གནས་བསྐྱོད་བཟོ་མི་ Aura Liyanti

TA C2025 -> CASE STUDY 2

Aura Liyanti གིས-
Nama : Aura Liyanti Fani
NPM : 2413031089

1. Dalam pendekatan tradisional, penilaian fair value dilakukan menggunakan metode yang diakui dalam teori dan praktik akuntansi, seperti market approach, income approach, dan cost approach. Pendekatan ini menekankan penilaian profesional dari penilai atau manajemen, dengan asumsi bahwa akuntan mampu menafsirkan data pasar dan memilih asumsi yang paling relevan. Dari perspektif teori akuntansi normatif, pendekatan tradisional dianggap lebih bertanggung jawab karena auditor dapat melacak, menjelaskan, dan menilai kembali proses penilaian.
Sementara pendekatan berbasis AI yang digunakan oleh PT Cerdas Digital mengandalkan algoritma, machine learning, dan big data untuk memproses informasi pasar secara real-time. Dari perspektif akuntansi positif, AI dianggap sebagai alat yang mampu meningkatkan efisiensi dan mengurangi bias subjektif manusia. Namun, kelemahan utama dari pendekatan ini adalah sifatnya yang seringkali buram (black box), yang membuatnya sulit untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antara input dan output fair value.
Oleh karena itu, perbedaan mendasar antara kedua pendekatan tersebut terletak pada sumber penilaian yaitu pendekatan tradisional bergantung pada penilaian profesional manusia, sedangkan pendekatan AI didasarkan pada logika algoritmik yang tidak selalu mudah dipahami.


2. Secara epistemologis, penggunaan AI menggeser sumber pengetahuan akuntansi dari pengalaman dan teori berdasarkan penilaian ke pengetahuan berdasarkan pola statistik dan korelasi data. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang validitas pengetahuan yang dihasilkan oleh AI yaitu apakah nilai wajar benar-benar mewakili kondisi ekonomi asset atau hanya mencerminkan pola historis dan asumsi tentang data yang digunakan. Masalah epistemologis juga muncul ketika akuntan dan auditor tidak sepenuhnya memahami cara kerja algoritma. Dalam situasi ini, pengetahuan akuntansi menjadi sekunder dan para profesional hanya menerima hasilnya tanpa sepenuhnya memahami prosesnya. Hal ini dapat merusak prinsip representasi yang jujur, karena keandalan informasi ditentukan tidak hanya oleh akurasi numerik tetapi juga oleh kemampuan untuk menjelaskan dan memverifikasi proses penilaian.

3. Untuk memastikan bahwa penilaian berbasis AI sesuai dengan IFRS 13, PT Cerdas Digital harus menerapkan beberapa strategi akuntabilitas. Pertama, perusahaan harus memastikan bahwa hasil AI dapat ditetapkan pada hierarki nilai wajar (Level 1, 2, atau 3) sebagaimana diatur dalam IFRS 13, dan mengungkapkan asumsi utama yang digunakan oleh sistem AI.
Kedua, diperlukan pendekatan yang melibatkan manusia, di mana akuntan profesional terus meninjau hasil AI secara kritis dan membenarkan penggunaan nilai-nilai tersebut. Hal ini menjaga keseimbangan antara efisiensi teknologi dan tanggung jawab profesional.
Ketiga, perusahaan harus meningkatkan pengungkapan informasi termasuk deskripsi model AI, sumber data, keterbatasan sistem, dan analisis sensitivitas terhadap perubahan asumsi. Strategi ini dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penilaian nilai wajar tanpa mengorbankan kepatuhan terhadap standar akuntansi internasional.

