CASE STUDY

CASE STUDY

Number of replies: 4

Di sebuah desa adat di Indonesia Timur, masyarakat telah lama menggunakan sistem "Sasi", yaitu larangan untuk mengambil hasil hutan, laut, atau kebun dalam jangka waktu tertentu. Tradisi ini dijaga secara turun-temurun dan dipercaya dapat menjaga keseimbangan alam serta menjamin ketersediaan sumber daya alam di masa depan.

Namun, beberapa tahun terakhir, anak-anak muda di desa mulai meragukan efektivitas "Sasi". Mereka tergiur oleh pekerjaan di kota dan industri luar yang menjanjikan keuntungan cepat, bahkan jika itu berarti menebang pohon secara liar atau menangkap ikan dengan bom.

Sebagai seorang pemuda lokal yang memahami nilai "Sasi", kamu ditunjuk oleh tetua adat untuk mengembangkan cara baru agar tradisi ini tetap relevan dan mampu menarik minat generasi muda, sekaligus memperkuat ekonomi masyarakat.

Pertanyaan:

  1. Apa langkah-langkah kreatif yang bisa Anda lakukan untuk menjaga keberlanjutan tradisi "Sasi" agar tetap relevan di era modern?
  2. Bagaimana Anda bisa menggabungkan kearifan lokal ini dengan peluang ekonomi yang memberdayakan masyarakat tanpa merusak lingkungan?

In reply to First post

Re: CASE STUDY

Yuni Erdalina 2423031008 གིས-
Di tengah arus modernisasi dan perkembangan teknologi digital, tradisi Sasi sebuah kearifan lokal masyarakat sebuah desa adat di Indonesia timur dalam menjaga keseimbangan alam perlu diadaptasi agar tetap relevan dan menarik bagi generasi muda. Sasi bukan hanya simbol adat, tetapi juga sistem ekologis dan sosial yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Untuk mempertahankan nilai luhur ini di era modern, diperlukan langkah-langkah kreatif yang memadukan pendekatan budaya, teknologi, pendidikan, dan ekonomi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan edukasi dengan media kekinian. Konten edukatif seperti video pendek di platform TikTok atau Instagram Reels dapat digunakan untuk menampilkan proses Sasi, manfaatnya bagi lingkungan, serta kisah inspiratif warga yang berhasil menjaga ekosistem lewat sistem ini. Kegiatan ini bisa diperkuat dengan mengundang influencer lokal atau nasional yang peduli terhadap isu lingkungan untuk melihat langsung praktik Sasi, sehingga pesan pelestarian budaya dan ekologi dapat tersebar lebih luas di kalangan generasi digital.
Langkah berikutnya adalah mengembangkan program “Sasi Goes Digital”, yaitu membuat platform daring yang dapat memantau periode Sasi lengkap dengan fitur notifikasi masa panen dan penutupan. Teknologi sederhana seperti kamera pengawas di kawasan hutan atau laut juga bisa dimanfaatkan untuk mencegah pencurian sumber daya alam. Dalam program ini, pemuda lokal dilibatkan sebagai pengawas lingkungan berbasis online, sehingga selain menjaga ekosistem, mereka juga berperan aktif dalam transformasi digital adat Sasi.
Selain digitalisasi, integrasi Sasi ke dalam kurikulum sekolah dan kampus juga penting dilakukan. Sekolah dapat menjadikan Sasi sebagai bagian dari pembelajaran IPS, Geografi, atau Pendidikan Lingkungan, sementara universitas bisa mengadakannya sebagai proyek lapangan atau kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Melalui kegiatan ini, pelajar dan mahasiswa tidak hanya mengenal teori, tetapi juga terlibat langsung dalam praktik pelestarian alam dan pengembangan inovasi teknologi yang sesuai dengan kearifan lokal.
Untuk memperkuat kesadaran publik, diadakan Festival Budaya dan Lingkungan Sasi sebagai ajang tahunan yang memadukan seni, musik, lomba, dan pameran produk hasil Sasi. Festival ini bukan sekadar hiburan, melainkan bentuk edukasi budaya dan promosi wisata yang membangkitkan kebanggaan generasi muda terhadap tradisinya. Dengan menjadikan Sasi sebagai bagian dari identitas daerah, masyarakat dapat mengubahnya menjadi potensi ekonomi kreatif yang berkelanjutan.
Dalam konteks ekonomi, penggabungan kearifan lokal dengan peluang ekonomi berkelanjutan dapat dilakukan melalui pengembangan ekowisata berbasis Sasi. Wisatawan dapat diajak mengikuti tur edukatif yang memperkenalkan filosofi Sasi, mengunjungi ekosistem laut dan hutan yang dilindungi, serta tinggal bersama keluarga lokal dalam konsep homestay yang menerapkan nilai-nilai ekologis. Pemuda desa dapat berperan sebagai pemandu wisata atau pengelola kegiatan tersebut, sehingga mereka menjadi agen pelestarian sekaligus pelaku ekonomi kreatif.
Selain itu, ketika masa panen tiba, hasil laut dan hutan yang diperoleh melalui sistem Sasi dapat diolah menjadi produk bernilai tambah seperti abon ikan, sirup buah, atau madu kemasan. Produk-produk ini dapat diberi label “Sasi-Certified” untuk menjamin keaslian dan ramah lingkungan, lalu dipasarkan melalui platform e-commerce maupun toko oleh-oleh wisata. Kegiatan ini dapat dikembangkan melalui kemitraan dengan perusahaan yang menerapkan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance), yang turut mendukung program pelestarian lingkungan lewat CSR seperti adopsi pohon atau terumbu karang selama masa Sasi.
Langkah terakhir adalah pelatihan wirausaha hijau bagi pemuda lokal. Pemerintah desa atau lembaga pendidikan dapat menyelenggarakan pelatihan tentang budidaya lebah madu, pembibitan mangrove, atau pengolahan hasil laut berkelanjutan. Modal awal bisa diperoleh dari dana desa atau kredit usaha rakyat, sementara pengelolaan hasilnya dilakukan melalui koperasi pemuda dengan sistem bagi hasil yang adil. Dengan cara ini, Sasi tidak lagi hanya menjadi aturan adat, tetapi juga menjadi gerakan ekonomi hijau yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa meninggalkan nilai budaya dan kelestarian alam.
Melalui berbagai langkah tersebut, tradisi Sasi dapat terus hidup dan berkembang di tengah perubahan zaman. Ia bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga menjadi model kearifan lokal berkelanjutan yang menggabungkan nilai tradisi, teknologi, dan ekonomi hijau untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam.
In reply to First post

