Diskusi 2

Diskusi 2

Diskusi 2

Number of replies: 14

Tentukan masalah Publik yang menurut anda urgent untuk diselesaikan oleh Negara. Kemudian buat strukturisasi masalah, lakukan analisis sederhana, sebutkan partisipan aktor dan institusi yang berperan serta tentukan kebijakan publik yang sesuai untuk mengatasi masalah tersebut.

Note: Format A4, spasi 1, minimal 3 lembar, dan sertakan daftar pustaka yang relevan minimal 3.


In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Puspa Widya Kencana -

Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah perkotaan mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau. Menyambut peraturan tersebut, Pemerintah Kota Bandar Lampung telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 14 Tahun 2023 tentang Penyediaan dan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Hal ini menjadi dasar komitmen Pemkot Bandar Lampung terkait kondisi RTH Bandar Lampung yang merosot dari yang sebelumnya 11,08 persen menjadi 4.5 persen.

Menurut Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri, penurunan area RTH di Kota Bandar Lampung dikarenakan adanya pergeseran program tata ruang yang telah merubah fungsi RTH kepada fungsi lain. Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana melalui Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2021-2041 menuangkan rencana tata ruang dengan memanfaatkan ruang wilayah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Masyarakat. Namun dalam pasal 28 ayat 1, tertulis bahwa Ruang Terbuka Hijau ditetapkan seluas kurang lebih 440 (empat ratus empat puluh) hektar saja dari wilayah perencanaan kota dengan luas kurang lebih 18.377 hektar (delapan belas ribu tiga ratus tujuh puluh tujuh), atau sebesar 2.39% saja. Tentu angka ini masih sangat jauh di bawah aturan pemerintah terkait pemenuhan RTH di wilayah kota.

Penurunan persentase RTH menjadi 4.5 persen (2.39 persen pada Perda 4/2021) ini tentu mengkhawatirkan. Disamping secara peraturan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 29 sangat jauh dari angka minimum, yaitu 20% RTH Publik dari luas Wilayah Kota/Kawasan dan 10% RTH Privat, hal ini juga dapat memberi dampak negatif terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat, khususnya di kota Bandar Lampung. Tulisan ini berusaha melihat bagaimana pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait permasalahan penurunan ruang terbuka publik di kota Bandar Lampung, bagaimana struktur masalahnya, partisipasi aktor yang terlibat serta beberapa rekomendasi kebijakan publik berdasarkan teori kebijakan publik. Tulisan ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Kebijakan Publik Magister Ilmu Administrasi Universitas Lampung.

 

Keseluruhan dokumen terlampir
In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Agus Effendi -

Analisis Krisis Sampah Perkotaan di Indonesia: Tantangan, Aktor, dan Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan analisis akar masalah dan pemetaan aktor, diperlukan perumusan kebijakan publik yang tidak parsial, melainkan bersifat holistik dan terintegrasi dari hulu ke hilir.

Penguatan kebijakan harus dimulai dari hulu, dengan menggeser paradigma dari "kumpul-angkut-buang" menjadi "kurangi-pilahkan-manfaatkan," sesuai dengan Perpres Nomor 97 Tahun 2017. Hal ini harus dimulai di tingkat rumah tangga. Strategi ini dapat didorong melalui edukasi yang berkelanjutan sejak usia dini, sebagaimana direkomendasikan oleh Herlinda dkk. (2018). Selain itu, bank sampah perlu diperkuat sebagai wadah untuk menabung sampah yang memiliki nilai ekonomis, sejalan dengan Permen LHK Nomor 14 Tahun 2021. Pemerintah juga harus mendorong tanggung jawab produsen yang diperluas dengan mewajibkan industri mengadopsi ekonomi sirkular dan menarik kembali kemasan yang sulit diurai, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020.

Untuk meningkatkan efisiensi di tingkat tengah (midstream), diperlukan langkah strategis untuk mengatasi fragmentasi. Pemerintah harus memfasilitasi integrasi sektor formal dan informal ke dalam rantai pasok pengelolaan sampah. Contohnya adalah dengan mendirikan koperasi pemulung atau kemitraan dengan perusahaan daur ulang, sebuah solusi yang diusulkan oleh Setiawan dkk. (2023). Langkah krusial lainnya adalah implementasi sistem "Satu Data" di sektor persampahan. Menggunakan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 sebagai acuan, ini akan mengatasi fragmentasi data antar kementerian, memastikan perencanaan yang lebih akurat dan terpadu.

