Nandia Devina Dwi Hendri
2217011171
Kimia B
Video ini menyoroti urgensi transisi sistem hukum dari yang berbasis pada hukum adat (customary law) dan hukum interaksional (interactional law) menuju pada sistem hukum yang disusun secara rasional dan terstruktur, yakni hukum positif atau modern law. Dalam konteks masyarakat tradisional yang homogen dan statis, hukum adat dan norma sosial informal cukup efektif dalam mengatur perilaku. Namun, dalam masyarakat modern yang kompleks, pluralistik, dan dinamis, jenis hukum tersebut dinilai tidak lagi memadai. Oleh karena itu, diperlukan sistem hukum yang dirancang secara ilmiah dan sadar untuk menjawab tantangan zaman, termasuk perkembangan teknologi, perubahan sosial yang cepat, serta meningkatnya tuntutan terhadap keadilan yang menyeluruh.
Di sinilah hukum modern memainkan peran vital sebagai instrumen pengatur sekaligus penjaga keteraturan sosial. Konstitusi Indonesia, melalui UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), yang berarti segala aktivitas pemerintahan dan masyarakat harus berjalan di bawah supremasi hukum. Dalam negara hukum yang sehat, hukum tidak hanya sekadar kumpulan aturan yang harus ditaati, tetapi juga merupakan hasil perumusan rasional berbasis ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moralitas.
Konsep ini sejalan dengan pemikiran para filsuf hukum seperti Gustav Radbruch dan Ronald Dworkin. Radbruch menekankan bahwa keadilan substansial (substantive justice) harus mengungguli kepatuhan pada norma tertulis bila hukum bertentangan dengan nilai-nilai moral. Demikian pula, Dworkin mengkritik positivisme hukum yang terlalu tekstual dan mendorong interpretasi hukum berdasarkan prinsip moral dan keadilan. Ini menjadi kritik tajam terhadap pendekatan legalistik semata, yang hanya mengeja undang-undang secara literal tanpa mempertimbangkan konteks sosial maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ketika hukum dijalankan secara mekanistik tanpa mempertimbangkan makna di balik teks hukum, maka rentan dimanipulasi oleh aktor-aktor yang memahami celah yuridis, seperti politisi korup atau pengacara oportunis. Tanpa fondasi keilmuan dan moralitas yang kuat, supremasi hukum hanya menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung keadilan. Hal inilah yang memperlihatkan pentingnya orientasi pada substantive justice, yang menilai keadilan berdasarkan hasil dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, ketimbang procedural justice yang hanya fokus pada jalannya proses hukum secara formal.
Reformasi 1998 menjadi tonggak penting dalam upaya mereformulasi sistem hukum di Indonesia agar lebih demokratis, transparan, dan responsif. Dua agenda utama yang lahir dari gerakan reformasi yaitu demokratisasi dan desentralisasi berhasil mendesak perubahan besar dalam struktur pemerintahan dan hukum nasional. Sistem hukum yang semula bersifat sentralistik dan elitis kini mulai terbuka terhadap partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah, memberikan ruang bagi keterlibatan publik dalam pengawasan terhadap institusi hukum.
Munculnya organisasi-organisasi masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Police Watch, dan MAPPI menjadi penanda tumbuhnya civil society yang aktif dan kritis. Kehadiran mereka merupakan bentuk kontrol horizontal yang penting dalam sistem demokrasi modern, di mana kekuasaan tidak hanya diawasi secara vertikal melalui lembaga negara, tetapi juga secara lateral oleh kekuatan masyarakat. Konsep ini dikenal luas dalam teori governance modern sebagai bentuk checks and balances non-formal, yang memperkuat akuntabilitas serta integritas lembaga penegak hukum.
Dalam konteks global, praktik ini mirip dengan peran organisasi seperti Transparency International dan Human Rights Watch di negara-negara demokratis, yang mendorong keterbukaan dan menekan penyimpangan kekuasaan. Peran aktif masyarakat sipil dalam mengawasi hukum merupakan indikator penting dari kematangan demokrasi dan keberhasilan reformasi hukum.
Dengan demikian, hukum modern di Indonesia harus terus dikembangkan agar mampu menjawab tantangan zaman, berakar pada ilmu pengetahuan dan etika publik, serta berpihak pada keadilan substantif. Tanpa orientasi ini, hukum hanya akan menjadi instrumen formalitas yang mudah diselewengkan oleh kepentingan sempit dan jauh dari cita-cita keadilan sosial.
