CONTOH PEMBELAJARAN IPA KONTEKSTUAL (Ini contoh pembelajaran yang pernah saya laksanakan ketika menjadi guru SMP Swadhipa 4 tahun 1990, Jauh sebelum ada K-13).
Waktu itu saya adalah guru IPA yang akan mengajarkan tentang perbedaan berat jenis antara air dan bensin. Setelah saya menyampaikan pokok bahasan kepada siswa, kemudian saya menuangkan bensin dari dalam botol yang sengaja saya bawa dari rumah dan saya tuangkan ke dalam sebuah cangkir yang ada di atas meja. Setelah itu kemudian saya juga menuangkan air kedalam tempat yang sama. Sambil berlaga seorang pesulap, saya kemudian menyalakan api, dan meletakkannya di atas cairan itu. Api pun menyala. Seluruh siswa merasa heran melihat peristiwa itu (pada saat itu).
Secara serentak mereka bertanya : “Mengapa bisa terjadi seperti itu? Bukankah bensin ada di bawah air?”. Saya sebagai guru IPA tersenyum sambil mengangkat bahu saya. “Ya, mengapa api bisa menyala diatas air?”, kata salah seorang siswa. “Ya, mengapa?”, timpal saya (guru). “Coba siapa yang dapat menebak kira-kira apa sebabnya!”. Seluruh siswa tampak seperti berpikir. Tiba-tiba seorang siswa bertanya sambil mengancungkan tangannya, “Apakah air yang bapak tuangkan tadi lebih banyak dibandingkan bensin?”. “Oh, tidak....”jawab saya. “Apakah itu disebabkan karena air bercampur bensin?” (timpal siswa yang lain). “Emm....Bapak kira tidak, tuh...!” (kata saya). Seluruh siswa terdiam sambil menatap nyala api yang kian mengecil dan akhirnya padam. “Nah, sekarang coba kalian lihat, api itu telah padam. Kita coba sekarang bakar lagi...”kata saya sebagai guru sambil menyalakan kembali apinya dan meletakkannya kembali diatas cairan tersebut. Namun ternyata api tidak mau menyala. “Ternyata tidak dapat dinyalakan lagi...!”. “Ya...!” kata siswa serempak. “Apakah cairan itu telah habis?”. “Coba kalian lihat sendiri!” kata saya sambil memperlihatkan tempat air. “Apa yang kamu lihat...?”. “Cairannya masih ada....!”. “Cairan apa yang masih ada itu?”. Kembali siswa terdiam untuk beberapa saat.
Selanjutnya saya menatap siswa sambil memancing siswa untuk menjawab atau mengeluarkan pendapat. Namun, tidak ada seorang pun yang berkata. “Nah, kalau begitu bapak akan coba membakar kembali cairan ini” bilang saya ke siswa. Namun, lagi-lagi tidak mau menyala seperti pada demonstrasi yang pertama tadi. Tiba-tiba seorang siswa mengancungkan tangan sambil tersenyum. “Saya tahu jawabannya, Pak!”. “Bagus, coba apa?”. “Cairan yang tersisa itu adalah air, Pak!”. “Kenapa kamu bisa mengatakan demikian?”. “Sebab bensin sudah habis terbakar”. Lalu saya beru pujian: “Bagus, jawabanmu. Sekarang kita kembali ke permasalahan semula, mengapa ketika air di campur dengan bensin tadi terjadi nyala api...?”, tanya saya ke siswa. “Apakah itu disebabkan karena bensin ada di atas air?”, pertanyaan salah seorang siswa. “Pendapatmu hampir tepat..!”, kata saya. “Bagaimana berat jenis air dan bensin itu pak?”, pertanyaan siswa lain. Lalu saya beri pujian: “Bagus, coba kamu perjelas pertanyaannya!”. “Apakah air memiliki berat jenis yang lebih berat dibandingkan bensin?”. “Menurut kamu bagaimana....”. Siswa berpikir lagi. “Saya kira air memiliki berat jenis yang berbeda dengan bensin. Hal ini dapat dibuktikan dari proses menyalanya api tadi...” kata seorang siswa.
Sebagai seorang guru IPA saya merasa puas, sambil mengangkat ibu jari saya (seraya berkata... "hebat kalian...!!!"). Dengan demonstrasi tersebut siswa sudah bisa menyimpulkan bahwa berat jenis air dan bensin berbeda. Tinggal melanjutkan mana BJ yang lebih besar, bensin atau air...? Diakhir pembelajaran siswa bisa menemukan BJ dari bensin lebih kecil dibanding BJ air.
Itu pembelajaran yang terjadi sekitar tahun 1990, yang waktu itu dikenal dg kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Jadi sebenarnya, bukan hanya sekarang (K-13) ditekankan agar dalam pembelajaran mestinya berorientasi pada siswa dan kemampuan siswa dalam berpikir...