Re: CASE STUDY

Gilang Rickat Trengginas 2423031005 གིས-

Tradisi Sasi merupakan wujud nyata kearifan lokal masyarakat Indonesia Timur dalam menjaga keseimbangan alam. Sistem ini menekankan pada pengelolaan sumber daya alam secara bijak dengan memberikan waktu bagi alam untuk pulih sebelum dimanfaatkan kembali. Dalam konteks keberlanjutan, Sasi berfungsi sebagai instrumen sosial-ekologis yang menanamkan kesadaran kolektif untuk hidup selaras dengan lingkungan (Latuconsina, 2018). Dengan menegakkan larangan sementara terhadap pemanfaatan hasil hutan dan laut, masyarakat tidak hanya melindungi ekosistem, tetapi juga menciptakan pola hidup berkelanjutan yang berbasis nilai adat.

Namun, tantangan muncul ketika generasi muda mulai kehilangan keterikatan terhadap nilai-nilai tradisi akibat modernisasi dan kebutuhan ekonomi yang meningkat. Untuk menjaga relevansi Sasi di era modern, diperlukan pendekatan kreatif seperti digitalisasi nilai-nilai budaya melalui media sosial dan pelibatan pemuda dalam kegiatan konservasi berbasis teknologi. Misalnya, pembuatan aplikasi atau platform daring yang menampilkan jadwal Sasi, peta wilayah adat, dan manfaat ekologisnya dapat membantu menumbuhkan kebanggaan identitas lokal (Rahail, 2021). Dengan demikian, Sasi tidak lagi hanya dipandang sebagai aturan adat, tetapi juga simbol inovasi lokal yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Selain memperkuat aspek budaya, penggabungan Sasi dengan peluang ekonomi berkelanjutan menjadi kunci utama. Masyarakat dapat mengembangkan sektor ekowisata, seperti wisata bahari berbasis konservasi, yang memperlihatkan praktik Sasi kepada wisatawan sebagai bagian dari edukasi lingkungan (Tamalene, 2020). Aktivitas ini tidak hanya membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal, tetapi juga meningkatkan nilai ekonomi sumber daya tanpa merusak ekosistem. Pendekatan ini menciptakan hubungan sinergis antara ekonomi, sosial, dan lingkungan, sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan.

