observasi telah dilakukan, mulai dari menidentifikasi masalah masalah lingkungan yang ada di dalam lingkungan sekolah, dan hasil observasi di peroleh mengenai sikap kepedulian peserta didik yang masih kurang peduli terutama untuk membuang sampah pada tempatnya, tanaman yang masih banyak tidak di urus, yang menyebabkan banyak yang mati, parit yang masih kotor oleh erosi tanah dan sampah,sampai penghijauan yang masih sangat kurang, kemudian ada beberapa tindakan yang di coba untuk dibangkitkan lagi untuk menanamkan nilai nilai kepedulian terhadap lingkungan sebagai solusi atas permasalahan permasalahan tersebut.
གནས་བསྐྱོད་བཟོ་མི་ Erma Oktaviani 2423031004
Pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan pendekatan pendidikan yang menekankan kesadaran ekologis, tanggung jawab sosial, dan refleksi kritis terhadap relasi manusia dengan lingkungan. Konsep ini terinspirasi dari gagasan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, yang menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari ketidaksadaran terhadap realitas sosial dan ekologis. Dalam konteks IPS, ecopedagogy bertujuan untuk membentuk peserta didik yang tidak hanya memahami hubungan sosial dan ekonomi, tetapi juga memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat (Kahn, 2010; Supriatna, 2016).
Untuk mengembangkan ecopedagogy, guru IPS perlu mengaitkan materi pelajaran dengan konteks lokal di mana siswa hidup. Pembelajaran IPS tidak cukup hanya berbicara tentang teori sosial, ekonomi, dan budaya secara abstrak, melainkan perlu dikaitkan dengan isu lingkungan nyata di sekitar mereka. Pendekatan kontekstual ini dapat diwujudkan melalui proyek berbasis lingkungan (project-based learning), studi lapangan, atau kegiatan sosial-lingkungan seperti penghijauan dan pengelolaan sampah. Menurut Gadotti (2010), ecopedagogy menuntut pendidikan yang humanistik sekaligus ekologis, yakni pendidikan yang mendorong siswa untuk bertindak nyata menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Di Indonesia, dalam penerapannya pengembangan ecopedagogy sangat relevan jika diintegrasikan dengan kearifan lokal (local wisdom) yang sudah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kearifan lokal mengandung nilai-nilai ekologis yang terbentuk melalui pengalaman kolektif dalam beradaptasi dan menjaga kelestarian alam. Seperti dijelaskan dalam Proceeding: Local Wisdom in Environmental Management in Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali (2021), tradisi lokal seperti sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis adat merupakan contoh nyata dari pendidikan lingkungan yang kontekstual dan berkelanjutan. Melalui pemanfaatan nilai-nilai lokal ini, guru dapat menjadikan pembelajaran IPS lebih bermakna, konkret, dan berakar pada budaya masyarakat setempat.
Di wilayah Kotabumi, Lampung Utara, kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPS antara lain adalah falsafah Piil Pesenggiri dan nilai Sakai Sambayan. Piil Pesenggiri mencerminkan nilai moral masyarakat Lampung yang menekankan tanggung jawab sosial, harga diri, dan kepedulian terhadap sesama, sedangkan Sakai Sambayan menggambarkan semangat gotong royong dan solidaritas kolektif. Kedua nilai ini sangat relevan dengan prinsip ecopedagogy, karena mendorong peserta didik untuk berpikir dan bertindak secara sosial dan ekologis, bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga tanggung jawab sosial bersama. Wibisono et al. (2021) menjelaskan bahwa nilai Sakai Sambayan dapat diterapkan dalam konteks pembelajaran IPS sebagai bentuk kerja sama dalam menjaga lingkungan, misalnya dalam kegiatan penghijauan sekolah atau pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Dalam masyarakat adat Lampung juga mengenal konsep Hulu Tulung, yaitu larangan adat untuk mengeksploitasi sumber air di hulu sungai. Konsep ini menunjukkan kesadaran ekologis tinggi terhadap pentingnya menjaga sumber daya air dan keberlanjutan ekosistem. Tradisi seperti ini dapat dijadikan bahan refleksi dalam pembelajaran IPS, terutama pada materi tentang interaksi manusia dengan lingkungan. Guru dapat mengajak siswa berdiskusi mengenai bagaimana nilai-nilai adat lokal dapat menjadi solusi terhadap masalah lingkungan modern seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran air. Dengan demikian, ecopedagogy berbasis kearifan lokal tidak hanya membangun pengetahuan kognitif, tetapi juga sikap dan tindakan ekologis yang berakar pada budaya sendiri (Suparmini & Rahayu, 2020).
