Cobalah anda eksplorasi kearifan
local dalam negeri relevansinya dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat local dalam menumbuhkan kesadaran ekologis.
Tugas Mandiri
Di Lampung Selatan, kearifan lokal seperti sasi menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat adat mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Sasi merupakan sistem pembatasan pengambilan hasil alam secara temporer, khususnya di wilayah pesisir dan hutan mangrove, yang berfungsi memberi kesempatan alam untuk pulih dan menjaga keberlanjutan ekosistem. Praktik ini menunjukkan betapa masyarakat lokal memiliki kesadaran ekologis yang tinggi dan menghormati siklus alam sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Kearifan sasi juga menjadi dasar pemberdayaan masyarakat setempat. Melalui pengelolaan sumber daya secara kolektif, warga tidak hanya menjaga kelestarian lingkungan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan dengan mengembangkan usaha berbasis lingkungan seperti budidaya mangrove dan perikanan berkelanjutan. Pendekatan ini menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial dan ekologi yang kuat, sekaligus memperkuat kearifan budaya yang sudah lama mereka pegang teguh.
Dengan perkembangan teknologi, penggabungan kearifan lokal sasi dengan pemantauan digital, misalnya melalui aplikasi pelaporan kondisi lingkungan, dapat memperkuat efektivitas konservasi. Kombinasi tradisi dan teknologi ini memungkinkan masyarakat Lampung Selatan berperan aktif dalam menjaga lingkungan sekaligus mendorong kesadaran ekologis yang modern dan inklusif. Oleh karena itu, pengakuan dan pelibatan kearifan lokal sangat penting dalam strategi pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal maupun nasional.
Kearifan sasi juga menjadi dasar pemberdayaan masyarakat setempat. Melalui pengelolaan sumber daya secara kolektif, warga tidak hanya menjaga kelestarian lingkungan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan dengan mengembangkan usaha berbasis lingkungan seperti budidaya mangrove dan perikanan berkelanjutan. Pendekatan ini menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial dan ekologi yang kuat, sekaligus memperkuat kearifan budaya yang sudah lama mereka pegang teguh.
Dengan perkembangan teknologi, penggabungan kearifan lokal sasi dengan pemantauan digital, misalnya melalui aplikasi pelaporan kondisi lingkungan, dapat memperkuat efektivitas konservasi. Kombinasi tradisi dan teknologi ini memungkinkan masyarakat Lampung Selatan berperan aktif dalam menjaga lingkungan sekaligus mendorong kesadaran ekologis yang modern dan inklusif. Oleh karena itu, pengakuan dan pelibatan kearifan lokal sangat penting dalam strategi pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal maupun nasional.
Kearifan lokal (local wisdom) merupakan sistem nilai, norma, dan praktik yang berkembang secara turun-temurun dalam suatu masyarakat dan menjadi pedoman dalam berinteraksi dengan alam. Di Indonesia, kearifan lokal berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena mengandung prinsip-prinsip konservasi dan penghormatan terhadap lingkungan hidup. Misalnya, masyarakat adat di Bali memiliki konsep “Tri Hita Karana”, yang menekankan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Prinsip ini mendorong masyarakat untuk menjaga alam sebagai bagian dari keseimbangan spiritual dan sosial (Arsana, 2021). Sementara itu, masyarakat Baduy di Banten dan masyarakat Dayak di Kalimantan menerapkan aturan adat yang melarang penebangan hutan sembarangan dan mengatur pola tanam bergilir untuk menjaga kesuburan tanah.
Kearifan lokal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisional dapat menjadi landasan penting dalam pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat. Dengan memanfaatkan kearifan lokal, program pelestarian lingkungan dapat berjalan selaras dengan identitas budaya setempat. Misalnya, praktik sasi laut di Maluku, yaitu larangan sementara untuk mengambil hasil laut di area tertentu, terbukti efektif dalam menjaga populasi ikan dan keseimbangan ekosistem laut. Hal ini membuktikan bahwa kearifan lokal bukan hanya bentuk tradisi, tetapi juga mekanisme sosial-ekologis yang mampu menciptakan keberlanjutan sumber daya alam (Rahman & Rumbiak, 2022).
Lebih jauh, pemberdayaan masyarakat lokal menjadi kunci dalam mengoptimalkan potensi kearifan lokal tersebut. Ketika masyarakat dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan sumber daya alam—seperti melalui ekowisata, pertanian organik, atau program desa hijau—kesadaran ekologis tumbuh secara alami karena masyarakat merasakan langsung manfaat ekonomi dan sosial dari lingkungan yang lestari. Pemberdayaan ini sejalan dengan konsep community-based environmental management, di mana masyarakat bukan hanya objek kebijakan, tetapi juga menjadi subjek utama dalam menjaga lingkungan (Prasetyo, 2023).