Terakhir, solusi di hilir harus dipertimbangkan dengan cermat melalui inovasi teknologi dan perbaikan skema pendanaan. Pembangunan fasilitas WTE (Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik) harus diposisikan sebagai solusi untuk mengolah sampah residu, bukan sebagai solusi tunggal, sebuah pendekatan yang disarankan oleh Marlinda & Bintoro (2021). Pemerintah juga perlu meninjau ulang skema investasi untuk proyek-proyek infrastruktur sampah agar lebih menarik bagi investor swasta, misalnya dengan skema Public-Private Partnership (PPP) yang lebih feasible dan insentif yang lebih kuat. Pendekatan terintegrasi ini memastikan bahwa setiap tahapan dalam rantai pengelolaan sampah berfungsi secara efektif, dari hulu hingga hilir.

Selengkapnya ada pada makalah dibawah ini
In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Jumain Jumain -

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PENANGGULANGAN BANJIR DI KOTA BANDAR LAMPUNG

 

Banjir merupakan salah satu bencana alam yang hampir setiap tahun melanda berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Kota Bandar Lampung. Sebagai ibu kota Provinsi Lampung yang memiliki tingkat urbanisasi tinggi, Bandar Lampung menghadapi tantangan serius dalam mengelola tata ruang, drainase, dan lingkungan hidup. Fenomena banjir di kota ini sering terjadi terutama pada musim penghujan, ketika curah hujan yang tinggi tidak sebanding dengan kapasitas daya tampung saluran drainase dan semakin berkurangnya daerah resapan air.

Wilayah Kota Bandar Lampung dilanda banjir besar pada bulan Januari 2025. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung mencatat sebanyak 11.223 jiwa terdampak banjir tersebut. Berdasarkan rekapitulasi kejadian bencana, banjir pada bulan Januari telah melanda 16 kecamatan dari total 20 kecamatan dan 79 kelurahan dari 124 kelurahan. Pada bulan Februari 2025, sebanyak 9.022 rumah dan 30.850 jiwa kembali terdampak banjir yang melanda 14 kecamatan. Kondisi serupa juga terjadi pada tahun 2024, yang menunjukkan bahwa banjir bukanlah peristiwa insidental, melainkan masalah struktural yang berulang setiap tahun.

Selain faktor alam, aktivitas manusia menjadi pemicu utama terjadinya banjir. Alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan permukiman maupun pusat perdagangan, pembuangan sampah ke sungai, serta pembangunan tanpa perencanaan tata ruang yang berkelanjutan memperburuk kerentanan wilayah terhadap banjir. Kondisi ini menunjukkan adanya kelemahan dalam tata kelola lingkungan dan rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan.

Banjir di Bandar Lampung tidak hanya menimbulkan kerugian material berupa rusaknya infrastruktur, permukiman, dan fasilitas publik, tetapi juga membawa dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan yang signifikan. Aktivitas pendidikan dan perdagangan kerap terhambat, distribusi barang dan transportasi terganggu, serta muncul berbagai penyakit pasca-banjir yang mengancam kesehatan masyarakat. Dengan demikian, banjir di Bandar Lampung dapat dikategorikan sebagai masalah publik yang kompleks, karena menyangkut kepentingan banyak pihak dan memerlukan penanganan yang komprehensif.

Berdasarkan pandangan tersebut, banjir harus diposisikan sebagai isu kebijakan publik yang urgent karena menyangkut kepentingan umum (public interest), kesejahteraan masyarakat (social welfare), dan keberlanjutan pembangunan kota. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan publik yang terencana, integratif, dan berkelanjutan dalam mengatasi persoalan banjir di Kota Bandar Lampung. Sinergi antara pemerintah, masyarakat, sektor swasta, serta lembaga non-pemerintah menjadi kunci utama untuk menciptakan solusi jangka panjang yang tidak hanya berfokus pada penanganan darurat, tetapi juga pencegahan dan mitigasi risiko bencana.


Semua domunen terlampir
In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Berly Waryanti -
Analisis Kebijakan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla)

