Posts made by Ahmad fahrizki 2217011039

Nama : Ahmad Fahrizki
Npm : 2217011039
Kelas : B

Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Setelah Indonesia merdeka, negara ini menerapkan sistem Demokrasi Parlementer berdasarkan konstitusi sementara (UUDS 1950). Sistem ini mengutamakan peran legislatif, di mana parlemen memiliki kekuasaan besar dalam memilih dan memecat kabinet. Pada masa ini, sering terjadi pergantian pemerintahan karena instabilitas politik, karena koalisi partai yang selalu berubah-ubah. Kondisi tersebut menyebabkan ketidakstabilan dan keraguan terhadap sistem ini.

Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Pada tahun 1959, Sukarno mengubah sistem pemerintahan menjadi Demokrasi Terpimpin setelah membubarkan konstitusi sementara dan kembali kepada UUD 1945. Dalam sistem ini, Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar dan cenderung otoriter. Meskipun ada pemilihan umum dan partai politik, kekuasaan eksekutif sangat dominan. Sukarno mengendalikan politik melalui konsep “Nasakom” (Nasionalis, Agama, dan Komunis), yang menyatukan partai-partai dengan ideologi berbeda, namun sistem ini mengarah pada ketegangan politik dan semakin menguatkan kekuasaan Presiden.

Orde Baru (1966-1998)
Setelah peristiwa G30S/PKI pada 1965, Soeharto mengambil alih kekuasaan dan memulai era Orde Baru. Pada masa ini, Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan otoriter dengan kekuasaan yang sangat terkonsentrasi pada Presiden. Walaupun ada pemilu dan parlemen, sistem politik diatur sedemikian rupa untuk memastikan dominasi Soeharto dan partai-partai yang loyal kepadanya. Kebebasan politik dibatasi, dan oposisi ditekan. Meskipun begitu, Orde Baru dikenal dengan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, namun pada akhirnya menjadi semakin korup dan represif.

Reformasi (1998-sekarang)
Pada tahun 1998, krisis ekonomi yang melanda Indonesia memicu gelombang protes besar-besaran yang akhirnya menggulingkan Soeharto setelah lebih dari 30 tahun berkuasa. Era Reformasi dimulai dengan perubahan besar dalam sistem politik dan pemerintahan. Presiden Habibie, yang menggantikan Soeharto, membuka jalan untuk perubahan dengan melakukan pemilu yang lebih bebas dan adil serta membuka ruang bagi kebebasan pers dan organisasi sipil. Pada 1999, Indonesia mengadakan pemilu pertama pasca-Orde Baru. Amandemen UUD 1945 dilakukan pada awal 2000-an yang memperkenalkan pemilihan langsung untuk Presiden, memberi otonomi lebih besar pada daerah, dan memperkuat posisi legislatif. Pemilu presiden pertama yang dilakukan langsung oleh rakyat dilaksanakan pada 2004, menandai langkah besar dalam memperkuat demokrasi.
Nama : Ahmad Fahrizki
Npm : 2217011039
Kelas : B

Jurnal Demokrasi sebagai Wujud Nilai-Nilai Sila Keempat Pancasila dalam Pemilihan Umum Daerah di Indonesia ini membahas tentang bagaimana seharusnya nilai-nilai dalam sila keempat Pancasila diwujudkan dalam praktik pemilu di Indonesia, khususnya pemilihan kepala daerah. Sila keempat ini berbicara soal “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” yang artinya rakyat punya peran penting dalam menentukan arah pemerintahan melalui proses yang bijak dan musyawarah. Tapi, kenyataannya belum sesuai harapan.

Meskipun secara teori sistem demokrasi kita udah jalan dan diatur dalam konstitusi, pelaksanaannya masih jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Dalam praktik pemilu, masih sering muncul masalah kayak politik uang, konflik antar pendukung, dan kecurangan dalam proses kampanye. Belum lagi sistem partai yang lebih sering pakai penunjukan langsung daripada proses demokratis di internal partai. Hal ini bikin demokrasi kita kelihatan kayak formalitas doang—nyoblos iya, tapi esensinya belum dapet.

Salah satu sorotan menarik dari jurnal ini adalah sulitnya calon independen buat ikut Pilkada. Syaratnya berat banget, jadi walaupun secara hukum diperbolehkan, dalam praktiknya kayak nggak diberi ruang. Padahal, hadirnya calon independen bisa jadi bukti bahwa demokrasi benar-benar terbuka untuk semua warga, bukan cuma mereka yang punya dukungan partai. Ini nunjukin kalau sistem kita masih belum sepenuhnya mendukung partisipasi rakyat yang merata.

Selain itu, jurnal ini juga ngangkat soal pentingnya pemilu yang tidak hanya sah secara prosedural, tapi juga menjunjung tinggi nilai musyawarah dan keadilan. Misalnya, kampanye yang mestinya jadi wadah untuk menyampaikan visi dan misi, malah sering disalahgunakan buat menyebar hoaks atau serangan personal. Media sosial pun makin memperparah keadaan kalau nggak digunakan secara bijak.