Penerapan ecopedagogy di Kotabumi dapat dilakukan melalui beberapa langkah konkret. Pertama, guru mengaitkan isu-isu lingkungan lokal seperti penebangan liar, pengelolaan sampah, dan pencemaran sungai dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti Sakai Sambayan dan Hulu Tulung. Kedua, melibatkan siswa dalam proyek sosial-lingkungan yang menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap alam, seperti program “Sekolah Hijau Piil Pesenggiri”. Ketiga, mengintegrasikan pembelajaran berbasis aksi (action-based learning), di mana siswa melakukan kegiatan nyata dan refleksi atas dampaknya terhadap lingkungan. Menurut Supriatna (2016), ecopedagogy yang efektif harus menggabungkan antara pengetahuan kritis, empati sosial, dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal di Kotabumi tidak hanya membentuk siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter ekologis dan sosial. Nilai-nilai seperti gotong royong, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap alam menjadi landasan penting dalam pendidikan masa kini. Ecopedagogy berbasis budaya lokal menjembatani antara warisan leluhur dan tantangan modern, menjadikan pembelajaran IPS bukan sekadar ruang akademik, tetapi juga wahana pembentukan warga negara yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan bersama.
• Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
• Gadotti, M. (2010). Reorienting Education Practices towards Sustainability. Paris: UNESCO.
• Kahn, R. (2010). Critical Pedagogy, Ecoliteracy, and Planetary Crisis: The Ecopedagogy Movement. New York: Peter Lang.
• Supriatna, N. (2016). Ecopedagogy: Membangun Generasi Baru yang Kritis dan Peduli Lingkungan. Bandung: Rosda.
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• Wibisono, H., Damayantie, S., Syah, A., Suwarno, & Syani, M. (2021). Strategi Pelestarian Makna dan Fungsi Kearifan Lokal Nengah Nyappur pada Masyarakat Adat Lampung Selatan. Sosiologi: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 23(2), 226–243.
• Proceeding: Local Wisdom in Environmental Management in Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. (2021). Udayana University Press.
Untuk mengembangkan ecopedagogy, guru IPS perlu mengaitkan materi pelajaran dengan konteks lokal di mana siswa hidup. Pembelajaran IPS tidak cukup hanya berbicara tentang teori sosial, ekonomi, dan budaya secara abstrak, melainkan perlu dikaitkan dengan isu lingkungan nyata di sekitar mereka. Pendekatan kontekstual ini dapat diwujudkan melalui proyek berbasis lingkungan (project-based learning), studi lapangan, atau kegiatan sosial-lingkungan seperti penghijauan dan pengelolaan sampah. Menurut Gadotti (2010), ecopedagogy menuntut pendidikan yang humanistik sekaligus ekologis, yakni pendidikan yang mendorong siswa untuk bertindak nyata menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Di Indonesia, dalam penerapannya pengembangan ecopedagogy sangat relevan jika diintegrasikan dengan kearifan lokal (local wisdom) yang sudah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kearifan lokal mengandung nilai-nilai ekologis yang terbentuk melalui pengalaman kolektif dalam beradaptasi dan menjaga kelestarian alam. Seperti dijelaskan dalam Proceeding: Local Wisdom in Environmental Management in Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali (2021), tradisi lokal seperti sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis adat merupakan contoh nyata dari pendidikan lingkungan yang kontekstual dan berkelanjutan. Melalui pemanfaatan nilai-nilai lokal ini, guru dapat menjadikan pembelajaran IPS lebih bermakna, konkret, dan berakar pada budaya masyarakat setempat.
Di wilayah Kotabumi, Lampung Utara, kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPS antara lain adalah falsafah Piil Pesenggiri dan nilai Sakai Sambayan. Piil Pesenggiri mencerminkan nilai moral masyarakat Lampung yang menekankan tanggung jawab sosial, harga diri, dan kepedulian terhadap sesama, sedangkan Sakai Sambayan menggambarkan semangat gotong royong dan solidaritas kolektif. Kedua nilai ini sangat relevan dengan prinsip ecopedagogy, karena mendorong peserta didik untuk berpikir dan bertindak secara sosial dan ekologis, bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga tanggung jawab sosial bersama. Wibisono et al. (2021) menjelaskan bahwa nilai Sakai Sambayan dapat diterapkan dalam konteks pembelajaran IPS sebagai bentuk kerja sama dalam menjaga lingkungan, misalnya dalam kegiatan penghijauan sekolah atau pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Dalam masyarakat adat Lampung juga mengenal konsep Hulu Tulung, yaitu larangan adat untuk mengeksploitasi sumber air di hulu sungai. Konsep ini menunjukkan kesadaran ekologis tinggi terhadap pentingnya menjaga sumber daya air dan keberlanjutan ekosistem. Tradisi seperti ini dapat dijadikan bahan refleksi dalam pembelajaran IPS, terutama pada materi tentang interaksi manusia dengan lingkungan. Guru dapat mengajak siswa berdiskusi mengenai bagaimana nilai-nilai adat lokal dapat menjadi solusi terhadap masalah lingkungan modern seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran air. Dengan demikian, ecopedagogy berbasis kearifan lokal tidak hanya membangun pengetahuan kognitif, tetapi juga sikap dan tindakan ekologis yang berakar pada budaya sendiri (Suparmini & Rahayu, 2020).