Revitalisasi Sasi memerlukan dukungan kolaboratif antara pemerintah daerah, lembaga adat, dan masyarakat. Pendidikan lingkungan berbasis kearifan lokal perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah agar generasi muda memahami pentingnya menjaga keseimbangan alam. Dengan memperkuat kesadaran ekologis sekaligus memberikan manfaat ekonomi nyata, Sasi dapat menjadi model konservasi modern yang berpijak pada akar budaya lokal. Upaya ini membuktikan bahwa tradisi tidak harus ditinggalkan untuk maju, melainkan bisa menjadi fondasi inovasi masa depan yang berkelanjutan.

Referensi :
Latuconsina, R. (2018). Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam melalui sistem Sasi di Maluku. Jurnal Sosiohumaniora, 20(2), 145–156.
Rahail, A. (2021). Revitalisasi nilai-nilai budaya lokal di era digital: Studi kasus tradisi Sasi di Maluku Tengah. Jurnal Kebudayaan dan Komunikasi, 13(1), 23–37.
Tamalene, M. N. (2020). Ekowisata berbasis masyarakat dan kearifan lokal di Indonesia Timur. Jurnal Pariwisata Berkelanjutan, 8(2), 56–70.
In reply to First post

Re: CASE STUDY

Iskandar 2423031007 གིས-
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Nama : Iskandar
NPM : 2423031007

Mohon izin menjawab ibu

1. “Apa langkah-langkah kreatif yang bisa Anda lakukan untuk menjaga keberlanjutan tradisi Sasi agar tetap relevan di era modern?”
Jawab:

Langkah-Langkah Kreatif Menjaga Keberlanjutan Tradisi Sasi di Era Modern
Menurut Satria (2021), Sasi merupakan sistem sosial-ekologis yang berfungsi sebagai mekanisme pengendalian eksploitasi sumber daya di wilayah pesisir Indonesia Timur. Nilai-nilai dalam Sasi menekankan etika ekologis, solidaritas sosial, dan tanggung jawab antargenerasi terhadap alam. Namun, modernisasi dan perubahan nilai generasi muda menyebabkan tradisi ini terancam punah. Langkah pertama untuk menjaga keberlanjutan Sasi adalah melakukan revitalisasi nilai budaya melalui pendidikan formal dan nonformal. Sekolah di desa dapat memasukkan praktik Sasi sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal, di mana siswa belajar tentang aturan adat, ekologi laut, serta konsekuensi ekologis dari pelanggaran Sasi. Selain itu, pembentukan forum lintas generasi antara tetua adat dan pemuda dapat menjadi ruang dialog dan pembelajaran interaktif. Pemuda diajak untuk menginterpretasikan Sasi dengan bahasa yang lebih kontekstual terhadap tantangan modern seperti krisis iklim, sehingga tradisi ini tetap relevan secara ideologis dan praktis.

Leal Filho et al. (2022) menguatkan bahwa pelestarian tradisi ekologis lokal memerlukan transformasi dari sekadar aturan adat menjadi sistem pendidikan berkelanjutan berbasis partisipasi. Generasi muda perlu dilibatkan sebagai penggerak utama agar kearifan lokal tidak terhenti sebagai memori budaya, tetapi menjadi aksi sosial kolektif. Salah satu inovasi kreatif adalah digitalisasi praktik Sasi melalui pembuatan aplikasi atau platform daring yang memuat kalender adat, zona konservasi, serta status buka-tutup Sasi. Teknologi ini memungkinkan masyarakat luas mengetahui kapan suatu area laut atau hutan sedang “disasi”, sekaligus menumbuhkan transparansi dan kepatuhan. Pemuda juga dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana kampanye ekologi budaya. Dengan membuat konten visual seperti video pendek, animasi, atau podcast, nilai-nilai Sasi dapat disebarluaskan kepada audiens global. Hal ini mengubah tradisi menjadi bagian dari identitas digital yang membanggakan.
Keraf (2020) menjelaskan bahwa revitalisasi etika lingkungan lokal harus berangkat dari kesadaran moral kolektif bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem, bukan penguasanya. Nilai Sasi menegaskan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian alam sebagai dasar kehidupan masyarakat adat. Dalam konteks modern, pendekatan edukasi moral ekologis berbasis budaya dapat diperkuat dengan seni dan ritual lokal. Misalnya, menciptakan pertunjukan teater rakyat, film dokumenter, atau festival Sasi yang menggambarkan filosofi “alam sebagai ibu kehidupan.” Media budaya semacam ini menyentuh sisi emosional generasi muda. Selain itu, mengintegrasikan nilai Sasi dalam pendidikan karakter ekologis nasional juga penting. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat bekerja sama dengan komunitas adat untuk menjadikan Sasi sebagai contoh konkret implementasi Education for Sustainable Development di Indonesia Timur.

