Posts made by Raihan Rifandi

Berdasarkan video yang berjudul “Perkembangan Demokrasi di Indonesia” yang diunggah oleh kanal pribadi Syannur Asyadi, sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia telah mengalami beberapa perkembangan dan penyesuaian seiring zaman yaitu sebagai berikut.
1. Perkembangan Demokrasi Masa Revolusi Kemerdekaan
Demokrasi pada masa ini masih sangat terbatas, hal tersebut sebanding lurus dengan keterbatasan media pers yang kala itu hanya berupa majalah dan koran.
2. Perkembangan Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia karena nilai-nilai demokrasi mulai berkembang secara menyeluruh dalam sendi-sendi kehidupan politik pemerintahan Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya partai politik yang ikut serta dalam pemerintahan dan diselenggarakannya pemilihan umum (Pemilu) pertama di Indonesia. Banyaknya partai politik yang berebut pengaruh dan kepentingan di kursi kabinet menyebabkan munculnya konflik antar partai.
3. Perkembangan Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Pada masa ini, layar politik di Indonesia didominasi oleh tiga unsur kekuatan politik saat itu, yaitu ABRI, Soekarno, dan PKI.
4. Perkembangan Demokrasi dalam Pemerintahan Orde Baru
Pelaksanaan demokrasi Pancasila masih jauh dari harapan rakyat Indonesia. Angan-angan kekuasaaan berada di tangan rakyat hanya dijadikan alat politik penguasa. Pada masa ini, pelaksanaan demokrasi Pancasila kurang lebih sama dengan kediktatoran.
5. Perkembangan Demokrasi Pada Masa Reformasi (1998-sekarang)
Ditandai dengan pengunduran diri Soeharto sebagai presiden dan dipilihnya B.J. Habibie sebagai presiden. Sistem demokrasi yang diterapkan masih sama dengan orde baru yaitu demokrasi Pancasila, namun dengan beberapa perubahan dan penyesuaian. Pada masa ini, pemilu yang dilaksanakan jauh lebih demokratis daripada yang sebelumnya, pemerintahan yang lebih terdesentralisasi, pengrekrutan politik untuk pengisian jabatan lebih transparan, dan sebagian hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan pers.
Nama: Raihan Rifandi
NPM: 2217051043
Kelas: B

Negara Indonesia menganut sistem demokrasi yang dimana rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam pelaksanaannya, demokrasi di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian mulai dari demokrasi konstitusional, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila hingga masa reformasi saat ini. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rakyat berhak memilih para wakil dan pemimpinnya. Hal tesrebut sejalan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila sila keempat, yaitu nilai kerakyatan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan negara didasarkan pada permusyawaratan dan perwakilan. Sebagai perwujudan nilai sila keempat pada sistem demokrasinya, Indonesia menerapkan pemilihan umum yang dimana rakyat dapat memilih langsung wakil dan pemimpinnya. Pemilihan umum di Indonesia sendiri telah diadakan sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Dilihat dari segi empiris, sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia masih tergolong muda usianya. Oleh karena itu, dalam pengimplementasiannya, demokrasi di Indonesia terutama pemilu masih diwarnai dengan pelanggaran dan pendegenerasian yang jelas melenceng dan tidak mencerminkan demokrasi yang berdasarkan aspek permusyawaratan dan perwakilan. Dalam jurnalnya, penulis menjadikan pemilihan umum kepala daerah sebagai objek penelitiannya. Penulis menilai bahwasanya pilkada tidak mencerminkan nilai yang terkandung dalam sila keempat. Terdapat beragam masalah yang mengiringi pelaksanaannya, antara lain pencalonan kepala daerah sebagai boneka partai politik dan ketidakjelasan intepretasi UU Pemilu yang mengatur pencalonan kepala daerah secara independen. Dengan mencalonkan bonekanya, partai politik dapat dengan mudahnya memperjual-belikan jabatan di pemerintahan daerah. Sebaliknya, calon kepada daerah yang independen mau tidak mau harus membayar “mahar” kepada partai politik agar dapat maju ke pilkada.

