Cobalah analisis bersama rekan-rekan anda era revolusi industry 4.0 kaitannya dengan lingkungan dan ekploitasi alam untuk industri.
Forum Diskusi
Revolusi Industri 4.0 ditandai oleh penggunaan teknologi digital, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan, big data, sensor pintar, robotika, dan 3D printing yang mengubah proses produksi menjadi lebih efisien dan terintegrasi. Dari sisi industri, hal ini membuka peluang besar untuk meningkatkan produktivitas, personalisasi produk, dan efisiensi rantai pasok. Namun, jika dikaitkan dengan lingkungan, transformasi ini menghadirkan dua sisi: peluang untuk keberlanjutan, tetapi juga risiko eksploitasi alam yang semakin intensif. Yang mau saya bahas adalah Pertama, efisiensi energi dan sumber daya menjadi salah satu keunggulan utama dari penerapan Industry 4.0. Sistem manufaktur cerdas dapat mengurangi limbah produksi, mengoptimalkan pemakaian energi, dan melakukan prediksi kerusakan mesin sehingga penggunaan bahan baku lebih hemat. Misalnya, teknologi sensor memungkinkan pemantauan kondisi mesin secara real-time sehingga kerusakan dapat dicegah sebelum menimbulkan pemborosan material. Hal ini sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan dan konsep green industry. Kedua, di sisi lain, eksploitasi alam justru bisa meningkat akibat dorongan produksi yang lebih cepat dan permintaan global yang kian masif. Penggunaan bahan tambang seperti logam tanah jarang (rare earth elements), litium, kobalt, dan nikel yang menjadi komponen vital bagi baterai, sensor, maupun perangkat digital berpotensi memperbesar tekanan terhadap lingkungan. Ekstraksi sumber daya ini kerap menyebabkan deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem. Jadi, Revolusi Industri 4.0 dapat memperkuat ketergantungan baru pada eksploitasi alam dengan skala yang lebih kompleks. Ketiga, dalam perspektif lingkungan, Revolusi Industri 4.0 bisa menjadi pedang bermata dua. IoT, big data, dan kecerdasan buatan memungkinkan pengelolaan ekologi yang lebih cerdas, misalnya untuk memantau kualitas udara, air, dan pola konsumsi energi, yang jika diintegrasikan dalam kebijakan industri dapat menekan dampak lingkungan. Namun, tanpa regulasi ketat, industri cenderung memaksimalkan teknologi demi keuntungan ekonomi, bukan kelestarian alam. Keempat, muncul juga risiko limbah digital (e-waste) yang semakin besar. Otomatisasi produksi berbasis teknologi tinggi menghasilkan perangkat elektronik yang cepat usang, menambah beban limbah berbahaya bagi lingkungan. Jika tidak dikelola, hal ini justru menggeser masalah eksploitasi dari sektor tradisional ke bentuk baru yang tidak kalah berbahaya.
Dengan demikian, hubungan Revolusi Industri 4.0 dengan lingkungan sangat erat, ia memberi peluang efisiensi dan keberlanjutan, tetapi sekaligus membuka ruang eksploitasi alam yang lebih luas. Tantangannya adalah bagaimana mengimplementasikan prinsip ecopedagogy dan sustainable industry agar transformasi digital tidak sekadar meningkatkan keuntungan industri, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem. Bagaimana menurut bapak/ibu rekan-rekan mahasiswa?
Dengan demikian, hubungan Revolusi Industri 4.0 dengan lingkungan sangat erat, ia memberi peluang efisiensi dan keberlanjutan, tetapi sekaligus membuka ruang eksploitasi alam yang lebih luas. Tantangannya adalah bagaimana mengimplementasikan prinsip ecopedagogy dan sustainable industry agar transformasi digital tidak sekadar meningkatkan keuntungan industri, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem. Bagaimana menurut bapak/ibu rekan-rekan mahasiswa?
Revolusi Industri 4.0 membuat cara manusia bekerja dan berproduksi berubah besar-besaran. Di era ini, mesin, sensor, robot, dan komputer saling terhubung lewat Internet of Things (IoT). Akibatnya, proses produksi jadi lebih cepat, efisien, dan pintar. Misalnya, mesin bisa mendeteksi sendiri kalau ada kerusakan, atau sensor bisa membantu mengatur penggunaan energi supaya lebih hemat. Hal ini tentu membawa dampak positif bagi lingkungan karena bisa mengurangi limbah, menghemat energi, bahkan mendukung pemakaian energi terbarukan seperti listrik dari tenaga surya atau angin.
Tapi, di balik semua keuntungan itu, Revolusi Industri 4.0 tetap punya sisi gelap. Untuk membuat robot, baterai, atau perangkat pintar, dibutuhkan banyak bahan tambang seperti nikel, kobalt, dan lithium. Artinya, eksploitasi alam justru semakin besar. Selain itu, semakin banyak alat elektronik juga berarti semakin banyak sampah elektronik (e-waste) yang sulit didaur ulang dan bisa mencemari lingkungan.