Hutan merupakan salah satu aset alam yang paling berharga bagi manusia dan lingkungan karena menyimpan keanekaragaman hayati, menyediakan plasma nutfah, kayu, serta berbagai hasil hutan non-kayu seperti getah, madu, dan rempah. Selain fungsinya sebagai sumber daya ekonomi, hutan juga memiliki peran ekologis yang sangat strategis, antara lain dalam pengaturan siklus air, pencegahan banjir, pengurangan erosi tanah, dan pemeliharaan kesuburan tanah (Ganz et al., 2020). Fungsi hutan tidak hanya terbatas pada aspek ekologi; ia juga memiliki nilai sosial, budaya, dan ilmiah, termasuk sebagai sarana rekreasi, pariwisata, serta objek penelitian dalam ilmu lingkungan dan biologi.
Di Indonesia, pengelolaan dan perlindungan hutan diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD 1945, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 28 Tahun 1985, hingga sejumlah keputusan Menteri Kehutanan dan Dirjen terkait. Regulasi ini dirancang untuk menjaga kelestarian hutan sekaligus memberikan pedoman bagi pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Namun demikian, tantangan terhadap keberlanjutan hutan di Indonesia terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, terutama akibat tekanan manusia, perubahan iklim, dan aktivitas ekonomi yang belum sepenuhnya ramah lingkungan (Naderpour et al., 2021).
Salah satu ancaman terbesar terhadap hutan adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Karhutla dapat terjadi secara disengaja maupun tidak disengaja. Data menunjukkan bahwa sekitar 90% kebakaran hutan terjadi karena ulah manusia, seperti pembukaan lahan pertanian dan perkebunan dengan cara membakar. Aktivitas ini sering dianggap lebih cepat dan murah dibandingkan metode mekanis atau ramah lingkungan. Selain itu, kelalaian manusia, misalnya membuang puntung rokok sembarangan, percikan api dari kendaraan, atau perkemahan, juga dapat memicu kebakaran.
Kebakaran yang tidak disengaja biasanya terkait dengan kondisi alam, terutama pada musim panas atau kemarau panjang. Selama periode ini, sumber air menjadi sangat terbatas, sedangkan proses evapotranspirasi menyebabkan vegetasi kehilangan kadar airnya. Dalam kondisi ini, gesekan antarranting atau tumbuhan yang kering dapat memicu percikan api, yang kemudian menyebar dengan cepat di lahan yang mudah terbakar.
Secara geografis, Indonesia berada di sepanjang garis khatulistiwa, sehingga memiliki dua musim utama: musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan umumnya berlangsung dari November hingga Februari, ketika angin barat laut membawa udara lembab ke wilayah timur laut, utara, barat laut, dan barat Indonesia. Curah hujan pada bulan Februari cenderung menurun dibanding Januari karena melemahnya monsun barat laut. Sebaliknya, musim kemarau terjadi antara April hingga Oktober, ditandai oleh hembusan angin kering dari Australia, dengan puncaknya terjadi pada bulan Juli di wilayah timur dan timur laut Indonesia (Gustaman, 2020).
Lebih lanjut akan dijelaskan dalam makalah terlampir yang akan membahas stukturisasi masalah, analisi sedeharna dalam kebijakan penanganan karhutla, aktor-aktor yang teribat dan kebijakan apa yang digunakan dalam penanganan masalah Karhutla tersebut,
In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Nabilah Putri Sakinah -
Analisis tentang Tempat Penampungan Akhir (TPA) Sampah yang Semakin Overload di Indonesia

Salah satu permasalahan yang ditimbulkan dari sampah adalah menurunnya estetika di sekitar tempat pembuangan sampah sehingga berpotensi menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Penentangan yang dilakukan masyarakat sekitar pada umumnya berkenaan dengan sebab yang membahayakan kesehatan, keselamatan, berkurangnya kenyamanan dan keterbatasan lahan khususnya untuk penempatan TPA. Penempatan TPA memerlukan lahan yang luas sedangkan lahan di kota besar semakin sempit karena meningkatnya pertambahan penduduk. Seperti yang diungkapkan oleh Hadi (2005:47), dampak lingkungan dan sosial yang timbul akibat TPA telah menjadi fenomena umum di kota-kota besar. Resistensi terhadap TPA oleh penduduk lokal telah menjadi fenomena umum. Dalam konteks pemecahan persoalan sampah, maka perubahan pola konsumsi merupakan salah satu pendekatan yang harus dimulai. Selain itu, Hadi (2005:18) juga mengatakan bahwa pendekatan pembangunan masyarakat perlu diterapkan dikarenakan banyaknya gejolak-gejolak sosial akibat adanya aktivitas pembangunan.

Seluruhnya terlampir pada dokumen di bawah
In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Risandi Koswara -

Program Keluarga Harapan (PKH) Sebagai Instrumen Kebijakan Publik dalam Mengatasi Kemiskinan di Provinsi Lampung.