Penerapan ecopedagogy di Kotabumi dapat dilakukan melalui beberapa langkah konkret. Pertama, guru mengaitkan isu-isu lingkungan lokal seperti penebangan liar, pengelolaan sampah, dan pencemaran sungai dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti Sakai Sambayan dan Hulu Tulung. Kedua, melibatkan siswa dalam proyek sosial-lingkungan yang menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap alam, seperti program “Sekolah Hijau Piil Pesenggiri”. Ketiga, mengintegrasikan pembelajaran berbasis aksi (action-based learning), di mana siswa melakukan kegiatan nyata dan refleksi atas dampaknya terhadap lingkungan. Menurut Supriatna (2016), ecopedagogy yang efektif harus menggabungkan antara pengetahuan kritis, empati sosial, dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi pengembangan ecopedagogy dalam pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal di Kotabumi tidak hanya membentuk siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter ekologis dan sosial. Nilai-nilai seperti gotong royong, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap alam menjadi landasan penting dalam pendidikan masa kini. Ecopedagogy berbasis budaya lokal menjembatani antara warisan leluhur dan tantangan modern, menjadikan pembelajaran IPS bukan sekadar ruang akademik, tetapi juga wahana pembentukan warga negara yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan bersama.
• Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
• Gadotti, M. (2010). Reorienting Education Practices towards Sustainability. Paris: UNESCO.
• Kahn, R. (2010). Critical Pedagogy, Ecoliteracy, and Planetary Crisis: The Ecopedagogy Movement. New York: Peter Lang.
• Supriatna, N. (2016). Ecopedagogy: Membangun Generasi Baru yang Kritis dan Peduli Lingkungan. Bandung: Rosda.
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• Wibisono, H., Damayantie, S., Syah, A., Suwarno, & Syani, M. (2021). Strategi Pelestarian Makna dan Fungsi Kearifan Lokal Nengah Nyappur pada Masyarakat Adat Lampung Selatan. Sosiologi: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 23(2), 226–243.
• Proceeding: Local Wisdom in Environmental Management in Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. (2021). Udayana University Press.
Tradisi Sasi merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat di Maluku dan Papua Barat yang berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga keseimbangan ekologi laut, hutan, dan kebun. Menurut Persada, Mangunjaya, & Tobing (2016), Sasi mengatur periode “tutup” (larangan pengambilan hasil alam) dan “buka” (izin pemanfaatan kembali) untuk memastikan regenerasi sumber daya alam secara alami. Sistem ini telah berperan penting menjaga ketersediaan ikan, hasil hutan, serta menjaga solidaritas sosial masyarakat adat.
Namun, penelitian Bolan & Juniartin (2024) menunjukkan bahwa generasi muda kini mulai memandang Sasi sebagai tradisi yang tidak ekonomis dan kurang relevan dengan gaya hidup modern. Tantangan globalisasi, urbanisasi, dan kebutuhan ekonomi instan membuat nilai konservasi dalam Sasi mulai diabaikan. Karena itu, revitalisasi Sasi perlu dilakukan dengan pendekatan kreatif dan kontekstual.
1. Langkah-langkah kreatif untuk menjaga relevansi tradisi “Sasi”
1. Digitalisasi dan dokumentasi budaya.
Mengikuti saran dari Multivocal Responses to Conservation in Maluku (2024), dokumentasi tradisi Sasi melalui media digital (film pendek, podcast, atau konten edukatif) dapat menarik perhatian generasi muda. Dengan teknologi, kisah-kisah adat bisa dipublikasikan ke platform daring sebagai warisan budaya sekaligus alat edukasi lingkungan.
2. Integrasi Sasi dalam pendidikan formal dan nonformal.
Bolan & Juniartin (2024) menekankan bahwa nilai-nilai Sasi—seperti disiplin ekologis, kesadaran sosial, dan tanggung jawab kolektif—dapat diintegrasikan ke dalam pendidikan sekolah melalui kegiatan lingkungan dan pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning). Langkah ini akan menumbuhkan kesadaran ekologis sejak dini.
3. Festival dan pariwisata budaya Sasi.
Berdasarkan Harkes (2002), kekuatan Sasi terletak pada peran sosial dan ritualnya. Oleh karena itu, menghadirkan Sasi Festival tahunan yang menampilkan ritual buka-tutup laut dapat memperkuat rasa bangga terhadap identitas lokal dan menarik wisatawan untuk belajar tentang konservasi tradisional.
4. Kolaborasi adat dan akademisi.
Menurut Sahusilawane et al. (2023), pelestarian Sasi perlu melibatkan universitas dan lembaga penelitian. Kolaborasi ini memungkinkan pemetaan kawasan Sasi berbasis GIS, penelitian biodiversitas, dan pengukuran dampak ekologis yang bisa memperkuat legitimasi tradisi di mata pemerintah dan masyarakat luas.
2. Menggabungkan Kearifan Lokal Sasi dengan Pemberdayaan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan
Penerapan Sasi tidak hanya berfungsi ekologis, tetapi juga memiliki potensi ekonomi yang besar bila dikelola secara inovatif dan berkelanjutan.