Jadi, Revolusi Industri 4.0 punya dua sisi. Di satu sisi bisa membantu menjaga lingkungan lewat teknologi yang efisien dan ramah energi. Namun, di sisi lain, ia juga bisa memperparah kerusakan alam karena kebutuhan bahan baku yang besar dan tumpukan sampah elektronik. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi ini untuk mendukung keberlanjutan tanpa terus-menerus mengorbankan alam.
Tapi, di balik semua keuntungan itu, Revolusi Industri 4.0 tetap punya sisi gelap. Untuk membuat robot, baterai, atau perangkat pintar, dibutuhkan banyak bahan tambang seperti nikel, kobalt, dan lithium. Artinya, eksploitasi alam justru semakin besar. Selain itu, semakin banyak alat elektronik juga berarti semakin banyak sampah elektronik (e-waste) yang sulit didaur ulang dan bisa mencemari lingkungan.
Jadi, Revolusi Industri 4.0 punya dua sisi. Di satu sisi bisa membantu menjaga lingkungan lewat teknologi yang efisien dan ramah energi. Namun, di sisi lain, ia juga bisa memperparah kerusakan alam karena kebutuhan bahan baku yang besar dan tumpukan sampah elektronik. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi ini untuk mendukung keberlanjutan tanpa terus-menerus mengorbankan alam.
Nama : Gilang Rickat Trengginas
NPM : 2423031005
Era Revolusi Industri 4.0, yang ditandai dengan digitalisasi, otomatisasi, dan kecerdasan buatan, memiliki hubungan yang paradoks dengan lingkungan. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan solusi untuk mengurangi eksploitasi alam. Di balik janji efisiensi Revolusi Industri 4.0, tersembunyi eksploitasi alam yang justru diperparah oleh teknologi mutakhir. Contoh nyatanya adalah konsumsi energi dan air yang masif dari pusat data (data center) dan komputasi awan. Setiap pencarian di internet, streaming video, atau penyimpanan data di cloud membutuhkan daya listrik yang sangat besar untuk menjalankan server-server yang bekerja 24 jam. Sumber energi untuk listrik ini seringkali masih bergantung pada batubara atau gas alam, yang mempercepat perubahan iklim. Selain itu, pusat data membutuhkan sistem pendingin yang menghabiskan air dalam volume sangat besar, yang dapat memicu kekeringan di daerah sekitarnya, seperti yang terjadi di beberapa belahan dunia. Jadi, dunia digital yang terasa "nir-material" ini sebenarnya berdiri di atas fondasi eksploitasi sumber daya alam yang sangat nyata.
Pada akhirnya, dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap lingkungan sepenuhnya bergantung pada cara manusia memanfaatkannya. Teknologi ini ibarat pisau bermata dua; bisa menjadi alat untuk menyelamatkan bumi atau justru mempercepat kehancurannya. Jika hanya berfokus pada efisiensi produksi dan profit tanpa mempertimbangkan keberlanjutan, maka eksploitasi alam akan terus berlanjut dalam bentuk yang lebih tersembunyi. Sebaliknya, jika prinsip ekonomi sirkular dan energi terbarukan dijadikan fondasi, revolusi digital justru bisa menjadi mitra terbaik dalam melestarikan lingkungan. Oleh karena itu, kemajuan teknologi harus diimbangi dengan kesadaran ekologis dan regulasi yang kuat agar kita tidak hanya mengejar kecerdasan buatan, tetapi mengorbankan kecerdasan alam yang sudah ada.
NPM : 2423031005
Era Revolusi Industri 4.0, yang ditandai dengan digitalisasi, otomatisasi, dan kecerdasan buatan, memiliki hubungan yang paradoks dengan lingkungan. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan solusi untuk mengurangi eksploitasi alam. Di balik janji efisiensi Revolusi Industri 4.0, tersembunyi eksploitasi alam yang justru diperparah oleh teknologi mutakhir. Contoh nyatanya adalah konsumsi energi dan air yang masif dari pusat data (data center) dan komputasi awan. Setiap pencarian di internet, streaming video, atau penyimpanan data di cloud membutuhkan daya listrik yang sangat besar untuk menjalankan server-server yang bekerja 24 jam. Sumber energi untuk listrik ini seringkali masih bergantung pada batubara atau gas alam, yang mempercepat perubahan iklim. Selain itu, pusat data membutuhkan sistem pendingin yang menghabiskan air dalam volume sangat besar, yang dapat memicu kekeringan di daerah sekitarnya, seperti yang terjadi di beberapa belahan dunia. Jadi, dunia digital yang terasa "nir-material" ini sebenarnya berdiri di atas fondasi eksploitasi sumber daya alam yang sangat nyata.