Kemiskinan adalah masalah yang dihadapi oleh seluruh provinsi dan daerah di Indonesia, salah satunya termasuk Provinsi Lampung. Masalah kemiskinan merupakan isu publik yang kompleks karena disebabkan oleh berbagai faktor, baik struktural maupun sosial. Menurut Supriatna (1997) dalam Takaredase et al., (2019) kemiskinan merupakan suatu situasi yang serba terbatas, situasi tersebut bukan kehendak dari orang yang bersangkutan. Lebih jauh, konsep rantai kemiskinan menjelaskan bahwa kondisi tersebut dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga kemiskinan bukan hanya persoalan individu atau keluarga, tetapi juga hasil interaksi berbagai faktor sistemik. Menurut Auliyah (2013) dalam Permana et al., (2018) kemiskinan juga dapat menciptakan multiplier effect atau efek yang cenderung menyebar untuk kehidupan masyarakat secara keseluruhan, yang mana kebutuhan dasar masyarakat tidak dapat dipenuhi. Sehingga berbagai macam persoalan kemiskinan membutuhkan upaya pencegahan dan penyelesaian yang lengkap dan menyeluruh, mencakup keanekaragaman aspek kehidupan dalam masyarakat, serta dilaksankan secara terpadu dengan baik.

Faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan yaitu taraf pendidikan yang masih rendah. Pendidikan menjadi sangat penting dalam membantu seseorang untuk keluar dari rantai kemiskinan, karena dengan menempuh pendidikan yang tinggi, maka akan mengubah pola pikir, meningkatkan keterampilan, dan dapat berkembang melalui ilmu pengetahuan. Selain itu faktor lain yang menyebabkan kemiskinan yaitu faktor kesehatan yang rendah. Masyarakat yang sehat akan lebih produktif dibandingkan masyarakat yang sering mengalami sakit, karena 2 masyarakat yang sehat dapat melakukan pekerjaan dengan baik, menempuh pendidikan tinggi, dan dapat melakukan kegiatan positif lainnya (Yulizar, 2022)

Sebagai upaya dalam memutus rantai kemiskinan di Indonesia, pemerintah telah membuat kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah di implementasikan sejak tahun 2007 dan di Provinsi Lampung PKH telah diimplementasikan sejak tahun 2011. PKH adalah bantuan sosial bersyarat yang dinaungi oleh Kementrian Sosial, program ini diberikan kepada keluarga miskin dan rentan yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau yang saat ini sudah bertransformasi menjadi Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), memiliki komponen peserta PKH, dan selanjutnya ditetapkan menjadi Keluarga Penerima Manfaat PKH. Tujuan dari PKH yaitu untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan, meningkatkan pendapatan keluarga dan mengurangi beban pengeluaran, menciptakan perubahan perilaku dan kemandirian Keluarga Penerima Manfaat, dan meningkatkan taraf hidup keluarga penerima manfaat dengan cara memberikan akses layanan pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan sosial. Adapun kriteria penerima bantuan PKH meliputi tiga komponen yaitu, Komponen kesehatan yang meliputi ibu hamil dan anak usia 0-6 tahun, komponen pendidikan yang meliputi SD/MI atau sederajat, SMP/MTS atau sederajat, SMA/MA atau sederajat, dan komponen 3 kesejahteraan sosial yang meliputi lanjut usia mulai dari 60 (enam puluh) tahun & penyandang disabilitas (Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial, 2021).

Provinsi Lampung sendiri menurut Badan Pusat Statistik, pada bulan September 2022 jumlah penduduk yang tercatat ada di bawah garis kemiskinan yaitu mencapai 995.59 ribu jiwa atau 11,44% dari jumlah total penduduk di Provinsi Lampung yang menyebar diberbagai kabupaten yang ada (BPS Provinsi Lampung, 2023). Lebih Lanjut Provinsi Lampung mencatatkan kemajuan dalam penurunan kemiskinan: pada September 2024 persentase penduduk miskin sebesar 10,62 %, dengan jumlah miskin sekitar 939,30 ribu jiwa (BPS Provinsi Lampung, 2025). Angka ini mengalami penurunan dibanding periode sebelumnya, menunjukkan bahwa upaya pengentasan kemiskinan membuahkan hasil. Selanjutnya, data per Maret 2025 menunjukkan persentase kemiskinan Lampung menurun lagi menjadi 10,00 % atau sekitar 887,02 ribu jiwa (BPS Provinsi Lampung, 2025). Dengan latar belakang angka kemiskinan yang masih signifikan tersebut, Program Keluarga Harapan (PKH) tetap menjadi instrumen kebijakan publik penting untuk memutus rantai kemiskinan, khususnya di Lampung, yang sejak tahun 2011 telah mengimplementasikan PKH agar rumah tangga miskin tidak hanya menerima bantuan tunai, tetapi juga terpacu untuk memenuhi kewajiban pendidikan dan kesehatan guna memperbaiki kualitas hidup di masa mendatang.