Dengan demikian, integrasi antara kearifan lokal, kebijakan lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat lokal akan memperkuat gerakan kesadaran ekologis di Indonesia. Kearifan lokal dapat menjadi jembatan antara nilai-nilai tradisional dan inovasi modern dalam pengelolaan lingkungan, sehingga keberlanjutan ekologis tidak hanya menjadi wacana global, tetapi juga bagian dari praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Referensi :
• Arsana, I. N. (2021). Tri Hita Karana sebagai Falsafah Pembangunan Berkelanjutan di Bali. Jurnal Kebudayaan Nusantara, 5(1), 22–31.
• Rahman, A., & Rumbiak, J. (2022). Kearifan Lokal Sasi Laut dalam Konservasi Ekosistem Pesisir di Maluku. Jurnal Ekologi Pesisir, 8(2), 76–85.
• Prasetyo, M. (2023). Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal untuk Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan. Jurnal Sosial dan Ekologi, 11(1), 44–58.
Kearifan lokal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisional dapat menjadi landasan penting dalam pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat. Dengan memanfaatkan kearifan lokal, program pelestarian lingkungan dapat berjalan selaras dengan identitas budaya setempat. Misalnya, praktik sasi laut di Maluku, yaitu larangan sementara untuk mengambil hasil laut di area tertentu, terbukti efektif dalam menjaga populasi ikan dan keseimbangan ekosistem laut. Hal ini membuktikan bahwa kearifan lokal bukan hanya bentuk tradisi, tetapi juga mekanisme sosial-ekologis yang mampu menciptakan keberlanjutan sumber daya alam (Rahman & Rumbiak, 2022).
Lebih jauh, pemberdayaan masyarakat lokal menjadi kunci dalam mengoptimalkan potensi kearifan lokal tersebut. Ketika masyarakat dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan sumber daya alam—seperti melalui ekowisata, pertanian organik, atau program desa hijau—kesadaran ekologis tumbuh secara alami karena masyarakat merasakan langsung manfaat ekonomi dan sosial dari lingkungan yang lestari. Pemberdayaan ini sejalan dengan konsep community-based environmental management, di mana masyarakat bukan hanya objek kebijakan, tetapi juga menjadi subjek utama dalam menjaga lingkungan (Prasetyo, 2023).
Dengan demikian, integrasi antara kearifan lokal, kebijakan lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat lokal akan memperkuat gerakan kesadaran ekologis di Indonesia. Kearifan lokal dapat menjadi jembatan antara nilai-nilai tradisional dan inovasi modern dalam pengelolaan lingkungan, sehingga keberlanjutan ekologis tidak hanya menjadi wacana global, tetapi juga bagian dari praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Referensi :
• Arsana, I. N. (2021). Tri Hita Karana sebagai Falsafah Pembangunan Berkelanjutan di Bali. Jurnal Kebudayaan Nusantara, 5(1), 22–31.
• Rahman, A., & Rumbiak, J. (2022). Kearifan Lokal Sasi Laut dalam Konservasi Ekosistem Pesisir di Maluku. Jurnal Ekologi Pesisir, 8(2), 76–85.
• Prasetyo, M. (2023). Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal untuk Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan. Jurnal Sosial dan Ekologi, 11(1), 44–58.
Kearifan lokal di Indonesia merupakan warisan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Setiap daerah memiliki bentuk kearifan lokal yang mencerminkan hubungan harmonis dengan lingkungan, termasuk salah satunya adalah masyarakat suku Jawa yang memiliki pandangan hidup “Memayu Hayuning Bawana”, yang berarti menjaga keindahan dan keseimbangan dunia. Falsafah ini menjadi dasar etika ekologis masyarakat Jawa untuk selalu hidup selaras dengan alam serta tidak merusak sumber daya yang menopang kehidupan. Nilai tersebut terimplementasi dalam berbagai praktik budaya dan sosial seperti tradisi bersih desa, sistem pertanian tumpangsari, serta pengelolaan sumber air melalui sendang atau belik, yang semuanya berorientasi pada kelestarian alam dan kesejahteraan bersama.
Relevansi kearifan lokal ini terhadap upaya menjaga kelestarian lingkungan sangat besar, karena praktik-praktik tersebut terbukti mampu menjaga keseimbangan ekosistem dan sekaligus memperkuat solidaritas sosial. Misalnya, tradisi bersih desa bukan hanya sekadar kegiatan ritual, tetapi juga momentum bagi masyarakat untuk membersihkan lingkungan, memperbaiki saluran air, dan menanam pohon secara gotong royong. Begitu pula dengan sistem tumpangsari yang memadukan berbagai tanaman dalam satu lahan untuk mempertahankan kesuburan tanah dan mengurangi penggunaan pestisida kimia. Kearifan ini juga mendorong pemberdayaan masyarakat lokal, karena pengelolaan sumber daya alam dilakukan berbasis komunitas dengan prinsip keadilan, kebersamaan, dan tanggung jawab bersama.
Menurut Wibowo (2020), nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Jawa seperti gotong royong, harmoni, dan kepedulian terhadap alam merupakan modal sosial penting dalam membangun kesadaran ekologis masyarakat pedesaan. Sementara Rahayu dan Prasetyo (2022) menegaskan bahwa revitalisasi budaya lokal dapat memperkuat partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan, karena masyarakat lebih mudah terlibat dalam program yang sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka sendiri. Dengan demikian, kearifan lokal tidak hanya berperan sebagai identitas budaya, tetapi juga sebagai strategi ekologis yang efektif dalam menghadapi tantangan modern seperti degradasi lingkungan, perubahan iklim, dan hilangnya kesadaran ekologis akibat modernisasi.