Damanik dan Fadhilah (2023), menjaga relevansi kearifan lokal membutuhkan inovasi sosial yang menyesuaikan perubahan sosial-ekonomi. Generasi muda perlu didorong untuk menjadi “agen pelestari kreatif” dengan menggabungkan teknologi, seni, dan partisipasi masyarakat. Langkah berikutnya adalah membentuk komunitas kreatif lingkungan yang berfokus pada promosi dan riset tradisi Sasi. Komunitas ini dapat menghasilkan konten edukatif, penelitian etnografi digital, serta kegiatan green campaign yang menggandeng sekolah dan lembaga pariwisata lokal. Selain itu, inovasi dapat berupa pembuatan museum digital atau arsip daring tentang Sasi, yang mendokumentasikan sejarah, lagu adat, dan ritual pembukaan Sasi. Upaya ini menjaga pengetahuan leluhur tetap hidup sekaligus menjadi sumber literasi budaya bagi masyarakat global.

UNESCO (2024) menekankan bahwa pelestarian tradisi lokal di era Society 5.0 harus melibatkan teknologi cerdas yang memfasilitasi pembelajaran lintas budaya. Kearifan lokal seperti Sasi berpotensi menjadi model pendidikan lingkungan berbasis masyarakat yang mengintegrasikan budaya, sains, dan inovasi digital. Sebagai strategi implementasi, pemuda lokal dapat mengembangkan program Sasi Smart Village, yaitu desa pintar berbasis nilai-nilai Sasi dengan sistem sensor digital untuk pemantauan perairan, limbah, dan kondisi ekosistem laut. Inovasi ini menampilkan harmoni antara adat dan teknologi. Langkah kreatif lainnya adalah menjadikan tradisi Sasi bagian dari wisata edukasi lingkungan digital, di mana pengunjung dapat mengikuti simulasi ritual Sasi melalui teknologi augmented reality (AR). Dengan begitu, tradisi ini tidak hanya dilestarikan, tetapi juga dipopulerkan sebagai warisan ekologis dunia.
Menjaga keberlanjutan Sasi di era modern menuntut sinergi antara budaya dan inovasi. Langkah-langkah kreatif seperti digitalisasi adat, pendidikan lingkungan berbasis budaya, kampanye media sosial, hingga pengembangan Sasi Smart Village menjadikan tradisi ini tetap hidup dan relevan. Generasi muda menjadi kunci utama—bukan hanya sebagai pewaris nilai, tetapi juga sebagai inovator yang menghubungkan kearifan lokal dengan masa depan ekologis yang berkelanjutan.

2. “Bagaimana Anda bisa menggabungkan kearifan lokal ini dengan peluang ekonomi yang memberdayakan masyarakat tanpa merusak lingkungan?”
Jawab:

