Forum Diskusi

Forum Diskusi

Forum Diskusi

Jumlah balasan: 7

Menurut anda bagaimana mengembangkan  ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal?Adakah kearifan lokal di daerah anda yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPS di sekolah/PT? Berikan penjelasan anda.

Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Forum Diskusi

oleh Aprilia Mutiasari 2423031011 -
Ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal di daerah Lampung sangat potensial dikembangkan dengan mengintegrasikan nilai-nilai dan tradisi adat yang mengajarkan hubungan harmonis manusia dengan alam sekitar. Misalnya, kearifan lokal Hulu Tulung di Lampung yang merupakan tradisi menjaga sumber mata air sebagai penopang hidup masyarakat dan menjaga kelestarian ekosistem air dan lingkungan sekitarnya. Hulu Tulung tidak hanya aspek ekologis tapi juga dimensi spiritual, sehingga bisa menjadi materi pembelajaran yang mendorong kesadaran ekologis siswa sekaligus penghormatan nilai-nilai budaya lokal.
Selain itu, filosofi Piil Pesenggiri yang mengajarkan menjaga harga diri dan integritas dapat dikaitkan dengan tanggung jawab sosial dan ekologis dalam menjaga lingkungan. Tradisi gotong royong dalam kegiatan seperti Nyalau (bersih-bersih sawah bersama) juga memuat nilai sosial yang mendukung pelestarian lingkungan secara komunitas.
Pendekatan pembelajaran dapat berupa studi kasus, diskusi, dan proyek kolaboratif bersama masyarakat untuk merawat Hulu Tulung atau pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal tersebut. Dengan metode ini, peserta didik tidak hanya memahami ilmu secara teori tetapi juga menghayati nilai, sikap, dan perilaku yang mencerminkan ecopedagogy berbasis kearifan lokal Lampung. Pendekatan interdisipliner dan transdisipliner sangat relevan agar siswa mengaitkan aspek sosial, budaya, dan lingkungan dalam pembelajaran IPS.
Kesimpulannya, ecopedagogy berbasis kearifan lokal di Lampung bisa mengangkat tradisi Hulu Tulung, Piil Pesenggiri, dan Nyalau sebagai sumber inspirasi pembelajaran yang holistik dan kontekstual di sekolah atau perguruan tinggi.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Forum Diskusi