1. Ekowisata berbasis Sasi.
Kawasan laut dan hutan yang dilindungi Sasi dapat dijadikan destinasi ekowisata edukatif, di mana wisatawan diajak untuk melihat proses buka-tutup Sasi dan belajar tentang konservasi berbasis adat. Pendekatan ini terbukti efektif meningkatkan ekonomi lokal tanpa merusak lingkungan (Persada et al., 2016; Harkes, 2002).
2. Pengembangan produk lokal pasca-Sasi.
Setelah masa larangan berakhir, hasil laut dan hutan yang dipanen dapat diolah menjadi produk bernilai tambah seperti ikan asap, madu hutan, atau minyak kelapa organik. Bolan & Juniartin (2024) menunjukkan bahwa model green entrepreneurship berbasis adat mampu meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa mengorbankan kelestarian sumber daya alam.
3. Koperasi adat hijau (Green Cooperative).
Mengacu pada Sahusilawane et al. (2023), pengelolaan hasil Sasi secara kolektif melalui koperasi adat dapat menjaga prinsip keadilan sosial dan mencegah eksploitasi. Dana hasil penjualan dapat digunakan untuk kegiatan konservasi, pendidikan lingkungan, dan bantuan sosial desa.
4. Skema insentif ekologi.
Pemerintah daerah atau lembaga donor dapat memberikan eco-incentives bagi kelompok penjaga Sasi yang berhasil menjaga kelestarian kawasan. Ini sejalan dengan pendekatan Payment for Environmental Services (PES) yang banyak diterapkan di kawasan konservasi Asia Tenggara (Harkes, 2002).
Jadi kesimpulannya bahwa Revitalisasi Sasi membutuhkan perpaduan antara inovasi modern dan nilai tradisional. Dengan mendigitalisasi tradisi, melibatkan generasi muda, mengembangkan ekonomi hijau berbasis adat, serta memperkuat kolaborasi antara lembaga adat dan akademik, Sasi dapat menjadi model nyata pelestarian lingkungan berbasis kearifan lokal yang relevan di abad ke-21.
Tradisi ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terutama poin 12 (Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan), poin 14 (Kehidupan di Bawah Laut), dan poin 15 (Ekosistem Daratan). Dengan demikian, Sasi bukan hanya warisan budaya, tetapi juga strategi ekologis dan ekonomi yang berkelanjutan.
• Bolan, N., & Juniartin, J. (2024). The Role of the Sasi Tradition in Supporting Environmental Conservation and Developing Character Love the Environment. International Journal of Education, Information Technology, and Others, 7(4), 205-212. https://jurnal.peneliti.net/index.php/IJEIT/article/download/11140/7417
• Persada, N. P. R., Mangunjaya, F., & Tobing, I. S. L. (2016). Sasi sebagai budaya konservasi sumber daya alam di Kepulauan Maluku. Jurnal Ilmu Budaya, 41(59). https://journal.unas.ac.id/ilmu-budaya/article/view/453
• Harkes, I. (2002). Presence, performance and institutional resilience of sasi, a traditional management institution in Central Maluku, Indonesia. Ocean & Coastal Management, 45(4–5), 237-260. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0964569102000571
• Sahusilawane, M. M., Sunardi, & Iskandar, J. (2023). Implementation of Sasi which impact on the sustainability of ecosystem services in Maluku. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/378434851
• Multivocal Responses to Conservation in Maluku Province, Indonesia. (2024). Sustainability: Science, Practice & Policy. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/sjtg.12554
Namun, penelitian Bolan & Juniartin (2024) menunjukkan bahwa generasi muda kini mulai memandang Sasi sebagai tradisi yang tidak ekonomis dan kurang relevan dengan gaya hidup modern. Tantangan globalisasi, urbanisasi, dan kebutuhan ekonomi instan membuat nilai konservasi dalam Sasi mulai diabaikan. Karena itu, revitalisasi Sasi perlu dilakukan dengan pendekatan kreatif dan kontekstual.
1. Langkah-langkah kreatif untuk menjaga relevansi tradisi “Sasi”
1. Digitalisasi dan dokumentasi budaya.
Mengikuti saran dari Multivocal Responses to Conservation in Maluku (2024), dokumentasi tradisi Sasi melalui media digital (film pendek, podcast, atau konten edukatif) dapat menarik perhatian generasi muda. Dengan teknologi, kisah-kisah adat bisa dipublikasikan ke platform daring sebagai warisan budaya sekaligus alat edukasi lingkungan.
2. Integrasi Sasi dalam pendidikan formal dan nonformal.
Bolan & Juniartin (2024) menekankan bahwa nilai-nilai Sasi—seperti disiplin ekologis, kesadaran sosial, dan tanggung jawab kolektif—dapat diintegrasikan ke dalam pendidikan sekolah melalui kegiatan lingkungan dan pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning). Langkah ini akan menumbuhkan kesadaran ekologis sejak dini.
3. Festival dan pariwisata budaya Sasi.
Berdasarkan Harkes (2002), kekuatan Sasi terletak pada peran sosial dan ritualnya. Oleh karena itu, menghadirkan Sasi Festival tahunan yang menampilkan ritual buka-tutup laut dapat memperkuat rasa bangga terhadap identitas lokal dan menarik wisatawan untuk belajar tentang konservasi tradisional.