2217011171
Kimia B
Video ini menyoroti urgensi transisi sistem hukum dari yang berbasis pada hukum adat (customary law) dan hukum interaksional (interactional law) menuju pada sistem hukum yang disusun secara rasional dan terstruktur, yakni hukum positif atau modern law. Dalam konteks masyarakat tradisional yang homogen dan statis, hukum adat dan norma sosial informal cukup efektif dalam mengatur perilaku. Namun, dalam masyarakat modern yang kompleks, pluralistik, dan dinamis, jenis hukum tersebut dinilai tidak lagi memadai. Oleh karena itu, diperlukan sistem hukum yang dirancang secara ilmiah dan sadar untuk menjawab tantangan zaman, termasuk perkembangan teknologi, perubahan sosial yang cepat, serta meningkatnya tuntutan terhadap keadilan yang menyeluruh.
Di sinilah hukum modern memainkan peran vital sebagai instrumen pengatur sekaligus penjaga keteraturan sosial. Konstitusi Indonesia, melalui UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), yang berarti segala aktivitas pemerintahan dan masyarakat harus berjalan di bawah supremasi hukum. Dalam negara hukum yang sehat, hukum tidak hanya sekadar kumpulan aturan yang harus ditaati, tetapi juga merupakan hasil perumusan rasional berbasis ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moralitas.
Konsep ini sejalan dengan pemikiran para filsuf hukum seperti Gustav Radbruch dan Ronald Dworkin. Radbruch menekankan bahwa keadilan substansial (substantive justice) harus mengungguli kepatuhan pada norma tertulis bila hukum bertentangan dengan nilai-nilai moral. Demikian pula, Dworkin mengkritik positivisme hukum yang terlalu tekstual dan mendorong interpretasi hukum berdasarkan prinsip moral dan keadilan. Ini menjadi kritik tajam terhadap pendekatan legalistik semata, yang hanya mengeja undang-undang secara literal tanpa mempertimbangkan konteks sosial maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ketika hukum dijalankan secara mekanistik tanpa mempertimbangkan makna di balik teks hukum, maka rentan dimanipulasi oleh aktor-aktor yang memahami celah yuridis, seperti politisi korup atau pengacara oportunis. Tanpa fondasi keilmuan dan moralitas yang kuat, supremasi hukum hanya menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung keadilan. Hal inilah yang memperlihatkan pentingnya orientasi pada substantive justice, yang menilai keadilan berdasarkan hasil dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, ketimbang procedural justice yang hanya fokus pada jalannya proses hukum secara formal.
Reformasi 1998 menjadi tonggak penting dalam upaya mereformulasi sistem hukum di Indonesia agar lebih demokratis, transparan, dan responsif. Dua agenda utama yang lahir dari gerakan reformasi yaitu demokratisasi dan desentralisasi berhasil mendesak perubahan besar dalam struktur pemerintahan dan hukum nasional. Sistem hukum yang semula bersifat sentralistik dan elitis kini mulai terbuka terhadap partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah, memberikan ruang bagi keterlibatan publik dalam pengawasan terhadap institusi hukum.
Munculnya organisasi-organisasi masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Police Watch, dan MAPPI menjadi penanda tumbuhnya civil society yang aktif dan kritis. Kehadiran mereka merupakan bentuk kontrol horizontal yang penting dalam sistem demokrasi modern, di mana kekuasaan tidak hanya diawasi secara vertikal melalui lembaga negara, tetapi juga secara lateral oleh kekuatan masyarakat. Konsep ini dikenal luas dalam teori governance modern sebagai bentuk checks and balances non-formal, yang memperkuat akuntabilitas serta integritas lembaga penegak hukum.
Dalam konteks global, praktik ini mirip dengan peran organisasi seperti Transparency International dan Human Rights Watch di negara-negara demokratis, yang mendorong keterbukaan dan menekan penyimpangan kekuasaan. Peran aktif masyarakat sipil dalam mengawasi hukum merupakan indikator penting dari kematangan demokrasi dan keberhasilan reformasi hukum.
Dengan demikian, hukum modern di Indonesia harus terus dikembangkan agar mampu menjawab tantangan zaman, berakar pada ilmu pengetahuan dan etika publik, serta berpihak pada keadilan substantif. Tanpa orientasi ini, hukum hanya akan menjadi instrumen formalitas yang mudah diselewengkan oleh kepentingan sempit dan jauh dari cita-cita keadilan sosial.