In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Kiki Epraim Siallagan -

Topik Masalah Publik: Banjir di Kabupaten Pringsewu

Salah satu fenomena alam yang mengancam kehidupan masyarakat adalah bencana alam, termasuk bencana banjir. Banjir menjadi masalah publik yang hampir setiap tahun terjadi di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Pringsewu. Hal ini menjadi persoalan yang bersifat penting untuk segera diatasi oleh negara karena dampaknya yang sangat luas terhadap keselamatan jiwa, lingkungan, hingga ekonomi masyarakat. Banjir bukan hanya sekadar bencana musiman, tetapi juga mencerminkan adanya persoalan serius dalam pengelolaan lingkungan dan kebijakan publik oleh pemangku kepentingan.

Peristiwa banjir di wilayah Kabupaten Pringsewu memiliki dampak terbesar pada sektor infrastruktur dan sosial. Hujan yang intensif terjadi mengakibatkan air pada sistem drainase sisi jalan meluap dan menggenangi jalanan. Kondisi drainase yang semakin sempit dan dangkal berdampak pada berkurangnya fungsi pengaliran air. Selain genangan yang menghambat aktivitas masyarakat saat mobilitas menggunakan transportasi, air yang mengalir juga turut merusak dan membawa komponen jalan seperti batu dan aspal. Hal ini memicu terjadinya kerusakan berupa lubang pada jalan akibat dari pengikisan oleh aliran genangan air.

Dampak banjir di Kabupaten Pringsewu juga terjadi pada sektor ekonomi. Aliran air yang tidak mampu ditampung oleh irigasi membuat air meluap hingga menggenangi area persawahan. Lahan sawah yang sedang pada tahap pertumbuhan tanaman padi akan menjadi rusak. Air yang tergenang lama akan merusak akar dan batang padi, menyebabkan tanaman tidak dapat berkembang dengan baik. Hal ini tentu akan mengurangi hasil panen dan kualitas gabah. Pada kondisi kerusakan parah dapat berujung pada gagal panen total, yang menyebabkan kerugian finansial bagi petani.
In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Galang Fairroman Sanda -

Kebijakan Publik untuk Mengatasi Ketahanan Pangan & Keamanan Pangan di Daerah Tertinggal Indonesia

Ketahanan pangan dan keamanan pangan adalah masalah publik yang sangat mendesak di Indonesia, terutama di daerah tertinggal seperti Papua, beberapa wilayah di Nusa Tenggara, dan daerah perbatasan. Meskipun Indonesia secara nasional termasuk negara agraris dengan produksi pangan yang besar, distribusi, aksesibilitas, kualitas pangan, dan prevalensi konsumsi tidak cukup terus-menerus menjadi isu. Hadirnya pandemi COVID‑19 memperburuk gangguan distribusi dan pendapatan rumah tangga, serta menyebabkan masalah tambahan seperti kelaparan mikro (malnutrisi, stunting) dan kurangnya keragaman pangan. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa di daerah seperti Central Papua, prevalensi konsumsi pangan tidak mencukupi (Prevalence of Insufficient Food Consumption, PKPK) berada sangat tinggi. Masalah ini menjadi urgent karena menyangkut hak dasar warga negara atas pangan, pengembangan sumber daya manusia (stunting dan kualitas gizi masa kanak-kanak), stabilitas sosial-ekonomi, dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).



Dokumen terlampir

In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Siti Nurhasanah -

“Analisis Kebijakan Penurunan Stunting di Kabupaten Tanggamus”

Stunting adalah kondisi gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis dalam jangka waktu lama, yang dapat dimulai sejak masa kehamilan ibu hingga anak berusia dua tahun. Kondisi ini ditandai dengan tinggi badan anak yang lebih rendah dari standar rata-rata sesuai usianya, sering kali disebabkan oleh malnutrisi ibu selama hamil, kurangnya pemberian ASI eksklusif, kualitas MPASI yang tidak memadai, serta faktor seperti infeksi berulang, sanitasi buruk, dan akses terbatas terhadap nutrisi serta pelayanan kesehatan. Di Indonesia, stunting masih menjadi masalah serius dengan prevalensi tinggi, mencapai sekitar 3 dari 10 anak, yang tidak hanya menghambat pertumbuhan fisik tetapi juga berpotensi menurunkan kecerdasan, produktivitas, dan meningkatkan risiko penyakit di masa dewasa. Meskipun tinggi badan pendek bisa dipengaruhi faktor genetik, stunting khususnya melibatkan keterlambatan perkembangan signifikan yang memerlukan intervensi dini untuk mencegah dampak jangka panjang seperti gangguan kognitif dan penyakit metabolik (Kementerian Kesehatan, 2016).