4. Kolaborasi adat dan akademisi.
Menurut Sahusilawane et al. (2023), pelestarian Sasi perlu melibatkan universitas dan lembaga penelitian. Kolaborasi ini memungkinkan pemetaan kawasan Sasi berbasis GIS, penelitian biodiversitas, dan pengukuran dampak ekologis yang bisa memperkuat legitimasi tradisi di mata pemerintah dan masyarakat luas.
2. Menggabungkan Kearifan Lokal Sasi dengan Pemberdayaan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan
Penerapan Sasi tidak hanya berfungsi ekologis, tetapi juga memiliki potensi ekonomi yang besar bila dikelola secara inovatif dan berkelanjutan.
1. Ekowisata berbasis Sasi.
Kawasan laut dan hutan yang dilindungi Sasi dapat dijadikan destinasi ekowisata edukatif, di mana wisatawan diajak untuk melihat proses buka-tutup Sasi dan belajar tentang konservasi berbasis adat. Pendekatan ini terbukti efektif meningkatkan ekonomi lokal tanpa merusak lingkungan (Persada et al., 2016; Harkes, 2002).
2. Pengembangan produk lokal pasca-Sasi.
Setelah masa larangan berakhir, hasil laut dan hutan yang dipanen dapat diolah menjadi produk bernilai tambah seperti ikan asap, madu hutan, atau minyak kelapa organik. Bolan & Juniartin (2024) menunjukkan bahwa model green entrepreneurship berbasis adat mampu meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa mengorbankan kelestarian sumber daya alam.
3. Koperasi adat hijau (Green Cooperative).
Mengacu pada Sahusilawane et al. (2023), pengelolaan hasil Sasi secara kolektif melalui koperasi adat dapat menjaga prinsip keadilan sosial dan mencegah eksploitasi. Dana hasil penjualan dapat digunakan untuk kegiatan konservasi, pendidikan lingkungan, dan bantuan sosial desa.
4. Skema insentif ekologi.
Pemerintah daerah atau lembaga donor dapat memberikan eco-incentives bagi kelompok penjaga Sasi yang berhasil menjaga kelestarian kawasan. Ini sejalan dengan pendekatan Payment for Environmental Services (PES) yang banyak diterapkan di kawasan konservasi Asia Tenggara (Harkes, 2002).
Jadi kesimpulannya bahwa Revitalisasi Sasi membutuhkan perpaduan antara inovasi modern dan nilai tradisional. Dengan mendigitalisasi tradisi, melibatkan generasi muda, mengembangkan ekonomi hijau berbasis adat, serta memperkuat kolaborasi antara lembaga adat dan akademik, Sasi dapat menjadi model nyata pelestarian lingkungan berbasis kearifan lokal yang relevan di abad ke-21.
Tradisi ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terutama poin 12 (Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan), poin 14 (Kehidupan di Bawah Laut), dan poin 15 (Ekosistem Daratan). Dengan demikian, Sasi bukan hanya warisan budaya, tetapi juga strategi ekologis dan ekonomi yang berkelanjutan.
• Bolan, N., & Juniartin, J. (2024). The Role of the Sasi Tradition in Supporting Environmental Conservation and Developing Character Love the Environment. International Journal of Education, Information Technology, and Others, 7(4), 205-212. https://jurnal.peneliti.net/index.php/IJEIT/article/download/11140/7417
• Persada, N. P. R., Mangunjaya, F., & Tobing, I. S. L. (2016). Sasi sebagai budaya konservasi sumber daya alam di Kepulauan Maluku. Jurnal Ilmu Budaya, 41(59). https://journal.unas.ac.id/ilmu-budaya/article/view/453
• Harkes, I. (2002). Presence, performance and institutional resilience of sasi, a traditional management institution in Central Maluku, Indonesia. Ocean & Coastal Management, 45(4–5), 237-260. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0964569102000571
• Sahusilawane, M. M., Sunardi, & Iskandar, J. (2023). Implementation of Sasi which impact on the sustainability of ecosystem services in Maluku. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/378434851
• Multivocal Responses to Conservation in Maluku Province, Indonesia. (2024). Sustainability: Science, Practice & Policy. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/sjtg.12554
Masyarakat adat Lampung, termasuk yang berada di Kotabumi dan wilayah sekitarnya di Kabupaten Lampung Utara, telah lama hidup dengan sistem nilai budaya yang berakar kuat pada harmoni dengan alam. Falsafah hidup mereka, yang dikenal dengan Piil Pesenggiri, menjadi pandangan hidup yang menekankan keseimbangan antara manusia, sesama, dan lingkungan. Nilai-nilai seperti juluk adek (harga diri/identitas diri), nemui nyimah (keramahan dan sikap terbuka), nengah nyappur (partisipasi sosial yang inklusif), dan sakai sambayan (gotong-royong dan solidaritas) membentuk perilaku kolektif masyarakat dalam menjaga hubungan sosial sekaligus kelestarian alam sekitar (Wibisono et al., 2021).