Pada akhirnya, segala bentuk pragmatism sempit seperti menanam modal dan mengharapkan balik modal, hutang budi, nepotisme dan lain sebagainya harus dihapus dari sistem demokrasi karena hak dan kedaulatan rakyat tidak dapat diukur dengan uang. Para pihak yang terlibat dalam pemilihan umum khususnya pemilihan umum kepala daerah harus melaksanakan demokrasi dengan berdasarkan Pancasila dan UUD. Dengan demikian, Indonesia dapat berproses menuju demokrasi yang dewasa sehingga terwujudnya masyarakat adil makmur yang bernafaskan Pancasila.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, izin memperkenalkan diri 
Nama: Raihan Rifandi
NPM: 2217015043

Seperti yang tertera pada video presentasi di atas yang menjelaskan bahwa, paragraf ineratif diawali dengan kalimat-kalimat penjelas sebagai pengantar kemudian diikuti gagasan utama dan ditambahkan lagi kalimat-kalimat penjelas untuk mempertegas informasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan yaitu,

1. Bagaimana cara yang baik dan benar untuk menghubungkan antara kalimat pengantar dengan gagasan utama pada paragraf ineratif? Mohon sekiranya jawaban disertakan dengan contoh pengaplikasiannya agar saya dapat memahaminya dengan jelas.

Atas perhatian dan kesempatan bertanyanya saya ucapkan terima kasih.
Nama: Raihan Rifandi
NPM: 2217051043
Kelas: B

Jurnal diatas mengulas buku yang ditulis oleh Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef tentang Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi. Ulasan tersebut berfokus pada dinamika pelaksanaan demokrasi dan pemilu di Indonesia, desain sistem penyelenggaraan pemilu beserta solusi dan saran untuk pemilu kedepannya.

Perjalanan penyelenggaraan pemilu di Indonesia pasca reformasi seperti remaja yang masih mencari jati dirinya. Berbagai perubahan terhadap desain penyelenggaraan pemilu beserta segala instrumennya terus dilakukan dari satu periode pemilu ke periode berikutnya. Demokrasi Indonesia yang berjalan selama 21 tahun masih berorientasi pada pelaksanaannya, bukan pada substansi atau hakikat dari demokrasi itu sendiri. Pada ulasan ini, penulis mengambil contoh dari dualisme pemilihan presiden tahun 2019 lalu antara Jokowi dengan Prabowo yang menimbulkan beberapa polemik demokrasi yang sempat menjadi perbincangan hangat di Indonesia saat itu. Mulai dari persoalan hoaks dan ujaran kebencian, hingga isu politisasi agama dalam pilpres 2019 menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi demokrasi di Indonesia.

Masyarakat yang dipecah belah menjadi dua kubu, yaitu cebong dan kampret menggambarkan betapa kompleks dan sulitnya pelaksanaan pemilu dalam masyarakat yang memiiliki pluralitas yang tinggi. Masyarakat yang tidak mau pusing, memilih untuk golput dan bersikap asing. Birokrasi dari hasil bagi-bagi kursi juga memperburuk keadaan demokrasi Indonesia sebagaimana terdapat pada ulasan tersebut. Partai politik yang kewalahan karena tidak memiliki suara yang cukup untuk memasuki parlemen ikut turut andil dalam merusak substansi dan esensi dari demokrasi dengan menggaet kalangan selebritas yang jelas-jelas tidak memiliki korelasi dan kapabilitas untuk mewakili suara rakyat.

Pada akhirnya, konsolidasi demokrasi di Indonesia masih cenderung jalan di tempat karena pilar-pilar pentingnya seperti pemilu, partai politik, warga sipil, dan media massanya tidak dapat menjalankan fungsinya secara efektif dan maksimal. Penulis menyatakan bahwa berkenaan dengan permasalahan tersebut, diperlukannya peran aktif dan kolaboratif para stakeholders pemilu seperti parpol, penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP), pemerintah (pusat dan daerah) dan institusi penegak hukum dalam rangka menyukseskan pemilu tanpa konflik yang sangat bergantung kepada tinggi-rendahnya tingkat kepercayaan rakyat kepada para stakeholders tersebut.