oleh Erma Oktaviani 2423031004 -
Pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan pendekatan pendidikan yang menekankan kesadaran ekologis, tanggung jawab sosial, dan refleksi kritis terhadap relasi manusia dengan lingkungan. Konsep ini terinspirasi dari gagasan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, yang menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari ketidaksadaran terhadap realitas sosial dan ekologis. Dalam konteks IPS, ecopedagogy bertujuan untuk membentuk peserta didik yang tidak hanya memahami hubungan sosial dan ekonomi, tetapi juga memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat (Kahn, 2010; Supriatna, 2016).
Untuk mengembangkan ecopedagogy, guru IPS perlu mengaitkan materi pelajaran dengan konteks lokal di mana siswa hidup. Pembelajaran IPS tidak cukup hanya berbicara tentang teori sosial, ekonomi, dan budaya secara abstrak, melainkan perlu dikaitkan dengan isu lingkungan nyata di sekitar mereka. Pendekatan kontekstual ini dapat diwujudkan melalui proyek berbasis lingkungan (project-based learning), studi lapangan, atau kegiatan sosial-lingkungan seperti penghijauan dan pengelolaan sampah. Menurut Gadotti (2010), ecopedagogy menuntut pendidikan yang humanistik sekaligus ekologis, yakni pendidikan yang mendorong siswa untuk bertindak nyata menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Di Indonesia, dalam penerapannya pengembangan ecopedagogy sangat relevan jika diintegrasikan dengan kearifan lokal (local wisdom) yang sudah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kearifan lokal mengandung nilai-nilai ekologis yang terbentuk melalui pengalaman kolektif dalam beradaptasi dan menjaga kelestarian alam. Seperti dijelaskan dalam Proceeding: Local Wisdom in Environmental Management in Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali (2021), tradisi lokal seperti sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis adat merupakan contoh nyata dari pendidikan lingkungan yang kontekstual dan berkelanjutan. Melalui pemanfaatan nilai-nilai lokal ini, guru dapat menjadikan pembelajaran IPS lebih bermakna, konkret, dan berakar pada budaya masyarakat setempat.
Di wilayah Kotabumi, Lampung Utara, kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPS antara lain adalah falsafah Piil Pesenggiri dan nilai Sakai Sambayan. Piil Pesenggiri mencerminkan nilai moral masyarakat Lampung yang menekankan tanggung jawab sosial, harga diri, dan kepedulian terhadap sesama, sedangkan Sakai Sambayan menggambarkan semangat gotong royong dan solidaritas kolektif. Kedua nilai ini sangat relevan dengan prinsip ecopedagogy, karena mendorong peserta didik untuk berpikir dan bertindak secara sosial dan ekologis, bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga tanggung jawab sosial bersama. Wibisono et al. (2021) menjelaskan bahwa nilai Sakai Sambayan dapat diterapkan dalam konteks pembelajaran IPS sebagai bentuk kerja sama dalam menjaga lingkungan, misalnya dalam kegiatan penghijauan sekolah atau pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Dalam masyarakat adat Lampung juga mengenal konsep Hulu Tulung, yaitu larangan adat untuk mengeksploitasi sumber air di hulu sungai. Konsep ini menunjukkan kesadaran ekologis tinggi terhadap pentingnya menjaga sumber daya air dan keberlanjutan ekosistem. Tradisi seperti ini dapat dijadikan bahan refleksi dalam pembelajaran IPS, terutama pada materi tentang interaksi manusia dengan lingkungan. Guru dapat mengajak siswa berdiskusi mengenai bagaimana nilai-nilai adat lokal dapat menjadi solusi terhadap masalah lingkungan modern seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran air. Dengan demikian, ecopedagogy berbasis kearifan lokal tidak hanya membangun pengetahuan kognitif, tetapi juga sikap dan tindakan ekologis yang berakar pada budaya sendiri (Suparmini & Rahayu, 2020).
Penerapan ecopedagogy di Kotabumi dapat dilakukan melalui beberapa langkah konkret. Pertama, guru mengaitkan isu-isu lingkungan lokal seperti penebangan liar, pengelolaan sampah, dan pencemaran sungai dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti Sakai Sambayan dan Hulu Tulung. Kedua, melibatkan siswa dalam proyek sosial-lingkungan yang menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap alam, seperti program “Sekolah Hijau Piil Pesenggiri”. Ketiga, mengintegrasikan pembelajaran berbasis aksi (action-based learning), di mana siswa melakukan kegiatan nyata dan refleksi atas dampaknya terhadap lingkungan. Menurut Supriatna (2016), ecopedagogy yang efektif harus menggabungkan antara pengetahuan kritis, empati sosial, dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal di Kotabumi tidak hanya membentuk siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter ekologis dan sosial. Nilai-nilai seperti gotong royong, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap alam menjadi landasan penting dalam pendidikan masa kini. Ecopedagogy berbasis budaya lokal menjembatani antara warisan leluhur dan tantangan modern, menjadikan pembelajaran IPS bukan sekadar ruang akademik, tetapi juga wahana pembentukan warga negara yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan bersama.
• Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
• Gadotti, M. (2010). Reorienting Education Practices towards Sustainability. Paris: UNESCO.
• Kahn, R. (2010). Critical Pedagogy, Ecoliteracy, and Planetary Crisis: The Ecopedagogy Movement. New York: Peter Lang.
• Supriatna, N. (2016). Ecopedagogy: Membangun Generasi Baru yang Kritis dan Peduli Lingkungan. Bandung: Rosda.
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• Wibisono, H., Damayantie, S., Syah, A., Suwarno, & Syani, M. (2021). Strategi Pelestarian Makna dan Fungsi Kearifan Lokal Nengah Nyappur pada Masyarakat Adat Lampung Selatan. Sosiologi: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 23(2), 226–243.
• Proceeding: Local Wisdom in Environmental Management in Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. (2021). Udayana University Press.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Forum Diskusi

