Posts made by Putri Hepti Amelia

NAMA: PUTRI HEPTI AMELIA
NPM: 2415061005
KELAS: PSTI D

Analisis jurnal "DEMOKRASI SEBAGAI WUJUD NILAI-NILAI SILA KEEMPAT PANCASILA DALAM PEMILIHAN UMUM DAERAH DI INDONESIA":

1. Fokus Utama: Jurnal ini fokus pada hubungan antara konsep demokrasi, khususnya dalam konteks Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) di Indonesia, dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila keempat Pancasila, yaitu "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan."
Argumen Utama: Penulis berargumen bahwa pelaksanaan Pilkada di Indonesia secara empiris belum sepenuhnya mencerminkan ideologi Pancasila, khususnya sila keempat yang merupakan esensi dari asas demokrasi dalam konteks Indonesia. Jurnal ini menekankan pentingnya mewujudkan nilai-nilai sila keempat Pancasila dalam sistem pemilihan umum sebagai negara hukum yang juga menganut prinsip demokrasi.

2. Poin-Poin Penting:
-Demokrasi dan Pemilu: Pemilihan umum dipandang sebagai cerminan dari sistem demokrasi yang memberikan ruang partisipasi bagi warga negara dalam pemerintahan.
Indonesia sebagai Negara Hukum dan Demokrasi: Jurnal ini mengingatkan amanat konstitusi yang menyatakan Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi, sehingga kedua prinsip ini harus berjalan selaras.
-Sila Keempat Pancasila sebagai Asas Demokrasi Indonesia: Penulis menegaskan bahwa sila keempat Pancasila merupakan representasi dari asas demokrasi yang khas Indonesia.
-Kesenjangan Empiris dan Ideal: Jurnal mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian antara nilai ideal-nilai sila keempat Pancasila dengan praktik Pilkada di Indonesia.
-Pentingnya Nilai Sila Keempat dalam Pemilu: Keberadaan nilai-nilai "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan" dalam pemilu dianggap sangat penting bagi Indonesia sebagai negara hukum.

3. Kekuatan Jurnal:
-Relevansi Topik: Jurnal ini mengangkat isu yang sangat relevan dalam konteks politik Indonesia, yaitu bagaimana nilai-nilai Pancasila seharusnya diimplementasikan dalam praktik demokrasi, khususnya dalam pemilihan umum.
-Fokus pada Sila Keempat Pancasila: Jurnal ini secara spesifik menganalisis hubungan antara demokrasi dan sila keempat Pancasila, yang merupakan kontribusi penting dalam memahami konsep demokrasi khas Indonesia.
-Kesadaran akan Kesenjangan: Penulis memiliki kesadaran akan adanya jarak antara cita-cita demokrasi Pancasila dengan kenyataan pelaksanaan Pilkada.

4. Kelemahan Jurnal:
-Kurangnya Pendalaman Analisis Empiris: Jurnal ini cenderung bersifat normatif dan argumentatif. Meskipun menyatakan adanya kesenjangan antara nilai sila keempat Pancasila dan praktik Pilkada, jurnal ini tidak menyajikan bukti empiris yang kuat untuk mendukung klaim tersebut. Contoh konkret atau studi kasus yang menggambarkan bagaimana nilai-nilai "hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan" yang dilaksanakan atau tidak diwujudkan dalam Pilkada akan sangat memperkuat argumentasi.
-Definisi Operasional yang Kurang Jelas: Konsep "hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan" adalah abstrak. Jurnal ini tidak memberikan definisi operasional yang jelas mengenai bagaimana nilai ini seharusnya diukur atau diamati dalam konteks Pilkada. Tanpa definisi yang jelas, sulit untuk memahami sejauh mana nilai ini telah atau belum terwujud.
-Minimnya Analisis Penyebab Kesenjangan: Jurnal ini lebih fokus pada pernyataan adanya pertemuan daripada menganalisis secara mendalam faktor-faktor yang menyebabkan nilai-nilai sila keempat Pancasila belum terinternalisasi dalam praktik Pilkada. Mengapa "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan" sulit diwujudkan dalam konteks politik lokal? Faktor-faktor seperti budaya politik lokal, sistem kepartaian, perilaku pemilih, atau regulasi pemilu yang perlu dianalisis.
-Tidak Ada Solusi atau Rekomendasi Konkret: Jurnal ini belum menawarkan solusi atau rekomendasi yang spesifik mengenai bagaimana nilai-nilai sila keempat Pancasila dapat lebih diinternalisasi dalam penyelenggaraan Pilkada. Setelah mengidentifikasi masalah, langkah selanjutnya yang penting adalah memberikan arah tindakan untuk perbaikan.
-Kurangnya Keterkaitan dengan Teori Demokrasi yang Lebih Luas: Meskipun fokus pada konsep demokrasi Pancasila, jurnal ini kurang erat kaitannya dengan teori-teori demokrasi yang lebih umum. Perbandingan atau pengkontrasan dengan konsep demokrasi deliberatif, demokrasi partisipatif, atau teori perwakilan lainnya dapat memperkaya analisis dan memberikan perspektif yang lebih luas.
-Potensi Interpretasi Subjektif: Tanpa definisi operasional yang jelas, interpretasi terhadap "hikmat pilihan dalam permusyawaratan atau perwakilan" dapat menjadi sangat subjektif. Hal ini dapat mengurangi objektivitas analisis jurnal.

