Nama : Hafidz Azka Rikzi
NPM : 2415061051
Kelas : PSTI C
Hasil Analisis Jurnal
Jurnal ini membahas bagaimana nilai-nilai dalam sila keempat Pancasila, yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, diterapkan dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia. Meskipun Indonesia mengklaim sebagai negara demokrasi yang berpijak pada Pancasila, praktiknya sering tidak mencerminkan esensi nilai tersebut.
Penulis menilai bahwa pelaksanaan demokrasi saat ini masih jauh dari ideal. Permasalahan seperti konflik antarpartai dan pendukung, pencalonan kepala daerah yang ditentukan oleh elit partai tanpa keterbukaan, serta hambatan bagi calon independen menunjukkan lemahnya prinsip musyawarah. Di sisi lain, penyebaran hoaks dan kampanye negatif di media sosial memperparah situasi.
Jurnal ini menekankan bahwa pemilu seharusnya menjadi sarana pelaksanaan negara hukum yang memberi kesempatan setara kepada setiap warga. Namun, dominasi elite politik menghambat keadilan tersebut. Demokrasi Pancasila, yang menekankan musyawarah, kekeluargaan, dan gotong royong, berbeda dari model demokrasi barat yang menitikberatkan pada suara terbanyak.
Akhirnya, penulis mengajak masyarakat untuk tidak hanya fokus pada mekanisme pemilu langsung, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai budaya dan etika dalam kehidupan politik. Pemilu seharusnya tidak sekadar formalitas lima tahunan, tetapi sarana mewujudkan demokrasi yang adil dan bermoral, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
NPM : 2415061051
Kelas : PSTI C
Hasil Analisis Jurnal
Jurnal ini membahas bagaimana nilai-nilai dalam sila keempat Pancasila, yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, diterapkan dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia. Meskipun Indonesia mengklaim sebagai negara demokrasi yang berpijak pada Pancasila, praktiknya sering tidak mencerminkan esensi nilai tersebut.
Penulis menilai bahwa pelaksanaan demokrasi saat ini masih jauh dari ideal. Permasalahan seperti konflik antarpartai dan pendukung, pencalonan kepala daerah yang ditentukan oleh elit partai tanpa keterbukaan, serta hambatan bagi calon independen menunjukkan lemahnya prinsip musyawarah. Di sisi lain, penyebaran hoaks dan kampanye negatif di media sosial memperparah situasi.
Jurnal ini menekankan bahwa pemilu seharusnya menjadi sarana pelaksanaan negara hukum yang memberi kesempatan setara kepada setiap warga. Namun, dominasi elite politik menghambat keadilan tersebut. Demokrasi Pancasila, yang menekankan musyawarah, kekeluargaan, dan gotong royong, berbeda dari model demokrasi barat yang menitikberatkan pada suara terbanyak.
Akhirnya, penulis mengajak masyarakat untuk tidak hanya fokus pada mekanisme pemilu langsung, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai budaya dan etika dalam kehidupan politik. Pemilu seharusnya tidak sekadar formalitas lima tahunan, tetapi sarana mewujudkan demokrasi yang adil dan bermoral, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.