oleh Gilang Rickat Trengginas 2423031005 -
Pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal dapat dilakukan dengan pendekatan yang kontekstual dan partisipatif. Ecopedagogy pada dasarnya adalah filsafat pendidikan yang menekankan pada hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, dengan tujuan membangun kesadaran kritis untuk keberlanjutan ekologis. Dalam konteks IPS, pendekatan ini diintegrasikan dengan mengangkat kearifan lokal sebagai sumber belajar utama, bukan sekadar tambahan. Guru dapat merancang pembelajaran yang dimulai dari identifikasi masalah lingkungan di sekitar siswa (seperti banjir, sampah, atau degradasi lahan), lalu mengeksplorasi bagaimana nenek moyang mereka di daerah tersebut secara tradisional mengelola dan memitigasi masalah tersebut. Model pembelajarannya bisa berupa proyek berbasis inkuiri, diskusi kelompok, atau observasi lapangan, di mana siswa tidak hanya belajar tentang lingkungan, tetapi belajar dari dan bersama lingkungan, dengan kearifan lokal sebagai pemandunya.

Kearifan lokal di daerah Tulang Bawang Barat, seperti tradisi yang terkait mitigasi banjir di aliran Way Tulang Bawang, sangat potensial untuk diintegrasikan dalam pembelajaran IPS di SMPN 17 setempat. Meskipun "Tradisi Ngoyok" memerlukan penelusuran etnografis yang lebih mendalam, esensi kearifan lokal masyarakat sungai biasanya mencakup sistem peringatan dini, teknik membangun rumah (rumah panggung), aturan adat dalam menjaga bantaran sungai, dan penghormatan terhadap siklus alam. Pengetahuan lokal ini merupakan respon yang adaptif dan berkelanjutan terhadap tantangan geografis mereka. Di SMPN 17 Tulang Bawang Barat, guru dapat memanfaatkan pengetahuan ini sebagai living laboratory yang membuat pembelajaran IPS menjadi relevan dan bermakna bagi kehidupan sehari-hari siswa.

Integrasi kearifan lokal mitigasi banjir ini dalam mata pelajaran IPS dapat dilakukan di beberapa bidang kajian. Dalam Geografi, siswa dapat memetakan daerah rawan banjir di sekitar sekolah dan menganalisis bagaimana pola permukiman tradisional dan larangan menebang pohon di bantaran sungai merupakan bentuk mitigasi berbasis ekosistem. Dalam Sosiologi, siswa dapat mendiskusikan nilai-nilai gotong royong, kepatuhan pada aturan adat, dan struktur sosial yang terbentuk untuk menghadapi bencana bersama. Sementara dalam Sejarah, mereka dapat menelusuri bagaimana interaksi masyarakat dengan Way Tulang Bawang telah membentuk budaya dan identitas mereka dari masa ke masa. Pendekatan ini akan menunjukkan kepada siswa bahwa ilmu-ilmu sosial bukanlah teori yang kering, melainkan alat untuk memahami dan memecahkan masalah di komunitas mereka sendiri.