Stunting merupakan salah satu masalah publik utama di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, yang ditandai dengan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis. Masalah ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia jangka panjang, seperti penurunan kemampuan kognitif, produktivitas rendah, dan beban ekonomi bagi masyarakat serta pemerintah daerah.

Stunting di Kabupaten Tanggamus, Lampung, merupakan isu publik krusial yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam pemenuhan hak anak atas gizi dan kesehatan, menyebabkan gangguan pertumbuhan linear pada anak di bawah usia dua tahun. Masalah ini tidak hanya menurunkan potensi fisik dan intelektual generasi muda, tetapi juga memperlemah daya saing ekonomi daerah melalui peningkatan beban kesehatan jangka panjang dan hilangnya produktivitas.

Dalam Sambutan  Bupati Tanggamus menyebutkan bahwa penurunan angka stunting merupakan bagian dari prioritas pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), karena menyangkut masa depan anak-anak Tanggamus. “Kami tidak hanya melihat stunting sebagai masalah kesehatan semata, tapi juga sebagai persoalan kualitas generasi penerus bangsa. Kami targetkan angka stunting di Tanggamus turun signifikan hingga di bawah 14% pada tahun ini. Ini bukan hanya target angka, tapi target masa depan,” ujar Bupati. (https://tanggamus.go.id/)

Upaya dilakukan melalui 10 Pasti Intervensi Serentak Pencegahan Stunting, seperti pendataan calon pengantin, pendampingan ibu hamil dan balita, ketersediaan alat ukur standar di Posyandu, edukasi gizi, serta pencatatan data real-time (https://tanggamus.go.id/)

Di Tanggamus, prevalensi stunting menunjukkan tren penurunan dari 20,4% menjadi 17,1% pada tahun-tahun terakhir, tetapi masih di atas target nasional di bawah 14%. Faktor penyebab utama meliputi akses gizi yang terbatas, sanitasi buruk, pengetahuan orang tua rendah, dan kurangnya intervensi dini di wilayah pedesaan seperti Kecamatan Kota Agung dan Pekon Margoyoso. Prevalensi stunting di Tanggamus mencapai 17,1% pada 2023, dengan upaya penurunan melalui intervensi gizi spesifik sehingga memerlukan percepatan konvergensi lintas sektor untuk capai 10% pada 2025  (Hendra Wijayamega, 2025). Kasus stunting di Tanggamus sering kali memerlukan home visit untuk pemantauan, menunjukkan masalah akses layanan kesehatan primer (Sari et al., 2022). Penyuluhan pencegahan stunting di Pekon Margoyoso efektif meningkatkan pengetahuan ibu, tetapi tantangan tetap pada implementasi berkelanjutan (Rahman et al., 2024).

Faktor sanitasi dan akses pangan menjadi pendorong utama stunting di wilayah pedesaan Tanggamus, dengan intervensi dini kurang optimal selama pandemi (Kementerian Kesehatan RI, 2021). Penurunan stunting di Lampung, termasuk Tanggamus, dipengaruhi oleh program gizi terpadu, meski tantangan koordinasi antar OPD tetap ada (Badan Pusat Statistik Lampung, 2024).

sehingga dari masalah publik tersebut saya menyarankan beberapa kebijakan yang dapat diterapkan sebagai berikut dalam file pdf.


In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Ahmad Suntara -

Kebijakan Penanggulangan Stunting di Indonesia

Stunting (kerdil) merupakan keadaan di mana tinggi badan anak lebih pendek dibanding anak lain seusianya, hal ini juga kenal dengan kondisi gagal tumbuh pada anak Balita. Stunting disebabkan oleh kurangnya asupan gizi yang diperoleh oleh bayi/janin selama masa 1000 hari pertama kehidupan, di mana hal ini dapat menyebabkan kematian janin. Efek jangka pendeknya dapat menyebabkan perkembangan otak, pertumbuhan masa tubuh dan komposisi badan terhambat, serta gangguan metabolisme glukosa, lipid, protein dan hormone. Efek jangka panjang dapat menyebabkan menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, kekebalan tubuh, kapasitas kerja, dan terjadinya penyakit, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes, kanker, dan disabilitas lansia (James dalam Jalal 2007). 

Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan menengah lainnya. Situasi ini jika tidak diatasi dapat mempengaruhi kinerja pembangunan Indonesia baik yang menyangkut pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan. Jika anak-anak terlahir sehat, tumbuh dengan baik dan didukung oleh pendidikan yang berkualitas maka mereka akan menjadi generasi yang menunjang kesuksesan pembangunan bangsa. Sementara stunting dapat berdampak pada penurunan IQ anak Indonesia sebanyak 10 – 15 poin, prestasi akademik anak yang buruk, lebih lanjut anak diprediksi meraih pendapatan 20% lebih rendah diusia kerja, sehingga memperparah kemiskinan dan mengancam kelangsungan hidup generasi mendatang (Jalal 2007; Cahyono, Manongga dan Picauly 2016). Berdasarkan beberapa penelitian yang telah banyak dilakukan, kejadian stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. 