5. Potensi Pengembangan:
-Pendalaman Analisis Empiris: Jurnal ini akan lebih kuat jika menyajikan contoh-contoh konkret atau studi kasus yang menggambarkan bagaimana nilai-nilai sila keempat Pancasila belum terwujud dalam Pilkada.
-Definisi Operasional Nilai Sila Keempat: Penulis dapat memperjelas definisi operasional dari "hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan" dalam konteks Pilkada.
-Analisis Penyebab Kesenjangan: Jurnal ini dapat mengeksplorasi faktor-faktor yang menyebabkan belum terwujudnya nilai-nilai sila keempat Pancasila dalam Pilkada.

6. Kesimpulan
Jurnal "DEMOKRASI SEBAGAI WUJUD NILAI-NILAI SILA KEEMPAT PANCASILA DALAM PEMILIHAN UMUM DAERAH DI INDONESIA" berhasil mengangkat isu penting mengenai implementasi ideal nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keempat, dalam praktik demokrasi di Indonesia. Penulis secara jelas menyatakan adanya ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan dalam pelaksanaan Pilkada. Jurnal ini memberikan kontribusi dalam mengingatkan kembali esensi demokrasi Pancasila dan perlunya upaya lebih lanjut untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam sistem pemilu di Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis. Untuk pemahaman lebih lanjut, penelitian ini dapat dilengkapi dengan analisis empiris yang lebih mendalam dan menawarkan solusi yang konkret.
NAMA: PUTRI HEPTI AMELIA
NPM: 2415061005
KELAS: PSTI D

Analisis Perkembangan Demokrasi Indonesia

1. Perkembangan Demokrasi Masa Revolusi Kemerdekaan (Sangat Terbatas)
Analisis: Pada periode ini, fokus utama bangsa adalah perjuangan untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Kondisi yang serba terbatas akibat perang dan transisi kekuasaan membuat praktik demokrasi yang ideal sulit diwujudkan. Meskipun semangat kemerdekaan mengandung nilai-nilai demokratis seperti penghormatan rakyat dan hak untuk menentukan nasib sendiri, penerapannya sangat terbatas karena prioritas pada persatuan nasional dan stabilitas dalam menghadapi ancaman eksternal.
Poin Penting: Periode ini meletakkan fondasi ideologis demokrasi, namun kondisi objektif belum memungkinkan implementasi yang penuh. Semangat demokratis menjadi pendorong perjuangan, namun praktik politik masih bersifat sentralistik dan darurat.

2. Perkembangan Demokrasi Parlementer (1950-1959) - Masa Kejayaan yang Gagal
Analisis: Periode ini sering dianggap sebagai “zaman keemasan” demokrasi Indonesia karena hampir semua elemen demokrasi liberal hadir: partai politik yang beragam dan aktif, pemilu yang relatif bebas, parlemen yang kuat, dan kebebasan pers. Namun, kegagalan demokrasi parlementer disebabkan oleh beberapa faktor krusial:
Dominannya Politik Aliran: Loyalitas yang kuat terhadap identitas kelompok (agama, ideologi) seringkali mengalahkan kepentingan nasional. Hal ini menyulitkan pembentukan yang stabil dan efektif dalam pemerintahan, serta mempertemukan konflik antar kelompok.
Basis Sosial Ekonomi yang Lemah: Tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat yang masih rendah membuat mereka rentan terhadap mobilisasi politik berbasis primordialisme dan kurang memiliki kemandirian politik untuk mengartikulasikan kepentingan yang lebih luas.
Ketidaksenangan Soekarno dan Angkatan Darat: Presiden Soekarno, dengan visi persatuan nasional yang kuat dan mengecewakan terhadap instabilitas politik, serta Angkatan Darat yang memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan, sama-sama tidak menyukai dinamika politik yang dianggap terlalu liberal dan tidak efektif.
Poin Penting: Periode ini menunjukkan bahwa keberadaan institusi demokrasi formal saja tidak cukup. Diperlukan kondisi nasional yang kuat, basis sosial ekonomi yang mumpuni, dan kepemimpinan yang mampu mengelola perbedaan untuk keberhasilan demokrasi.

