NAMA: SEPTIANA
NPM: 2217011069
Jurnal yang ditulis oleh Sri Pujiningsih berjudul "Hubungan Antara Hukum dan Etika dalam Politik Hukum di Indonesia" menyajikan pembahasan mendalam mengenai hubungan timbal balik antara hukum dan etika dalam konteks politik hukum Indonesia. Hukum dipandang sebagai instrumen formal yang mengatur masyarakat melalui peraturan-peraturan yang bersifat mengikat, sedangkan etika adalah kerangka moral yang melandasi pembentukan hukum. Etika, yang berasal dari filsafat dan doktrin-doktrin agama, mencakup prinsip-prinsip dasar tentang apa yang dianggap baik dan benar dalam perilaku manusia. Etika bersifat lebih luas daripada hukum, karena setiap pelanggaran hukum pasti mencakup pelanggaran etika, namun tidak semua pelanggaran etika merupakan pelanggaran hukum. Dalam konteks politik hukum, etika berfungsi sebagai penuntun moral dalam merancang dan menyusun peraturan perundang-undangan agar mencerminkan keadilan dan kebaikan yang diinginkan masyarakat.
Pujiningsih juga menyoroti bahwa politik hukum adalah arena di mana kepentingan berbagai pihak bertemu, termasuk partai politik, kelompok masyarakat, dan kepentingan nasional. Proses legislasi bukan hanya tentang penyusunan aturan, tetapi juga mencerminkan perjuangan dan kompromi politik. Di sinilah peran etika menjadi signifikan, karena ia menjadi pagar moral yang menilai apakah aturan yang dihasilkan benar-benar demi kepentingan publik atau sekadar alat dominasi politik. Konsep politik hukum menurut para ahli seperti Mahfud MD dan Satjipto Rahardjo menunjukkan bahwa proses pembentukan hukum sebaiknya dilandasi pemikiran kritis dan keadilan sosial, bukan sekadar formalitas yang mengikuti arus dominasi kekuatan politik.
Selain itu, jurnal ini menekankan bahwa hubungan antara hukum dan etika dapat dilihat melalui tiga dimensi: substansi dan wadah, luasnya cakupan, serta alasan moral manusia dalam mematuhi atau melanggar hukum. Substansi hukum menjadi wadah yang menampung etika, sementara etika adalah isi yang menghidupi hukum tersebut. Sebagai contoh, seorang pemimpin publik yang memiliki kesadaran etis akan mematuhi hukum bukan hanya karena takut akan sanksi, tetapi karena adanya keyakinan bahwa kepatuhan tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab moral. Etika bertindak sebagai filter preventif yang mencegah tindakan buruk sebelum mencapai tahap pelanggaran hukum, sehingga perilaku yang baik seharusnya tidak perlu sampai diadili secara hukum karena sudah terkoreksi oleh etika.
Dalam konteks sejarah politik hukum di Indonesia, upaya merumuskan politik hukum telah dimulai sejak kemerdekaan, di mana TAP MPRS No. 2 tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana menjadi tonggak awal yang kemudian diikuti dengan pengembangan politik hukum dalam bentuk GBHN yang diperbarui secara berkala. Melalui GBHN, politik hukum menjadi bagian dari perencanaan strategis pembangunan nasional yang berakar pada nilai-nilai Pancasila. Etika dalam hal ini berperan sebagai landasan moral untuk memastikan bahwa kebijakan hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga adil dan mencerminkan nilai-nilai luhur yang diakui masyarakat.
Penulis menegaskan bahwa hukum yang ideal adalah hukum yang bersifat "ius constituendum," yaitu hukum yang seharusnya berlaku dan mencerminkan aspirasi keadilan sosial. Oleh karena itu, perumusan hukum harus melibatkan proses pemikiran kritis yang mempertimbangkan aspek etis dan kebutuhan masyarakat. Etika tidak hanya menjadi penuntun dalam penetapan hukum, tetapi juga berfungsi sebagai penilaian bagi perilaku pemangku kepentingan. Dengan demikian, penegakan hukum yang mengabaikan dimensi etika hanya akan menciptakan ketidakadilan dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Kesimpulannya, jurnal ini menegaskan pentingnya sinergi antara hukum dan etika dalam membangun politik hukum yang tidak hanya mengatur, tetapi juga memelihara martabat manusia dan keadilan sosial di Indonesia.