Dengan demikian, mengembangkan ecopedagogy berbasis kearifan lokal seperti mitigasi banjir di Tulang Bawang Barat bukan hanya strategi pembelajaran yang efektif, tetapi juga investasi untuk masa depan. Melalui proses ini, siswa tidak hanya mencapai kompetensi akademik dalam IPS, tetapi juga mengembangkan kecerdasan ekologis (ecological intelligence) dan rasa bangga akan warisan budayanya. Mereka akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya paham teori konservasi DAS dari buku teks, tetapi juga mewarisi dan menghargai kebijakan leluhurnya dalam menjalin hubungan harmonis dengan alam. Pada akhirnya, pembelajaran seperti ini akan melahirkan warga negara yang kritis, bertanggung jawab, dan aktif dalam membangun ketahanan lingkungan masyarakatnya.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Forum Diskusi

oleh 2423031006 2423031006 -
Pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai lingkungan dan kearifan lokal agar siswa tidak hanya memahami hubungan manusia dan alam, tetapi juga memiliki kesadaran ekologis. Menurut Sormin dkk. (2024), ecopedagogy merupakan pendekatan pendidikan kritis yang menekankan hubungan antara manusia, budaya, dan lingkungan hidup untuk membangun kesadaran ekologis. Dalam konteks pembelajaran IPS, guru dapat mengaitkan tema-tema sosial dengan isu lingkungan lokal seperti pengelolaan sumber daya alam dan perubahan sosial akibat eksploitasi lingkungan. Winata (2021) menegaskan bahwa melalui kegiatan observasi lingkungan, refleksi, dan proyek berbasis masyarakat, siswa dapat belajar memahami dampak sosial dari aktivitas manusia terhadap alam serta mengembangkan sikap peduli lingkungan.

Di daerah Lampung, terdapat banyak kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPS berbasis ecopedagogy. Misalnya, Harahap (2024) menjelaskan bahwa falsafah hidup masyarakat Lampung seperti Piil Pesenggiri mengandung nilai-nilai tanggung jawab, gotong-royong, dan penghormatan terhadap alam yang dapat diangkat dalam pembelajaran IPS. Contoh konkret lainnya adalah tradisi masyarakat pesisir Lampung dalam menjaga ekosistem laut melalui aturan adat yang melarang penangkapan ikan secara berlebihan. Selain itu, praktik pengelolaan hutan secara lestari di daerah Lampung Barat juga dapat digunakan sebagai studi kasus dalam topik interaksi manusia-lingkungan. Sejalan dengan pendapat Inayati Azizah dkk. (2024), integrasi nilai kearifan lokal dalam IPS mampu memperkuat identitas daerah sekaligus membentuk kesadaran ekologis peserta didik.

Dengan menghubungkan ecopedagogy dan kearifan lokal, pembelajaran IPS tidak hanya berorientasi pada pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan karakter ekologis dan tanggung jawab sosial. Masfufah, Respati, dan Setiadi (2023) menekankan bahwa bahan ajar berbasis kearifan lokal dapat menstimulasi kompetensi ekoliterasi peserta didik sejak dini. Hal ini diperkuat oleh Sormin dkk. (2024) yang menunjukkan bahwa pembelajaran IPS berbasis etnoekologi mampu meningkatkan kreativitas siswa dan kesadaran terhadap pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, guru perlu merancang kegiatan belajar yang mengaitkan praktik adat lokal, eksplorasi lingkungan sekitar, serta refleksi nilai-nilai budaya agar peserta didik dapat memahami pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Referensi:
Harahap, R. (2024). Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal. MUDABBIR Journal Research and Education Studies.
Inayati Azizah, P., Setya Dhewantoro, H., & Basyari, A. (2024). Integrasi Kearifan Lokal Pada Pembelajaran IPS SMP di Indonesia. Langgong: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora.
Masfufah, S. A., Respati, R., & Setiadi, P. M. (2023). Urgensi Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Internalisasi Kearifan Lokal Kampung Bungur sebagai Stimulasi Kompetensi Ekoliterasi pada Pembelajaran IPAS di SD. Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar.
Sormin, S. A., Pane, S. M., Lubis, M., Ritonga, M. Y., & Priyono, C. D. (2024). Pengelolaan Lingkungan Berbasis Etnoekologi melalui Pedagogi Kreatif dalam Pembelajaran IPS. EDUKATIF: Jurnal Ilmu Pendidikan.
Winata, A. A. H. (2021). Eksplorasi Nilai Kearifan Sedulur Sikep untuk Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Ecopedagogy. Jurnal Dialektika Pendidikan IPS, 1(1), 41–53.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Forum Diskusi

