NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
S1 MANAJEMEN
Analisis Video
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Video ini secara garis besar memaparkan perjalanan demokrasi di Indonesia yang terbagi ke dalam lima fase utama. Pertama, periode Revolusi Kemerdekaan, yang berlangsung pada masa awal kemerdekaan, diwarnai oleh keterbatasan implementasi demokrasi. Hal ini disebabkan oleh kondisi negara yang masih bergejolak serta terbatasnya peran media massa yang hanya diwakili oleh dua surat kabar.
Kedua, fase Demokrasi Parlementer (1945–1959), yang dipandang sebagai masa keemasan demokrasi di Indonesia. Pada fase ini, struktur demokrasi lebih terbuka karena berbagai elemen demokrasi sudah mulai terakomodasi dalam kehidupan politik nasional. Namun, sistem ini tidak bertahan lama akibat beberapa faktor, antara lain dominasi politik aliran (politik berbasis ideologi seperti partai Islam, nasionalis, dan lain-lain) yang memicu konflik, lemahnya landasan sosial ekonomi rakyat, serta hubungan yang ambigu antara Presiden Soekarno dan militer.
Ketiga, fase Demokrasi Terpimpin (1959–1965), yang ditandai dengan dominasi kekuasaan oleh tiga pilar utama: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Presiden Soekarno, dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa ini, demokrasi lebih bersifat simbolik ketimbang substantif, karena kebijakan politik diwarnai sentralisasi kekuasaan dan pembatasan terhadap kebebasan politik rakyat.
Keempat, periode Orde Baru (1966–1998), di mana demokrasi yang berlangsung cenderung semu. Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto memusatkan kontrol politik melalui kendaraan politiknya, Golkar. Kebebasan berekspresi dibatasi, sementara pemilu yang rutin diadakan lebih bersifat formalitas belaka daripada kompetisi yang benar-benar bebas dan adil.
Kelima, fase Reformasi (1998–sekarang), yang dimulai dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Masa ini dicirikan oleh keterbukaan politik yang lebih luas, meningkatnya kebebasan berpendapat, dan semakin aktifnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Pemilu dilaksanakan dengan prinsip yang lebih transparan dan adil, partai politik berkembang secara lebih bebas, serta media massa mendapatkan ruang yang lebih leluasa untuk berkontribusi dalam kehidupan demokrasi.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjalanan demokrasi di Indonesia menunjukkan transformasi dari sistem yang otoriter dan terbatas menuju tatanan politik yang lebih terbuka dan partisipatif. Kendati demikian, demokrasi di Indonesia tetap perlu diawasi secara cermat agar tidak menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, demokrasi bukan hanya sekadar prosedur elektoral, tetapi juga harus menjiwai nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
NPM : 2451011026
S1 MANAJEMEN
Analisis Video
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Video ini secara garis besar memaparkan perjalanan demokrasi di Indonesia yang terbagi ke dalam lima fase utama. Pertama, periode Revolusi Kemerdekaan, yang berlangsung pada masa awal kemerdekaan, diwarnai oleh keterbatasan implementasi demokrasi. Hal ini disebabkan oleh kondisi negara yang masih bergejolak serta terbatasnya peran media massa yang hanya diwakili oleh dua surat kabar.
Kedua, fase Demokrasi Parlementer (1945–1959), yang dipandang sebagai masa keemasan demokrasi di Indonesia. Pada fase ini, struktur demokrasi lebih terbuka karena berbagai elemen demokrasi sudah mulai terakomodasi dalam kehidupan politik nasional. Namun, sistem ini tidak bertahan lama akibat beberapa faktor, antara lain dominasi politik aliran (politik berbasis ideologi seperti partai Islam, nasionalis, dan lain-lain) yang memicu konflik, lemahnya landasan sosial ekonomi rakyat, serta hubungan yang ambigu antara Presiden Soekarno dan militer.
Ketiga, fase Demokrasi Terpimpin (1959–1965), yang ditandai dengan dominasi kekuasaan oleh tiga pilar utama: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Presiden Soekarno, dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa ini, demokrasi lebih bersifat simbolik ketimbang substantif, karena kebijakan politik diwarnai sentralisasi kekuasaan dan pembatasan terhadap kebebasan politik rakyat.
Keempat, periode Orde Baru (1966–1998), di mana demokrasi yang berlangsung cenderung semu. Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto memusatkan kontrol politik melalui kendaraan politiknya, Golkar. Kebebasan berekspresi dibatasi, sementara pemilu yang rutin diadakan lebih bersifat formalitas belaka daripada kompetisi yang benar-benar bebas dan adil.
Kelima, fase Reformasi (1998–sekarang), yang dimulai dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Masa ini dicirikan oleh keterbukaan politik yang lebih luas, meningkatnya kebebasan berpendapat, dan semakin aktifnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Pemilu dilaksanakan dengan prinsip yang lebih transparan dan adil, partai politik berkembang secara lebih bebas, serta media massa mendapatkan ruang yang lebih leluasa untuk berkontribusi dalam kehidupan demokrasi.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjalanan demokrasi di Indonesia menunjukkan transformasi dari sistem yang otoriter dan terbatas menuju tatanan politik yang lebih terbuka dan partisipatif. Kendati demikian, demokrasi di Indonesia tetap perlu diawasi secara cermat agar tidak menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, demokrasi bukan hanya sekadar prosedur elektoral, tetapi juga harus menjiwai nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.