TA C2025 -> CASE STUDY 1

Aura Liyanti གིས-
Nama : Aura Liyanti Fani
NPM : 2413031089


1. Dalam teori akuntansi khususnya terkait kualitas informasi akuntansi, reabilitas dan transparansi merupakan karakteristik kualitatif utama. Penggunaan teknologi blockchain berpotensi memperkuat kedua karakteristik ini dalam konteks laporan keberlanjutan PT Hijau Lestari. Dari perspektif agency theory, blockchain dapat mengurangi asimetri informasi antara manajemen dan pemangku kepentingan. Data terkait jejak karbon dan sumber bahan baku yang dicatat secara real-time dan tidak dapat diubah dapat mengurangi kemungkinan manipulasi atau pemutihan data. Hal ini meningkatkan tingkat kepercayaan di antara pengguna laporan keberlanjutan karena manajemen tidak dapat dengan mudah mengubah informasi secara sepihak. Sudut pandang dari perspektif teori stewardship, blockchain mendukung peran manajemen sebagai entitas yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Transparansi yang dihasilkan oleh blockchain memperkuat tanggung jawab moral dan sosial Perusahaan dan memastikan bahwa laporan keberlanjutan tidak hanya bersifat simbolis tetapi mencerminkan kondisi lingkungan yang sebenarnya. Meskipun blockchain meningkatkan keandalan teknis data, relevansi dan representasi yang akurat namun masih bergantung pada bagaimana indikator keberlanjutan didefinisikan dan diukur. Ini berarti bahwa teknologi tidak dapat sepenuhnya menggantikan penilaian profesional dalam akuntansi keberlanjutan.

2. Tantangan utama yang dihadapi PT Hijau Lestari adalah kurangnya kesiapan regulasi. Di Indonesia, pelaporan keberlanjutan masih dalam tahap awal dan terutama didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan standar GRI yang tidak secara spesifik mengatur penggunaan blockchain sebagai alat pencatatan dan verifikasi data. Hal ini menimbulkan ketidakpastian mengenai legalitas, standar audit, dan pengakuan regulasi terhadap data berbasis blockchain. Secara global perbedaan regulasi antar negara mengenai perlindungan data, standar lingkungan, dan teknologi digital juga menimbulkan tantangan. Sifat lintas batas blockchain dapat menimbulkan masalah tata kelola data, khususnya mengenai kerahasiaan data dari pemasok dan petani lokal. Selain itu, biaya implementasi dan kebutuhan akan sumber daya manusia yang familiar dengan teknologi dan akuntansi keberlanjutan menghadirkan hambatan operasional yang signifikan.

3. Secara strategis, PT Hijau Lestari sebaiknya menerapkan blockchain secara bertahap (hybrid approach), dengan menggunakan teknologi tersebut sebagai alat pendukung verifikasi data bukan hanya sebagai pengganti sistem informasi yang ada secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian akuntansi untuk menghindari risiko implementasi yang terlalu agresif.

Perusahaan juga harus memperkuat tata kelola dan pengendalian internal, termasuk menetapkan standar untuk mengukur emisi dan sumber bahan baku sesuai dengan GRI. Kolaborasi antara akuntan, ahli lingkungan, dan spesialis teknologi merupakan kunci untuk memastikan bahwa data yang tercatat tidak hanya akurat secara teknis tetapi juga bermakna dari perspektif akuntansi.
PT Hijau Lestari juga disarankan untuk melibatkan auditor, regulator, dan pemangku kepentingan utama sejak awal untuk memastikan bahwa adopsi blockchain dipahami sebagai upaya untuk meningkatkan transparansi bukan hanya sebagai strategi hubungan masyarakat. Dengan pendekatan ini, implementasi blockchain dapat memperkuat kredibilitas laporan keberlanjutan sekaligus mendukung tujuan keberlanjutan jangka panjang perusahaan.

TA C2025 -> CASE STUDY

Aura Liyanti གིས-
Nama : Aura Liyanti Fani
NPM : 2413031089

1. Analaisis Kritis
a. Teori akuntansi tradisional pada dasarnya didasarkan pada asumsi bahwa manusia (akuntan dan manajemen) adalah aktor utama dalam proses pencatatan, pengukuran, dan pelaporan transaksi keuangan. Dalam konteks PT Delta Financial, penggunaan AI dan blockchain menantang asumsi ini. Otomasi mengurangi intervensi manusia dalam pencatatan transaksi, sementara blockchain menciptakan sistem buku besar yang terdesentralisasi dan tidak dapat diubah. Tantangan utama muncul dalam aspek pertimbangan akuntansi seperti pengakuan pendapatan, estimasi cadangan, dan penilaian risiko. Teori akuntansi berbasis akrual bergantung pada pertimbangan profesional, tetapi ketika keputusan ini dialihkan ke algoritma kesulitan muncul dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab atas hasil laporan. Selain itu, konsep verifikasi dan relevansi dalam teori akuntansi menjadi lebih kompleks karena auditor tidak hanya mengaudit angka-angka tetapi juga logika sistem dan model AI yang digunakan