oleh Yuni Erdalina 2423031008 -
Berdasarkan teori dan hasil penelitian terkini, mengembangkan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal merupakan langkah strategis untuk menciptakan pembelajaran yang kontekstual, bermakna, dan relevan dengan kehidupan peserta didik. Ecopedagogy sebagai pendekatan pendidikan berorientasi pada kesadaran ekologis dan keadilan sosial bertujuan membangkitkan kesadaran kritis siswa terhadap isu-isu lingkungan dan sosial di sekitar mereka. Dalam konteks pembelajaran IPS, pendekatan ini tidak hanya mengajarkan konsep sosial secara teoretis, tetapi juga menanamkan tanggung jawab nyata untuk menjaga keseimbangan antara manusia, budaya, dan alam. Melalui ecopedagogy, peserta didik diajak untuk memahami keterkaitan antara perilaku sosial dan keberlanjutan lingkungan hidup dalam konteks lokalnya.
Penelitian oleh Fadilah, Karma, dan Nurwahidah (2024) menegaskan bahwa pengembangan E-Modul berbasis kearifan lokal dapat meningkatkan keterlibatan dan pemahaman siswa karena materi ajar menjadi lebih dekat dengan pengalaman mereka sehari-hari. Pembelajaran yang memanfaatkan nilai-nilai lokal seperti etika lingkungan, solidaritas sosial, dan gotong royong terbukti memperkuat dimensi karakter dan kesadaran ekologis siswa. Demikian pula, Putri, Aricindy, Sholeh, dan Utomo (2022) dalam penelitiannya tentang implementasi Humanism Learning Theory dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal menunjukkan bahwa integrasi nilai-nilai budaya daerah dapat menumbuhkan empati, rasa memiliki terhadap lingkungan, serta kesadaran terhadap keberlanjutan sosial dan ekologis. Sementara itu, Al Faruqi dkk. (2025) menemukan bahwa penerapan local wisdom-based ecopedagogy dalam pembelajaran sosiologi mampu meningkatkan kesadaran lingkungan peserta didik secara signifikan melalui pendekatan partisipatif dan reflektif.
Penerapan ecopedagogy dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal ke dalam setiap tahap pembelajaran IPS. Guru dapat merancang kegiatan pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) dengan tema-tema seperti Menjaga Alam Sebagai Bentuk Cinta Desa atau Gotong Royong untuk Sungai Bersih. Sumber belajar tidak hanya berasal dari buku teks, tetapi juga dari fenomena dan praktik sosial di masyarakat, sehingga siswa dapat belajar melalui pengalaman langsung. Lingkungan sekitar menjadi laboratorium sosial yang hidup untuk mengamati, meneliti, dan mengambil pelajaran dari praktik kearifan lokal yang masih terpelihara.
Salah satu contoh nyata penerapan ecopedagogy berbasis kearifan lokal dapat ditemukan di Desa Sinar Karya, Kecamatan Merbau Mataram, Lampung Selatan, melalui tradisi Ruwat Desa. Tradisi ini tidak hanya memiliki makna spiritual dan sosial, tetapi juga mencerminkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan. Kegiatan utama seperti menjaga kebersihan lingkungan desa dan menanam pohon di area fasilitas umum maupun di sepanjang aliran sungai mencerminkan praktik ecological citizenship yang sejalan dengan prinsip ecopedagogy. Nilai gotong royong, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap alam dalam Ruwat Desa dapat dijadikan sumber belajar IPS yang mengajarkan siswa bagaimana masyarakat menjaga keseimbangan antara budaya, sosial, dan ekologi.
Dalam praktik pembelajaran, guru dapat mengangkat tradisi Ruwat Desa sebagai studi kasus pada materi Interaksi Sosial dan Lingkungan, Perubahan Sosial, atau Pembangunan Berkelanjutan. Melalui model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning), siswa dapat diajak menganalisis peran masyarakat dalam menjaga kebersihan sungai dan menanam pohon sebagai wujud tanggung jawab sosial-ekologis. Selain itu, kegiatan proyek seperti pembuatan peta sosial daerah penghijauan atau dokumentasi kegiatan Ruwat Desa dapat menjadi bagian evaluasi yang mengukur aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa secara seimbang.
Dengan demikian, pengembangan ecopedagogy berbasis kearifan lokal seperti Ruwat Desa mampu mentransformasikan pembelajaran IPS menjadi proses yang hidup dan bermakna. Pendekatan ini menumbuhkan kepedulian ekologis, memperkuat karakter sosial, dan mengajarkan pentingnya sinergi antara budaya dan lingkungan. Melalui pengalaman langsung, siswa tidak hanya memahami konsep interaksi manusia dengan lingkungan, tetapi juga berperan aktif sebagai agen pelestarian budaya dan ekologi di komunitasnya.
Daftar Pustaka
Fadilah, R. C., Karma, I. N., & Nurwahidah. (2024). Pengembangan E-Modul Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal pada Materi Bangun Datar Kelas 3 SDN 39 Mataram. Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 9(2).
Putri, N., Aricindy, A., Sholeh, M., & Utomo, C. (2022). Implementasi Humanism Learning Theory Dalam Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal Sumbang Si Siwah. Sosiolium: Jurnal Pembelajaran IPS, 4(2), 170–176.
Al Faruqi, I., et al. (2025). Local Wisdom-Based Ecopedagogy in Sociology Learning: Enhancing Environmental Awareness. Acadlore International Journal of Education and Innovation, 8(5).
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Forum Diskusi