Secara internal, stunting dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berhubungan langsung dengan tumbuh kembang bayi atau balita, seperti pola asuh, pemberian ASI ekslusif, pemberian MP-ASI, pemberian imunisasi lengkap, kecukupan protein dan mineral, penyakit infeksi, dan genetik. Secara eksternal dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi keluarga, seperti tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga.

Dokumen terlampir
In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Andre Yusfian -
ANALISIS MARAKNYA PINJAMAN ONLINE KEPADA MASYARAKAT INDONESIA

Perkembangan teknologi digital membawa transformasi signifikan dalam sektor jasa keuangan, salah satunya melalui layanan pinjaman online (pinjol). Kehadiran pinjol awalnya ditujukan untuk memperluas akses keuangan masyarakat, khususnya kelompok yang belum terjangkau layanan perbankan formal. Namun, maraknya praktik pinjol ilegal justru menimbulkan persoalan publik yang kompleks. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga akhir 2023 terdapat 5.331 entitas pinjol ilegal yang telah diblokir, sementara yang terdaftar resmi hanya 127 perusahaan. Meskipun demikian, laporan masyarakat terkait teror penagihan, bunga tinggi, serta penyalahgunaan data pribadi terus meningkat secara signifikan (OJK, 2023).
Fenomena ini tidak hanya menimbulkan kerugian finansial pada individu, tetapi juga berimplikasi pada tekanan psikologis, konflik sosial, hingga berkurangnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan digital. Bagi negara, kondisi ini mencederai kredibilitas industri fintech yang sah, membebani aparat penegak hukum, dan menghambat tujuan inklusi keuangan nasional. Oleh karena itu, masalah pinjol ilegal telah menjadi isu yang mendesak untuk segera diselesaikan.
Analisis kebijakan publik dapat digunakan untuk memahami urgensi ini. Teori Multiple Streams dari John W. Kingdon (1984) menjelaskan bahwa isu dapat masuk ke agenda kebijakan apabila aliran masalah, aliran kebijakan, dan aliran politik bertemu. Dalam konteks pinjol, ketiganya telah konvergen: masalah semakin parah, regulasi telah tersedia, serta dukungan politik dan tekanan publik sangat kuat. Dengan demikian, terbuka “jendela kesempatan” untuk melahirkan kebijakan terintegrasi yang tidak hanya bersifat represif, tetapi juga memperkuat perlindungan konsumen dan literasi keuangan masyarakat.
In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Octa Vallen Dwi Puspita 2526061008 -
Indonesia saat ini tengah memasuki fase krusial dalam transisi demografisnya, yang dikenal sebagai bonus demografi, yaitu periode di mana proporsi penduduk usia produktif 15–64 tahun mencapai puncak relatif kelompok terhadap usia non-produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), rasio ketergantungan Indonesia mencapai titik terendah sepanjang sejarah pada tahun 2023–2035, dengan proporsi penduduk usia produktif mencapai lebih dari 70% dari total populasi (BPS, 2023). 
Namun potensi ekonomi tersebut belum sepenuhnya terealisasi karena hambatan struktural di pasar tenaga kerja, terutama tingginya tingkat kemiskinan terbuka (TPT). Ironisnya, kelompok yang paling rentan terhadap kemiskinan justru berasal dari lulusan sekolah menengah dan tinggi. Kelompok yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi berbasis pengetahuan. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2024 menunjukkan bahwa pendidikan terbuka didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Atas Umum (30,72%), Sekolah Menengah Kejuruan (24,65%), dan perguruan tinggi (11,28%) (BPS, 2024). Lebih lanjutnya, tingkat kemiskinan usia muda (15–24 tahun) mencapai 17,63%, jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 5,38% (BPS, 2024). Angka ini mencerminkan janji sistem pendidikan nasional dalam mempersiapkan angkatan kerja muda menghadapi tuntutan dunia kerja modern.
Di sisi lain, sebagian besar tenaga kerja Indonesia sebesar 59,11% masih terjebak pada sektor informal, yang umumnya ditandai dengan upah rendah, jaminan sosial, dan produktivitas terbatas (BPS, 2024). Fenomena ini mengindikasikan lemahnya daya serap sektor formal terhadap tenaga kerja terdidik, sekaligus menunjukkan adanya ketidakselarasan struktural antara pasokan lulusan dari sistem pendidikan dan permintaan riil dari pasar kerja. Dalam istilah kebijakan ketenagakerjaan, hal ini dikenal sebagai kegagalan dalam mekanisme link and match yaitu ketidakmungkinan sistem pendidikan dan pelatihan vokasi untuk menyelaraskan kurikulum, kompetensi, dan sertifikasi dengan kebutuhan industri (OECD, 2022).
Akibatnya, lulusan terutama dari jalur akademik sering kali kehilangan relevansi di pasar kerja, karena keterampilan yang dimiliki tidak sesuai dengan kebutuhan sektor produktif yang semakin berbasis teknologi digital, otomasi, dan keterampilan abad ke-21 seperti pemecahan masalah, kolaborasi, dan literasi data (Taherdoost, 2024). Jika ketimpangan ini tidak segera diatasi melalui intervensi kebijakan publik yang sistematis dan berkelanjutan, bonus demografi berisiko berubah menjadi beban demografi, di mana ledakan populasi usia produktif justru memperparah kemiskinan, kemiskinan, ketimpangan sosial, dan potensi instabilitas politik.
In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Ardiansyah Kurniawan -