b. Digitalisasi menawarkan peluang signifikan untuk meningkatkan efisiensi, kecepatan, dan akurasi pelaporan keuangan. Blockchain dapat meningkatkan transparansi, karena setiap transaksi dicatat dan dilacak secara permanen. Namun, pada saat yang sama, digitalisasi juga telah menciptakan cara baru untuk mengelola hasil.
Manipulasi tidak lagi dilakukan secara manual tetapi dengan menyesuaikan parameter algoritmik, seperti menunda pengakuan biaya, memodifikasi asumsi estimasi, atau memilih model AI yang menghasilkan hasil laba yang lebih stabil. Hal ini membuat manipulasi sulit dideteksi, karena tampak objektif dan berbasis teknologi, namun tetap mengandung kepentingan manajerial.

2. Etika dan Transparansi
a. Penggunaan AI dalam estimasi akuntansi meningkatkan risiko menjauhkan diri dari tanggung jawab moral, yaitu kecenderungan akuntan dan manajemen untuk menghindari tanggung jawab moral dengan alasan "hasil sistem." Algoritma dapat bersifat bias, tergantung pada data pelatihan dan desain awalnya. Jika bias ini secara sistematis menguntungkan perusahaan maka akuntan tetap memiliki tanggung jawab etis, meskipun keputusan dibuat oleh mesin. Selain itu, transparansi sangat penting karena model AI seringkali bersifat black box sehingga sulit dijelaskan kepada auditor, regulator, dan investor.

b. Akuntan profesional harus menjunjung tinggi prinsip integritas, objektivitas, dan independensi. Tekanan untuk menyesuaikan laporan dan menjaga citra perusahaan harus diatasi dengan memperkuat dokumentasi, memberikan justifikasi profesional, dan mengkomunikasikan risiko pelaporan secara jelas. Akuntan tidak boleh menggunakan teknologi sebagai justifikasi untuk praktik yang secara substansial bersifat menipu.

3. Respons Strategis
a. Firma perlu mengembangkan tata kelola sistem digital, termasuk audit algoritma, validasi model AI, dan kontrol atas perubahan parameter sistem. Akuntan publik juga harus memperluas keahlian mereka untuk mencakup audit berbasis teknologi, mengaudit tidak hanya hasil keuangan tetapi juga proses, logika sistem, dan keamanan blockchain.
Kolaborasi antara akuntan, ilmuwan data, dan pakar IT sangat penting untuk pengawasan yang efektif.

b. Menurut saya, standar pelaporan keuangan saat ini belum sepenuhnya beradaptasi dengan kompleksitas keuangan digital dan globalisasi. IFRS masih berfokus pada penyajian hasil, bukan pada transparansi algoritma dan sistem digital yang menghasilkan angka-angka tersebut. Oleh karena itu pengembangan standar tambahan terkait pengungkapan informasi teknologi, model AI, dan risiko digital diperlukan untuk memastikan bahwa informasi keuangan tetap relevan, andal, dan dapat dipercaya di era digital.

