གནས་བསྐྱོད་བཟོ་མི་ Aura Liyanti

TA C2025 -> DISKUSI

Aura Liyanti གིས-
Nama : Aura Liyanti Fani
NPM : 2413031089

Saya merasa video "Historical Cost vs Fair Value Accounting" sangat menarik karena menawarkan gambaran yang jelas tentang bagaimana aset dapat dinilai menggunakan dua pendekatan berbeda: biaya historis dan nilai wajar. Sebagai mahasiswa, saya merasa video ini bermanfaat karena membahas konsep yang cukup kompleks tetapi menyajikannya dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Penjelasan tentang biaya historis, yang menilai aset berdasarkan biaya perolehan awalnya, membantu saya memahami mengapa metode ini dianggap lebih stabil dan objektif. Di sisi lain, penjelasan tentang nilai wajar menunjukkan bagaimana penilaian berbasis pasar dapat meningkatkan relevansi laporan keuangan, meskipun ada risiko nilai yang berfluktuasi sesuai kondisi pasar.

Dari perspektif pembelajaran, video ini membantu saya memahami konteks perdebatan di dunia akuntansi mengenai relevansi versus reabilitas dalam penyajian laporan keuangan. Namun, saya juga merasa video ini dapat diperluas dengan contoh-contoh nyata seperti bagaimana beberapa perusahaan mengelola fluktuasi nilai aset dengan menggunakan nilai wajar, atau bagaimana biaya historis membuat laporan tampak lebih stabil tetapi mungkin kurang mencerminkan situasi ekonomi saat ini. Secara keseluruhan, video ini ideal sebagai materi tambahan bagi mahasiswa karena memberikan dasar yang kuat dan dapat menjadi titik awal sebelum mempelajari standar akuntansi yang lebih teknis, seperti PSAK atau IFRS. Menurut saya, video ini efektif dalam memperkuat pemahaman konseptual dan membantu mahasiswa memahami bagaimana teori akuntansi diterapkan dalam praktik meskipun masih perlu diperkaya dengan referensi tambahan untuk pemahaman yang lebih komprehensif.