Pada akhirnya, dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap lingkungan sepenuhnya bergantung pada cara manusia memanfaatkannya. Teknologi ini ibarat pisau bermata dua; bisa menjadi alat untuk menyelamatkan bumi atau justru mempercepat kehancurannya. Jika hanya berfokus pada efisiensi produksi dan profit tanpa mempertimbangkan keberlanjutan, maka eksploitasi alam akan terus berlanjut dalam bentuk yang lebih tersembunyi. Sebaliknya, jika prinsip ekonomi sirkular dan energi terbarukan dijadikan fondasi, revolusi digital justru bisa menjadi mitra terbaik dalam melestarikan lingkungan. Oleh karena itu, kemajuan teknologi harus diimbangi dengan kesadaran ekologis dan regulasi yang kuat agar kita tidak hanya mengejar kecerdasan buatan, tetapi mengorbankan kecerdasan alam yang sudah ada.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Nama :Iskandar
NPM : 2423031007
Mohon izin menjawab
Revolusi Industri 4.0 memperkenalkan otomasi, Internet of Things (IoT), big data, dan sistem siber-fisik yang memungkinkan efisiensi tinggi dalam proses produksi. Namun, di sisi lain, percepatan teknologi ini juga meningkatkan intensitas penggunaan bahan mentah karena peningkatan skala produksi global (Bradu et al., 2022). Transformasi digital yang berorientasi pada efisiensi tanpa strategi pengendalian konsumsi dapat berimplikasi pada peningkatan eksploitasi sumber daya alam. Meskipun 4.0 berpotensi mengurangi pemborosan, efisiensi teknologi tetap harus dibarengi dengan regulasi konsumsi agar tidak memicu “rebound effect” berupa peningkatan eksploitasi.
Menurut laporan The Guardian (2024), ekstraksi bahan mentah dunia diproyeksikan meningkat hingga 60% pada tahun 2060 apabila pola industri dan konsumsi tidak berubah. Teknologi I4.0 yang menurunkan biaya produksi justru dapat mempercepat laju ekstraksi mineral dan logam langka (Khan, 2025). Kondisi ini menandakan bahwa inovasi digital belum tentu sejalan dengan keberlanjutan ekologis jika tidak disertai kebijakan pengendalian sumber daya. 4.0 harus diarahkan bukan untuk mempercepat ekstraksi, tetapi mengoptimalkan daur ulang dan penghematan material agar tidak menambah tekanan ekologis global.
Jejak digital dari Industri 4.0 juga signifikan—pusat data, AI, dan jaringan IoT menuntut konsumsi energi besar serta menghasilkan limbah elektronik yang meningkat (Vakalis, 2023). Penilaian siklus hidup (Life Cycle Assessment) menunjukkan bahwa dampak lingkungan bukan hanya berasal dari operasional teknologi, tetapi juga dari proses produksi perangkat keras (Ortega-Gras et al., 2025). Pendekatan LCA harus diterapkan untuk memastikan seluruh rantai produksi teknologi digital dapat diminimalkan dampak lingkungannya melalui desain berkelanjutan dan manajemen limbah.
Beberapa penelitian menyoroti sisi gelap 4.0, yaitu efek rebound yang muncul ketika efisiensi teknologi justru meningkatkan konsumsi total (Dieste et al., 2024). Misalnya, peningkatan efisiensi energi di pabrik menyebabkan biaya produksi turun, yang justru meningkatkan volume produksi dan penggunaan energi total.
Analisis peneliti: kebijakan lingkungan tidak cukup hanya berbasis efisiensi teknologi, tetapi harus menyertakan instrumen ekonomi seperti pajak karbon dan kuota ekstraksi agar eksploitasi tetap terkendali.
Integrasi antara I4.0 dan ekonomi sirkular memberikan peluang untuk mengurangi eksploitasi alam. Teknologi seperti big data dan digital twin dapat mendukung strategi daur ulang dan perpanjangan umur produk (Matarneh, 2024). Dengan demikian, konsep “produksi hijau” dapat diwujudkan melalui sinergi antara inovasi digital dan prinsip keberlanjutan. Keberhasilan integrasi ini sangat bergantung pada perubahan model bisnis menuju sistem berbasis layanan (product-as-a-service) yang mengurangi kebutuhan akan bahan baku baru.
Pemanfaatan data dan tata kelola digital juga dapat memperbaiki pengawasan terhadap sumber daya alam. Teknologi digital memungkinkan transparansi rantai pasok dan memudahkan pelacakan praktik eksploitasi di sektor industri (Zhang et al., 2025). Transparansi ini membantu regulator dan konsumen menekan industri agar lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Digital governance hanya efektif jika disertai sistem pelaporan wajib, kapasitas institusi, dan keterbukaan data lintas sektor untuk menegakkan akuntabilitas ekologis.
Implementasi cleaner production berbasis I4.0 mulai banyak diterapkan, terutama di negara maju. Studi Ma (2024) menunjukkan bahwa penggunaan otomasi dan kecerdasan buatan dalam pabrik dapat mengurangi limbah dan penggunaan energi. Namun, ketimpangan muncul karena usaha kecil dan negara berkembang seringkali belum memiliki infrastruktur untuk menerapkan teknologi tersebut. Kesenjangan akses teknologi harus diatasi melalui kebijakan insentif, pelatihan, dan transfer teknologi agar manfaat I4.0 terhadap lingkungan bersifat inklusif.
