Nama: Aqmal Seta Nugraha
Npm: 2216041135
Istilah ‘asas’ dalam Asas Umum Pemerintahan yang Baik, menurut pendapat Bachsan Mustafa dimaksudkan sebagai ‘asas hukum’, yaitu suatu
asas yang menjadi dasar suatu kaidah hukum. Asas hukum adalah asas yang menjadi dasar pembentukan kaidah-kaidah hukum, termasuk juga kaidah hukum tata pemerintahan. Kaidah atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam pergaulan
hidupnya dengan manusia lainnya. Ketentuan tentang tingkah laku dalam hubungan hukum dalam pembentukannya, sekaligus penerapannya, didasarkan pada asas-asas hukum yang diberlakukan. Perlakuan asas hukum
dalam lapangan hukum tata pemerintahan sangat diperlukan, mengingat kekuasaan aparatur pemerintah memiliki wewenang yang istimewa, lebih lebih di dalam rangka penyelenggaraan kesejahteraan dan kepentingan umum dalam fungsinya sebagai bestuurszorg.
Sejarah perkembangan AUPB di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan
prinsip AUPB dalam berbagai peraturan perundang-undangan, praktik
penerapan AUPB dalam putusan pengadilan atau yurisprudensi serta doktrin.
Perkembangan AUPB dari prinsip yang tidak tertulis bergeser menjadi norma
hukum tertulis berlangsung cukup lambat. Sejak UU PTUN 1986, AUPB tidak
diatur secara eksplisit. Pasal 53 ayat (2) UU PTUN 1986 tidak secara eksplisit
menyebut AUPB sebagai dasar pengajuan gugatan Keputusan TUN. Pada saat pembentukan UU PTUN 1986, risalah UU menyatakan bahwa Fraksi ABRI sudah mengusulkan konsep AUPB. Namun usulan itu ditolak oleh Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, dengan alasan praktik ketatanegaraan
maupun dalam Hukum Tata Usaha Negara di Indonesia, belum mempunyai kriteria “algemene beginselen van behoorlijk bestuur” (
asas-asas umum pemerintahan yang baik), seperti halnya di Belanda dan di negara-negara.
Perkembangan AUPB di Indonesia banyak dipengaruhi oleh berbagai kemajuan doktrin hukum dan yurisprudensi. Namun, sayangnya, di Indonesia yurisprudensi tentang AUPB tidak terkumpul secara baik. Dalam buku kumpulan Yurisprudensi Mahkamah Agung, misalnya, tidak ditemukan Yurisprudensi tentang Pelanggaran AUPB. Dalam Direktori Putusan
Mahkamah Agung RI belum terdapat klasifikasi putusan tentang pelanggaran
AUPB, sehingga tidak mudah bagi praktisi hukum khususnya Hakim dalam
menelusuri Yurisprudensi tentang Pelanggaran AUPB. Oleh karena itu, dalam berbagai putusan Hakim AUPB hanya ditempatkan sebagai pertimbangan pertimbangan hukum tambahan dalam memutus perkara. Merupakan
tantangan tersendiri bagi praktisi hukum atau akademisi untuk menelusuri
dan mengkaji yurisprudensi tentang pelanggaran AUPB. Dengan demikian,
perkembangan AUPB dalam fungsinya sebagai alat bagi Hakim untuk
menguji atau menilai keabsahan tindakan penyelenggara pemerintahan
dan sebagai alat kontrol untuk mencegah tindakan–tindakan administratif
yang dapat menimbulkan kerugian, tidak secepat yang terjadi di Belanda.
Pengesahan UU AP 2014 diharapkan mampu mendorong pengakuan dan
penerimaan AUPB sebagai norma hukum yang harus dijadikan dasar oleh
penyelenggara pemerintahan dalam menjalankan kewenangannya, sekaligus
sarana bagi warga negara untuk menggugat penyelenggara pemerintahan
yang menyimpang dan menjadi dasar bagi Hakim dalam memutus perkara.
Menurut Indroharto, AUPB sangat penting dalam kajian administrasi Negara, Karena
1. AUPB merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku
2. AUPB merupakan norma bagi perbuatan-perbuatan administrasi Negara, di samping norma hukum tertulis dan tidak tertulis
3. AUPB dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan, dan akhirnya
AUPB dapat dijadikan “alat uji”, oleh Hakim untuk menilai sah tidaknya
atau batal tidaknya keputusan Administrasi Negara.
Dikutip dari sumber: https://eprints.umm.ac.id/79126/1/Pratiwi%20Purnamawati%20Fauzi%20Purbawati%20-%20Pemerintahan.pdf