Nama : Khairani Ulya
NPM : 2213053115
Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
JUDUL JURNAL: DINAMIKA SOSIAL POLITIK MENJELANG PEMILU SERENTAK 2019
JENIS JURNAL: JURNAL PENELITIAN POLITIK
PENULIS: R. SITI ZAHRO
VOLUME DAN NOMOR: VOL. 16 NO. 1
HALAMAN: 1-110
TAHUN TERBIT: JUNI 2019
B. Pembahasan
•Deepening Democracy dan Tantangannya•
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi.Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional menunjukkan arah yang tak mudah, khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) atau konsolidasi demokrasi.
•Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim•
Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahana- merekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalis- agamis). Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu.
•Pemilu dan Kegagalan Parpol•
Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol
sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu. Tingkat ketidakpuasan massa
terhadap parpol cenderung makin tinggi.
Masalahnya, aspirasi dan kepentingan massa tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan publik. Parpol tidak melakukan fungsi intermediasi secara maksimal. Representasi yang seharusnya dilakukan parpol untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi
rakyat absen. Parpol juga tampak sibuk dan
terjebak dalam pergulatan kepentingannya
sendiri dan mengabaikan massa yang menjadi pendukungnya dalam pemilu. Proses pengabaian ini secara lambat tapi pasti telah mendelegitimasi eksistensi parpol.
•Pemilu dalam Masyarakat Plural•
Terbukanya ruang kebebasan membuat
politisi bukan satu-satunya aktor yang
menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi
kepentingan rakyat karena setelah era Reformasi bermunculan lembaga-lembaga pengawas extra parlementer yang juga melibatkan diri dalam fungsi artikulatif dan pengawasan terhadap pemerintahan. Dengan demikian, proses liberalisasi politik tidak hanya memunculkan CSO, tetapi juga menghadirkan media-media baik media cetak maupuelektronik yang semakin bebas dan berani dalam mengawasipenyelenggaraan pemerintahan.
•Pemilu dan Politisasi Birokrasi•
Sejak era reformasi masalah reformasi
birokrasi dan demokrasi di Indonesia telah
menjadi isu sentral dan perdebatan publik.
Krusialnya isu reformasi birokrasi ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan rakyat yang semakin kuat agar birokrasi menjadi ‘abdi rakyat’. Adalah sulit diingkari bahwa kualitas birokrasi yang buruk menjadi salah satu sumber keterbelakangan Indonesia.Selain infrastruktur dan korupsi, birokrasi telah menjadi salah satu penghambat pembangunan yang menunjukkan betapa netralitas birokrasi khususnya dalam memperkuat hak politik pegawai negeri sipil/aparatur sipil negara dan kesetaraan partai politik menjadi tantangan utama yang harus mendapat perhatian untuk membangun iklim demokrasi yang lebih sehat.