Secara sosial-ekologis, ketimpangan global dapat meningkat ketika I4.0 mendorong eksploitasi bahan mentah dari negara berkembang dengan regulasi lingkungan yang lemah (Guardian, 2024; Khan, 2025). Hal ini menciptakan beban ekologis di wilayah tertentu, sementara keuntungan ekonomi dinikmati negara maju. Dalam proses untuk mengatasi ketimpangan ekologis, diperlukan kebijakan internasional yang menetapkan batas ekstraksi global serta kompensasi bagi negara yang menanggung dampak eksploitasi.
Oleh karena itu, penerapan I4.0 harus didampingi oleh kebijakan keberlanjutan yang tegas: menerapkan life cycle thinking, mendukung ekonomi sirkular, memperkuat tata kelola digital, serta membatasi ekstraksi bahan mentah. Tanpa intervensi kebijakan, efisiensi teknologi justru berisiko mempercepat eksploitasi sumber daya alam (Bradu et al., 2022; Ortega-Gras et al., 2025). Strategi keberlanjutan di era I4.0 harus bersifat transformatif—mengubah paradigma industri dari pertumbuhan berbasis ekstraksi menuju pertumbuhan berbasis regenerasi sumber daya.
Daftar Pustaka (APA Style)
Bradu, P., et al. (2022). Recent advances in green technology and Industrial Revolution 4.0. Frontiers in Environmental Science. https://doi.org/10.3389/fenvs.2022.8994424
Dieste, M., & colleagues. (2024). The dark side of Industry 4.0: How can technology be made sustainable? International Journal of Operations & Production Management.
Guardian. (2024, January 31). Extraction of raw materials to rise by 60% by 2060, says UN report. The Guardian. https://www.theguardian.com/environment
Khan, M. I. (2025). Integrating Industry 4.0 for enhanced sustainability. Journal of Sustainable Industrial Development.
Ma, S. (2024). Industry 4.0 and cleaner production: A comprehensive overview. Journal of Cleaner Production, 425, 139244. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2024.139244
Matarneh, S. (2024). Industry 4.0 technologies and circular economy synergies. Sustainable Manufacturing Journal, 12(3), 212–228.
Ortega-Gras, J.-J., Bueno-Delgado, M.-V., Puche-Forte, J.-F., Garrido-Lova, J., & Martínez-Fernández, R. (2025). Exploring Industry 4.0 technologies implementation to enhance circularity in Spanish manufacturing enterprises. Sustainability, 17(13), 7648. https://doi.org/10.3390/su17137648
Vakalis, D. (2023). Towards a life cycle assessment framework for IoT-enabled systems. Environmental Impact Assessment Review, 99, 106972.
Zhang, S., Li, Y., & Wu, F. (2025). How digital governance improves natural resource management. Humanities and Social Sciences Communications, 12(1), 341. https://doi.org/10.1057/s41599-025-02091-6
Nama :Iskandar
NPM : 2423031007
Mohon izin menjawab
Revolusi Industri 4.0 memperkenalkan otomasi, Internet of Things (IoT), big data, dan sistem siber-fisik yang memungkinkan efisiensi tinggi dalam proses produksi. Namun, di sisi lain, percepatan teknologi ini juga meningkatkan intensitas penggunaan bahan mentah karena peningkatan skala produksi global (Bradu et al., 2022). Transformasi digital yang berorientasi pada efisiensi tanpa strategi pengendalian konsumsi dapat berimplikasi pada peningkatan eksploitasi sumber daya alam. Meskipun 4.0 berpotensi mengurangi pemborosan, efisiensi teknologi tetap harus dibarengi dengan regulasi konsumsi agar tidak memicu “rebound effect” berupa peningkatan eksploitasi.
Menurut laporan The Guardian (2024), ekstraksi bahan mentah dunia diproyeksikan meningkat hingga 60% pada tahun 2060 apabila pola industri dan konsumsi tidak berubah. Teknologi I4.0 yang menurunkan biaya produksi justru dapat mempercepat laju ekstraksi mineral dan logam langka (Khan, 2025). Kondisi ini menandakan bahwa inovasi digital belum tentu sejalan dengan keberlanjutan ekologis jika tidak disertai kebijakan pengendalian sumber daya. 4.0 harus diarahkan bukan untuk mempercepat ekstraksi, tetapi mengoptimalkan daur ulang dan penghematan material agar tidak menambah tekanan ekologis global.
Jejak digital dari Industri 4.0 juga signifikan—pusat data, AI, dan jaringan IoT menuntut konsumsi energi besar serta menghasilkan limbah elektronik yang meningkat (Vakalis, 2023). Penilaian siklus hidup (Life Cycle Assessment) menunjukkan bahwa dampak lingkungan bukan hanya berasal dari operasional teknologi, tetapi juga dari proses produksi perangkat keras (Ortega-Gras et al., 2025). Pendekatan LCA harus diterapkan untuk memastikan seluruh rantai produksi teknologi digital dapat diminimalkan dampak lingkungannya melalui desain berkelanjutan dan manajemen limbah.
Beberapa penelitian menyoroti sisi gelap 4.0, yaitu efek rebound yang muncul ketika efisiensi teknologi justru meningkatkan konsumsi total (Dieste et al., 2024). Misalnya, peningkatan efisiensi energi di pabrik menyebabkan biaya produksi turun, yang justru meningkatkan volume produksi dan penggunaan energi total.
