Menurut anda bagaimana mengembangkan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal?Adakah kearifan lokal di daerah anda yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPS di sekolah/PT? Berikan penjelasan anda.
Forum Diskusi
Ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal di daerah Lampung sangat potensial dikembangkan dengan mengintegrasikan nilai-nilai dan tradisi adat yang mengajarkan hubungan harmonis manusia dengan alam sekitar. Misalnya, kearifan lokal Hulu Tulung di Lampung yang merupakan tradisi menjaga sumber mata air sebagai penopang hidup masyarakat dan menjaga kelestarian ekosistem air dan lingkungan sekitarnya. Hulu Tulung tidak hanya aspek ekologis tapi juga dimensi spiritual, sehingga bisa menjadi materi pembelajaran yang mendorong kesadaran ekologis siswa sekaligus penghormatan nilai-nilai budaya lokal.
Selain itu, filosofi Piil Pesenggiri yang mengajarkan menjaga harga diri dan integritas dapat dikaitkan dengan tanggung jawab sosial dan ekologis dalam menjaga lingkungan. Tradisi gotong royong dalam kegiatan seperti Nyalau (bersih-bersih sawah bersama) juga memuat nilai sosial yang mendukung pelestarian lingkungan secara komunitas.
Pendekatan pembelajaran dapat berupa studi kasus, diskusi, dan proyek kolaboratif bersama masyarakat untuk merawat Hulu Tulung atau pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal tersebut. Dengan metode ini, peserta didik tidak hanya memahami ilmu secara teori tetapi juga menghayati nilai, sikap, dan perilaku yang mencerminkan ecopedagogy berbasis kearifan lokal Lampung. Pendekatan interdisipliner dan transdisipliner sangat relevan agar siswa mengaitkan aspek sosial, budaya, dan lingkungan dalam pembelajaran IPS.
Kesimpulannya, ecopedagogy berbasis kearifan lokal di Lampung bisa mengangkat tradisi Hulu Tulung, Piil Pesenggiri, dan Nyalau sebagai sumber inspirasi pembelajaran yang holistik dan kontekstual di sekolah atau perguruan tinggi.
Selain itu, filosofi Piil Pesenggiri yang mengajarkan menjaga harga diri dan integritas dapat dikaitkan dengan tanggung jawab sosial dan ekologis dalam menjaga lingkungan. Tradisi gotong royong dalam kegiatan seperti Nyalau (bersih-bersih sawah bersama) juga memuat nilai sosial yang mendukung pelestarian lingkungan secara komunitas.
Pendekatan pembelajaran dapat berupa studi kasus, diskusi, dan proyek kolaboratif bersama masyarakat untuk merawat Hulu Tulung atau pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal tersebut. Dengan metode ini, peserta didik tidak hanya memahami ilmu secara teori tetapi juga menghayati nilai, sikap, dan perilaku yang mencerminkan ecopedagogy berbasis kearifan lokal Lampung. Pendekatan interdisipliner dan transdisipliner sangat relevan agar siswa mengaitkan aspek sosial, budaya, dan lingkungan dalam pembelajaran IPS.
Kesimpulannya, ecopedagogy berbasis kearifan lokal di Lampung bisa mengangkat tradisi Hulu Tulung, Piil Pesenggiri, dan Nyalau sebagai sumber inspirasi pembelajaran yang holistik dan kontekstual di sekolah atau perguruan tinggi.
Pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan pendekatan pendidikan yang menekankan kesadaran ekologis, tanggung jawab sosial, dan refleksi kritis terhadap relasi manusia dengan lingkungan. Konsep ini terinspirasi dari gagasan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, yang menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari ketidaksadaran terhadap realitas sosial dan ekologis. Dalam konteks IPS, ecopedagogy bertujuan untuk membentuk peserta didik yang tidak hanya memahami hubungan sosial dan ekonomi, tetapi juga memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat (Kahn, 2010; Supriatna, 2016).
Untuk mengembangkan ecopedagogy, guru IPS perlu mengaitkan materi pelajaran dengan konteks lokal di mana siswa hidup. Pembelajaran IPS tidak cukup hanya berbicara tentang teori sosial, ekonomi, dan budaya secara abstrak, melainkan perlu dikaitkan dengan isu lingkungan nyata di sekitar mereka. Pendekatan kontekstual ini dapat diwujudkan melalui proyek berbasis lingkungan (project-based learning), studi lapangan, atau kegiatan sosial-lingkungan seperti penghijauan dan pengelolaan sampah. Menurut Gadotti (2010), ecopedagogy menuntut pendidikan yang humanistik sekaligus ekologis, yakni pendidikan yang mendorong siswa untuk bertindak nyata menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Di Indonesia, dalam penerapannya pengembangan ecopedagogy sangat relevan jika diintegrasikan dengan kearifan lokal (local wisdom) yang sudah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kearifan lokal mengandung nilai-nilai ekologis yang terbentuk melalui pengalaman kolektif dalam beradaptasi dan menjaga kelestarian alam. Seperti dijelaskan dalam Proceeding: Local Wisdom in Environmental Management in Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali (2021), tradisi lokal seperti sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis adat merupakan contoh nyata dari pendidikan lingkungan yang kontekstual dan berkelanjutan. Melalui pemanfaatan nilai-nilai lokal ini, guru dapat menjadikan pembelajaran IPS lebih bermakna, konkret, dan berakar pada budaya masyarakat setempat.