TA C2025 -> CASE STUDY

Aura Liyanti གིས-
Nama : Aura Liyanti Fani
NPM : 2413031089

1. Dasar Pengukuran dan Perbandingan yang Relevan
Dalam konteks penurunan nilai mesin PT Surya Terang, dua dasar pengukuran yang paling relevan Adalah biaya historis dan nilai wajar.
Biaya historis mencerminkan nilai perolehan aset pada saat transaksi, yang kemudian dialokasikan melalui penyusutan selama masa manfaatnya. Keunggulannya terletak pada objektivitas dan keterverifikasian, karena angka-angka tersebut berasal dari transaksi aktual, sehingga meminimalkan kemungkinan bias manajemen. Lebih lanjut, penggunaan biaya historis memberikan stabilitas informasi, sehingga memudahkan perbandingan antar periode. Namun, kelemahan utamanya adalah kurangnya relevansinya dalam kondisi ekonomi yang berubah dengan cepat, seperti pengenalan teknologi baru yang secara signifikan mengurangi nilai ekonomi suatu aset. Oleh karena itu, informasi berdasarkan biaya historis mungkin tidak mencerminkan manfaat ekonomi di masa mendatang.
Sebaliknya, nilai wajar mencerminkan nilai yang dapat diperoleh melalui transaksi pasar terkini. Penggunaan nilai wajar meningkatkan relevansi informasi karena mencerminkan kondisi ekonomi aktual dan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang nilai aset perusahaan. Namun, nilai wajar rentan terhadap volatilitas dan subjektivitas, terutama jika tidak ada pasar yang aktif, di mana penilaian sangat bergantung pada estimasi profesional. Kelemahan ini dapat menciptakan ketidakpastian dan memengaruhi persepsi pengguna terhadap laporan keuangan.
2. Implikasi Akuntansi jika menggunakan Model Revaluasi
Jika perusahaan mengadopsi model revaluasi sesuai dengan PSAK 16, nilai tercatat mesin akan disesuaikan menjadi Rp400.000.000. Pengurangan sebesar Rp200.000.000 akan memengaruhi ekuitas dengan mengakui kerugian revaluasi dalam pendapatan komprehensif lain (OCI) dengan ketentuan tidak melebihi surplus revaluasi yang dicatat sebelumnya. Jika tidak terdapat surplus revaluasi, kerugian tersebut harus diakui langsung dalam laba rugi sehingga mengurangi laba tahun berjalan dan berdampak pada penilaian kinerja perusahaan.
Dari perspektif laporan posisi keuangan, penerapan model revaluasi tidak hanya mengurangi nilai tercatat aset tetap tetapi juga mengubah komposisi ekuitas, terutama melalui pos surplus atau defisit revaluasi. Hal ini dapat memengaruhi rasio keuangan berbasis aset dan ekuitas, seperti return on assets (ROA) dan debt to equity ratio (DER).
Selanjutnya, basis penyusutan untuk periode berikutnya akan menggunakan nilai revaluasi sebesar Rp400.000.000 dan sisa masa manfaat lima tahun. Hal ini menghasilkan penurunan beban penyusutan yang signifikan, sehingga meningkatkan laba operasi pada periode-periode setelah revaluasi. Dampaknya dapat bersifat strategis, terutama jika manajemen berupaya menunjukkan profitabilitas yang lebih stabil di tahun-tahun mendatang.
Selain itu, penerapan model revaluasi mengharuskan perusahaan untuk melakukan revaluasi berkala guna memastikan nilai tercatat tidak menyimpang secara signifikan dari nilai wajarnya. Hal ini meningkatkan beban administrasi dan biaya penilaian, tetapi memastikan bahwa laporan keuangan tetap mencerminkan kondisi ekonomi aktual.
Oleh karena itu, model revaluasi memiliki implikasi yang komprehensif, termasuk perubahan nilai aset, perubahan ekuitas, dampak pada laporan laba rugi, perubahan beban penyusutan, dan persyaratan pengungkapan yang lebih luas. Secara keseluruhan, pendekatan ini meningkatkan relevansi informasi keuangan tetapi membutuhkan konsistensi, biaya, dan manajemen yang lebih besar.
3. Penilaian Kritis Relevansi dan Keandalan Antara Nilai Wajar dan Biaya Historis
Dalam konteks penurunan nilai yang signifikan akibat kemajuan teknologi, nilai wajar memenuhi karakteristik relevansi dengan lebih baik karena mampu menangkap perubahan manfaat ekonomi yang tersisa. Informasi yang dihasilkan lebih bermanfaat bagi investor, kreditor, dan pihak internal yang membutuhkan data yang mencerminkan situasi ekonomi perusahaan saat ini.
Namun, dalam hal keandalan, biaya historis secara teoritis lebih mudah diverifikasi. Namun demikian, keandalan tidak hanya berkaitan dengan keterverifikasian tetapi juga mencakup representasi yang tepat. Dalam hal ini, biaya historis tidak lagi mencerminkan kondisi aktual dan oleh karena itu mencerminkan manfaat ekonomi masa depan secara jauh lebih sedikit. Dengan penilaian independen yang kredibel, nilai wajar masih dapat dianggap cukup andal.
Dapat disimpulkan bahwa nilai wajar lebih unggul dalam konteks perubahan ekonomi yang signifikan karena meskipun memerlukan estimasi, nilai wajar lebih mampu memberikan informasi yang relevan dan mencerminkan realitas ekonomi dibandingkan biaya historis yang statis.