Kearifan lokal, jika diintegrasikan dalam pendidikan, kebijakan pembangunan, dan gerakan masyarakat, dapat menjadi landasan kuat untuk menciptakan ekologi sosial yang berkelanjutan. Upaya melestarikan alam tidak cukup hanya dengan kebijakan pemerintah atau teknologi modern, tetapi juga membutuhkan pemulihan nilai-nilai budaya seperti Memayu Hayuning Bawana yang menempatkan manusia sebagai penjaga harmoni alam. Melalui penguatan nilai lokal dan pemberdayaan masyarakat, Indonesia dapat membangun kesadaran ekologis yang bukan hanya berbasis pengetahuan, tetapi juga berakar pada kebijaksanaan budaya yang telah teruji oleh waktu.
Daftar Pustaka
Rahayu, S., & Prasetyo, D. (2022). Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Strategi Pelestarian Lingkungan Berbasis Komunitas di Jawa Tengah. Jurnal Pembangunan Sosial dan Ekologi, 9(1), 55–67.
Wibowo, A. (2020). Nilai-Nilai Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Jawa: Kajian terhadap Konsep Memayu Hayuning Bawana. Jurnal Filsafat Nusantara, 12(2), 101–115.
Relevansi kearifan lokal ini terhadap upaya menjaga kelestarian lingkungan sangat besar, karena praktik-praktik tersebut terbukti mampu menjaga keseimbangan ekosistem dan sekaligus memperkuat solidaritas sosial. Misalnya, tradisi bersih desa bukan hanya sekadar kegiatan ritual, tetapi juga momentum bagi masyarakat untuk membersihkan lingkungan, memperbaiki saluran air, dan menanam pohon secara gotong royong. Begitu pula dengan sistem tumpangsari yang memadukan berbagai tanaman dalam satu lahan untuk mempertahankan kesuburan tanah dan mengurangi penggunaan pestisida kimia. Kearifan ini juga mendorong pemberdayaan masyarakat lokal, karena pengelolaan sumber daya alam dilakukan berbasis komunitas dengan prinsip keadilan, kebersamaan, dan tanggung jawab bersama.
Menurut Wibowo (2020), nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Jawa seperti gotong royong, harmoni, dan kepedulian terhadap alam merupakan modal sosial penting dalam membangun kesadaran ekologis masyarakat pedesaan. Sementara Rahayu dan Prasetyo (2022) menegaskan bahwa revitalisasi budaya lokal dapat memperkuat partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan, karena masyarakat lebih mudah terlibat dalam program yang sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka sendiri. Dengan demikian, kearifan lokal tidak hanya berperan sebagai identitas budaya, tetapi juga sebagai strategi ekologis yang efektif dalam menghadapi tantangan modern seperti degradasi lingkungan, perubahan iklim, dan hilangnya kesadaran ekologis akibat modernisasi.
Kearifan lokal, jika diintegrasikan dalam pendidikan, kebijakan pembangunan, dan gerakan masyarakat, dapat menjadi landasan kuat untuk menciptakan ekologi sosial yang berkelanjutan. Upaya melestarikan alam tidak cukup hanya dengan kebijakan pemerintah atau teknologi modern, tetapi juga membutuhkan pemulihan nilai-nilai budaya seperti Memayu Hayuning Bawana yang menempatkan manusia sebagai penjaga harmoni alam. Melalui penguatan nilai lokal dan pemberdayaan masyarakat, Indonesia dapat membangun kesadaran ekologis yang bukan hanya berbasis pengetahuan, tetapi juga berakar pada kebijaksanaan budaya yang telah teruji oleh waktu.
Daftar Pustaka
Rahayu, S., & Prasetyo, D. (2022). Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Strategi Pelestarian Lingkungan Berbasis Komunitas di Jawa Tengah. Jurnal Pembangunan Sosial dan Ekologi, 9(1), 55–67.
Wibowo, A. (2020). Nilai-Nilai Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Jawa: Kajian terhadap Konsep Memayu Hayuning Bawana. Jurnal Filsafat Nusantara, 12(2), 101–115.
Kearifan lokal memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan di Kecamatan Way Kenanga, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Masyarakat di daerah ini dikenal memiliki tradisi gotong royong yang kuat, terutama dalam kegiatan menjaga kebersihan lingkungan seperti membersihkan saluran air, menanam pohon, dan mengelola sampah secara mandiri. Nilai-nilai seperti ini mencerminkan kesadaran ekologis yang sudah tertanam sejak lama, meskipun belum selalu disadari sebagai bagian dari pelestarian lingkungan modern.
