nama = muhammad khalil fawwaz
npm = 2413031085
kelas = 2024 c
1. Apakah penggunaan Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) berlaku untuk bisnis di Indonesia?
Menurut peraturan, perusahaan publik di Indonesia diwajibkan untuk menyediakan informasi keuangan berdasarkan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan), yang ditetapkan oleh IAI. Namun, PSAK telah mengadopsi banyak prinsip IFRS, seperti koreksi nilai wajar (PSAK 68, yang didasarkan pada IFRS 13).
Dengan kata lain, IFRS tidak dapat langsung diimplementasikan sebagai kerangka kerja konseptual di Indonesia; melainkan, implementasinya di lapangan konsisten dengan PSAK yang sedang dijalankan. Dengan kata lain, PT Garuda Sejahtera harus mematuhi PSAK meskipun argumen konseptual yang digunakan mungkin serupa dengan yang ada dalam IFRS.
2. Apakah kerangka kerja konseptual PSAK cukup matang untuk mendukung bisnis global?
Memang, kerangka kerja konseptual PSAK cukup mengesankan. Hal ini karena:
Banyak aspek PSAK telah sejalan dengan IFRS, termasuk pelaporan keuangan, karakteristik kualitatif, dan dasar pengukuran.
PSAK menyediakan dana untuk penggunaan basis pengukuran modern (seperti nilai wajar), yang relevan bagi bisnis yang ingin menarik investor internasional.
Namun, muncul masalah dalam implementasi praktis:
Karena pasar modal dan aset Indonesia tidak terlalu aktif, perhitungan nilai wajar seringkali menghasilkan data yang tidak akurat.
Infrastruktur independen dan kapasitas profesional masih kurang.
Namun, meskipun kerangka PSAK sudah cukup tinggi, implementasi lokal diperlukan agar dapat berfungsi secara efektif dalam mengatasi isu-isu global.
3. Apakah nilai wajar secara akurat mencerminkan realitas ekonomi dalam konteks Indonesia?
Secara teoritis, nilai wajar lebih relevan karena menggambarkan kondisi ekonomi saat ini dan mengikuti prinsip "isi di atas bentuk". Namun, dalam konteks Indonesia:
Pasar pesawat tidak aktif → harga pasar yang reliabile sulit ditto, oleh karena itu perhitungan nilai wajar sangat bergantung pada asumsi dan model
penilaian (Level 3 IFRS 13).
1. Nilai wajar PT Garuda Sejahtera sebagai dasar koreksi nilai wajar
Inti kritik (singkat): Keputusan dapat dijelaskan secara konseptual, tetapi hanya jika koreksi nilai wajar dilakukan menggunakan prosedur yang metodologis dan mudah dipahami. Dalam pasar domestik yang tipis atau tidak aktif, terdapat risiko bahwa nilai wajar sangat didorong oleh
penilaian (Level 3), yang berarti keandalannya rendah dan auditor tidak responsif.
Argumen yang mendukung nilai wajar:
Nilai wajar menunjukkan relevansi dengan menyediakan informasi terkini yang bermanfaat bagi investor, terutama investor di seluruh dunia, dengan memprediksi harga keluar yang mungkin berfluktuasi di pasar.
Nilai wajar menjadi lebih informatif dengan tujuan menarik investor asing dan meningkatkan daya banding dengan standar internasional.
Argumen yang menentang (praktis/kontra):
Jika pasar domestik tidak aktif, koreksi nilai wajar akan didasarkan pada model dan asumsi manajemen (input Level-3). Hal ini meningkatkan risiko audit dengan mendorong verifiabilitas dan keandalan.
Nilai wajar dapat mengurangi volatilitas laba/ekuitas dan menciptakan dana untuk manajemen laba ketika tata kelola diterapkan untuk valuasi yang lebih rendah.
PSAK/IFRS memberikan nilai wajar tetapi juga menunjukkan penggunaan input yang dapat diobservasi sejauh mungkin dan pengungkapan yang jelas; jika pernyataan ini tidak terlalu ketat, auditor harus menggunakan dasar yang lebih konservatif, seperti biaya historis.
Penilaian akhir:
Pernyataan konseptual yang valid meliputi: (a) konsistensi dengan PSAK yang relevan; (b) keberadaan penilai independen dan dokumentasi pasar global/regional; dan (c) pengungkapan asumsi dan sensitivitas yang tidak lengkap. Jika tidak demikian, penerapannya dapat sulit, dan auditor cenderung menggunakan biaya historis atau pengungkapan/penajaman metodologis.
Kondisi ini menunjukkan keakuratan (keandalan) informasi, terlepas dari relevansinya bagi investor di seluruh dunia.
Oleh karena itu, dalam kasus Garuda, nilai wajar mungkin tidak secara akurat mencerminkan realitas ekonomi lokal jika analisis yang mendasarinya lemah. Auditor yang berpengetahuan menyarankan penggunaan biaya historis atau metode pengungkapan yang paling tidak jelas untuk memastikan transparansi.
Ide utamanya adalah bahwa nilai wajar dapat digunakan untuk menentukan realitas ekonomi yang dapat dipertanyakan jika terdapat data pasar global yang akurat dan metode
penilaian yang transparan. Jika tidak, biaya historis lebih tepat dalam konteks Indonesia.