TA C2025 -> ACTIVITY: RESUME

Aura Liyanti གིས-
Nama : 2413031089
NPM : 2413031089

Jurnal ini berfokus pada inkonsistensi antara praktik pengukuran akuntansi dan prinsip pengukuran representasional measurement yang mendasari pengukuran dalam ilmu sosial. Meskipun akuntansi sering didefinisikan sebagai proses pengukuran dan pelaporan informasi keuangan tetapi tidak ada teori pengukuran yang menjelaskan secara komprehensif objek, atribut, dan skala yang digunakan dalam proses ini. Ketiadaan teori ini mempertanyakan klaim bahwa penyajian angka dalam laporan keuangan merupakan pengukuran ilmiah.
Pengukuran representasional membutuhkan struktur empiris yang dapat diidentifikasi, skala yang invarian, dan hasil pengukuran yang bermakna. Dalam akuntansi konsep nilai, baik nilai tukar, nilai historis, maupun nilai kini tidak memiliki definisi yang objektif dan tidak dapat diverifikasi melalui prosedur empiris yang konsisten. Penilaian aset dan liabilitas sangat bergantung pada asumsi, estimasi, dan kondisi masa depan sedangkan pengukuran seharusnya didasarkan pada atribut yang dapat diamati secara nyata. Mengandalkan asumsi kelangsungan usaha juga menyebabkan nilai dalam laporan keuangan dipengaruhi oleh peristiwa yang belum terjadi sehingga melanggar karakteristik pengukuran yang mensyaratkan kebebasan dari peristiwa masa depan.
Analisis terhadap dua belas tujuan laporan keuangan menunjukkan bahwa sebagian besar tidak sesuai dengan prinsip pengukuran representatif. Beberapa tujuan menekankan kegunaan informasi untuk pengambilan keputusan, prediksi, dan evaluasi tetapi tidak menentukan objek atau skala pengukuran yang jelas yang menjamin invariansi dan signifikansi empiris. Penggunaan estimasi, angka historis, dan informasi yang tidak dapat diverifikasi menegaskan bahwa banyak elemen laporan keuangan tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh hasil pengukuran.

TA C2025 -> DISKUSI

Aura Liyanti གིས-
Nama : Aura Liyanti Fani
NPM : 2413031089

Video ini sangat membantu dalam memahami konsep pengukuran akuntansi dasar. Penjelasannya jelas dan runtut, terutama ketika menganalisis perbedaan antara biaya historis dan fair value. Video ini juga menjelaskan bahwa setiap dasar pengukuran memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing, sehingga pilihannya harus disesuaikan dengan jenis aset dan kebutuhan informasi pengguna laporan keuangan.
Yang paling menarik bagi saya adalah penjelasan tentang bagaimana akuntansi harus menyeimbangkan relevansi dan representasi yang tepat. Oleh karena itu, kita tidak dapat memilih nilai wajar hanya karena tampak lebih modern atau menggunakan biaya historis hanya karena lebih stabil. Beberapa pertimbangan perlu dipertimbangkan.
Secara keseluruhan, video ini sangat bermanfaat untuk memperkuat pemahaman kita mengenai konsep pengukuran, terutama bagi mahasiswa yang masih memiliki pertanyaan tentang mengapa nilai aset dapat bervariasi tergantung pada metodenya. Meskipun penjelasannya seringkali teoretis tetapi tetap mudah dipahami dan cocok untuk pembelajaran dasar.

