གནས་བསྐྱོད་བཟོ་མི་ 2555061005 Alfarel Brilliant Adryan Mohammad

Jurnal yang berjudul "Hubungan Antara Hukum dan Etika dalam Politik Hukum di Indonesia," begitu relevan bagi saya karena ia membahas bagaimana hukum yang seharusnya menjadi payung perlindungan dibentuk, dan bagaimana seharusnya ia memiliki hati nurani. Penulis mengingatkan kita bahwa proses Politik Hukum bukanlah sekadar proses teknis legislasi yang steril, melainkan sebuah arena pertarungan kepentingan yang sangat politis. Di ruang itulah, tujuan luhur negara seperti termaktub dalam UUD 1945 harus diperjuangkan di tengah tarik-menarik antara kompromi atau dominasi politik. Ini berarti, undang-undang yang kita patuhi adalah hasil dari sebuah pilihan sadar oleh penguasa, yang menentukan ke mana arah bangsa ini akan dibawa, yaitu menuju cita-cita hukum ideal (ius constituendum).
​Inti dari jurnal ini adalah bagaimana etika harus bersemayam di dalam hukum. Kita diajak melihat hubungan keduanya dalam tiga dimensi, yang paling menyentuh adalah perbandingan yang personal: jika hukum adalah bungkusnya, maka etika adalah isi atau substansi yang jauh lebih luas cakupannya. Etika adalah pagar preventif bagi perilaku kita, jauh sebelum tindakan itu menyentuh batas benar dan salah dalam hukum. Hal ini mengingatkan kita bahwa kepatuhan sejati pada hukum seharusnya bukan karena ketakutan akan sanksi, melainkan muncul dari kesadaran diri bahwa aturan itu memang baik dan perlu dipenuhi. Inilah esensi kemanusiaan dan moralitas yang dibutuhkan agar hukum tidak menjadi sekadar aturan kaku.

​Lantas, apa yang menjadi pemandu utama dalam memilih nilai-nilai ini?
Jurnal ini memberikan jawaban tegas Pancasila. Pancasila adalah sumber nilai dan sumber etik yang menjadi roh yang menggerakkan hukum dan etika itu sendiri. Ia memastikan bahwa pilihan-pilihan dalam politik hukum kita mulai dari perencanaan hingga pembentukannya selalu selaras dengan cita-cita luhur bangsa. Ketika kita menempatkan Pancasila sebagai jiwa, hukum yang tercipta akan memiliki hati nurani, menjadikannya alat yang benar-benar mewujudkan keadilan sosial bagi kita semua.
Jurnal karya Ariesta Wibisono Anditya yang berjudul "Penanaman Nilai-Nilai Pancasila Melalui Kontrol Sosial Oleh Media Massa Untuk Menekan Kejahatan Di Indonesia" ini sebenarnya sedang berbicara tentang harapan besar kita kepada media. Penulis menginginkan media tidak hanya menjadi corong informasi, melainkan sahabat terdepan yang membantu kita mencegah kejahatan, sebuah peran kontrol sosial yang berakar pada nilai-nilai luhur Pancasila. Jurnal ini pada dasarnya mencoba mengingatkan bahwa media adalah alat yang kuat; kekuatannya harus diarahkan untuk kebaikan bersama, bukan sekadar urusan hukum pidana semata.

Namun, bagian paling menyentuh dari penelitian ini adalah pengakuan jujur tentang kegagalan tersebut. Jurnal ini mengungkapkan bahwa media kita, sayangnya, belum sepenuhnya menjalankan peran Pancasilanya. Kita sering melihat, dan mungkin ikut menjadi korban, berita-berita yang kebenarannya dipertanyakan (untrustworthy news). Berita semacam ini, alih-alih membangun persatuan dan tatanan sosial yang kita dambakan, justru seringkali memicu kerusakan dan perpecahan di masyarakat.

​Intinya, jurnal ini adalah sebuah teguran halus. Ia mengingatkan bahwa media kini lebih sering mengejar sensasi dan kepuasan informasi instan, seolah-olah lupa pada tugasnya yang lebih mulia: membentuk kepribadian kita agar berjiwa Pancasila. Kita, sebagai pembaca dan warga negara, perlu menagih janji itu. Kita harus sadar bahwa ketika media menyajikan ketidakbenaran, ia tidak hanya melanggar etika jurnalistik, tetapi juga telah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang kita junjung tinggi bersama. Media, pada hakikatnya, harus menjadi cerminan terbaik dari bangsa kita.
Jurnal ini berjudul "Pengaruh Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pancasila dalam Menyikapi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi" dan ditulis oleh Mursyidah Dwi Hartati, Ponoharjo, serta Mohamad Khamim. 