Nilai sakai sambayan memiliki relevansi ekologis yang tinggi. Konsep gotong-royong tidak hanya dimaknai sebagai kerja sosial, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab bersama terhadap kebersihan kampung, pelestarian hutan, serta perlindungan sumber air. Di beberapa pekon atau kampung adat di Lampung, kegiatan seperti nyalau (bersih-bersih sawah dan saluran air) masih dilakukan secara bersama-sama sebagai simbol penghormatan terhadap tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan. Praktik ini mencerminkan kesadaran ekologis yang berbasis budaya lokal (Suparmini & Rahayu, 2020).
Selain itu, dikenal pula konsep “Hulu Tulung”, yakni kawasan hulu atau sumber mata air yang dianggap sakral dan dijaga melalui pantangan adat. Di beberapa wilayah Lampung Barat dan Lampung Utara, kawasan ini dilindungi dari aktivitas merambah, membakar, atau menebang pohon secara sembarangan. Konsep Hulu Tulung menunjukkan bahwa masyarakat adat Lampung memahami pentingnya menjaga “kepala” (sumber) air bagi keberlanjutan hidup. Hal ini sejalan dengan penelitian Lubis (2021) yang menjelaskan bahwa masyarakat lokal di Lampung memiliki kearifan dalam menjaga mata air melalui mekanisme sosial dan keagamaan yang melarang perusakan kawasan hulu.
Dalam pembangunan berkelanjutan, praktik-praktik tersebut memiliki kontribusi nyata dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama tujuan ke-13 (Penanganan Perubahan Iklim), ke-15 (Ekosistem Daratan), dan ke-11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan). Pemerintah Indonesia, melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Aksi Nasional SDGs 2020–2030, juga menegaskan pentingnya integrasi kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup (Kementerian PPN/Bappenas, 2020).
Upaya pelestarian lingkungan di tingkat lokal juga didukung oleh kebijakan nasional dan global seperti gerakan GreenMetric yang dipelopori oleh Universitas Indonesia. Gerakan ini menilai dan mendorong perguruan tinggi untuk menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan, seperti penghematan energi, konservasi air, dan pengelolaan sampah terpadu. Spirit GreenMetric sejalan dengan nilai Piil Pesenggiri dan sakai sambayan, karena keduanya menekankan tanggung jawab kolektif dan moral untuk menjaga bumi. Dengan demikian, gerakan ramah lingkungan di dunia pendidikan dapat memperkuat kesadaran ekologis masyarakat melalui pendekatan berbasis budaya lokal (UI GreenMetric, 2023).
Pemberdayaan masyarakat lokal di Kotabumi dapat difokuskan pada tiga aspek utama:
1. Edukasi lingkungan berbasis budaya lokal, yaitu mengintegrasikan nilai Piil Pesenggiri dan sakai sambayan dalam pembelajaran sekolah serta kegiatan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
2. Ekonomi hijau berbasis kearifan lokal, seperti pengembangan pertanian organik, agroforestri (repong damar), dan kerajinan dari bahan alam yang berkelanjutan.
3. Kelembagaan sosial ekologis, yaitu memperkuat peran lembaga adat, kelompok tani, dan komunitas muda sebagai agen pelestari lingkungan.
Dapat disimpulkan bahwa sinergi antara kearifan lokal masyarakat Lampung dan gerakan global seperti GreenMetric menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab teknokratis, tetapi juga moral dan budaya. Kesadaran ekologis masyarakat akan tumbuh kuat bila nilai adat dan program pembangunan berkelanjutan saling mendukung, menjadikan manusia tidak sekadar pengguna alam, tetapi penjaga dan pewaris bumi bagi generasi mendatang.
Daftar Pustaka
• Fardiansyah, A. I., Maroni, M., Gustiniati, D., & Susanti, E. (2022). Kearifan lokal masyarakat adat Lampung menanggulangi tindak pidana illegal logging. Bina Hukum Lingkungan, 6(3), 335–350. https://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/220
• Kementerian PPN/Bappenas. (2020). Roadmap SDGs Indonesia 2020–2030. Jakarta: Bappenas.
• Lubis, M. R. (2021). Kearifan lokal dalam pengelolaan mata air di Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Jurnal Hutan Tropis, 9(2), 85–95. https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jht/article/view/5109
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• UI GreenMetric World University Rankings. (2023). About UI GreenMetric. Universitas Indonesia. https://greenmetric.ui.ac.id
• Wibisono, H., Damayantie, S., Syah, A., Suwarno, & Syani, M. (2021). Strategi pelestarian makna dan fungsi kearifan lokal Nengah Nyappur pada Masyarakat Adat Marga Legun Paksi Bulok, Kalianda, Lampung Selatan. Sosiologi: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 23(2), 226–243. https://jurnalsosiologi.fisip.unila.ac.id
Nilai sakai sambayan memiliki relevansi ekologis yang tinggi. Konsep gotong-royong tidak hanya dimaknai sebagai kerja sosial, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab bersama terhadap kebersihan kampung, pelestarian hutan, serta perlindungan sumber air. Di beberapa pekon atau kampung adat di Lampung, kegiatan seperti nyalau (bersih-bersih sawah dan saluran air) masih dilakukan secara bersama-sama sebagai simbol penghormatan terhadap tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan. Praktik ini mencerminkan kesadaran ekologis yang berbasis budaya lokal (Suparmini & Rahayu, 2020).