Kesimpulannya, jurnal ini mengajak kita buat balik ke demokrasi yang benar-benar mencerminkan Pancasila, terutama sila keempat. Demokrasi bukan cuma soal memilih pemimpin, tapi juga tentang menjaga nilai kejujuran, kebijaksanaan, dan semangat gotong royong. Kalau nilai-nilai itu benar-benar dipegang, demokrasi kita bukan cuma terlihat meriah di permukaan, tapi juga kuat dari dalam.
Nama : Ahmad Fahrizki
Npm : 2217011039
Kelas : B

kesempatan bagi rakyat untuk bersuara dan menentukan arah negara. Dalam sistem ini, semua warga negara punya hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Artinya, siapa pun bisa ikut menentukan siapa pemimpinnya, dan apa kebijakan yang harus diambil. Ini beda banget dengan sistem otoriter di mana semua keputusan hanya dipegang satu orang atau sekelompok elit.

Yang paling penting, demokrasi menciptakan ruang aman untuk perbedaan pendapat. Dalam sistem ini, orang bebas menyuarakan kritik, berdiskusi, bahkan mengorganisir aksi protes secara damai. Media juga punya kebebasan untuk mengawasi pemerintah dan menyampaikan informasi ke publik. Kebebasan ini membantu menjaga transparansi dan mendorong masyarakat untuk lebih aktif dalam kehidupan politik.

Jadi meskipun demokrasi penuh suara dan perdebatan—alias gaduh—itu bukan kelemahan, tapi justru kekuatannya. Gaduhnya demokrasi adalah tanda bahwa banyak orang ikut peduli dan terlibat. Sistem ini memang tidak sempurna, tapi dibandingkan dengan sistem lain, demokrasi masih jadi harapan terbaik untuk menciptakan keadilan, kesetaraan, dan pemerintahan yang bisa dikontrol oleh rakyatnya sendiri.
Nama : Ahmad Fahrizki
Npm : 22170011039
Kelas : B

Jurnal Penelitian Politik edisi Juni 2019 ini ngangkat tema yang cukup panas, yaitu dinamika politik menjelang dan selama Pemilu Serentak 2019 di Indonesia. Pemilu ini jadi yang pertama kalinya pilpres dan pileg digelar bersamaan. Harapannya sih bisa bikin sistem presidensial kita lebih kuat dan efisien. Tapi ternyata, dari hasil kajian para peneliti, pemilu ini justru nunjukkin bahwa sistem kita masih banyak bolongnya. Koalisi partai masih dibentuk secara pragmatis, dan partai politik sendiri belum punya fondasi yang kuat buat menciptakan kader pemimpin yang mumpuni.

Salah satu isu menarik yang dibahas adalah soal narasi simbolik terhadap perempuan dalam politik. Istilah seperti “emak-emak” dan “ibu bangsa” dijadikan alat untuk menarik suara perempuan, tapi sayangnya cuma sebatas simbol. Kedua kubu capres sama-sama mengandalkan stereotip perempuan dalam ranah domestik tanpa betul-betul mengangkat isu kesetaraan gender atau pemberdayaan perempuan secara nyata. Ini mencerminkan masih kuatnya budaya patriarki dalam cara kampanye politik kita.

Di sisi lain, netralitas institusi seperti Polri juga ikut dipertanyakan. Artikel dari Sarah Nuraini Siregar misalnya, mengangkat kekhawatiran bahwa Polri bisa saja berpihak secara tidak langsung dalam kontestasi politik, apalagi mengingat peran mereka yang sangat penting dalam menjaga stabilitas keamanan selama pemilu. Hal ini tentu berbahaya karena bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.

Jurnal ini juga mengangkat soal populisme yang makin merajalela. Fenomena ini terjadi ketika elit politik menggunakan isu-isu identitas dan emosi massa untuk menarik simpati, tapi tanpa memberikan solusi nyata. Alih-alih memperdalam demokrasi, populisme justru memperkuat oligarki dan menjauhkan rakyat dari substansi demokrasi itu sendiri. Bahkan, fenomena budaya seperti Shalawat Badar pun nggak luput dari politisasi dan dijadikan alat mobilisasi politik di kalangan santri.

Secara umum, jurnal ini kasih gambaran bahwa meskipun Indonesia udah beberapa kali menggelar pemilu sejak reformasi, kualitas demokrasi kita masih dominan pada level prosedural—alias lebih fokus ke aturan formal ketimbang substansi. Konsolidasi demokrasi masih terhambat karena partai belum berfungsi optimal, birokrasi masih rawan intervensi politik, dan masyarakat belum sepenuhnya dilibatkan secara aktif dan rasional dalam proses politik. Semua ini jadi tantangan besar kalau kita benar-benar pengen punya demokrasi yang sehat dan berkualitas.