TA C2025 -> CASE STUDY

Aura Liyanti གིས-
Nama : Aura Liyanti Fani
NPM : 2413031089

1. Kasus PT Karya Sentosa menunjukkan indikasi kuat manajemen laba berdasarkan akuntansi akrual. Peningkatan laba bersih sebesar 45% sekilas tampak sangat baik tetapi beberapa indikator akuntansi menimbulkan keraguan tentang kualitas hasil tersebut. Pertama, kenaikan signifikan pada akun piutang usaha dapat mengindikasikan pengakuan pendapatan yang terlalu agresif, misalnya dengan mempercepat pengakuan penjualan kredit bahkan sebelum kas diterima. Kedua, penurunan cadangan kerugian piutang dapat menjadi bentuk manipulasi akrual karena manajemen mengurangi estimasi biaya untuk meningkatkan laba. Ketiga, peningkatan pendapatan yang tidak sejalan dengan arus kas operasi merupakan tanda klasik kualitas laba yang buruk, karena laba yang sehat seharusnya didukung oleh arus kas yang memadai. Ketiga indikator ini, jika digabungkan dapat memperkuat kecurigaan bahwa manajemen menggunakan diskresi akuntansi untuk meningkatkan laba akuntansi tanpa didukung oleh kinerja arus kas aktual.

2. Jurnal pertama dengan jdudl “Determinants of Earnings Management: A Study in Indonesia’s Property and Real Estate Sector” oleh Affisuani dkk. (2022) menganalisis peran mekanisme tata kelola perusahaan dalam menekan praktik manajemen kinerja di perusahaan perbankan Indonesia. Studi ini menyimpulkan bahwa tata kelola perusahaan yang baik dapat mengurangi manajemen kinerja meskipun belum terbukti bahwa praktik-praktik ini memediasi hubungan antara tata kelola perusahaan dan kinerja atau nilai perusahaan.
Jurnal kedua dengan jdudl “The Corporate Governance Mechanism on Earnings Management and Firm Performance” oleh Maulana dkk. (2021) meneliti earnings management dari perspektif karakteristik perusahaan dan tekanan keuangan seperti profitabilitas dan leverage. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen kinerja cenderung dipengaruhi oleh insentif ekonomi dan situasi keuangan perusahaan, sehingga praktik ini menjadi lebih oportunistik.
Mengenai pendekatan penelitian, artikel oleh Affisuani dkk. menggunakan pendekatan berorientasi tata Kelola serta menempatkan manajemen kinerja sebagai perilaku yang dapat dikendalikan melalui mekanisme pengawasan seperti dewan direksi, komite audit, dan kualitas audit. Di sisi lain, artikel oleh Maulana dkk menggunakan pendekatan insentif manajerial, menganggap manajemen hasil sebagai respons manajemen terhadap tekanan kinerja dan tujuan keuangan.
Secara metodologi, artikel pertama menerapkan metode SEM-PLS, yang memungkinkan analisis hubungan simultan antar variabel dan cocok untuk model yang kompleks. Earnings management secara khusus diukur untuk sektor perbankan menggunakan model Beaver dan Engel. Sementara artikel kedua menggunakan regresi linier berganda dengan Model Jones yang Dimodifikasi, yang lebih umum dan dapat diterapkan pada perusahaan non-keuangan tetapi memiliki keterbatasan dalam menangkap kompleksitas perilaku manajerial.
Temuan utama, jurnal oleh Affisuani dkk. menyimpulkan bahwa tata kelola perusahaan secara efektif menekan manajemen hasil tetapi dampak tidak langsungnya terhadap kinerja dan nilai perusahaan dapat diabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan manajemen hasil tidak selalu secara langsung meningkatkan nilai perusahaan. Sementara jurnal oleh Maulana dkk menyimpulkan bahwa manajemen hasil lebih dipengaruhi oleh tekanan internal perusahaan, dan oleh karena itu praktik ini cenderung digunakan sebagai alat oportunistik untuk menyesuaikan hasil. Secara keseluruhan, perbedaan antara kedua studi tersebut menunjukkan bahwa manajemen hasil dapat dipahami dari dua perspektif: sebagai masalah pemantauan dan sebagai respons terhadap insentif ekonomi, yang saling melengkapi untuk menjelaskan fenomena manajemen hasil di perusahaan.