3. Perkembangan Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Analisis: Demokrasi Terpimpin merupakan antitesis dari demokrasi parlementer. Kekuasaan yang ada di tangan Presiden Sukarno, partai politik yang dibatasi, dan militer semakin berpengaruh dalam politik. Konstelasi politik didominasi oleh tiga kekuatan utama yang saling tarik-menarik: Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketegangan ideologi dan persaingan kekuasaan antar kekuatan ketiga ini justru menciptakan instabilitas politik yang parah dan berakhir pada tragedi 1965.
Poin Penting: Periode ini menjadi pelajaran pahit tentang bahaya sentralisasi kekuasaan yang berlebihan dan polarisasi politik yang ekstrem. Demokrasi yang “dipimpin” tanpa partisipasi dan checks and balances yang efektif justru menjauhkan diri dari nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya.

4. Perkembangan Demokrasi dalam Pemerintahan Orde Baru (1966-1998)
Analisis: Orde Baru hadir dengan janji stabilitas dan pembangunan ekonomi setelah periode penuh gejolak. Namun, dalam praktiknya, demokrasi mengalami kemunduran yang signifikan. Meskipun pemilu rutin diadakan, mereka tidak bebas dan adil. Kekuasaan merujuk pada Presiden Soeharto dan Golkar sebagai partai penguasa. Ciri-ciri utama periode ini meliputi:
-Dominannya Peran ABRI: Militer memiliki pengaruh yang sangat besar dalam semua aspek kehidupan politik dan sosial.
-Birokratisasi dan Sentralisasi: Pengambilan keputusan politik di Jakarta dan didominasi oleh birokrasi yang korup.
-Pembatasan Peran Partai Politik: Partai politik dikontrol secara ketat dan fungsinya dibatasi.
-Campur Tangan Pemerintah dalam Partai Politik: Pemerintah aktif dalam urusan internal partai politik untuk memastikan loyalitas.
-Massa Mengambang: Kebijakan untuk menjauhkan masyarakat dari politik praktis dan membatasi partisipasi politik.
-Monolitisasi Ideologi Negara: Penafsiran tunggal Pancasila dipaksakan dan kritik terhadap pemerintah yang dianggap anti-Pancasila.
-Inkorporasi Lembaga Non-Pemerintah: Organisasi masyarakat sipil dikontrol dan diarahkan oleh pemerintah.
Poin Penting: Periode Orde Baru menunjukkan bahwa stabilitas tanpa kebebasan dan partisipasi yang bermakna bukanlah demokrasi yang sesungguhnya. Penekanan pada pembangunan ekonomi dengan mengorbankan hak-hak politik dan sipil menciptakan ketidakpuasan yang akhirnya meledak dalam gerakan reformasi.

5. Perkembangan Demokrasi pada Masa Reformasi (1998-Sekarang)
Analisis: Era Reformasi menandai babak baru dalam perkembangan demokrasi Indonesia. Tuntutan akan demokratisasi yang kuat mendorong perubahan mendasar dalam sistem politik dan ketatanegaraan. Ciri-ciri utama demokrasi era reformasi meliputi:
-Pemilu yang Lebih Demokratis: Pemilu pasca-1998 (terutama 1999 dan 2004) jauh lebih bebas, adil, dan partisipatif dibandingkan pemilu sebelumnya.
-Rotasi Kekuasaan: Kekuasaan tidak lagi mengacu pada satu orang atau kelompok. terjadi pergantian kepemimpinan di tingkat pusat dan daerah melalui mekanisme
pemilu.
-Rekrutmen Politik Terbuka: Proses pencalonan dan pengisian jabatan politik lebih transparan dan kompetitif.
-Jaminan Hak Dasar: Kebebasan berpendapat, berserikat, dan hak-hak dasar lainnya dijamin secara lebih luas.
Poin Penting: Era Reformasi membawa kemajuan signifikan dalam pelembagaan demokrasi di Indonesia. Namun tantangan tetap ada, seperti korupsi, politik uang, polarisasi, dan kualitas demokrasi yang perlu terus ditingkatkan. Demokrasi Pancasila di era reformasi mencoba menggabungkan nilai-nilai demokrasi universal dengan konteks dan kearifan lokal Indonesia.

