Posts made by Hafizh Abdoel Ghofar

NAMA: Hafizh Abdoel Ghofar
NPM:2415061076
Kelas: PSTI C

Video itu mengulas perjalanan demokrasi Indonesia dari waktu ke waktu. Diawali masa revolusi kemerdekaan, ketika praktik demokrasi masih sangat sederhana, kemudian memasuki era demokrasi parlementer (1945–1959) yang sering disebut masa keemasan, karena hampir semua lembaga demokrasi berjalan. Namun sayangnya, fase itu kandas—faksi-faksi politik bertikai, faktor ekonomi lemah, dan benturan kepentingan antara Soekarno dan militer. Lalu datang demokrasi terpimpin (1959–1965), diwarnai ketegangan antara Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Saat Orde Baru, awalnya tampak ada upaya berbagi kekuasaan, tapi lama‑lama militer jadi penguasa utama, membatasi partai politik dan ruang publik. Sejak reformasi 1998, demokrasi Pancasila dihidupkan kembali—ada kemiripan dengan periode parlementer dan Orde Baru—namun hingga kini Indonesia masih terus mencari identitas demokrasi yang pas.
Nama: Hafizh Abdoel Ghofar
NPM: 2415061076
Kelas: PSTI C

1. Kenapa Sila Ke-4 Penting di Pilkada?
Pancasila itu rumah kita bersama, dan sila ke-4—“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”—seharusnya terasa banget saat kita memilih pemimpin daerah. Artinya, rakyat ngobrol bareng (musyawarah), cari jalan tengah (mufakat), lalu ikuti keputusan secara jujur.

2. Apa yang Terjadi di Lapangan?
• Proses Pemilihan: Secara aturan, kepala daerah sekarang dipilih langsung rakyat setiap lima tahun sekali, dengan prinsip “langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil.” Tapi praktiknya, calon independen—artinya maju tanpa partai—sulit banget lolos karena butuh dukungan 6,5–10% pemilih Demokrasi sebagai Wjud Sila Ke-4.pdf](file-service://file-MymyTvnjNWXuVfMqMYBXSS).
• Partisipasi Rakyat: Seharusnya semua senang ikut milih, tapi kenyataannya banyak yang golput. Padahal, ini momen warga menunjukkan suaranya.
• Kampanye & Medsos: Media sosial jadi ajang kampanye, tapi sayangnya malah banjir hoaks dan ujaran kebencian, bukan diskusi yang santai dan informatif.
• Politik Uang & Mahar: Banyak calon masih pakai “mahar politik”—bayar sana-sini—padahal mestinya semangatnya musyawarah untuk kepentingan bersama, bukan transaksi rahasia.
• Demokrasi di Parpol: Ide partai politik itu katanya wadah kaderisasi, tapi sering kali calon ditunjuk langsung oleh ketua umum tanpa proses pemilihan internal. Jadinya, calon berutang budi dan lebih “ngikut” partai ketimbang aspirasi rakyat.

3. Jadinya, Apa yang Salah?
• Sila ke-4 mestinya hidup di pilkada. Kita butuh forum-forum diskusi—misalnya debat terbuka—bukan cuma kampanye tunggang-menunggang.
• Sistem terlalu “curam” buat calon independen, padahal itu wujud kedaulatan rakyat.
• Parpol belum ada hukuman kalau internalnya otoriter; di negara lain, partai yang anti-demokrasi malah bisa dibubarkan.

4. Saran Biar Lebih “Pancasila”
1. Turunkan Batas Dukungan Independen supaya siapapun yang punya ide segar bisa berkompetisi.
2. Sanksi Partai Anti-Demokrasi, misal denda atau pembekuan, kalau internalnya nyelonong tanpa asas musyawarah.
3. Perbanyak Forum Musyawarah—kPU, pemerintah daerah, kampus, LSM—bikin ruang publik tempat warga ngobrol sebelum pilkada.
4. Edukasi Medsos: Ajak teman-teman sadar hoaks, cek fakta dulu, jangan asal share.
5. Awasi Politik Uang lebih ketat: laporkan cepat ke Bawaslu, pakai kamera atau aplikasi pengaduan.

Intinya, pilkada kita masih setengah jalan dalam menerapkan sila ke-4 Pancasila. Kalau semua elemen—rakyat, partai, penyelenggara, media—bisa main jujur dan terbuka, baru deh musyawarah mufakat itu tak sekadar jargon, tapi nyata terasa.
NAMA: Hafizh Abdoel Ghofar
NPM: 2415061076
Kelas: PSTI C

Gambaran Umum
Tulisan ini membahas bagaimana pelaksanaan Pilpres 2019 di Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi kita masih punya banyak PR. Meski kita sudah beberapa kali menggelar pemilu langsung, ternyata kualitas demokrasi kita belum sepenuhnya matang. Terutama terlihat dari lemahnya lembaga-lembaga penopang demokrasi seperti partai politik, masyarakat sipil, dan media.

Masalah Utama
Pemilu 2019 diwarnai berbagai masalah. Dari polarisasi masyarakat yang makin tajam, politisasi identitas dan agama, hingga rendahnya kepercayaan publik terhadap hasil pemilu. Bahkan, setelah hasil diumumkan, terjadi kerusuhan karena salah satu kandidat tidak menerima hasilnya dan membawa perkara ini ke Mahkamah Konstitusi.

