NPM: 2526061007
Posts made by Berly Waryanti
MIA KP&A 2025 -> UTS Take home
Yth, Prof. Intan Fitri Meutia, S. A. N., M.A., Ph.D.
Dosen pengampu MK Kebijakan Publik dan Aplikasinya
Berikut saya lampirkan tugas UTS Take Home Berly Waryanti 2526061007
Terima kasih.
MIA KP&A 2025 -> Diskusi 2
Hutan merupakan salah satu aset alam yang paling berharga bagi manusia dan lingkungan karena menyimpan keanekaragaman hayati, menyediakan plasma nutfah, kayu, serta berbagai hasil hutan non-kayu seperti getah, madu, dan rempah. Selain fungsinya sebagai sumber daya ekonomi, hutan juga memiliki peran ekologis yang sangat strategis, antara lain dalam pengaturan siklus air, pencegahan banjir, pengurangan erosi tanah, dan pemeliharaan kesuburan tanah (Ganz et al., 2020). Fungsi hutan tidak hanya terbatas pada aspek ekologi; ia juga memiliki nilai sosial, budaya, dan ilmiah, termasuk sebagai sarana rekreasi, pariwisata, serta objek penelitian dalam ilmu lingkungan dan biologi.
Di Indonesia, pengelolaan dan perlindungan hutan diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD 1945, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 28 Tahun 1985, hingga sejumlah keputusan Menteri Kehutanan dan Dirjen terkait. Regulasi ini dirancang untuk menjaga kelestarian hutan sekaligus memberikan pedoman bagi pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Namun demikian, tantangan terhadap keberlanjutan hutan di Indonesia terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, terutama akibat tekanan manusia, perubahan iklim, dan aktivitas ekonomi yang belum sepenuhnya ramah lingkungan (Naderpour et al., 2021).
Salah satu ancaman terbesar terhadap hutan adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Karhutla dapat terjadi secara disengaja maupun tidak disengaja. Data menunjukkan bahwa sekitar 90% kebakaran hutan terjadi karena ulah manusia, seperti pembukaan lahan pertanian dan perkebunan dengan cara membakar. Aktivitas ini sering dianggap lebih cepat dan murah dibandingkan metode mekanis atau ramah lingkungan. Selain itu, kelalaian manusia, misalnya membuang puntung rokok sembarangan, percikan api dari kendaraan, atau perkemahan, juga dapat memicu kebakaran.
Kebakaran yang tidak disengaja biasanya terkait dengan kondisi alam, terutama pada musim panas atau kemarau panjang. Selama periode ini, sumber air menjadi sangat terbatas, sedangkan proses evapotranspirasi menyebabkan vegetasi kehilangan kadar airnya. Dalam kondisi ini, gesekan antarranting atau tumbuhan yang kering dapat memicu percikan api, yang kemudian menyebar dengan cepat di lahan yang mudah terbakar.
Secara geografis, Indonesia berada di sepanjang garis khatulistiwa, sehingga memiliki dua musim utama: musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan umumnya berlangsung dari November hingga Februari, ketika angin barat laut membawa udara lembab ke wilayah timur laut, utara, barat laut, dan barat Indonesia. Curah hujan pada bulan Februari cenderung menurun dibanding Januari karena melemahnya monsun barat laut. Sebaliknya, musim kemarau terjadi antara April hingga Oktober, ditandai oleh hembusan angin kering dari Australia, dengan puncaknya terjadi pada bulan Juli di wilayah timur dan timur laut Indonesia (Gustaman, 2020).
Lebih lanjut akan dijelaskan dalam makalah terlampir yang akan membahas stukturisasi masalah, analisi sedeharna dalam kebijakan penanganan karhutla, aktor-aktor yang teribat dan kebijakan apa yang digunakan dalam penanganan masalah Karhutla tersebut,
MIA KP&A 2025 -> Diskusi 1
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu sumber energi utama yang memiliki peran vital dalam mendukung aktivitas ekonomi, transportasi, pertanian, serta sektor perikanan di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir fenomena kelangkaan solar kerap terjadi di berbagai daerah. Kelangkaan ini memicu antrean panjang di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), keterlambatan distribusi barang, hingga meningkatnya biaya produksi diberbagai sektor. Kondisi tersebut menimbulkan problem multidimensional yang melibatkan aspek ekonomi, sosial, dan tata kelola pemerintahan
Dari perspektif administrasi publik, kelangkaan solar bukan hanya fenomena teknis dalam manajemen distribusi energi, tetapi juga menyangkut efektivitas kebijakan publik, keadilan sosial, serta kapasitas tata kelola pemerintah dalam melibatkan berbagai aktor. Paradigma New Public Management (NPM) membawa perspektif menekankan pentingnya efisiensi, efektivitas, dan mekanisme pasar dalam tata kelola publik (Osborne & Gaebler, 1992). Dalam kerangka NPM, kelangkaan solar dianggap sebagai kegagalan manajerial dalam mengelola rantai pasok energi, termasuk monopoli distribusi dan subsidi yang tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, pendekatan NPM mendorong diversifikasi aktor distribusi, penggunaan teknologi informasi dalam penyaluran subsidi, serta kebijakan berbasis hasil yang lebih responsif terhadap dinamika permintaan pasar.
Pemerintah tengah menggodok revisi Perpres No. 191/2014 untuk memperjelas kriteria pengguna yang berhak atas BBM bersubsidi (solar dan pertalite), agar penyaluran lebih tepat sasaran. BPH Migas merencanakan pengetatan batas maksimal volume harian pembelian solar subsidi per kendaraan untuk mencegah penyalahgunaan. Pemerintah juga mengusulkan dalam RAPBN 2025 alokasi volume solar subsidi serta besaran subsidi (Rp/liter) tetap, dengan kontrol lebih ketat untuk sektor yang bukan prioritas.
Meski sudah ada regulasi, ada indikasi penyalahgunaan solar subsidi oleh pihak yang tidak seharusnya, misalnya sektor industri atau pertambangan. Regulasi dilarang untuk penggunaan industri tersebut tapi dalam praktik pengawasannya tidak selalu konsisten. Infrastruktur pengawasan dan distribusi (termasuk regulasi daerah, pengawasan di SPBU, rekomendasi lokal) masih perlu diperkuat agar regulasi berjalan efektif.
Untuk mengatasi kelangkaan BBM solar, pemerintah perlu:
- Memperkuat regulasi dan pengawasan distribusi solar bersubsidi agar tepat sasaran, khususnya bagi nelayan, petani, dan pelaku transportasi kecil.
- Memanfaatkan teknologi informasi (misalnya digital tracking dan QR code) guna meningkatkan transparansi penyaluran serta mencegah penyalahgunaan.
- Mendorong kolaborasi multi-aktor, melibatkan pemerintah daerah, BUMN, swasta, dan masyarakat dalam monitoring distribusi solar.
- Menata ulang skema subsidi dengan mekanisme yang lebih adil, berkelanjutan, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat produktif.