Di wilayah Kotabumi, Lampung Utara, kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPS antara lain adalah falsafah Piil Pesenggiri dan nilai Sakai Sambayan. Piil Pesenggiri mencerminkan nilai moral masyarakat Lampung yang menekankan tanggung jawab sosial, harga diri, dan kepedulian terhadap sesama, sedangkan Sakai Sambayan menggambarkan semangat gotong royong dan solidaritas kolektif. Kedua nilai ini sangat relevan dengan prinsip ecopedagogy, karena mendorong peserta didik untuk berpikir dan bertindak secara sosial dan ekologis, bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga tanggung jawab sosial bersama. Wibisono et al. (2021) menjelaskan bahwa nilai Sakai Sambayan dapat diterapkan dalam konteks pembelajaran IPS sebagai bentuk kerja sama dalam menjaga lingkungan, misalnya dalam kegiatan penghijauan sekolah atau pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Dalam masyarakat adat Lampung juga mengenal konsep Hulu Tulung, yaitu larangan adat untuk mengeksploitasi sumber air di hulu sungai. Konsep ini menunjukkan kesadaran ekologis tinggi terhadap pentingnya menjaga sumber daya air dan keberlanjutan ekosistem. Tradisi seperti ini dapat dijadikan bahan refleksi dalam pembelajaran IPS, terutama pada materi tentang interaksi manusia dengan lingkungan. Guru dapat mengajak siswa berdiskusi mengenai bagaimana nilai-nilai adat lokal dapat menjadi solusi terhadap masalah lingkungan modern seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran air. Dengan demikian, ecopedagogy berbasis kearifan lokal tidak hanya membangun pengetahuan kognitif, tetapi juga sikap dan tindakan ekologis yang berakar pada budaya sendiri (Suparmini & Rahayu, 2020).
Penerapan ecopedagogy di Kotabumi dapat dilakukan melalui beberapa langkah konkret. Pertama, guru mengaitkan isu-isu lingkungan lokal seperti penebangan liar, pengelolaan sampah, dan pencemaran sungai dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti Sakai Sambayan dan Hulu Tulung. Kedua, melibatkan siswa dalam proyek sosial-lingkungan yang menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap alam, seperti program “Sekolah Hijau Piil Pesenggiri”. Ketiga, mengintegrasikan pembelajaran berbasis aksi (action-based learning), di mana siswa melakukan kegiatan nyata dan refleksi atas dampaknya terhadap lingkungan. Menurut Supriatna (2016), ecopedagogy yang efektif harus menggabungkan antara pengetahuan kritis, empati sosial, dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal di Kotabumi tidak hanya membentuk siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter ekologis dan sosial. Nilai-nilai seperti gotong royong, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap alam menjadi landasan penting dalam pendidikan masa kini. Ecopedagogy berbasis budaya lokal menjembatani antara warisan leluhur dan tantangan modern, menjadikan pembelajaran IPS bukan sekadar ruang akademik, tetapi juga wahana pembentukan warga negara yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan bersama.
• Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
• Gadotti, M. (2010). Reorienting Education Practices towards Sustainability. Paris: UNESCO.
• Kahn, R. (2010). Critical Pedagogy, Ecoliteracy, and Planetary Crisis: The Ecopedagogy Movement. New York: Peter Lang.
• Supriatna, N. (2016). Ecopedagogy: Membangun Generasi Baru yang Kritis dan Peduli Lingkungan. Bandung: Rosda.
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• Wibisono, H., Damayantie, S., Syah, A., Suwarno, & Syani, M. (2021). Strategi Pelestarian Makna dan Fungsi Kearifan Lokal Nengah Nyappur pada Masyarakat Adat Lampung Selatan. Sosiologi: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 23(2), 226–243.
• Proceeding: Local Wisdom in Environmental Management in Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. (2021). Udayana University Press.