Selain itu, potensi alam Way Kenanga yang masih relatif asri dapat dimanfaatkan secara bijak melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Misalnya, pengembangan pertanian organik, pengelolaan hasil bumi secara berkelanjutan, serta pemanfaatan bahan alami untuk kerajinan tangan dapat meningkatkan kesejahteraan tanpa merusak alam. Dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekonomi berbasis lingkungan, akan tercipta keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dan pelestarian ekosistem.
Upaya menjaga kearifan lokal ini juga perlu didukung dengan edukasi dan kolaborasi antara pemerintah, tokoh adat, dan generasi muda. Melalui kegiatan seperti sosialisasi lingkungan, pelatihan daur ulang, atau lomba kebersihan desa, kesadaran ekologis masyarakat dapat terus tumbuh. Dengan demikian, Way Kenanga dapat menjadi contoh nyata bagaimana nilai-nilai tradisional bisa berjalan seiring dengan upaya pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Nama : Iskandar
NPM : 2423031007
Mohon izin menjawab ibu
Kearifan Lokal dan Relevansinya terhadap Kelestarian Lingkungan serta Pemberdayaan Masyarakat Lokal: Studi Kasus Budaya Repong Damar Lampung Barat
Menurut Keraf (2020), kearifan lokal merupakan nilai-nilai dan praktik yang tumbuh dari pengalaman panjang masyarakat dalam berinteraksi dengan alam secara berkelanjutan. Ia berfungsi sebagai sistem pengetahuan ekologis yang mengatur cara manusia memanfaatkan sumber daya tanpa merusak keseimbangan lingkungan. Dalam konteks Indonesia, kearifan lokal menjadi dasar etika lingkungan yang mampu mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal di berbagai daerah Indonesia terbukti menjadi benteng alami terhadap degradasi ekosistem. Masyarakat adat, melalui nilai-nilai tradisi seperti subak di Bali atau sasi laut di Maluku, telah mempraktikkan prinsip sustainable resource management jauh sebelum konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan secara global. Hal serupa juga tampak dalam praktik Repong Damar di Lampung Barat, yang tidak hanya menjadi sistem ekonomi hutan rakyat, tetapi juga warisan pengetahuan ekologis yang melindungi keberlanjutan hutan tropis Sumatra. Model ini merupakan wujud nyata sinergi antara budaya lokal dan konservasi modern.
Menurut Leal Filho et al. (2022), pelestarian lingkungan yang berkelanjutan memerlukan pengakuan terhadap indigenous knowledge systems. Pengetahuan lokal sering kali lebih adaptif terhadap kondisi geografis dan sosial masyarakat dibandingkan pendekatan ilmiah yang seragam. Melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama pengelolaan lingkungan menjamin keberlanjutan karena mereka memiliki ikatan emosional dan kultural terhadap alamnya. Dalam konteks Repong Damar, masyarakat Lampung Barat memandang hutan damar sebagai bagian dari identitas sosial mereka. Setiap pohon damar bukan sekadar aset ekonomi, tetapi simbol hubungan spiritual dan sosial antargenerasi. Model pengelolaan hutan damar memperlihatkan bentuk community-based forest management, di mana masyarakat memiliki hak kelola jangka panjang, namun tetap menjaga keseimbangan ekologis. Dengan prinsip “manusia sebagai penjaga alam,” masyarakat menanam, merawat, dan memanen damar tanpa menebang pohonnya, sehingga tutupan hutan tetap lestari.
Menurut Satria (2021), pemberdayaan masyarakat lokal dalam konteks lingkungan tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga penguatan nilai sosial dan budaya. Pemberdayaan sejati adalah ketika masyarakat mampu mengelola sumber daya secara mandiri dengan mempertimbangkan keseimbangan ekologi. Kearifan lokal menjadi instrumen efektif dalam membangun kesadaran ekologis yang bersumber dari pengalaman hidup, bukan hanya teori akademik. Masyarakat Lampung Barat menunjukkan bentuk pemberdayaan ekologis melalui Repong Damar. Hasil hutan damar seperti getah dan rotan dikelola secara kolektif untuk kebutuhan ekonomi keluarga, namun keuntungan utamanya adalah keberlanjutan ekosistem yang menjaga kesuburan tanah, air, dan keanekaragaman hayati. Selain manfaat ekonomi, repong damar juga menciptakan ruang pendidikan lingkungan informal bagi generasi muda. Anak-anak diajak belajar mengenali jenis pohon, cara merawat hutan, serta nilai etika menjaga keseimbangan alam. Proses pewarisan nilai ini menjadi inti dari pendidikan ekologis berbasis budaya. Fahmi dan Nasution (2023) menyatakan, praktik Repong Damar merupakan contoh terbaik penerapan prinsip eco-social resilience, yaitu kemampuan masyarakat untuk bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan ekonomi dan lingkungan tanpa kehilangan identitas budaya. Sistem ini melibatkan pengelolaan hutan multi-fungsi: ekonomi, ekologis, dan sosial. Hutan damar berperan sebagai pelindung keanekaragaman hayati sekaligus sumber mata pencaharian yang berkelanjutan. Struktur repong terdiri atas tiga lapisan vegetasi—pohon damar, tanaman buah, dan tanaman bawah—yang meniru ekosistem hutan alami (agroforestry system). Dalam jangka panjang, model ini menjadi bukti bahwa sistem lokal mampu menjawab tantangan global seperti perubahan iklim dan deforestasi. Repong Damar dapat dijadikan model kebijakan nasional untuk pengelolaan hutan rakyat berbasis pengetahuan lokal yang terbukti menjaga produktivitas sekaligus kelestarian ekologi.
