གནས་བསྐྱོད་བཟོ་མི་ Weni Indriyani 2217011124

NAMA : Weni Indriyani
NPM : 2217011124
KELAS : B


Jurnal ini mengulas secara mendalam tentang dinamika penegakan hukum dan peran negara dalam kasus penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), saat ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Penulis menekankan bahwa kasus ini menjadi momen penting untuk menguji konsistensi hukum di Indonesia, terutama ketika dihadapkan pada tekanan politik, sosial, dan agama. Analisis menunjukkan bahwa meskipun Indonesia mengusung sistem hukum, pelaksanaannya sering dipengaruhi oleh kekuatan mayoritas dan kepentingan politik. Maruapey mengkritik aparat penegak hukum yang dianggap kurang menunjukkan sikap independen dan keberanian yang semestinya dalam proses peradilan. Keputusan dalam kasus Ahok lebih dianggap dipengaruhi oleh tekanan publik daripada prinsip keadilan yang sebenarnya.

Selain itu, jurnal ini juga membahas bagaimana negara kurang mampu melindungi hak minoritas, seperti Ahok yang merupakan minoritas etnis dan agama. Seharusnya negara bersikap netral dan melindungi seluruh warga tanpa memandang latar belakang, namun dalam kasus ini, negara justru terkesan menyerah pada tekanan kelompok mayoritas. Hal ini menegaskan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih rentan terhadap campur tangan dari luar sistem hukum.

Jurnal ini juga mengusulkan pendekatan kritis dan normatif terhadap lembaga hukum dengan menekankan pentingnya reformasi sistem penegakan hukum dan penguatan supremasi hukum yang adil dan tidak diskriminatif. Melalui kasus Ahok, penulis mengajak pembaca untuk merefleksikan pentingnya integritas lembaga hukum serta perlunya pemisahan yang jelas antara kekuasaan hukum dan pengaruh politik atau opini publik. Dengan demikian, jurnal ini memberikan sumbangan penting bagi studi hukum dan demokrasi di Indonesia sekaligus menggambarkan realitas sosial-politik yang masih memerlukan perbaikan demi terciptanya keadilan yang sejati untuk semua warga negara.
NAMA : Weni Indriyani
NPM : 2217011124
KELAS : B

Supremasi hukum di Indonesia tidak cukup dipahami hanya sebagai kepatuhan terhadap hukum tertulis, melainkan harus dilihat sebagai sistem yang hidup dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai sosial masyarakat. Hukum di Indonesia bersifat interaksional, artinya norma hukum tidak hanya berasal dari lembaga legislatif, tetapi juga terbentuk melalui kehidupan sosial yang mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pengakuan terhadap hukum adat dalam konstitusi menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia terbuka terhadap kearifan lokal dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang mengharuskan semua aspek pemerintahan didasarkan pada hukum. Ini mencakup kejelasan struktur hukum, kepastian hukum, keadilan, dan kesetaraan. Namun, penerapannya masih menghadapi banyak tantangan, seperti perlunya regulasi baru di era digital, tuntutan penyesuaian dengan hukum internasional, dan perlindungan terhadap kelompok minoritas.

Salah satu masalah utama adalah korupsi yang masih meluas, menandakan lemahnya penegakan hukum dan kurangnya budaya hukum di masyarakat. Reformasi pasca-1998 memang membawa perubahan positif seperti pemilu langsung dan otonomi daerah, tetapi juga membuka peluang baru bagi penyalahgunaan kekuasaan, terutama di daerah.

Di era digital, tantangan baru muncul seperti perlindungan data pribadi dan keselarasan hukum antara pusat dan daerah. Maka dari itu, untuk memperkuat supremasi hukum diperlukan langkah menyeluruh: mulai dari pendidikan karakter yang menanamkan kesadaran hukum sejak dini, reformasi birokrasi berbasis meritokrasi, hingga memperkuat lembaga hukum yang independen. Selain itu, harmonisasi berbagai peraturan sangat penting untuk menciptakan sistem hukum yang solid dan efektif.
NAMA : Weni Indriyani
NPM : 2217011124
KELAS : B

Video ini menjelaskan secara runtut dan mudah dipahami mengenai konsep supremasi hukum, yang merupakan dasar penting dalam sistem negara hukum. Dalam video tersebut dijelaskan bahwa supremasi hukum berarti hukum harus dijadikan sebagai aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua warga negara, tanpa pengecualian—baik rakyat biasa maupun pejabat tinggi—harus mematuhi hukum. Tidak ada yang berada di atas hukum, dan hal ini penting untuk menjamin keadilan serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Video tersebut juga menekankan bahwa supremasi hukum merupakan syarat utama untuk menciptakan pemerintahan yang adil, bersih, dan demokratis. Penegakan hukum harus dilakukan dengan adil, tidak berpihak, dan bebas dari pengaruh politik. Sebagai contoh, diceritakan bagaimana Khalifah Umar bin Khattab tetap menjalankan hukum terhadap anaknya sendiri, yang menggambarkan bahwa keadilan dalam hukum harus berlaku untuk siapa pun, tanpa memandang kedudukan atau hubungan.