Integrasi Kearifan Lokal Sasi dengan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat Menurut Damanik dan Fadhilah (2023), potensi ekonomi berbasis kearifan lokal hanya dapat berkembang jika masyarakat diberdayakan melalui pendekatan community-based economy. Pendekatan ini memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai dengan kapasitas ekosistem. Tradisi seperti Sasi memiliki nilai ekonomi tinggi apabila dikaitkan dengan praktik ekonomi hijau dan ekowisata. Langkah strategis pertama adalah membangun koperasi adat Sasi yang mengelola hasil laut, hutan, dan kebun dengan sistem bagi hasil berkelanjutan. Koperasi ini dapat menjadi wadah produksi, distribusi, dan pelatihan ekonomi sirkular berbasis lingkungan. Koperasi tersebut juga bisa bermitra dengan lembaga keuangan mikro ramah lingkungan untuk mendukung pembiayaan usaha kecil berbasis Sasi seperti kerajinan laut, produk olahan hasil hutan nonkayu, dan wisata konservasi. Dengan begitu, masyarakat memiliki akses modal tanpa harus merusak sumber daya alam. Leal Filho et al. (2022), penggabungan kearifan lokal dengan ekonomi modern harus memperhatikan nilai ekologis tradisi tersebut. Pembangunan ekonomi yang menghormati kearifan lokal dapat menciptakan eco-innovation, yaitu inovasi yang menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dan kelestarian lingkungan. Masyarakat dapat menciptakan label produk ekologis “Sasi Certified”, yang menandakan bahwa hasil laut atau hutan diambil sesuai dengan aturan adat dan tidak merusak ekosistem. Label ini meningkatkan nilai jual produk di pasar lokal dan global, terutama bagi konsumen yang mendukung prinsip fair trade dan keberlanjutan. Pemuda desa juga dapat mengembangkan platform digital pemasaran produk Sasi, seperti situs e-commerce atau media sosial yang menampilkan cerita budaya di balik setiap produk. Dengan pendekatan story-based marketing, nilai budaya dan tanggung jawab ekologis menjadi keunggulan kompetitif dalam pasar ekonomi hijau.

Keraf (2020) menekankan bahwa ekonomi berkelanjutan tidak hanya menekankan efisiensi produksi, tetapi juga etika ekologis. Masyarakat harus memandang alam bukan sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai subjek kehidupan bersama. Nilai Sasi mengandung prinsip moral bahwa kesejahteraan ekonomi harus dicapai tanpa melanggar harmoni ekologis. Untuk menggabungkan aspek ekonomi dan moral, masyarakat dapat mengembangkan program wisata edukatif berbasis Sasi, di mana wisatawan diajak belajar tentang nilai-nilai adat, konservasi laut, dan praktik penutupan wilayah tangkap. Pendapatan dari wisata tersebut bisa digunakan untuk dana konservasi dan beasiswa anak nelayan. Selain wisata, pelatihan kewirausahaan ekologis bagi pemuda juga penting. Mereka dapat belajar mengolah hasil laut berkelanjutan menjadi produk bernilai tambah seperti keripik ikan organik, minyak kelapa alami, atau suvenir ramah lingkungan yang dipasarkan secara daring. Menurut Arifin dan Rahardjo (2024), penguatan ekonomi lokal berbasis lingkungan memerlukan tata kelola kolaboratif yang melibatkan pemerintah, lembaga adat, dan sektor swasta. Model kolaborasi ini disebut inclusive green governance, yang menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama sekaligus penerima manfaat pembangunan hijau. Pemerintah daerah dapat mendukung ekonomi Sasi dengan memberikan insentif pajak hijau atau subsidy for conservation bagi kelompok masyarakat yang aktif menjaga kawasan konservasi laut atau hutan adat. Kebijakan ini memberikan nilai ekonomi langsung bagi tindakan pelestarian lingkungan. Selain itu, pelibatan universitas dalam riset Sasi-based business model dapat memperkuat legitimasi ilmiah dan membuka peluang kerja sama dengan sektor swasta beretika lingkungan. Kolaborasi ini menghasilkan inovasi bisnis berbasis data yang meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan ekonomi masyarakat adat.