Selain itu, dikenal pula konsep “Hulu Tulung”, yakni kawasan hulu atau sumber mata air yang dianggap sakral dan dijaga melalui pantangan adat. Di beberapa wilayah Lampung Barat dan Lampung Utara, kawasan ini dilindungi dari aktivitas merambah, membakar, atau menebang pohon secara sembarangan. Konsep Hulu Tulung menunjukkan bahwa masyarakat adat Lampung memahami pentingnya menjaga “kepala” (sumber) air bagi keberlanjutan hidup. Hal ini sejalan dengan penelitian Lubis (2021) yang menjelaskan bahwa masyarakat lokal di Lampung memiliki kearifan dalam menjaga mata air melalui mekanisme sosial dan keagamaan yang melarang perusakan kawasan hulu.
Dalam pembangunan berkelanjutan, praktik-praktik tersebut memiliki kontribusi nyata dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama tujuan ke-13 (Penanganan Perubahan Iklim), ke-15 (Ekosistem Daratan), dan ke-11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan). Pemerintah Indonesia, melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Aksi Nasional SDGs 2020–2030, juga menegaskan pentingnya integrasi kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup (Kementerian PPN/Bappenas, 2020).
Upaya pelestarian lingkungan di tingkat lokal juga didukung oleh kebijakan nasional dan global seperti gerakan GreenMetric yang dipelopori oleh Universitas Indonesia. Gerakan ini menilai dan mendorong perguruan tinggi untuk menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan, seperti penghematan energi, konservasi air, dan pengelolaan sampah terpadu. Spirit GreenMetric sejalan dengan nilai Piil Pesenggiri dan sakai sambayan, karena keduanya menekankan tanggung jawab kolektif dan moral untuk menjaga bumi. Dengan demikian, gerakan ramah lingkungan di dunia pendidikan dapat memperkuat kesadaran ekologis masyarakat melalui pendekatan berbasis budaya lokal (UI GreenMetric, 2023).
Pemberdayaan masyarakat lokal di Kotabumi dapat difokuskan pada tiga aspek utama:
1. Edukasi lingkungan berbasis budaya lokal, yaitu mengintegrasikan nilai Piil Pesenggiri dan sakai sambayan dalam pembelajaran sekolah serta kegiatan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
2. Ekonomi hijau berbasis kearifan lokal, seperti pengembangan pertanian organik, agroforestri (repong damar), dan kerajinan dari bahan alam yang berkelanjutan.
3. Kelembagaan sosial ekologis, yaitu memperkuat peran lembaga adat, kelompok tani, dan komunitas muda sebagai agen pelestari lingkungan.
Dapat disimpulkan bahwa sinergi antara kearifan lokal masyarakat Lampung dan gerakan global seperti GreenMetric menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab teknokratis, tetapi juga moral dan budaya. Kesadaran ekologis masyarakat akan tumbuh kuat bila nilai adat dan program pembangunan berkelanjutan saling mendukung, menjadikan manusia tidak sekadar pengguna alam, tetapi penjaga dan pewaris bumi bagi generasi mendatang.
Daftar Pustaka
• Fardiansyah, A. I., Maroni, M., Gustiniati, D., & Susanti, E. (2022). Kearifan lokal masyarakat adat Lampung menanggulangi tindak pidana illegal logging. Bina Hukum Lingkungan, 6(3), 335–350. https://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/220
• Kementerian PPN/Bappenas. (2020). Roadmap SDGs Indonesia 2020–2030. Jakarta: Bappenas.
• Lubis, M. R. (2021). Kearifan lokal dalam pengelolaan mata air di Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Jurnal Hutan Tropis, 9(2), 85–95. https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jht/article/view/5109
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• UI GreenMetric World University Rankings. (2023). About UI GreenMetric. Universitas Indonesia. https://greenmetric.ui.ac.id
• Wibisono, H., Damayantie, S., Syah, A., Suwarno, & Syani, M. (2021). Strategi pelestarian makna dan fungsi kearifan lokal Nengah Nyappur pada Masyarakat Adat Marga Legun Paksi Bulok, Kalianda, Lampung Selatan. Sosiologi: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 23(2), 226–243. https://jurnalsosiologi.fisip.unila.ac.id
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan upaya terpadu untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam konteks Indonesia dan dunia, konsep ini menjadi fondasi utama dalam mencapai keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Menurut United Nations Environment Programme (UNEP, 2021) dalam laporan Making Peace with Nature, pembangunan berkelanjutan menuntut transformasi sistem ekonomi dan sosial menuju arah yang lebih hijau serta berbasis pada konservasi sumber daya alam dan pengurangan polusi.