Namun, video ini juga mengangkat berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan supremasi hukum, terutama pasca-reformasi. Meskipun sudah ada kemajuan dengan hadirnya lembaga-lembaga seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi, praktik hukum di Indonesia masih sering menghadapi masalah seperti korupsi, campur tangan politik, dan lemahnya penegakan hukum di tingkat masyarakat bawah.

Video ini mengajak mahasiswa dan generasi muda untuk tidak hanya memahami konsep supremasi hukum secara teori, tetapi juga ikut terlibat aktif dalam membangun kesadaran hukum yang adil, transparan, dan berorientasi pada kebenaran. Supremasi hukum bukan hanya gagasan ideal, tapi prinsip nyata yang harus diwujudkan demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bersama.
NAMA : Weni Indriyani
NPM : 2217011124
KELAS : B

Jurnal ini membahas bagaimana nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam sila keempat Pancasila belum sepenuhnya tercermin dalam pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Meskipun Indonesia telah menganut sistem demokrasi dan menyelenggarakan pemilu langsung, dalam praktiknya masih banyak tantangan. Permasalahan yang diangkat antara lain adalah kecurangan dalam pemilu, dominasi elit partai dalam menentukan calon kepala daerah tanpa mekanisme demokratis, serta politisasi birokrasi. Selain itu, calon independen seringkali dipersulit, dan substansi demokrasi digantikan oleh prosedur formal yang kering makna.

Nilai musyawarah dan kebijaksanaan yang seharusnya menjadi ciri khas sila keempat kerap diabaikan. Pilkada lebih banyak diwarnai oleh polarisasi politik, ujaran kebencian, dan kampanye yang hanya menonjolkan popularitas, bukan kualitas. Demokrasi yang berjalan belum sepenuhnya mencerminkan moralitas politik seperti gotong royong, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Penulis juga menyoroti lemahnya kontrol terhadap partai politik yang tidak menerapkan demokrasi secara internal, dan mengusulkan perlunya regulasi yang lebih tegas seperti di beberapa negara lain.

Secara metodologis, jurnal ini menggunakan pendekatan normatif dengan analisis hukum terhadap peraturan pemilu, khususnya UU Pilkada. Kesimpulannya, meskipun Pilkada langsung merupakan bentuk kemajuan demokrasi, pelaksanaannya masih jauh dari ideal. Jurnal ini menekankan pentingnya internalisasi nilai-nilai Pancasila agar demokrasi di Indonesia tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
NAMA : Weni Indriyani
NPM : 2217011124
KELAS : B

Perkembangan demokrasi di Indonesia telah melalui beberapa tahap yang menunjukkan dinamika politik yang kompleks. Pada masa Demokrasi Parlementer (1945–1959), sistem pemerintahan didominasi oleh parlemen dengan model multipartai yang mendorong kebebasan berpendapat dan kehidupan politik yang aktif. Namun, periode ini juga ditandai oleh ketidakstabilan karena seringnya pergantian kabinet dan konflik antarpartai. Selanjutnya, pada era Demokrasi Terpimpin (1959–1965), Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengembalikan UUD 1945 dan memperkenalkan sistem yang memusatkan kekuasaan di tangannya. Kebebasan politik dibatasi, peran militer meningkat, dan fungsi parlemen serta partai politik melemah, yang menyebabkan penyimpangan dari prinsip demokrasi.

Pada masa Orde Baru (1966–1998), di bawah Presiden Soeharto, diterapkan Demokrasi Pancasila yang menekankan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Meskipun memberikan kestabilan dan pertumbuhan, masa ini juga diwarnai oleh pembatasan terhadap kebebasan berpendapat, kontrol ketat terhadap media, dan dominasi satu partai, yaitu Golkar. Memasuki era Reformasi sejak 1998, Indonesia kembali ke jalur demokrasi yang lebih terbuka dengan penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, kebebasan pers, serta penerapan otonomi daerah. Meskipun demikian, tantangan seperti politik uang, korupsi, dan polarisasi politik masih menjadi hambatan. Secara keseluruhan, perjalanan demokrasi Indonesia mencerminkan perjuangan panjang menuju sistem pemerintahan yang adil dan partisipatif. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk memahami sejarah ini sebagai pijakan dalam membangun demokrasi yang lebih dewasa dan berkeadilan di masa mendatang.