oleh Eldes Safitri 2423031002 -
Assalamualaikum ibu izin menjawab:

Pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal dapat dilakukan dengan menjadikan lingkungan dan budaya setempat sebagai sumber belajar utama. Ecopedagogy menekankan kesadaran kritis terhadap relasi manusia alam, sehingga pembelajaran tidak hanya berhenti pada pengetahuan, tetapi mendorong peserta didik melakukan refleksi dan aksi nyata untuk menjaga keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks IPS, guru dapat mengintegrasikan isu-isu ekologis local seperti kerusakan ekosistem, pola pemanfaatan sumber daya, atau praktik tradisional menjaga alam ke dalam materi. Dengan demikian, peserta didik bukan hanya memahami konsep teoretis, tetapi juga melihat relevansinya dengan kehidupan sehari-hari dan menumbuhkan tanggung jawab ekologis.

Di banyak daerah Indonesia terdapat kearifan lokal yang sangat relevan untuk diintegrasikan dalam ecopedagogy, misalnya Sasi di Maluku, Subak di Bali, Awig-awig di Lombok, Repong Damar di Lampung, dan Lubuk Larangan di Sumatra Barat. Jika saya mengambil contoh di daerah Maluku, sistem Sasi merupakan kearifan lokal yang mengatur pembatasan pemanfaatan sumber daya alam pada waktu tertentu untuk menjaga kelestariannya. Praktik ini dapat dimasukkan dalam pembelajaran IPS sebagai studi kasus pengelolaan lingkungan berbasis adat, di mana peserta didik menganalisis nilai ekologis, sosial, dan ekonominya. Melalui integrasi kearifan lokal seperti ini, pembelajaran IPS menjadi lebih kontekstual, memperkuat identitas budaya, serta menumbuhkan kesadaran ekologis yang berakar pada tradisi masyarakat setempat.