3. Secara teori, manajemen kinerja tidak selalu negatif. Perspektif oportunistik (Watts dan Zimmerman) menganggap manajemen kinerja bersifat manipulatif karena konflik kepentingan dan asimetri informasi. Namun, perspektif sinyal (Holthausen dan Leftwich) berpendapat bahwa manajemen kinerja dapat digunakan untuk menyampaikan informasi rahasia tentang prospek perusahaan kepada investor. Beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa laba yang lebih stabil dapat mengurangi volatilitas harga saham dan biaya modal. Namun, dalam praktik seperti PT Karya Sentosa, manajemen laba cenderung oportunistik yaitu berupaya peningkatan laba tanpa menghasilkan arus kas yang dapat menyesatkan investor. Oleh karena itu masalah utamanya bukan terletak pada praktik itu sendir, tetapi pada motif di baliknya dan dampaknya terhadap kualitas informasi keuangan.

4. Kesimpulan menurut saya PT Karya Sentosa menunjukkan tanda-tanda pendekatan manajemen laba berbasis akrual yang dapat menurunkan kualitas hasilnya. Meskipun manajemen laba tidak selalu negatif secara teori dalam kasus ini praktiknya cenderung mendukung perilaku oportunistik. Rekomendasi untuk para pemangku kepentingan:

a) Investor harus menganalisis laporan arus kas dan kualitas laba, bukan hanya fokus pada pertumbuhan laba bersih.
b) Auditor disarankan untuk memperkuat pengujian estimasi akuntansi, khususnya yang terkait dengan piutang dan kerugian penurunan nilai.
c) Manajemen harus meningkatkan transparansi dan memprioritaskan pelaporan keuangan yang etis untuk menjaga kredibilitas jangka panjang.
d) Regulator dapat memperkuat pengawasan terhadap praktik pengakuan pendapatan dan estimasi akrual.
Pendekatan ini dapat meminimalkan bias manajemen laba, sehingga laporan keuangan menjadi lebih andal dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi.

TA C2025 -> ACTIVITY: RESUME

Aura Liyanti གིས-
Nama : Aura Liyanti Fani
NPM : 2413031089

Setelah membaca jurnal "Earnings Management: A Literature Review” dan menonton video dapat saya simpulkan bahwa baik jurnal maupun video sama-sama menjelaskan bahwa manajemen laba adalah praktik yang muncul karena fleksibilitas standar akuntansi dan ketidakseimbangan informasi antara manajemen dan pengguna laporan keuangan. Manajemen memiliki lebih banyak informasi tentang kondisi internal perusahaan sehingga memungkinkan mereka untuk mengelola laba yang dilaporkan tanpa melanggar standar akuntansi.
Jurnal tersebut menjelaskan bahwa ada dua perspektif utama tentang manajemen laba yaitu perspektif oportunistik dan perspektif signaling. Perspektif oportunistik memandang manajemen laba sebagai tindakan yang diarahkan pada kepentingan pribadi manajer, seperti mendapatkan bonus, memenuhi kontrak utang, atau menghindari tekanan politik. Perspektif ini mendominasi sebagian besar penelitian dan menganggap manajemen laba sebagai praktik yang dapat menyesatkan pengguna laporan keuangan. Sementara perspektif sinyal memandang manajemen laba sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan informasi tentang prospek Perusahaan misalnya, dengan melaporkan laba yang lebih stabil sehingga investor dapat membuat keputusan yang lebih baik.
Penjelasan dalam video tersebut memperkuat isi majalah dengan menekankan bahwa manajemen laba tidak selalu identik dengan kecurangan, melainkan berada di area abu-abu antara praktik akuntansi yang wajar dan manipulasi laporan keuangan. Video tersebut juga menyoroti peran penting etika, auditor, dan standar akuntansi dalam membatasi praktik ini dan mencegah kerugian bagi pihak ketiga.
Menurut pendapat saya, kombinasi perspektif majalah dan video tersebut menunjukkan bahwa manajemen laba adalah fenomena kompleks yang tidak dapat dinilai secara langsung. Meskipun secara teori dapat berfungsi sebagai sinyal namun dalam praktiknya potensi penyalahgunaan tetap tinggi. Oleh karena itu, praktik manajemen laba harus diatur oleh etika profesional untuk memastikan bahwa laporan keuangan tetap mencerminkan situasi perusahaan secara akurat dan dapat diandalkan.