Demokrasi Masih Terjebak Prosedur
Selama ini kita seolah hanya menjalankan demokrasi sebagai ritual: ada pemilu, ada kampanye, lalu ada penghitungan suara. Tapi di balik itu, nilai-nilai demokrasi seperti keterbukaan, keadilan, dan rasa saling percaya belum benar-benar hidup. Demokrasi kita masih bersifat prosedural, belum sampai pada esensinya.

Peran Parpol Masih Lemah
Partai politik seharusnya jadi tulang punggung demokrasi. Tapi kenyataannya banyak partai justru gagal menyiapkan kader yang layak. Sebaliknya, banyak yang mengandalkan artis demi menarik suara. Platform partai pun seringkali tidak jelas, bahkan rakyat baru “diingat” saat musim kampanye.

Politisasi Birokrasi dan Ketidaknetralan ASN
Tulisan ini juga menyoroti birokrasi yang seharusnya netral, malah sering ditarik-tarik ke dalam politik praktis. Pejabat publik kadang ikut jadi tim sukses, ASN ikut kampanye, dan fasilitas negara digunakan untuk kepentingan politik. Ini jelas mencederai prinsip demokrasi yang adil.

Polarisasi dan Perpecahan Sosial
Salah satu akibat dari kampanye politik yang tajam adalah masyarakat jadi terbelah. Istilah seperti “cebong” dan “kampret” muncul dan memperburuk suasana. Selain itu, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial memperkeruh keadaan.

Kesimpulan
Secara keseluruhan, tulisan ini menyimpulkan bahwa Pilpres 2019 belum berhasil memperkuat demokrasi Indonesia. Banyak aktor politik yang masih mengedepankan kepentingan sempit dan mengabaikan nilai-nilai demokrasi substansial. Konsolidasi demokrasi hanya bisa terjadi kalau semua pihak—mulai dari parpol, birokrasi, penyelenggara pemilu, hingga masyarakat sipil—bisa menjalankan perannya secara jujur dan bertanggung jawab. Jika tidak, maka kepercayaan publik akan terus menurun dan demokrasi kita hanya akan jadi formalitas belaka.

Nama: Hafizh Abdoel Ghofar

NPM: 2415061076

Kelas: PSTI C


Analisis tentang video

  • Demokrasi itu gaduh dan berisik: Video menekankan bahwa demokrasi memang secara alami penuh dengan keributan, perdebatan, dan ketidaksepakatan. Hal ini merupakan bagian normal dari proses demokrasi di mana orang bebas menyampaikan pendapat yang beragam.
  • Pentingnya demokrasi prosedural:Meskipun gaduh, yang terpenting adalah proses demokrasi tetap berjalan sesuai prosedur tanpa korupsi atau pelanggaran aturan.
  • Ranking demokrasi Indonesia: Video menyebutkan bahwa peringkat demokrasi Indonesia menurut Freedom House menurun dari status "full free" pada 2013 menjadi lebih rendah, yang menunjukkan adanya tantangan dalam kualitas demokrasi.
  • Tantangan demokrasi global: Bahkan negara demokrasi mapan seperti Amerika Serikat juga mengalami penurunan peringkat demokrasi, menandakan bahwa masalah demokrasi terjadi di berbagai negara.
  • Pesan utama: Keributan dalam demokrasi adalah tanda partisipasi aktif masyarakat, tetapi menjaga integritas prosedural sangat penting agar keributan tidak berubah menjadi kekacauan yang merugikan.


Nama: Hafizh Abdoel Ghofar
Kelas: PSTI-C
NPM: 2415061076

Video ini menjelaskan peristiwa penting yang terjadi selama akhir Perang Dunia II, khususnya pemboman atom di Hiroshima dan Nagasaki, dan dampaknya terhadap kemerdekaan Indonesia. Berikut adalah analisis dari video tersebut:

1. Konteks Sejarah: Video ini mengawali dengan menjelaskan latar belakang Perang Dunia II, termasuk serangan Jepang terhadap Pearl Harbor yang memicu keterlibatan negara-negara lain dalam perang tersebut.

2. Pemboman Hiroshima dan Nagasaki:
- Pemboman di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 menjadi titik balik dalam perang. Hiroshima mengalami kerugian besar dengan sekitar 140.000 jiwa melayang, sementara Nagasaki menewaskan sekitar 70.000 orang.
- Dampak dari pemboman ini sangat besar, tidak hanya bagi Jepang tetapi juga bagi dinamika geopolitik di Asia.

3. Penyerahan Jepang:
- Penyerahan Jepang pada 15 Agustus 1945 setelah pemboman adalah momen krusial yang mengakhiri perang di Pasifik. Penyerahan ini menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia.

4. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia:
- Video menunjukkan betapa kekalahan Jepang dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Ini menandai awal dari perubahan besar dalam sejarah Indonesia dan Asia Tenggara.

5. Pentingnya Momen Tersebut:
- Peristiwa ini tidak hanya mengubah arah sejarah Jepang dan dunia, tetapi juga memberikan inspirasi bagi negara-negara lain yang ingin merdeka.

Secara keseluruhan, video ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana dua pemboman nuklir tersebut tidak hanya mempengaruhi Jepang, tetapi juga membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia, menciptakan momen yang sangat signifikan dalam sejarah dunia.