Analisis peneliti: kebijakan lingkungan tidak cukup hanya berbasis efisiensi teknologi, tetapi harus menyertakan instrumen ekonomi seperti pajak karbon dan kuota ekstraksi agar eksploitasi tetap terkendali.
Integrasi antara I4.0 dan ekonomi sirkular memberikan peluang untuk mengurangi eksploitasi alam. Teknologi seperti big data dan digital twin dapat mendukung strategi daur ulang dan perpanjangan umur produk (Matarneh, 2024). Dengan demikian, konsep “produksi hijau” dapat diwujudkan melalui sinergi antara inovasi digital dan prinsip keberlanjutan. Keberhasilan integrasi ini sangat bergantung pada perubahan model bisnis menuju sistem berbasis layanan (product-as-a-service) yang mengurangi kebutuhan akan bahan baku baru.
Pemanfaatan data dan tata kelola digital juga dapat memperbaiki pengawasan terhadap sumber daya alam. Teknologi digital memungkinkan transparansi rantai pasok dan memudahkan pelacakan praktik eksploitasi di sektor industri (Zhang et al., 2025). Transparansi ini membantu regulator dan konsumen menekan industri agar lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Digital governance hanya efektif jika disertai sistem pelaporan wajib, kapasitas institusi, dan keterbukaan data lintas sektor untuk menegakkan akuntabilitas ekologis.
Implementasi cleaner production berbasis I4.0 mulai banyak diterapkan, terutama di negara maju. Studi Ma (2024) menunjukkan bahwa penggunaan otomasi dan kecerdasan buatan dalam pabrik dapat mengurangi limbah dan penggunaan energi. Namun, ketimpangan muncul karena usaha kecil dan negara berkembang seringkali belum memiliki infrastruktur untuk menerapkan teknologi tersebut. Kesenjangan akses teknologi harus diatasi melalui kebijakan insentif, pelatihan, dan transfer teknologi agar manfaat I4.0 terhadap lingkungan bersifat inklusif.
Secara sosial-ekologis, ketimpangan global dapat meningkat ketika I4.0 mendorong eksploitasi bahan mentah dari negara berkembang dengan regulasi lingkungan yang lemah (Guardian, 2024; Khan, 2025). Hal ini menciptakan beban ekologis di wilayah tertentu, sementara keuntungan ekonomi dinikmati negara maju. Dalam proses untuk mengatasi ketimpangan ekologis, diperlukan kebijakan internasional yang menetapkan batas ekstraksi global serta kompensasi bagi negara yang menanggung dampak eksploitasi.
Oleh karena itu, penerapan I4.0 harus didampingi oleh kebijakan keberlanjutan yang tegas: menerapkan life cycle thinking, mendukung ekonomi sirkular, memperkuat tata kelola digital, serta membatasi ekstraksi bahan mentah. Tanpa intervensi kebijakan, efisiensi teknologi justru berisiko mempercepat eksploitasi sumber daya alam (Bradu et al., 2022; Ortega-Gras et al., 2025). Strategi keberlanjutan di era I4.0 harus bersifat transformatif—mengubah paradigma industri dari pertumbuhan berbasis ekstraksi menuju pertumbuhan berbasis regenerasi sumber daya.
Daftar Pustaka (APA Style)
Bradu, P., et al. (2022). Recent advances in green technology and Industrial Revolution 4.0. Frontiers in Environmental Science. https://doi.org/10.3389/fenvs.2022.8994424
Dieste, M., & colleagues. (2024). The dark side of Industry 4.0: How can technology be made sustainable? International Journal of Operations & Production Management.
Guardian. (2024, January 31). Extraction of raw materials to rise by 60% by 2060, says UN report. The Guardian. https://www.theguardian.com/environment
Khan, M. I. (2025). Integrating Industry 4.0 for enhanced sustainability. Journal of Sustainable Industrial Development.
Ma, S. (2024). Industry 4.0 and cleaner production: A comprehensive overview. Journal of Cleaner Production, 425, 139244. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2024.139244
Matarneh, S. (2024). Industry 4.0 technologies and circular economy synergies. Sustainable Manufacturing Journal, 12(3), 212–228.
Ortega-Gras, J.-J., Bueno-Delgado, M.-V., Puche-Forte, J.-F., Garrido-Lova, J., & Martínez-Fernández, R. (2025). Exploring Industry 4.0 technologies implementation to enhance circularity in Spanish manufacturing enterprises. Sustainability, 17(13), 7648. https://doi.org/10.3390/su17137648
Vakalis, D. (2023). Towards a life cycle assessment framework for IoT-enabled systems. Environmental Impact Assessment Review, 99, 106972.