2. Perbandingan Konseptual antara IFRS dan PSAK (Indonesia)
Ringkasan: Secara signifikan, PSAK telah mengatasi banyak masalah dengan IFRS. Perbedaan utamanya tidak didasarkan pada prinsip dasar; melainkan pada implementasi, interpretasi lokal, dan penerapan praktis/penyesuaian.
a) Tujuan laporan keuangan
IFRS: Menyediakan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja, dan arus kas yang bermanfaat bagi investor, karyawan, dan pihak eksternal lainnya dalam proses pengembangan prakiraan ekonomi.
PSAK: Tujuan umum — laporan keuangan bagi pengguna eksternal untuk mengembangkan opini ekonomi. PSAK mengadopsi tujuan ini dan membuatnya relevan bagi pengguna di Indonesia dengan tetap mematuhi standar internasional.
b) Karakteristik informasi kualitatif
IFRS: Meningkatkan = keterbandingan, keterverifikasian, ketepatan waktu, dan pemahaman; Fundamental = relevansi & representasi yang tepat. Menyoroti trade-off antara keandalan dan relevansi.
PSAK: Mengadopsi prinsip yang sama (representasi wajar sebagai prinsip dan relevansi) dan perbaikan sesuai kebutuhan. Untuk meningkatkan keandalan bila diestimasi, PSAK mendorong pengungkapan.
c) Landasan pengukuran
IFRS: Menggunakan berbagai basis, termasuk biaya historis, nilai wajar, nilai pakai, dll. Informasi yang paling berguna disediakan oleh basis yang bergantung, dan IFRS 13 merinci pengukuran nilai wajar (hierarki Level 1-3).
PSAK: Menerapkan prinsip yang sama; beberapa PSAK spesifik mensyaratkan atau mengevaluasi nilai wajar instrumen. Namun, dalam praktiknya, beberapa entitas domestik lebih sering menggunakan biaya historis dalam aset tetap ketika model revaluasi digunakan.
d) Asumsi entitas dan kelangsungan usaha (kelangsungan usaha)
IFRS: Asumsi kelangsungan usaha digunakan jika terdapat indikasi sebaliknya; pernyataan atau ungkapan diperlukan jika kelangsungan usaha ingin ditetapkan.
PSAK: Sebagai contoh, PSAK 1 menguraikan kelangsungan usaha dan pengungkapan jika terjadi ketidakpastian yang signifikan.
3. Apakah Indonesia perlu mengikuti pedoman konseptual IFRS tanpa lokalisasi? (Pendapat kritis)
Singkat jawaban: Tidak terlalu kuat. Indonesia harus terus menyelaraskan PSAK dengan IFRS sambil menyediakan dana untuk penyesuaian lokal, tidak menentu, dan tepat waktu.
Argumen menjelaskan mengapa tidak ada kepatuhan 100%:
Kematangan pasar (likuiditas & data)
Banyak koreksi nilai wajar didasarkan pada pasar aktif dan input yang dapat diobservasi. Data ini seringkali tidak tersedia di pasar yang sedang berkembang, yang mengurangi keandalan pengukuran.
Kapasitas kelembagaan dan profesional
Jejak audit yang berkualitas, tata kelola, dan penilai diperlukan untuk penerapan nilai wajar. Laporan mungkin tidak dapat dipercaya jika kapasitas ini berkurang.
Dampak sosial dan makro
Volatilitas yang diakibatkan oleh koreksi nilai wajar (mis. fluktuasi nilai aset besar) dapat memengaruhi persepsi risiko bisnis, ketersediaan kredit, dan stabilitas sektor (terutama, apakah regulator atau bank menggunakan data keuangan untuk pengawasan).
Hukum dan regulasi perpajakan
Jika perubahan terjadi dengan cepat tanpa mematuhi peraturan perpajakan/hukum, perbedaan antara basis fiskal dan akuntansi dapat menyebabkan masalah implementasi dan masalah administratif.
Tetapi — mengapa harmonisasi tetap penting:
Implementasi IFRS meningkatkan daya banding internasional, menurunkan biaya modal bagi bisnis yang mencari investor asing, dan memfasilitasi akuntabilitas.
Rekomendasi tindakan:
Izinkan pedoman implementasi dan opsi transisi (mis. persyaratan pengungkapan yang lebih ketat untuk nilai wajar Level-3, atau kewajiban menyertakan rekonsiliasi ke biaya historis untuk tujuan regulator) terlihat jelas dalam adopsi prinsip-prinsip IFRS secara bertahap.
mendanai pengembangan keterampilan penilai, auditor, dan regulator serta standarisasi metode
penilaian aset di berbagai pasar.
4. Rekomendasi praktis untuk PT Garuda Sejahtera & Dewan Komisaris
Penilaian jejak audit: gunakan penilai independen, dokumentasi yang menyeluruh, dan komite
penilaian internal yang independen.
Pengungkapan Level 3: Kepatuhan terhadap Level 3 memerlukan asumsi utama, sensitivitas, dan rekonsiliasi.
Pelaporan/rekonsiliasi ganda: menyediakan rekonsiliasi nilai wajar → biaya historis dalam sebuah dokumen untuk membantu regulator dan pengguna domestik.
Dialog proaktif dengan auditor: mencapai kepatuhan metodologis dan objektivitas sebelum menyelesaikan laporan.
Jika pasar lemah, opsi konservatif adalah menggunakan harga historis atau ambang batas nilai wajar hingga pasar lemah.
Advokasi kebijakan: bekerja sama dengan IAI/DSAK, memberikan panduan lokal untuk koreksi aset di berbagai jenis pasar (misalnya, pesawat).