UNESCO (2024) menegaskan bahwa pembangunan ekonomi yang berakar pada budaya lokal merupakan pilar penting dalam Education for Sustainable Development (ESD). Pendekatan ini mendorong generasi muda untuk memahami hubungan antara ekonomi, budaya, dan ekologi secara integratif. Program pendidikan masyarakat dapat diarahkan pada pembentukan inkubator ekonomi hijau berbasis Sasi. Inkubator ini berfungsi memberikan pelatihan manajemen bisnis, literasi keuangan, dan pemasaran digital kepada masyarakat desa dengan tetap menekankan nilai konservasi adat. Untuk memperkuat keberlanjutan, generasi muda dapat berperan sebagai eco-entrepreneur adat, yaitu wirausahawan sosial yang memadukan inovasi ekonomi dengan pelestarian budaya. Dengan semangat tersebut, Sasi tidak hanya dipertahankan sebagai simbol tradisi, tetapi berkembang menjadi ekosistem ekonomi baru yang berkelanjutan.
Integrasi antara kearifan lokal Sasi dan ekonomi berkelanjutan dapat dilakukan melalui inovasi kelembagaan, digitalisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Koperasi adat, label “Sasi Certified,” wisata edukatif, dan inkubator ekonomi hijau menjadi strategi konkret yang mengubah nilai tradisi menjadi kekuatan ekonomi. Dengan mengutamakan etika ekologis dan kolaborasi lintas sektor, Sasi dapat menjadi model ekonomi hijau berbasis budaya lokal yang mendukung kesejahteraan masyarakat sekaligus melestarikan alam.

Referensi
Arifin, Z., & Rahardjo, D. (2024). Inclusive green governance and local economic transformation in Indonesia. Journal of Environmental Policy Studies, 20(1), 45–60.
Damanik, J., & Fadhilah, R. (2023). Local wisdom and green economy integration in coastal communities of Indonesia. Journal of Sustainable Development Studies, 18(4), 205–222.
Damanik, J., & Fadhilah, R. (2023). Local wisdom and green innovation in Indonesia’s coastal communities. Journal of Sustainable Development Studies, 18(2), 115–133.
Keraf, A. S. (2020). Etika lingkungan hidup. Kompas Media Nusantara.
Leal Filho, W., Salvia, A. L., & Pretorius, R. (2022). Indigenous knowledge and sustainability education. Springer Nature.
Satria, A. (2021). Ekologi politik sumber daya pesisir dan laut di Indonesia. IPB Press.
UNESCO. (2024). Education for Sustainable Development and Indigenous Knowledge Integration. Paris: UNESCO Publishing.
In reply to First post

Re: CASE STUDY

Erma Oktaviani 2423031004 གིས-
Tradisi Sasi merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat di Maluku dan Papua Barat yang berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga keseimbangan ekologi laut, hutan, dan kebun. Menurut Persada, Mangunjaya, & Tobing (2016), Sasi mengatur periode “tutup” (larangan pengambilan hasil alam) dan “buka” (izin pemanfaatan kembali) untuk memastikan regenerasi sumber daya alam secara alami. Sistem ini telah berperan penting menjaga ketersediaan ikan, hasil hutan, serta menjaga solidaritas sosial masyarakat adat.
Namun, penelitian Bolan & Juniartin (2024) menunjukkan bahwa generasi muda kini mulai memandang Sasi sebagai tradisi yang tidak ekonomis dan kurang relevan dengan gaya hidup modern. Tantangan globalisasi, urbanisasi, dan kebutuhan ekonomi instan membuat nilai konservasi dalam Sasi mulai diabaikan. Karena itu, revitalisasi Sasi perlu dilakukan dengan pendekatan kreatif dan kontekstual.
1. Langkah-langkah kreatif untuk menjaga relevansi tradisi “Sasi”
1. Digitalisasi dan dokumentasi budaya.
Mengikuti saran dari Multivocal Responses to Conservation in Maluku (2024), dokumentasi tradisi Sasi melalui media digital (film pendek, podcast, atau konten edukatif) dapat menarik perhatian generasi muda. Dengan teknologi, kisah-kisah adat bisa dipublikasikan ke platform daring sebagai warisan budaya sekaligus alat edukasi lingkungan.
2. Integrasi Sasi dalam pendidikan formal dan nonformal.
Bolan & Juniartin (2024) menekankan bahwa nilai-nilai Sasi—seperti disiplin ekologis, kesadaran sosial, dan tanggung jawab kolektif—dapat diintegrasikan ke dalam pendidikan sekolah melalui kegiatan lingkungan dan pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning). Langkah ini akan menumbuhkan kesadaran ekologis sejak dini.
3. Festival dan pariwisata budaya Sasi.
Berdasarkan Harkes (2002), kekuatan Sasi terletak pada peran sosial dan ritualnya. Oleh karena itu, menghadirkan Sasi Festival tahunan yang menampilkan ritual buka-tutup laut dapat memperkuat rasa bangga terhadap identitas lokal dan menarik wisatawan untuk belajar tentang konservasi tradisional.
4. Kolaborasi adat dan akademisi.
Menurut Sahusilawane et al. (2023), pelestarian Sasi perlu melibatkan universitas dan lembaga penelitian. Kolaborasi ini memungkinkan pemetaan kawasan Sasi berbasis GIS, penelitian biodiversitas, dan pengukuran dampak ekologis yang bisa memperkuat legitimasi tradisi di mata pemerintah dan masyarakat luas.