NPM: 2217011069
Jurnal yang ditulis oleh Sri Pujiningsih berjudul "Hubungan Antara Hukum dan Etika dalam Politik Hukum di Indonesia" menyajikan pembahasan mendalam mengenai hubungan timbal balik antara hukum dan etika dalam konteks politik hukum Indonesia. Hukum dipandang sebagai instrumen formal yang mengatur masyarakat melalui peraturan-peraturan yang bersifat mengikat, sedangkan etika adalah kerangka moral yang melandasi pembentukan hukum. Etika, yang berasal dari filsafat dan doktrin-doktrin agama, mencakup prinsip-prinsip dasar tentang apa yang dianggap baik dan benar dalam perilaku manusia. Etika bersifat lebih luas daripada hukum, karena setiap pelanggaran hukum pasti mencakup pelanggaran etika, namun tidak semua pelanggaran etika merupakan pelanggaran hukum. Dalam konteks politik hukum, etika berfungsi sebagai penuntun moral dalam merancang dan menyusun peraturan perundang-undangan agar mencerminkan keadilan dan kebaikan yang diinginkan masyarakat.
Pujiningsih juga menyoroti bahwa politik hukum adalah arena di mana kepentingan berbagai pihak bertemu, termasuk partai politik, kelompok masyarakat, dan kepentingan nasional. Proses legislasi bukan hanya tentang penyusunan aturan, tetapi juga mencerminkan perjuangan dan kompromi politik. Di sinilah peran etika menjadi signifikan, karena ia menjadi pagar moral yang menilai apakah aturan yang dihasilkan benar-benar demi kepentingan publik atau sekadar alat dominasi politik. Konsep politik hukum menurut para ahli seperti Mahfud MD dan Satjipto Rahardjo menunjukkan bahwa proses pembentukan hukum sebaiknya dilandasi pemikiran kritis dan keadilan sosial, bukan sekadar formalitas yang mengikuti arus dominasi kekuatan politik.
Selain itu, jurnal ini menekankan bahwa hubungan antara hukum dan etika dapat dilihat melalui tiga dimensi: substansi dan wadah, luasnya cakupan, serta alasan moral manusia dalam mematuhi atau melanggar hukum. Substansi hukum menjadi wadah yang menampung etika, sementara etika adalah isi yang menghidupi hukum tersebut. Sebagai contoh, seorang pemimpin publik yang memiliki kesadaran etis akan mematuhi hukum bukan hanya karena takut akan sanksi, tetapi karena adanya keyakinan bahwa kepatuhan tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab moral. Etika bertindak sebagai filter preventif yang mencegah tindakan buruk sebelum mencapai tahap pelanggaran hukum, sehingga perilaku yang baik seharusnya tidak perlu sampai diadili secara hukum karena sudah terkoreksi oleh etika.
Dalam konteks sejarah politik hukum di Indonesia, upaya merumuskan politik hukum telah dimulai sejak kemerdekaan, di mana TAP MPRS No. 2 tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana menjadi tonggak awal yang kemudian diikuti dengan pengembangan politik hukum dalam bentuk GBHN yang diperbarui secara berkala. Melalui GBHN, politik hukum menjadi bagian dari perencanaan strategis pembangunan nasional yang berakar pada nilai-nilai Pancasila. Etika dalam hal ini berperan sebagai landasan moral untuk memastikan bahwa kebijakan hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga adil dan mencerminkan nilai-nilai luhur yang diakui masyarakat.
Penulis menegaskan bahwa hukum yang ideal adalah hukum yang bersifat "ius constituendum," yaitu hukum yang seharusnya berlaku dan mencerminkan aspirasi keadilan sosial. Oleh karena itu, perumusan hukum harus melibatkan proses pemikiran kritis yang mempertimbangkan aspek etis dan kebutuhan masyarakat. Etika tidak hanya menjadi penuntun dalam penetapan hukum, tetapi juga berfungsi sebagai penilaian bagi perilaku pemangku kepentingan. Dengan demikian, penegakan hukum yang mengabaikan dimensi etika hanya akan menciptakan ketidakadilan dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Kesimpulannya, jurnal ini menegaskan pentingnya sinergi antara hukum dan etika dalam membangun politik hukum yang tidak hanya mengatur, tetapi juga memelihara martabat manusia dan keadilan sosial di Indonesia.