Penelitian kuantitatif ini bertujuan utama untuk mengetahui seberapa besar kontribusi Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pancasila (MKPP) dalam membentuk sikap kritis dan adaptif mahasiswa terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin pesat.

Penelitian ini melibatkan 40 sampel mahasiswa yang diambil dari populasi sebanyak 103 orang menggunakan metode penarikan sampel proporsional cluster random sampling.
Setelah data dikumpulkan melalui kuesioner, dilakukan analisis deskriptif dan regresi untuk mengetahui hubungan antarvariabel.

Hasil analisis menunjukkan temuan yang positif, yaitu mahasiswa secara umum memiliki tingkat pengembangan kepribadian Pancasila yang baik serta mampu menanggapi perkembangan IPTEK secara tepat. Selain itu, hasil statistik juga menyatakan adanya pengaruh signifikan dan positif antara MKPP dengan cara mahasiswa dalam merespons kemajuan teknologi.

Dengan demikian, kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa MKPP merupakan alat pendidikan yang efektif dalam membekali generasi muda dengan nilai-nilai Pancasila agar tidak terpengaruh oleh dampak negatif globalisasi dan kemajuan teknologi.
Para peneliti menyarankan agar mahasiswa tetap menjaga integritas kepribadian bangsa dengan berpegang pada nilai-nilai Pancasila. 

Hal ini sangat penting agar perkembangan IPTEK dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkontribusi positif pada kepentingan serta pembangunan nasional Indonesia

Presentasi ini membahas pentingnya menganggap Pancasila sebagai dasar nilai yang menjadi arah dan panduan dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di Indonesia. Masalah utama yang dibahas adalah kekompleksan nilai dalam IPTEK modern, yang ditunjukkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang beragam dan munculnya aspek moral serta etika yang harus dipertimbangkan.

Penerapan teknologi sudah menimbulkan konsekuensi etis yang serius.

Contohnya, media dan iklan bisa digunakan untuk mengontrol perilaku manusia demi keuntungan ekonomi, sehingga orang yang diatur bisa tergantung pada pihak yang mengontrolnya. Selain itu, teknologi modern cenderung menjauhkan manusia dari eksistensi asli mereka sebagai pekerja, menghilangkan rasa puas dan kreativitas yang menjadi ciri khas manusia. Ilmu pengetahuan saat ini juga mempunyai keterbatasan dalam menyelesaikan masalah-masalah soal kehidupan dan kepribadian manusia. Oleh karena itu, pengembangan IPTEK harus mempertimbangkan nilai-nilai mutlak seperti hak asasi manusia, keadilan (sosial, politik, dan ekonomi), lingkungan, serta nilai-nilai yang menjunjung tinggi martabat manusia sebagai individu.

Pancasila sebagai dasar nilai harus dipahami melalui tiga aspek filosofis yang mengarahkan pengembangan IPTEK:

Dimensi Ontologis: Ilmu pengetahuan dianggap sebagai upaya manusia untuk terus mencari kebenaran tanpa henti.

Dimensi Epistemologis: Nilai-nilai Pancasila digunakan sebagai alat analisis atau cara berpikir, serta sebagai ukuran kebenaran dalam pengembangan ilmu.

Dimensi Aksiologis: Setiap sila Pancasila mengandung nilai-nilai yang wajib ditegakkan dalam pengembangan ilmu.

Setiap sila dalam Pancasila memiliki peran khusus dalam mengarahkan dan mengontrol pengembangan IPTEK:

Sila Ketuhanan membantu mengimbangi antara hal rasional dan irasional, serta memberi posisi manusia dalam alam

Sila Kemanusiaan memastikan bahwa ilmu dikembangkan untuk kemanusiaan secara umum, bukan hanya untuk kelompok tertentu.

Sila Persatuan memperkuat kerja sama dalam struktur yang lebih kecil, sekaligus menjaga persatuan bangsa.

Sila Kerakyatan memastikan penerapan- ilmu lebih demokratis.

Sila Keadilan mempertahankan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, mencegah kepentingan pribadi tertindas oleh kepentingan yang terkesan lebih besar.