2. Menggabungkan Kearifan Lokal Sasi dengan Pemberdayaan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan
Penerapan Sasi tidak hanya berfungsi ekologis, tetapi juga memiliki potensi ekonomi yang besar bila dikelola secara inovatif dan berkelanjutan.
1. Ekowisata berbasis Sasi.
Kawasan laut dan hutan yang dilindungi Sasi dapat dijadikan destinasi ekowisata edukatif, di mana wisatawan diajak untuk melihat proses buka-tutup Sasi dan belajar tentang konservasi berbasis adat. Pendekatan ini terbukti efektif meningkatkan ekonomi lokal tanpa merusak lingkungan (Persada et al., 2016; Harkes, 2002).
2. Pengembangan produk lokal pasca-Sasi.
Setelah masa larangan berakhir, hasil laut dan hutan yang dipanen dapat diolah menjadi produk bernilai tambah seperti ikan asap, madu hutan, atau minyak kelapa organik. Bolan & Juniartin (2024) menunjukkan bahwa model green entrepreneurship berbasis adat mampu meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa mengorbankan kelestarian sumber daya alam.
3. Koperasi adat hijau (Green Cooperative).
Mengacu pada Sahusilawane et al. (2023), pengelolaan hasil Sasi secara kolektif melalui koperasi adat dapat menjaga prinsip keadilan sosial dan mencegah eksploitasi. Dana hasil penjualan dapat digunakan untuk kegiatan konservasi, pendidikan lingkungan, dan bantuan sosial desa.
4. Skema insentif ekologi.
Pemerintah daerah atau lembaga donor dapat memberikan eco-incentives bagi kelompok penjaga Sasi yang berhasil menjaga kelestarian kawasan. Ini sejalan dengan pendekatan Payment for Environmental Services (PES) yang banyak diterapkan di kawasan konservasi Asia Tenggara (Harkes, 2002).
Jadi kesimpulannya bahwa Revitalisasi Sasi membutuhkan perpaduan antara inovasi modern dan nilai tradisional. Dengan mendigitalisasi tradisi, melibatkan generasi muda, mengembangkan ekonomi hijau berbasis adat, serta memperkuat kolaborasi antara lembaga adat dan akademik, Sasi dapat menjadi model nyata pelestarian lingkungan berbasis kearifan lokal yang relevan di abad ke-21.
Tradisi ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terutama poin 12 (Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan), poin 14 (Kehidupan di Bawah Laut), dan poin 15 (Ekosistem Daratan). Dengan demikian, Sasi bukan hanya warisan budaya, tetapi juga strategi ekologis dan ekonomi yang berkelanjutan.
• Bolan, N., & Juniartin, J. (2024). The Role of the Sasi Tradition in Supporting Environmental Conservation and Developing Character Love the Environment. International Journal of Education, Information Technology, and Others, 7(4), 205-212. https://jurnal.peneliti.net/index.php/IJEIT/article/download/11140/7417
• Persada, N. P. R., Mangunjaya, F., & Tobing, I. S. L. (2016). Sasi sebagai budaya konservasi sumber daya alam di Kepulauan Maluku. Jurnal Ilmu Budaya, 41(59). https://journal.unas.ac.id/ilmu-budaya/article/view/453
• Harkes, I. (2002). Presence, performance and institutional resilience of sasi, a traditional management institution in Central Maluku, Indonesia. Ocean & Coastal Management, 45(4–5), 237-260. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0964569102000571
• Sahusilawane, M. M., Sunardi, & Iskandar, J. (2023). Implementation of Sasi which impact on the sustainability of ecosystem services in Maluku. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/378434851
• Multivocal Responses to Conservation in Maluku Province, Indonesia. (2024). Sustainability: Science, Practice & Policy. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/sjtg.12554