Referensi:
Adhuri, D. S. (2013). Selling the sea, fishing for power: A study of conflict over marine tenure in Kei Islands, Eastern Indonesia. ANU Press.
Hidayati, D. (2019). Ecopedagogy sebagai pendekatan pendidikan lingkungan hidup di sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 4(1), 45–57. https://doi.org/10.24832/jpnk.v4i1.1154
Kurniasari, R., & Setyowati, A. B. (2020). Local wisdom and community-based marine resource management: The role of “Sasi” in Maluku. Journal of Maritime Studies and National Integration, 4(1), 20–29. https://doi.org/10.14710/jmsni.v4i1.8742
Sudarmika, G. A., & Putra, I. K. (2021). Kearifan lokal Subak Bali dan kontribusinya terhadap pendidikan IPS berbasis lingkungan. Jurnal Pendidikan Sosial, 8(2), 135–148.
Tilbury, D. (1995). Environmental education for sustainability: Defining the new focus of environmental education in the 1990s. Environmental Education Research, 1(2), 195–212. https://doi.org/10.1080/1350462950010206
Wattimena, L. (2016). Sasi as a customary institution in natural resource management in Maluku. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 22(3), 219–228. https://doi.org/10.7226/jtfm.22.3.219
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Forum Diskusi

oleh Iskandar 2423031007 -
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Nama ; Iskandar
NPM : 2423031007
Mohon izin menjawab ibu

Pengembangan Ecopedagogy dalam Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal

Ecopedagogy merupakan pendekatan pendidikan yang berorientasi pada kesadaran ekologis, keadilan sosial, dan transformasi kritis sebagaimana dikembangkan oleh Kahn (2010) dan Misiaszek (2022). Dalam konteks pembelajaran IPS, ecopedagogy dapat memperluas pemahaman siswa terhadap keterkaitan antara manusia, lingkungan, dan struktur sosial. Pendekatan ini menempatkan siswa sebagai subjek aktif yang mampu menganalisis ketidakadilan ekologis dan berpartisipasi dalam pemecahan masalah lingkungan berbasis konteks lokal (Kahn, 2010). IPS sebagai mata pelajaran yang mempelajari hubungan sosial, ruang, dan budaya sangat relevan untuk integrasi ecopedagogy. Pembelajaran IPS berbasis ecopedagogy mendorong siswa memahami isu lingkungan tidak hanya dari aspek ekologis, tetapi juga melalui lensa ekonomi, sosial, dan politik—perspektif yang sejalan dengan gagasan Freire (2004) tentang pendidikan yang membebaskan. Dengan demikian, ecopedagogy menjadi jembatan antara analisis kritis IPS dan penguatan literasi lingkungan (Misiaszek, 2018).

Pengembangan ecopedagogy dalam IPS dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis kearifan lokal (local wisdom). Menurut Gruenewald (2003), pendidikan lingkungan yang efektif harus berbasis tempat (place-based education), menghubungkan siswa dengan ekosistem sosial dan lingkungan di sekitar mereka. Kearifan lokal menyediakan nilai, praktik, dan narasi budaya yang dapat dijadikan media pembelajaran untuk membangun kesadaran ekologis yang kontekstual dan bermakna. Di daerah Lampung, terdapat sejumlah kearifan lokal yang dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran IPS berbasis ecopedagogy. Salah satu contohnya adalah tradisi Piil Pesenggiri, yang mengandung nilai nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan yang menekankan harmoni sosial dan gotong royong. Nilai ini dapat dikontekstualisasikan dengan isu pengelolaan sampah, pelestarian lingkungan, dan mitigasi bencana sebagai bagian dari pembelajaran ekosistem sosial (Andri & Yudhistira, 2020).