Zhang, S., Li, Y., & Wu, F. (2025). How digital governance improves natural resource management. Humanities and Social Sciences Communications, 12(1), 341. https://doi.org/10.1057/s41599-025-02091-6
Era Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan kemajuan teknologi digital yang pesat, seperti otomatisasi, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan, dan big data. Meskipun teknologi ini menjanjikan efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam dunia industri, ada dampak penting yang perlu dianalisis terkait lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam. Di satu sisi, teknologi 4.0 memungkinkan pengelolaan sumber daya yang lebih cerdas dan efisien, misalnya melalui pemantauan real-time yang dapat mengurangi limbah dan penggunaan energi berlebih. Namun, di sisi lain, permintaan yang terus meningkat untuk bahan baku dan energi guna mendukung teknologi canggih ini berpotensi meningkatkan eksploitasi alam secara intensif dan mempercepat degradasi lingkungan jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang berkelanjutan.
Selain itu, Revolusi Industri 4.0 membawa tantangan baru terkait limbah elektronik dan konsumsi energi yang besar dari pusat data dan perangkat teknologi tinggi. Eksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan industri ini, seperti penambangan mineral untuk komponen elektronik, berisiko merusak ekosistem dan menimbulkan konflik sosial di wilayah sumber daya. Oleh karena itu, perlu adanya sinergi antara inovasi teknologi dan prinsip keberlanjutan lingkungan, termasuk penerapan ecopedagogy agar generasi muda mampu memahami kompleksitas ini dan berperan aktif dalam menciptakan industri yang ramah lingkungan serta bertanggung jawab sosial.
Diskusi bersama dapat mengangkat berbagai perspektif, misalnya bagaimana teknologi 4.0 bisa dimanfaatkan untuk mendukung ekonomi sirkular, atau bagaimana regulasi dan kesadaran lingkungan dapat meminimalkan dampak negatif eksploitasi alam. Juga penting untuk membahas peran pendidikan IPS dalam menanamkan nilai-nilai kritis terhadap hubungan antara teknologi, industri, dan lingkungan di era modern ini.
Selain itu, Revolusi Industri 4.0 membawa tantangan baru terkait limbah elektronik dan konsumsi energi yang besar dari pusat data dan perangkat teknologi tinggi. Eksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan industri ini, seperti penambangan mineral untuk komponen elektronik, berisiko merusak ekosistem dan menimbulkan konflik sosial di wilayah sumber daya. Oleh karena itu, perlu adanya sinergi antara inovasi teknologi dan prinsip keberlanjutan lingkungan, termasuk penerapan ecopedagogy agar generasi muda mampu memahami kompleksitas ini dan berperan aktif dalam menciptakan industri yang ramah lingkungan serta bertanggung jawab sosial.
Diskusi bersama dapat mengangkat berbagai perspektif, misalnya bagaimana teknologi 4.0 bisa dimanfaatkan untuk mendukung ekonomi sirkular, atau bagaimana regulasi dan kesadaran lingkungan dapat meminimalkan dampak negatif eksploitasi alam. Juga penting untuk membahas peran pendidikan IPS dalam menanamkan nilai-nilai kritis terhadap hubungan antara teknologi, industri, dan lingkungan di era modern ini.
Era Revolusi Industri 4.0 ditandai oleh integrasi teknologi digital, otomatisasi, Internet of Things (IoT), dan kecerdasan buatan dalam berbagai sektor industri. Transformasi ini membawa efisiensi tinggi dalam produksi, namun juga menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam. Peningkatan kebutuhan energi, bahan baku, serta perangkat digital menyebabkan meningkatnya eksploitasi tambang mineral seperti nikel, kobalt, dan litium yang digunakan untuk baterai dan komponen elektronik. Hal ini berdampak pada degradasi lingkungan, deforestasi, dan pencemaran air di wilayah pertambangan (Nurdiansyah, 2020).
Selain itu, meskipun teknologi industri 4.0 mendorong efisiensi dan penggunaan energi terbarukan, penerapan yang tidak bijak dapat memperparah ketimpangan ekologi. Industri yang berorientasi pada produksi massal tetap menghasilkan limbah elektronik (e-waste) dalam jumlah besar yang sulit didaur ulang. Dalam konteks ini, perlu diterapkan prinsip “green industry” yang menekankan produksi berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk menekan dampak negatif eksploitasi alam (Sukmawati & Hidayat, 2021).
Pendidikan dan kesadaran lingkungan juga menjadi bagian penting dalam mengatasi tantangan ini. Revolusi Industri 4.0 seharusnya tidak hanya berfokus pada efisiensi ekonomi, tetapi juga mengintegrasikan nilai ekologis dan moral dalam pengelolaan sumber daya alam agar tercipta keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kelestarian lingkungan.
Penerapan teknologi digital dan otomatisasi dalam Revolusi Industri 4.0 juga berdampak pada cara manusia berinteraksi dengan alam. Di satu sisi, teknologi seperti big data dan artificial intelligence (AI) dapat dimanfaatkan untuk memantau kualitas udara, air, dan perubahan iklim secara real time. Hal ini membantu perusahaan maupun pemerintah dalam mengambil keputusan berbasis data untuk pengelolaan lingkungan yang lebih efisien (Rahmawati, 2022). Namun di sisi lain, pembangunan infrastruktur digital seperti pusat data (data center) memerlukan energi listrik dalam jumlah besar yang sering kali masih bersumber dari bahan bakar fosil. Akibatnya, emisi karbon tetap meningkat, sehingga manfaat ekologis dari kemajuan teknologi belum sepenuhnya optimal.