Kesimpulan Analisis:
Setiap periode memberikan pelajaran berharga tentang pemeliharaan, tantangan, dan dinamika demokrasi. Era Reformasi telah membawa kemajuan signifikan, namun pekerjaan rumah untuk memperkuat kualitas demokrasi, mengatasi perlawanan korupsi dan polusi, serta memastikan partisipasi publik yang bermakna tetap menjadi agenda penting bagi masa depan Indonesia. Pemahaman akan sejarah perkembangan demokrasi ini krusial untuk membangun demokrasi yang lebih matang dan berkelanjutan.
NAMA: PUTRI HEPTI AMELIA
NPM: 2415061005
KELAS: PSTI D

ANALISIS VIDEO
Analisis Gagasan “Mengapa Demokrasi Dianut Banyak Negara?”

Gagasan yang disampaikan secara ringkas dan padat menangkap beberapa alasan mendasar mengapa menjadi sistem pemerintahan demokrasi yang dianut oleh banyak negara di dunia.
1. Ruang untuk Suara dan Pendapat: Pernyataan bahwa demokrasi memberikan ruang bagi setiap orang untuk bersuara adalah inti dari prinsip partisipasi dan kedaulatan
rakyat. Mengaku bahwa legitimasi kekuasaan berasal dari rakyat, dan mekanisme demokrasi memungkinkan beragam pandangan untuk diartikulasikan. Istilah “berisik”
secara metaforis menggambarkan dinamika diskusi dan perbedaan pendapat yang melekat dalam sistem ini. Meski terkadang tampak kacau, “kebisingan” ini adalah
wujud kebebasan berekspresi.
2. Mempertahankan Keamanan dan Kemakmuran Jangka Panjang: Klaim ini menarik. Demokrasi diyakini berkontribusi pada stabilitas jangka panjang melalui beberapa
mekanisme:
a) Legitimasi: Pemerintahan yang dipilih secara demokratis cenderung memiliki legitimasi yang lebih kuat di mata rakyatnya, mengurangi potensi konflik internal dan
meningkatkan kepatuhan terhadap hukum.
b) Akuntabilitas: Pemimpin yang bertanggung jawab kepada pemilih cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menghindari praktik korupsi yang
dapat merusak kesejahteraan.
c) Penanganan Konflik: Mekanisme demokratis seperti pemilu, parlemen, dan kebebasan pers menyediakan saluran untuk menyelesaikan perbedaan pendapat secara
damai, alih-alih melalui kekerasan.
d) Inklusivitas Ekonomi: Sistem demokrasi yang sehat cenderung lebih inklusif secara ekonomi, memungkinkan partisipasi yang lebih luas dan mengurangi kemiskinan
yang dapat memicu ketidakstabilan.

-Penegakan HAM: Sistem demokrasi dengan supremasi hukum dan kebebasan sipil cenderung lebih melindungi hak asasi manusia karena adanya mekanisme checks
and balances dan tekanan dari masyarakat sipil serta media.
-Angka Korupsi Lebih Rendah: Akuntabilitas publik, transparansi, dan kebebasan pers dalam demokrasi dapat menjadi penghalang bagi praktik korupsi. Pemimpin yang
korup berisiko kehilangan dukungan dan kekuasaan dalam pemilu berikutnya.
-Warga Lebih Sehat dan Bahagia: Hal ini mungkin terkait dengan akses yang lebih baik terhadap layanan publik (kesehatan, pendidikan) akibat pemerintahan yang lebih
responsif, serta rasa memiliki dan kebebasan yang dirasakan warga negara dalam sistem demokratis.
-Goyahnya "Iman" kepada Demokrasi: Poin terakhir ini sangat penting dan mencerminkan realitas kontemporer. Perkembangan abad ke-21, seperti globalisasi,
kesenjangan ekonomi yang meningkat, polarisasi politik, disinformasi online, dan munculnya populisme, memang menimbulkan
tantangan serius bagi keyakinan terhadap efektivitas dan keunggulan demokrasi. Banyak yang menyimpulkan apakah demokrasi
tradisional mampu mengatasi kompleksitas dan tantangan era modern ini.

Namun, poin mengenai "goyahnya iman" terhadap demokrasi adalah pengingat yang krusial. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah sistem yang statis atau tanpa tantangan. Keberhasilannya sangat bergantung pada kualitas institusi, budaya politik yang mendukung, partisipasi aktif warga negara, dan kemampuan sistem untuk beradaptasi dengan perubahan zaman.