Kearifan lokal lainnya adalah praktik repong damar di Pesisir Barat Lampung, yaitu sistem agroforestri tradisional yang menjaga keseimbangan ekologi sekaligus menopang ekonomi masyarakat. Model ini bisa digunakan sebagai studi kasus untuk mengajarkan konsep keberlanjutan, ekonomi masyarakat, pengelolaan sumber daya, dan hubungan manusia-lingkungan dalam IPS (Suhana, 2019). Integrasi ini menjadikan siswa memahami bahwa keberlanjutan bukan sekadar teori, tetapi dipraktikkan oleh masyarakat sekitar mereka. Ecopedagogy juga dapat dikaitkan dengan adat pesiraman danau di Lampung Barat, yakni tradisi menjaga kebersihan sumber air untuk kepentingan bersama. Melalui kegiatan observasi lapangan, siswa dapat mengidentifikasi perubahan perilaku masyarakat, dampak sosial-ekonomi kerusakan ekosistem air, serta menganalisis aktor yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan (Nafisah, 2020). Pendekatan ini juga menguatkan nilai partisipasi siswa dalam pemecahan masalah lingkungan lokal.

Model pembelajaran IPS berbasis ecopedagogy dapat dikembangkan melalui proyek aksi lingkungan seperti kampanye anti-sampah plastik berbasis kearifan lokal, pemetaan sosial lingkungan sekitar sekolah, serta dialog kritis tentang kebijakan pemerintah daerah. Menurut Hestiningtyas (2025), integrasi proyek lingkungan dalam IPS memungkinkan siswa mengalami proses pembelajaran yang lebih holistik dan partisipatif sehingga menumbuhkan kecerdasan ekologis. Selain itu, ecopedagogy menekankan pentingnya kesadaran kritis terhadap struktur sosial yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Pembelajaran IPS dapat mengajak siswa menganalisis isu seperti deforestasi, pertambangan tidak berkelanjutan, dan konflik agraria, kemudian membandingkannya dengan praktik ekologis masyarakat adat Lampung sebagai alternatif keberlanjutan. Pendekatan kritis semacam ini sesuai dengan ide Freire (2004) tentang pendidikan sebagai proses membaca realitas sosial secara sadar.

Secara keseluruhan, pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal dapat memperkuat literasi lingkungan, kesadaran sosial, dan kecakapan berpikir kritis siswa. Integrasi nilai budaya Lampung seperti Piil Pesenggiri, repong damar, dan tradisi pelestarian air memberikan landasan kontekstual yang kuat untuk membangun pembelajaran IPS yang relevan dengan kebutuhan abad ke-21. Dengan pendekatan ini, IPS tidak hanya menjadi mata pelajaran kognitif, tetapi menjadi wahana pembentukan warga negara yang ekologis, kritis, dan berdaya (Misiaszek, 2022).


Andri, Y., & Yudhistira, M. (2020). Nilai budaya Piil Pesenggiri dan relevansinya dalam pendidikan karakter. Jurnal Pendidikan Sosial, 7(2), 55–67.

Freire, P. (2004). Pedagogy of Indignation. Paradigm Publishers.

Gruenewald, D. (2003). The best of both worlds: A critical pedagogy of place. Educational Researcher, 32(4), 3–12.

Hestiningtyas, W. (2025). Designing social studies instruction grounded in ecopedagogy. Jurnal Pendidikan Sosial, 10(1), 55–69.

Kahn, R. (2010). Critical pedagogy, ecoliteracy, & planetary crisis: The ecopedagogy movement. Peter Lang.

Misiaszek, G. W. (2018). Ecopedagogy: Critical environmental teaching for planetary justice. Bloomsbury Academic.

Misiaszek, G. W. (2022). Ecopedagogy and socio-environmental justice in the Anthropocene. Educational Philosophy and Theory, 54(10), 1517–1534.

Nafisah, D. (2020). Pendidikan berbasis ekopedagogik dalam pembelajaran IPS. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPS, 3, 112–120.

Suhana, A. (2019). Sistem repong damar sebagai kearifan lokal berkelanjutan masyarakat Lampung. Jurnal Ekologi dan Sosial, 4(1), 23–35.

Sukardi, D. (2021). Local wisdom and environmental education in Indonesia. Journal of Environmental Learning, 8(1), 44–57.