TA C2025 -> CASE STUDY

Aura Liyanti གིས-
Nama : Aura Liyanti Fani
NPM : 2413031089

1. Kritik terhadap Keputusan PT Garuda Sejahtera untuk Menggunakan Nilai Wajar
Keputusan PT Garuda Sejahtera untuk menggunakan nilai wajar (fair value) dalam mengukur pesawatnya memiliki dasar konseptual yang kuat, terutama mengingat keinginan perusahaan untuk menyajikan gambaran keuangan yang lebih "real time" dan menarik investor internasional. Namun, secara konseptual, penggunaan nilai wajar di Indonesia tidak serta merta dapat dianggap sebagai keputusan yang paling tepat, karena akurasinya sangat bergantung pada keberadaan pasar yang aktif.
Dalam konteks Indonesia, pasar pesawat sangat terbatas dan transaksinya jarang terjadi sehingga mengakibatkan terbatasnya informasi harga acuan. Auditor benar dalam menyatakan bahwa nilai wajar perusahaan mungkin tidak mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya, karena IFRS secara konsisten menekankan bahwa nilai wajar hanya dapat diandalkan jika data pasar yang dapat diverifikasi digunakan. Jika tidak, nilai wajar lebih menyerupai "estimasi model" daripada harga pasar target yang objektif.Dalam kerangka konseptual, baik PSAK maupun IFRS mengutamakan keseimbangan antara relevansi dan representasi yang tepat. Dalam hal ini, relevansi dapat meningkat karena nilai wajar mencerminkan nilai saat ini, tetapi penyajian yang tepat dapat menurun karena didasarkan pada asumsi dan penilaian. Hal ini menimbulkan risiko yang signifikan bagi perusahaan publik, yang harus menjaga kepercayaan investor domestik dan regulator.
2. Perbandingan Kerangka Konseptual PSAK Indonesia dan IFRS
Meskipun PSAK Indonesia telah mencapai tingkat konvergensi yang tinggi dengan IFRS, masih terdapat beberapa elemen yang membedakannya, terutama dalam hal tujuan dan panduan implementasi.
a. Tujuan Laporan Keuangan
Secara umum, IFRS menekankan kegunaan laporan keuangan untuk pengambilan keputusan oleh investor global. PSAK mengacu pada IFRS, tetapi dalam praktiknya PSAK seringkali mempertimbangkan kepentingan lokal seperti persyaratan regulasi, stabilitas pasar, dan karakteristik perusahaan indonesia. Dengan kata lain, IFRS memiliki orientasi yang lebih global sementara PSAK lebih sesuai dengan lingkungan nasional.
b. Karakteristik Kualitatif Informasi
Baik IFRS maupun PSAK mengakui dua karakteristik utama yaitu relevansi dan penyajian yang tepat. Namun, implementasi PSAK dalam praktiknya seringkali lebih hati-hati terutama terkait dengan keterverifikasian dan keandalan. IFRS cenderung lebih agresif dalam penggunaan nilai wajar ketika dianggap relevan sementara PSAK masih lebih mengutamakan biaya historis untuk aset tertentu karena kondisi pasar indonesia belum sepenuhnya mendukung penilaian nilai wajar.

c. Basis Pengukuran
IFRS menawarkan berbagai dasar pengukuran dan siap mempromosikan nilai wajar jika diperlukan. Sementara PSAK juga memiliki konseptual serupa, tetapi dalam praktiknya banyak perusahaan indonesia masih menggunakan biaya historis karena pasar instrumen keuangan dan aset tetap di indonesia belum cukup aktif. Oleh karena itu, PSAK lebih konservatif daripada IFRS.
d. Asumsi Entitas dan Kelangsungan Usaha
Keduanya mengadopsi prinsip kelangsungan usaha sebagai asumsi fundamental. Satu-satunya perbedaan terletak pada bagaimana regulator lokal mewajibkan informasi yang lebih rinci ketika perusahaan menghadapi ketidakpastian kelangsungan usaha.
3. Apakah Indonesia Harus Mengikuti IFRS Sepenuhnya Tanpa Penyesuaian?
Saya pribadi kurang setuju kalau Indonesia harus mengikuti IFRS secara penuh tanpa modifikasi. IFRS memang standar global yang sangat maju tetapi implementasinya menuntut pasar yang likuid, penilai independen yang kompeten, sistem pengawasan yang kuat, dan infrastruktur informasi yang matang. Kondisi Indonesia belum sepenuhnya berada di level yang sama dengan negara-negara yang menjadi basis IFRS seperti UK, Australia, atau negara Eropa.
Indonesia perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi lokal, tingkat volatilitas pasar, risiko moral, serta kesiapan auditor dan valuator. Tanpa penyesuaian IFRS justru bisa menciptakan laporan keuangan yang kompleks tapi tidak akurat. Selain itu tidak semua industri di Indonesia punya pasar aktif yang mendukung fair value. Jika IFRS diterapkan secara mentah risikonya adalah informasi tampak modern tetapi dasarnya lemah.
Argumen kritis kenapa perlu penyesuaian lokal:
a) Likuiditas pasar rendah → fair value sulit diverifikasi.
b) Kematangan profesi valuator belum merata.
c) Penegakan hukum dan governance masih perlu diperkuat.
d) Standar global perlu adaptasi agar sesuai konteks ekonomi domestik.
Secara keseluruhan, IFRS memang penting sebagai fondasi, tetapi Indonesia tetap perlu local adjustment agar laporan keuangan bukan hanya mengikuti tren global, tetapi juga menggambarkan realitas ekonomi yang dapat dipercaya.