UNESCO (2024) menegaskan bahwa pelestarian kearifan lokal adalah bagian integral dari Education for Sustainable Development (ESD). Pendidikan berbasis budaya lokal tidak hanya meningkatkan kesadaran ekologis, tetapi juga memperkuat identitas dan solidaritas masyarakat. Penerapan nilai-nilai tradisi dalam pembelajaran lingkungan membantu siswa memahami konsep keberlanjutan dari pengalaman hidup nyata. Pendidikan tentang Repong Damar dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum IPS, geografi, atau pendidikan lingkungan. Guru dapat mengajak siswa melakukan observasi lapangan, wawancara dengan petani damar, dan membuat peta ekologi berbasis komunitas. Pendekatan ini menumbuhkan ecological literacy sekaligus rasa bangga terhadap warisan budaya lokal. Dengan memahami nilai-nilai repong damar, siswa belajar bahwa menjaga alam bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga bagian dari identitas kultural bangsa.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan Kearifan lokal merupakan fondasi penting dalam pembangunan berkelanjutan Indonesia. Budaya Repong Damar masyarakat Lampung Barat membuktikan bahwa kesejahteraan ekonomi dan kelestarian lingkungan dapat berjalan beriringan melalui sistem pengelolaan berbasis komunitas. Praktik ini merepresentasikan harmoni antara manusia dan alam bukan dalam bentuk eksploitasi, tetapi pemeliharaan mutualistik. Dalam konteks global, Repong Damar menunjukkan bahwa solusi terhadap krisis ekologis tidak selalu datang dari teknologi tinggi, melainkan dari kebijaksanaan lokal yang diwariskan lintas generasi.
Referensi
Fahmi, A., & Nasution, R. (2023). Repong Damar as a model of sustainable agroforestry and eco-social resilience in Indonesia. Journal of Environmental Management, 315, 115–128.
Keraf, A. S. (2020). Etika lingkungan hidup. Kompas Media Nusantara.
Leal Filho, W., Salvia, A. L., & Pretorius, R. W. (2022). Indigenous knowledge and sustainability education. Springer Nature.
Satria, A. (2021). Ekologi politik sumber daya alam dan kearifan lokal di Indonesia. IPB Press.
UNESCO. (2024). Education for Sustainable Development and Indigenous Knowledge Integration. Paris: UNESCO Publishing.
Nama : Iskandar
NPM : 2423031007
Mohon izin menjawab ibu
Kearifan Lokal dan Relevansinya terhadap Kelestarian Lingkungan serta Pemberdayaan Masyarakat Lokal: Studi Kasus Budaya Repong Damar Lampung Barat
Menurut Keraf (2020), kearifan lokal merupakan nilai-nilai dan praktik yang tumbuh dari pengalaman panjang masyarakat dalam berinteraksi dengan alam secara berkelanjutan. Ia berfungsi sebagai sistem pengetahuan ekologis yang mengatur cara manusia memanfaatkan sumber daya tanpa merusak keseimbangan lingkungan. Dalam konteks Indonesia, kearifan lokal menjadi dasar etika lingkungan yang mampu mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal di berbagai daerah Indonesia terbukti menjadi benteng alami terhadap degradasi ekosistem. Masyarakat adat, melalui nilai-nilai tradisi seperti subak di Bali atau sasi laut di Maluku, telah mempraktikkan prinsip sustainable resource management jauh sebelum konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan secara global. Hal serupa juga tampak dalam praktik Repong Damar di Lampung Barat, yang tidak hanya menjadi sistem ekonomi hutan rakyat, tetapi juga warisan pengetahuan ekologis yang melindungi keberlanjutan hutan tropis Sumatra. Model ini merupakan wujud nyata sinergi antara budaya lokal dan konservasi modern.
Menurut Leal Filho et al. (2022), pelestarian lingkungan yang berkelanjutan memerlukan pengakuan terhadap indigenous knowledge systems. Pengetahuan lokal sering kali lebih adaptif terhadap kondisi geografis dan sosial masyarakat dibandingkan pendekatan ilmiah yang seragam. Melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama pengelolaan lingkungan menjamin keberlanjutan karena mereka memiliki ikatan emosional dan kultural terhadap alamnya. Dalam konteks Repong Damar, masyarakat Lampung Barat memandang hutan damar sebagai bagian dari identitas sosial mereka. Setiap pohon damar bukan sekadar aset ekonomi, tetapi simbol hubungan spiritual dan sosial antargenerasi. Model pengelolaan hutan damar memperlihatkan bentuk community-based forest management, di mana masyarakat memiliki hak kelola jangka panjang, namun tetap menjaga keseimbangan ekologis. Dengan prinsip “manusia sebagai penjaga alam,” masyarakat menanam, merawat, dan memanen damar tanpa menebang pohonnya, sehingga tutupan hutan tetap lestari.