Lebih jauh lagi, dalam konteks sosial-ekonomi, eksploitasi sumber daya alam untuk mendukung industri berbasis teknologi sering kali menimbulkan ketimpangan ekologis dan sosial antara daerah industri dan daerah penghasil sumber daya. Daerah penghasil mineral seperti nikel atau batubara di Indonesia, misalnya, mengalami degradasi lingkungan dan menurunnya kualitas hidup masyarakat lokal akibat penambangan berlebihan. Kondisi ini menunjukkan perlunya etika industri yang menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekosistem. Oleh karena itu, konsep ekonomi sirkular (circular economy) dan industri hijau (green economy) perlu diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan agar kemajuan teknologi di era Revolusi Industri 4.0 tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan (Wibowo, 2023).
Referensi :
• Nurdiansyah, A. (2020). Dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap Lingkungan dan Eksploitasi Sumber Daya Alam. Jurnal Teknologi dan Lingkungan, 8(2), 112–120.
• Sukmawati, R., & Hidayat, T. (2021). Penerapan Konsep Green Industry di Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Ekologi Pembangunan, 13(1), 45–54.
• Rahmawati, D. (2022). Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Pemantauan Lingkungan di Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Ilmu Lingkungan, 10(1), 55–63.
• Wibowo, F. (2023). Ekonomi Sirkular dan Tantangan Keberlanjutan di Era Industri 4.0. Jurnal Ekonomi Hijau, 5(2), 88–97.
Selain itu, meskipun teknologi industri 4.0 mendorong efisiensi dan penggunaan energi terbarukan, penerapan yang tidak bijak dapat memperparah ketimpangan ekologi. Industri yang berorientasi pada produksi massal tetap menghasilkan limbah elektronik (e-waste) dalam jumlah besar yang sulit didaur ulang. Dalam konteks ini, perlu diterapkan prinsip “green industry” yang menekankan produksi berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk menekan dampak negatif eksploitasi alam (Sukmawati & Hidayat, 2021).
Pendidikan dan kesadaran lingkungan juga menjadi bagian penting dalam mengatasi tantangan ini. Revolusi Industri 4.0 seharusnya tidak hanya berfokus pada efisiensi ekonomi, tetapi juga mengintegrasikan nilai ekologis dan moral dalam pengelolaan sumber daya alam agar tercipta keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kelestarian lingkungan.
Penerapan teknologi digital dan otomatisasi dalam Revolusi Industri 4.0 juga berdampak pada cara manusia berinteraksi dengan alam. Di satu sisi, teknologi seperti big data dan artificial intelligence (AI) dapat dimanfaatkan untuk memantau kualitas udara, air, dan perubahan iklim secara real time. Hal ini membantu perusahaan maupun pemerintah dalam mengambil keputusan berbasis data untuk pengelolaan lingkungan yang lebih efisien (Rahmawati, 2022). Namun di sisi lain, pembangunan infrastruktur digital seperti pusat data (data center) memerlukan energi listrik dalam jumlah besar yang sering kali masih bersumber dari bahan bakar fosil. Akibatnya, emisi karbon tetap meningkat, sehingga manfaat ekologis dari kemajuan teknologi belum sepenuhnya optimal.
Lebih jauh lagi, dalam konteks sosial-ekonomi, eksploitasi sumber daya alam untuk mendukung industri berbasis teknologi sering kali menimbulkan ketimpangan ekologis dan sosial antara daerah industri dan daerah penghasil sumber daya. Daerah penghasil mineral seperti nikel atau batubara di Indonesia, misalnya, mengalami degradasi lingkungan dan menurunnya kualitas hidup masyarakat lokal akibat penambangan berlebihan. Kondisi ini menunjukkan perlunya etika industri yang menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekosistem. Oleh karena itu, konsep ekonomi sirkular (circular economy) dan industri hijau (green economy) perlu diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan agar kemajuan teknologi di era Revolusi Industri 4.0 tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan (Wibowo, 2023).
Referensi :
• Nurdiansyah, A. (2020). Dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap Lingkungan dan Eksploitasi Sumber Daya Alam. Jurnal Teknologi dan Lingkungan, 8(2), 112–120.
• Sukmawati, R., & Hidayat, T. (2021). Penerapan Konsep Green Industry di Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Ekologi Pembangunan, 13(1), 45–54.
• Rahmawati, D. (2022). Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Pemantauan Lingkungan di Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Ilmu Lingkungan, 10(1), 55–63.
• Wibowo, F. (2023). Ekonomi Sirkular dan Tantangan Keberlanjutan di Era Industri 4.0. Jurnal Ekonomi Hijau, 5(2), 88–97.