Untuk mengembangkan ecopedagogy, guru IPS perlu mengaitkan materi pelajaran dengan konteks lokal di mana siswa hidup. Pembelajaran IPS tidak cukup hanya berbicara tentang teori sosial, ekonomi, dan budaya secara abstrak, melainkan perlu dikaitkan dengan isu lingkungan nyata di sekitar mereka. Pendekatan kontekstual ini dapat diwujudkan melalui proyek berbasis lingkungan (project-based learning), studi lapangan, atau kegiatan sosial-lingkungan seperti penghijauan dan pengelolaan sampah. Menurut Gadotti (2010), ecopedagogy menuntut pendidikan yang humanistik sekaligus ekologis, yakni pendidikan yang mendorong siswa untuk bertindak nyata menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Di Indonesia, dalam penerapannya pengembangan ecopedagogy sangat relevan jika diintegrasikan dengan kearifan lokal (local wisdom) yang sudah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kearifan lokal mengandung nilai-nilai ekologis yang terbentuk melalui pengalaman kolektif dalam beradaptasi dan menjaga kelestarian alam. Seperti dijelaskan dalam Proceeding: Local Wisdom in Environmental Management in Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali (2021), tradisi lokal seperti sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis adat merupakan contoh nyata dari pendidikan lingkungan yang kontekstual dan berkelanjutan. Melalui pemanfaatan nilai-nilai lokal ini, guru dapat menjadikan pembelajaran IPS lebih bermakna, konkret, dan berakar pada budaya masyarakat setempat.
Di wilayah Kotabumi, Lampung Utara, kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPS antara lain adalah falsafah Piil Pesenggiri dan nilai Sakai Sambayan. Piil Pesenggiri mencerminkan nilai moral masyarakat Lampung yang menekankan tanggung jawab sosial, harga diri, dan kepedulian terhadap sesama, sedangkan Sakai Sambayan menggambarkan semangat gotong royong dan solidaritas kolektif. Kedua nilai ini sangat relevan dengan prinsip ecopedagogy, karena mendorong peserta didik untuk berpikir dan bertindak secara sosial dan ekologis, bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga tanggung jawab sosial bersama. Wibisono et al. (2021) menjelaskan bahwa nilai Sakai Sambayan dapat diterapkan dalam konteks pembelajaran IPS sebagai bentuk kerja sama dalam menjaga lingkungan, misalnya dalam kegiatan penghijauan sekolah atau pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Dalam masyarakat adat Lampung juga mengenal konsep Hulu Tulung, yaitu larangan adat untuk mengeksploitasi sumber air di hulu sungai. Konsep ini menunjukkan kesadaran ekologis tinggi terhadap pentingnya menjaga sumber daya air dan keberlanjutan ekosistem. Tradisi seperti ini dapat dijadikan bahan refleksi dalam pembelajaran IPS, terutama pada materi tentang interaksi manusia dengan lingkungan. Guru dapat mengajak siswa berdiskusi mengenai bagaimana nilai-nilai adat lokal dapat menjadi solusi terhadap masalah lingkungan modern seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran air. Dengan demikian, ecopedagogy berbasis kearifan lokal tidak hanya membangun pengetahuan kognitif, tetapi juga sikap dan tindakan ekologis yang berakar pada budaya sendiri (Suparmini & Rahayu, 2020).
Penerapan ecopedagogy di Kotabumi dapat dilakukan melalui beberapa langkah konkret. Pertama, guru mengaitkan isu-isu lingkungan lokal seperti penebangan liar, pengelolaan sampah, dan pencemaran sungai dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti Sakai Sambayan dan Hulu Tulung. Kedua, melibatkan siswa dalam proyek sosial-lingkungan yang menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap alam, seperti program “Sekolah Hijau Piil Pesenggiri”. Ketiga, mengintegrasikan pembelajaran berbasis aksi (action-based learning), di mana siswa melakukan kegiatan nyata dan refleksi atas dampaknya terhadap lingkungan. Menurut Supriatna (2016), ecopedagogy yang efektif harus menggabungkan antara pengetahuan kritis, empati sosial, dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal di Kotabumi tidak hanya membentuk siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter ekologis dan sosial. Nilai-nilai seperti gotong royong, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap alam menjadi landasan penting dalam pendidikan masa kini. Ecopedagogy berbasis budaya lokal menjembatani antara warisan leluhur dan tantangan modern, menjadikan pembelajaran IPS bukan sekadar ruang akademik, tetapi juga wahana pembentukan warga negara yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan bersama.
• Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
• Gadotti, M. (2010). Reorienting Education Practices towards Sustainability. Paris: UNESCO.
• Kahn, R. (2010). Critical Pedagogy, Ecoliteracy, and Planetary Crisis: The Ecopedagogy Movement. New York: Peter Lang.
• Supriatna, N. (2016). Ecopedagogy: Membangun Generasi Baru yang Kritis dan Peduli Lingkungan. Bandung: Rosda.
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• Wibisono, H., Damayantie, S., Syah, A., Suwarno, & Syani, M. (2021). Strategi Pelestarian Makna dan Fungsi Kearifan Lokal Nengah Nyappur pada Masyarakat Adat Lampung Selatan. Sosiologi: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 23(2), 226–243.
• Proceeding: Local Wisdom in Environmental Management in Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. (2021). Udayana University Press.