Nama : Hanzuel Akbar Evansyah
NPM : 2415061060
Kelas : TI C
Perjalanan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika politik, sosial, dan militer yang mewarnai tiap era. Dari masa revolusi kemerdekaan hingga era reformasi saat ini, demokrasi terus mengalami transformasi, baik secara substansi maupun dalam praktiknya di tingkat institusional dan masyarakat.
Pada masa revolusi kemerdekaan, demokrasi masih dalam tahap awal dan sangat terbatas. Wacana demokratis nyaris tak mendapat ruang luas, mengingat situasi politik yang masih berfokus pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari ancaman kolonialisme. Dalam konteks ini, hanya segelintir media seperti Tempo dan ilmuwan seperti Robert Cribb yang secara aktif mendukung nilai-nilai demokrasi dan mencoba mengangkat pentingnya kebebasan berpendapat.
Memasuki periode demokrasi parlementer (1945–1959), Indonesia mengalami masa keemasan demokrasi dalam hal keterlibatan berbagai elemen masyarakat dan partai politik. Kebebasan berpendapat, pemilu, serta perdebatan politik berjalan cukup dinamis. Namun, demokrasi parlementer ini tidak bertahan lama. Sistem ini akhirnya gagal karena dominasi politik aliran yang memicu fragmentasi sosial, lemahnya fondasi ekonomi nasional, serta konflik kepentingan antara Presiden Soekarno dan TNI Angkatan Darat yang memperkeruh suasana politik nasional.
Selanjutnya, pada periode demokrasi terpimpin (1959–1965), terjadi pergeseran besar dalam praktik demokrasi Indonesia. Sistem pemerintahan didominasi oleh tiga kekuatan utama: Presiden Soekarno, ABRI (kini TNI), dan PKI. Kekuasaan terpusat di tangan presiden dengan melemahnya fungsi parlemen dan lembaga demokratis lainnya. Demokrasi pada masa ini lebih bersifat simbolik, di mana kontrol terhadap opini publik dan kehidupan politik diperketat.
Lalu, masa Orde Baru (1966–1998) menandai fase lain dari praktik demokrasi di Indonesia. Di awal kekuasaannya, pemerintahan Orde Baru sempat berorientasi pada rakyat dan menampakkan wajah yang lebih demokratis. Namun, dalam waktu singkat, dominasi militer melalui ABRI mulai menguat, dan pemerintah secara bertahap mencampuri berbagai aspek kehidupan sipil, termasuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat, pembatasan partai politik, dan sentralisasi kekuasaan di tangan eksekutif. Demokrasi menjadi formalitas belaka, tanpa adanya ruang nyata untuk oposisi dan partisipasi politik yang sehat.
Memasuki era reformasi (1998–sekarang), Indonesia mulai menata ulang tatanan demokrasi dengan mengadopsi model demokrasi Pancasila yang lebih terbuka dan inklusif. Berbeda dengan praktik demokrasi pada masa Orde Baru, demokrasi di era reformasi memiliki kemiripan dengan demokrasi parlementer, terutama dalam aspek partisipasi dan keterbukaan. Sejumlah karakteristik menonjol dari demokrasi pada masa ini:
Penyelenggaraan pemilu yang lebih demokratis, di mana prosesnya berlangsung lebih jujur, adil, dan terbuka, melibatkan banyak partai serta partisipasi publik yang lebih tinggi.
Rotasi kekuasaan yang sehat, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga sampai ke tingkat daerah bahkan desa, mencerminkan distribusi kekuasaan yang lebih merata.
Rekrutmen politik yang lebih transparan, memungkinkan munculnya aktor-aktor baru dari berbagai kalangan untuk mengisi jabatan publik, bukan hanya dari lingkaran elite kekuasaan lama.
Jaminan terhadap hak-hak sipil, termasuk kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan hak untuk berkumpul dan berorganisasi, yang semakin diakui dan dijamin secara hukum.
Meskipun masih menghadapi tantangan seperti politik uang, oligarki, dan maraknya disinformasi, era reformasi tetap menunjukkan arah yang lebih menjanjikan dalam mengembangkan demokrasi substantif. Proses demokratisasi di Indonesia kini menjadi agenda berkelanjutan yang menuntut partisipasi aktif masyarakat, keteguhan institusi negara, serta komitmen politik yang kuat untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem yang benar-benar berakar pada nilai-nilai keadilan, partisipasi, dan kesejahteraan bersama.