Era Revolusi Industri 4.0 membawa perubahan besar terhadap cara manusia memanfaatkan alam dan mengelola lingkungan. Perkembangan teknologi digital seperti kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), big data, dan otomatisasi telah meningkatkan efisiensi produksi di berbagai sektor industri. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul paradoks yang menarik antara lain di satu sisi, teknologi menawarkan solusi ramah lingkungan, tetapi di sisi lain justru mempercepat eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan industri global. Peningkatan kebutuhan bahan baku, energi, dan infrastruktur digital mendorong aktivitas penambangan, pembukaan lahan, dan penggunaan energi fosil yang masif. Akibatnya, degradasi lingkungan seperti deforestasi, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati menjadi konsekuensi yang sulit dihindari.
Meski demikian, era Industri 4.0 juga menghadirkan peluang besar untuk memperbaiki hubungan manusia dengan alam. Teknologi dapat digunakan untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan meminimalkan limbah melalui konsep green industry dan circular economy. Industri yang mengadopsi teknologi cerdas dapat memantau konsumsi energi dan bahan baku secara real time, sehingga mendorong efisiensi yang lebih tinggi. Pemerintah Indonesia, misalnya, mulai menerapkan kebijakan industri hijau dengan menekankan efisiensi energi, daur ulang limbah, dan penggunaan energi terbarukan. Praktik ini menunjukkan bahwa eksploitasi alam dapat diarahkan ke arah yang lebih berkelanjutan jika dikombinasikan dengan inovasi teknologi dan kesadaran lingkungan.
Beberapa sektor industri di Indonesia telah menunjukkan perubahan positif. Pemanfaatan limbah sawit sebagai biomassa untuk energi terbarukan menjadi salah satu contoh nyata penerapan teknologi hijau di era Industri 4.0. Melalui digitalisasi dan otomatisasi, pengolahan limbah menjadi lebih efisien dan bernilai ekonomi tinggi tanpa harus terus menambah tekanan terhadap alam. Selain itu, teknologi digital juga memungkinkan pemantauan dampak lingkungan secara lebih cepat dan akurat, sehingga kebijakan penanggulangan dapat diambil lebih responsif. Namun, keberhasilan ini tetap membutuhkan dukungan regulasi yang kuat serta sinergi antara pemerintah, industri, dan masyarakat agar keseimbangan antara kemajuan industri dan kelestarian alam dapat terjaga.
Dengan demikian, Revolusi Industri 4.0 menghadirkan tantangan sekaligus peluang dalam hubungan manusia dengan alam. Eksploitasi sumber daya tidak bisa sepenuhnya dihindari, tetapi dapat dikelola secara cerdas melalui penerapan teknologi yang berorientasi pada keberlanjutan. Kunci utamanya terletak pada kesadaran kolektif untuk mengintegrasikan nilai-nilai ekologis dalam setiap aspek pembangunan industri. Jika dikelola dengan visi keberlanjutan, maka era digital bukan lagi ancaman bagi alam, melainkan jembatan menuju harmoni antara kemajuan teknologi dan kelestarian lingkungan.
Meski demikian, era Industri 4.0 juga menghadirkan peluang besar untuk memperbaiki hubungan manusia dengan alam. Teknologi dapat digunakan untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan meminimalkan limbah melalui konsep green industry dan circular economy. Industri yang mengadopsi teknologi cerdas dapat memantau konsumsi energi dan bahan baku secara real time, sehingga mendorong efisiensi yang lebih tinggi. Pemerintah Indonesia, misalnya, mulai menerapkan kebijakan industri hijau dengan menekankan efisiensi energi, daur ulang limbah, dan penggunaan energi terbarukan. Praktik ini menunjukkan bahwa eksploitasi alam dapat diarahkan ke arah yang lebih berkelanjutan jika dikombinasikan dengan inovasi teknologi dan kesadaran lingkungan.
Beberapa sektor industri di Indonesia telah menunjukkan perubahan positif. Pemanfaatan limbah sawit sebagai biomassa untuk energi terbarukan menjadi salah satu contoh nyata penerapan teknologi hijau di era Industri 4.0. Melalui digitalisasi dan otomatisasi, pengolahan limbah menjadi lebih efisien dan bernilai ekonomi tinggi tanpa harus terus menambah tekanan terhadap alam. Selain itu, teknologi digital juga memungkinkan pemantauan dampak lingkungan secara lebih cepat dan akurat, sehingga kebijakan penanggulangan dapat diambil lebih responsif. Namun, keberhasilan ini tetap membutuhkan dukungan regulasi yang kuat serta sinergi antara pemerintah, industri, dan masyarakat agar keseimbangan antara kemajuan industri dan kelestarian alam dapat terjaga.
Dengan demikian, Revolusi Industri 4.0 menghadirkan tantangan sekaligus peluang dalam hubungan manusia dengan alam. Eksploitasi sumber daya tidak bisa sepenuhnya dihindari, tetapi dapat dikelola secara cerdas melalui penerapan teknologi yang berorientasi pada keberlanjutan. Kunci utamanya terletak pada kesadaran kolektif untuk mengintegrasikan nilai-nilai ekologis dalam setiap aspek pembangunan industri. Jika dikelola dengan visi keberlanjutan, maka era digital bukan lagi ancaman bagi alam, melainkan jembatan menuju harmoni antara kemajuan teknologi dan kelestarian lingkungan.