2022). Namun di sisi lain, pembangunan infrastruktur digital seperti pusat data (data center) memerlukan energi listrik dalam jumlah besar yang sering kali masih bersumber dari bahan bakar fosil. Akibatnya, emisi karbon tetap meningkat, sehingga manfaat ekologis dari kemajuan teknologi belum sepenuhnya optimal.
Lebih jauh lagi, dalam konteks sosial-ekonomi, eksploitasi sumber daya alam untuk mendukung industri berbasis teknologi sering kali menimbulkan ketimpangan ekologis dan sosial antara daerah industri dan daerah penghasil sumber daya. Daerah penghasil mineral seperti nikel atau batubara di Indonesia, misalnya, mengalami degradasi lingkungan dan menurunnya kualitas hidup masyarakat lokal akibat penambangan berlebihan. Kondisi ini menunjukkan perlunya etika industri yang menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekosistem. Oleh karena itu, konsep ekonomi sirkular (circular economy) dan industri hijau (green economy) perlu diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan agar kemajuan teknologi di era Revolusi Industri 4.0 tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan (Wibowo, 2023).

Referensi :
• Nurdiansyah, A. (2020). Dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap Lingkungan dan Eksploitasi Sumber Daya Alam. Jurnal Teknologi dan Lingkungan, 8(2), 112–120.
• Sukmawati, R., & Hidayat, T. (2021). Penerapan Konsep Green Industry di Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Ekologi Pembangunan, 13(1), 45–54.
• Rahmawati, D. (2022). Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Pemantauan Lingkungan di Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Ilmu Lingkungan, 10(1), 55–63.
• Wibowo, F. (2023). Ekonomi Sirkular dan Tantangan Keberlanjutan di Era Industri 4.0. Jurnal Ekonomi Hijau, 5(2), 88–97.

ECOPEDAGOGYIPS25 -> Forum Diskusi

by Aprilia Mutiasari 2423031011 -
Menurut saya, ecopedagogy dapat diimplementasikan dalam pembelajaran IPS dengan cara mengintegrasikan isu-isu lingkungan ke dalam materi yang relevan dengan kehidupan siswa, misalnya pada topik interaksi manusia dengan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, atau dampak globalisasi. Guru bisa menggunakan pendekatan berbasis masalah (problem based learning) dengan kasus nyata, seperti banjir, polusi, atau krisis sampah plastik, sehingga siswa tidak hanya memahami konsep secara teoretis tetapi juga mampu menganalisis penyebab dan mencari solusi yang kontekstual.
Selain itu, strategi pembelajaran seperti project-based learning (PjBL) dapat mendorong siswa melakukan aksi nyata, misalnya membuat kampanye hemat energi, melakukan audit sampah di sekolah, atau membuat media kreatif tentang pentingnya menjaga ekosistem. Hal ini sesuai dengan prinsip ecopedagogy yang menekankan pada kesadaran kritis, aksi sosial, dan keberlanjutan.
Jika saya seorang guru, saya akan menerapkannya dengan cara mengaitkan materi IPS dengan kondisi lingkungan sekitar siswa. Contohnya, ketika membahas materi ekonomi tentang konsumsi dan produksi, siswa diajak menganalisis dampak gaya hidup konsumtif terhadap kerusakan lingkungan, lalu berdiskusi mencari alternatif konsumsi yang lebih ramah lingkungan. Pengalaman lapangan, seperti kunjungan ke tempat pengolahan sampah atau observasi lingkungan sekitar sekolah, juga bisa menjadi media pembelajaran yang efektif.
Dengan cara tersebut, kesadaran ekologis siswa tidak hanya tumbuh pada ranah kognitif (pengetahuan), tetapi juga afektif (kepedulian) dan psikomotorik (tindakan nyata).