Menurut Satria (2021), pemberdayaan masyarakat lokal dalam konteks lingkungan tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga penguatan nilai sosial dan budaya. Pemberdayaan sejati adalah ketika masyarakat mampu mengelola sumber daya secara mandiri dengan mempertimbangkan keseimbangan ekologi. Kearifan lokal menjadi instrumen efektif dalam membangun kesadaran ekologis yang bersumber dari pengalaman hidup, bukan hanya teori akademik. Masyarakat Lampung Barat menunjukkan bentuk pemberdayaan ekologis melalui Repong Damar. Hasil hutan damar seperti getah dan rotan dikelola secara kolektif untuk kebutuhan ekonomi keluarga, namun keuntungan utamanya adalah keberlanjutan ekosistem yang menjaga kesuburan tanah, air, dan keanekaragaman hayati. Selain manfaat ekonomi, repong damar juga menciptakan ruang pendidikan lingkungan informal bagi generasi muda. Anak-anak diajak belajar mengenali jenis pohon, cara merawat hutan, serta nilai etika menjaga keseimbangan alam. Proses pewarisan nilai ini menjadi inti dari pendidikan ekologis berbasis budaya. Fahmi dan Nasution (2023) menyatakan, praktik Repong Damar merupakan contoh terbaik penerapan prinsip eco-social resilience, yaitu kemampuan masyarakat untuk bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan ekonomi dan lingkungan tanpa kehilangan identitas budaya. Sistem ini melibatkan pengelolaan hutan multi-fungsi: ekonomi, ekologis, dan sosial. Hutan damar berperan sebagai pelindung keanekaragaman hayati sekaligus sumber mata pencaharian yang berkelanjutan. Struktur repong terdiri atas tiga lapisan vegetasi—pohon damar, tanaman buah, dan tanaman bawah—yang meniru ekosistem hutan alami (agroforestry system). Dalam jangka panjang, model ini menjadi bukti bahwa sistem lokal mampu menjawab tantangan global seperti perubahan iklim dan deforestasi. Repong Damar dapat dijadikan model kebijakan nasional untuk pengelolaan hutan rakyat berbasis pengetahuan lokal yang terbukti menjaga produktivitas sekaligus kelestarian ekologi.
UNESCO (2024) menegaskan bahwa pelestarian kearifan lokal adalah bagian integral dari Education for Sustainable Development (ESD). Pendidikan berbasis budaya lokal tidak hanya meningkatkan kesadaran ekologis, tetapi juga memperkuat identitas dan solidaritas masyarakat. Penerapan nilai-nilai tradisi dalam pembelajaran lingkungan membantu siswa memahami konsep keberlanjutan dari pengalaman hidup nyata. Pendidikan tentang Repong Damar dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum IPS, geografi, atau pendidikan lingkungan. Guru dapat mengajak siswa melakukan observasi lapangan, wawancara dengan petani damar, dan membuat peta ekologi berbasis komunitas. Pendekatan ini menumbuhkan ecological literacy sekaligus rasa bangga terhadap warisan budaya lokal. Dengan memahami nilai-nilai repong damar, siswa belajar bahwa menjaga alam bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga bagian dari identitas kultural bangsa.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan Kearifan lokal merupakan fondasi penting dalam pembangunan berkelanjutan Indonesia. Budaya Repong Damar masyarakat Lampung Barat membuktikan bahwa kesejahteraan ekonomi dan kelestarian lingkungan dapat berjalan beriringan melalui sistem pengelolaan berbasis komunitas. Praktik ini merepresentasikan harmoni antara manusia dan alam bukan dalam bentuk eksploitasi, tetapi pemeliharaan mutualistik. Dalam konteks global, Repong Damar menunjukkan bahwa solusi terhadap krisis ekologis tidak selalu datang dari teknologi tinggi, melainkan dari kebijaksanaan lokal yang diwariskan lintas generasi.
Referensi
Fahmi, A., & Nasution, R. (2023). Repong Damar as a model of sustainable agroforestry and eco-social resilience in Indonesia. Journal of Environmental Management, 315, 115–128.
Keraf, A. S. (2020). Etika lingkungan hidup. Kompas Media Nusantara.
Leal Filho, W., Salvia, A. L., & Pretorius, R. W. (2022). Indigenous knowledge and sustainability education. Springer Nature.
Satria, A. (2021). Ekologi politik sumber daya alam dan kearifan lokal di Indonesia. IPB Press.
UNESCO. (2024). Education for Sustainable Development and Indigenous Knowledge Integration. Paris: UNESCO Publishing.