Jalan Berlubang dan Rusak di Kabupaten Lampung Timur: Strukturisasi Masalah, Analisis
Dampak, Pemetaan Aktor, dan Rekomendasi Kebijakan Publik

Kerusakan jalan yang ditandai oleh lubang, permukaan bergelombang, dan genangan air merupakan masalah publik mendesak di Kabupaten Lampung Timur karena mengganggu mobilitas warga, memperbesar biaya logistik hasil pertanian dan perikanan, serta menurunkan keselamatan lalu lintas. Artikel ini menyajikan strukturisasi masalah yang sistematis, analisis sederhana tentang dampak sosial–ekonomi dan layanan dasar, pemetaan aktor dan institusi kunci, serta usulan kebijakan publik yang terpadu. Pendekatan yang dianjurkan menggabungkan manajemen aset jalan berbasis data kondisi, penanganan drainase yang peka iklim, penegakan muatan kendaraan barang, dan kontrak pemeliharaan berbasis kinerja jangka menengah. Rangkaian kebijakan diusulkan untuk dilaksanakan bertahap dalam jangka dua belas hingga dua puluh empat bulan, dengan indikator kinerja yang jelas dan mekanisme akuntabilitas publik.

Selengkapnya Pada Lampiran Dokumen

In reply to First post

Re: Diskusi 2

by Andre Yusfian -

ANALISIS MARAKNYA PINJAMAN ONLINE KEPADA MASYARAKAT INDONESIA

Perkembangan teknologi digital membawa transformasi signifikan dalam sektor jasa keuangan, salah satunya melalui layanan pinjaman online (pinjol). Kehadiran pinjol awalnya ditujukan untuk memperluas akses keuangan masyarakat, khususnya kelompok yang belum terjangkau layanan perbankan formal. Namun, maraknya praktik pinjol ilegal justru menimbulkan persoalan publik yang kompleks. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga akhir 2023 terdapat 5.331 entitas pinjol ilegal yang telah diblokir, sementara yang terdaftar resmi hanya 127 perusahaan. Meskipun demikian, laporan masyarakat terkait teror penagihan, bunga tinggi, serta penyalahgunaan data pribadi terus meningkat secara signifikan (OJK, 2023).
Fenomena ini tidak hanya menimbulkan kerugian finansial pada individu, tetapi juga berimplikasi pada tekanan psikologis, konflik sosial, hingga berkurangnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan digital. Bagi negara, kondisi ini mencederai kredibilitas industri fintech yang sah, membebani aparat penegak hukum, dan menghambat tujuan inklusi keuangan nasional. Oleh karena itu, masalah pinjol ilegal telah menjadi isu yang mendesak untuk segera diselesaikan.
Analisis kebijakan publik dapat digunakan untuk memahami urgensi ini. Teori Multiple Streams dari John W. Kingdon (1984) menjelaskan bahwa isu dapat masuk ke agenda kebijakan apabila aliran masalah, aliran kebijakan, dan aliran politik bertemu. Dalam konteks pinjol, ketiganya telah konvergen: masalah semakin parah, regulasi telah tersedia, serta dukungan politik dan tekanan publik sangat kuat. Dengan demikian, terbuka “jendela kesempatan” untuk melahirkan kebijakan terintegrasi yang tidak hanya bersifat represif, tetapi juga memperkuat perlindungan konsumen dan literasi keuangan masyarakat.