Di Indonesia, implementasi pembangunan berkelanjutan tercermin melalui berbagai kebijakan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) serta partisipasi dalam Agenda 2030 untuk Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu wujud konkret di bidang pendidikan tinggi adalah UI GreenMetric World University Rankings, sebuah inisiatif global yang mengukur komitmen universitas terhadap lingkungan melalui aspek pengelolaan energi, limbah, air, transportasi, dan pendidikan berkelanjutan. Gerakan GreenMetric ini secara langsung relevan dengan pembangunan berkelanjutan karena menumbuhkan budaya ramah lingkungan di lingkungan akademik dan masyarakat luas, serta mendorong partisipasi aktif dalam mitigasi perubahan iklim dan pelestarian ekosistem.
Upaya GreenMetric juga berfungsi sebagai katalis dalam menumbuhkan kesadaran ekologis masyarakat. Melalui pendidikan lingkungan, kegiatan riset hijau, serta penerapan prinsip green campus, masyarakat akademik diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang menerapkan gaya hidup berkelanjutan. Sejalan dengan UNEP (2021), kesadaran ekologis ini merupakan komponen penting dalam “membuat perdamaian dengan alam” — di mana manusia tidak lagi memposisikan diri sebagai penakluk alam, melainkan sebagai bagian yang harus hidup harmonis dengannya.
Semangat GreenMetric dan pembangunan berkelanjutan dalam konteks lokal dapat diperkuat dengan menggali nilai-nilai kearifan lokal, seperti adat dan budaya Lampung di Kotabumi yang menekankan prinsip piil pesenggiri (harga diri dan tanggung jawab sosial) dan nemui nyimah (sikap terbuka dan saling menghargai). Nilai-nilai ini dapat diterjemahkan dalam bentuk perilaku menjaga lingkungan, seperti pengelolaan sumber air secara gotong royong, pelestarian hutan adat, dan penghormatan terhadap tanah leluhur sebagai bagian dari identitas budaya. Integrasi nilai-nilai lokal ini selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pelestarian lingkungan dan penguatan ketahanan ekologi daerah.
Daftar Pustaka:
• United Nations Environment Programme. (2021). Making Peace with Nature: A scientific blueprint to tackle the climate, biodiversity and pollution emergencies. Nairobi: UNEP. https://www.unep.org/resources/making-peace-nature
• Kementerian PPN/Bappenas. (2020). Roadmap SDGs Indonesia 2020–2030. Jakarta: Bappenas.
• UI GreenMetric World University Rankings. (2023). About UI GreenMetric. Universitas Indonesia. https://greenmetric.ui.ac.id
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Di Indonesia, implementasi pembangunan berkelanjutan tercermin melalui berbagai kebijakan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) serta partisipasi dalam Agenda 2030 untuk Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu wujud konkret di bidang pendidikan tinggi adalah UI GreenMetric World University Rankings, sebuah inisiatif global yang mengukur komitmen universitas terhadap lingkungan melalui aspek pengelolaan energi, limbah, air, transportasi, dan pendidikan berkelanjutan. Gerakan GreenMetric ini secara langsung relevan dengan pembangunan berkelanjutan karena menumbuhkan budaya ramah lingkungan di lingkungan akademik dan masyarakat luas, serta mendorong partisipasi aktif dalam mitigasi perubahan iklim dan pelestarian ekosistem.
Upaya GreenMetric juga berfungsi sebagai katalis dalam menumbuhkan kesadaran ekologis masyarakat. Melalui pendidikan lingkungan, kegiatan riset hijau, serta penerapan prinsip green campus, masyarakat akademik diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang menerapkan gaya hidup berkelanjutan. Sejalan dengan UNEP (2021), kesadaran ekologis ini merupakan komponen penting dalam “membuat perdamaian dengan alam” — di mana manusia tidak lagi memposisikan diri sebagai penakluk alam, melainkan sebagai bagian yang harus hidup harmonis dengannya.
Semangat GreenMetric dan pembangunan berkelanjutan dalam konteks lokal dapat diperkuat dengan menggali nilai-nilai kearifan lokal, seperti adat dan budaya Lampung di Kotabumi yang menekankan prinsip piil pesenggiri (harga diri dan tanggung jawab sosial) dan nemui nyimah (sikap terbuka dan saling menghargai). Nilai-nilai ini dapat diterjemahkan dalam bentuk perilaku menjaga lingkungan, seperti pengelolaan sumber air secara gotong royong, pelestarian hutan adat, dan penghormatan terhadap tanah leluhur sebagai bagian dari identitas budaya. Integrasi nilai-nilai lokal ini selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pelestarian lingkungan dan penguatan ketahanan ekologi daerah.
Daftar Pustaka:
• United Nations Environment Programme. (2021). Making Peace with Nature: A scientific blueprint to tackle the climate, biodiversity and pollution emergencies. Nairobi: UNEP. https://www.unep.org/resources/making-peace-nature
• Kementerian PPN/Bappenas. (2020). Roadmap SDGs Indonesia 2020–2030. Jakarta: Bappenas.
• UI GreenMetric World University Rankings. (2023). About UI GreenMetric. Universitas Indonesia. https://greenmetric.ui.ac.id
• Suparmini, S., & Rahayu, S. (2020). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.