Masyarakat adat Lampung, termasuk yang berada di Kotabumi dan wilayah sekitarnya di Kabupaten Lampung Utara, telah lama hidup dengan sistem nilai budaya yang berakar kuat pada harmoni dengan alam. Falsafah hidup mereka, yang dikenal dengan Piil Pesenggiri, menjadi pandangan hidup yang menekankan keseimbangan antara manusia, sesama, dan lingkungan. Nilai-nilai seperti juluk adek (harga diri/identitas diri), nemui nyimah (keramahan dan sikap terbuka), nengah nyappur (partisipasi sosial yang inklusif), dan sakai sambayan (gotong-royong dan solidaritas) membentuk perilaku kolektif masyarakat dalam menjaga hubungan sosial sekaligus kelestarian alam sekitar (Wibisono et al., 2021).
Nilai sakai sambayan memiliki relevansi ekologis yang tinggi. Konsep gotong-royong tidak hanya dimaknai sebagai kerja sosial, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab bersama terhadap kebersihan kampung, pelestarian hutan, serta perlindungan sumber air. Di beberapa pekon atau kampung adat di Lampung, kegiatan seperti nyalau (bersih-bersih sawah dan saluran air) masih dilakukan secara bersama-sama sebagai simbol penghormatan terhadap tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan. Praktik ini mencerminkan kesadaran ekologis yang berbasis budaya lokal (Suparmini & Rahayu, 2020).
Selain itu, dikenal pula konsep “Hulu Tulung”, yakni kawasan hulu atau sumber mata air yang dianggap sakral dan dijaga melalui pantangan adat. Di beberapa wilayah Lampung Barat dan Lampung Utara, kawasan ini dilindungi dari aktivitas merambah, membakar, atau menebang pohon secara sembarangan. Konsep Hulu Tulung menunjukkan bahwa masyarakat adat Lampung memahami pentingnya menjaga “kepala” (sumber) air bagi keberlanjutan hidup. Hal ini sejalan dengan penelitian Lubis (2021) yang menjelaskan bahwa masyarakat lokal di Lampung memiliki kearifan dalam menjaga mata air melalui mekanisme sosial dan keagamaan yang melarang perusakan kawasan hulu.
Dalam pembangunan berkelanjutan, praktik-praktik tersebut memiliki kontribusi nyata dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama tujuan ke-13 (Penanganan Perubahan Iklim), ke-15 (Ekosistem Daratan), dan ke-11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan). Pemerintah Indonesia, melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Aksi Nasional SDGs 2020–2030, juga menegaskan pentingnya integrasi kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup (Kementerian PPN/Bappenas, 2020).
Upaya pelestarian lingkungan di tingkat lokal juga didukung oleh kebijakan nasional dan global seperti gerakan GreenMetric yang dipelopori oleh Universitas Indonesia. Gerakan ini menilai dan mendorong perguruan tinggi untuk menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan, seperti penghematan energi, konservasi air, dan pengelolaan sampah terpadu. Spirit GreenMetric sejalan dengan nilai Piil Pesenggiri dan sakai sambayan, karena keduanya menekankan tanggung jawab kolektif dan moral untuk menjaga bumi. Dengan demikian, gerakan ramah lingkungan di dunia pendidikan dapat memperkuat kesadaran ekologis masyarakat melalui pendekatan berbasis budaya lokal (UI GreenMetric, 2023).
Pemberdayaan masyarakat lokal di Kotabumi dapat difokuskan pada tiga aspek utama:
1. Edukasi lingkungan berbasis budaya lokal, yaitu mengintegrasikan nilai Piil Pesenggiri dan sakai sambayan dalam pembelajaran sekolah serta kegiatan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
2. Ekonomi hijau berbasis kearifan lokal, seperti pengembangan pertanian organik, agroforestri (repong damar), dan kerajinan dari bahan alam yang berkelanjutan.
3. Kelembagaan sosial ekologis, yaitu memperkuat peran lembaga adat, kelompok tani, dan komunitas muda sebagai agen pelestari lingkungan.
Dapat disimpulkan bahwa sinergi antara kearifan lokal masyarakat Lampung dan gerakan global seperti GreenMetric menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab teknokratis, tetapi juga moral dan budaya. Kesadaran ekologis masyarakat akan tumbuh kuat bila nilai adat dan program pembangunan berkelanjutan saling mendukung, menjadikan manusia tidak sekadar pengguna alam, tetapi penjaga dan pewaris bumi bagi generasi mendatang.
Daftar Pustaka
• Fardiansyah, A. I., Maroni, M., Gustiniati, D., & Susanti, E. (2022). Kearifan lokal masyarakat adat Lampung menanggulangi tindak pidana illegal logging. Bina Hukum Lingkungan, 6(3), 335–350. https://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/220
• Kementerian PPN/Bappenas. (2020). Roadmap SDGs Indonesia 2020–2030. Jakarta: Bappenas.
• Lubis, M. R. (2021). Kearifan lokal dalam pengelolaan mata air di Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Jurnal Hutan Tropis, 9(2), 85–95. https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jht/article/view/5109
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• UI GreenMetric World University Rankings. (2023). About UI GreenMetric. Universitas Indonesia. https://greenmetric.ui.ac.id
• Wibisono, H., Damayantie, S., Syah, A., Suwarno, & Syani, M. (2021). Strategi pelestarian makna dan fungsi kearifan lokal Nengah Nyappur pada Masyarakat Adat Marga Legun Paksi Bulok, Kalianda, Lampung Selatan. Sosiologi: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 23(2), 226–243. https://jurnalsosiologi.fisip.unila.ac.id
Nilai sakai sambayan memiliki relevansi ekologis yang tinggi. Konsep gotong-royong tidak hanya dimaknai sebagai kerja sosial, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab bersama terhadap kebersihan kampung, pelestarian hutan, serta perlindungan sumber air. Di beberapa pekon atau kampung adat di Lampung, kegiatan seperti nyalau (bersih-bersih sawah dan saluran air) masih dilakukan secara bersama-sama sebagai simbol penghormatan terhadap tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan. Praktik ini mencerminkan kesadaran ekologis yang berbasis budaya lokal (Suparmini & Rahayu, 2020).
Selain itu, dikenal pula konsep “Hulu Tulung”, yakni kawasan hulu atau sumber mata air yang dianggap sakral dan dijaga melalui pantangan adat. Di beberapa wilayah Lampung Barat dan Lampung Utara, kawasan ini dilindungi dari aktivitas merambah, membakar, atau menebang pohon secara sembarangan. Konsep Hulu Tulung menunjukkan bahwa masyarakat adat Lampung memahami pentingnya menjaga “kepala” (sumber) air bagi keberlanjutan hidup. Hal ini sejalan dengan penelitian Lubis (2021) yang menjelaskan bahwa masyarakat lokal di Lampung memiliki kearifan dalam menjaga mata air melalui mekanisme sosial dan keagamaan yang melarang perusakan kawasan hulu.
Dalam pembangunan berkelanjutan, praktik-praktik tersebut memiliki kontribusi nyata dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama tujuan ke-13 (Penanganan Perubahan Iklim), ke-15 (Ekosistem Daratan), dan ke-11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan). Pemerintah Indonesia, melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Aksi Nasional SDGs 2020–2030, juga menegaskan pentingnya integrasi kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup (Kementerian PPN/Bappenas, 2020).
Upaya pelestarian lingkungan di tingkat lokal juga didukung oleh kebijakan nasional dan global seperti gerakan GreenMetric yang dipelopori oleh Universitas Indonesia. Gerakan ini menilai dan mendorong perguruan tinggi untuk menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan, seperti penghematan energi, konservasi air, dan pengelolaan sampah terpadu. Spirit GreenMetric sejalan dengan nilai Piil Pesenggiri dan sakai sambayan, karena keduanya menekankan tanggung jawab kolektif dan moral untuk menjaga bumi. Dengan demikian, gerakan ramah lingkungan di dunia pendidikan dapat memperkuat kesadaran ekologis masyarakat melalui pendekatan berbasis budaya lokal (UI GreenMetric, 2023).
Pemberdayaan masyarakat lokal di Kotabumi dapat difokuskan pada tiga aspek utama:
1. Edukasi lingkungan berbasis budaya lokal, yaitu mengintegrasikan nilai Piil Pesenggiri dan sakai sambayan dalam pembelajaran sekolah serta kegiatan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
2. Ekonomi hijau berbasis kearifan lokal, seperti pengembangan pertanian organik, agroforestri (repong damar), dan kerajinan dari bahan alam yang berkelanjutan.
3. Kelembagaan sosial ekologis, yaitu memperkuat peran lembaga adat, kelompok tani, dan komunitas muda sebagai agen pelestari lingkungan.
Dapat disimpulkan bahwa sinergi antara kearifan lokal masyarakat Lampung dan gerakan global seperti GreenMetric menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab teknokratis, tetapi juga moral dan budaya. Kesadaran ekologis masyarakat akan tumbuh kuat bila nilai adat dan program pembangunan berkelanjutan saling mendukung, menjadikan manusia tidak sekadar pengguna alam, tetapi penjaga dan pewaris bumi bagi generasi mendatang.
Daftar Pustaka
• Fardiansyah, A. I., Maroni, M., Gustiniati, D., & Susanti, E. (2022). Kearifan lokal masyarakat adat Lampung menanggulangi tindak pidana illegal logging. Bina Hukum Lingkungan, 6(3), 335–350. https://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/220
• Kementerian PPN/Bappenas. (2020). Roadmap SDGs Indonesia 2020–2030. Jakarta: Bappenas.
• Lubis, M. R. (2021). Kearifan lokal dalam pengelolaan mata air di Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Jurnal Hutan Tropis, 9(2), 85–95. https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jht/article/view/5109
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• UI GreenMetric World University Rankings. (2023). About UI GreenMetric. Universitas Indonesia. https://greenmetric.ui.ac.id
• Wibisono, H., Damayantie, S., Syah, A., Suwarno, & Syani, M. (2021). Strategi pelestarian makna dan fungsi kearifan lokal Nengah Nyappur pada Masyarakat Adat Marga Legun Paksi Bulok, Kalianda, Lampung Selatan. Sosiologi: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 23(2), 226–243. https://jurnalsosiologi.fisip.unila.ac.id