Nama : Garin Ayu Liwana
NPM : 2213053101
Kelas : 2D
Tugas Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Abstrak
1. Jumlah paragraf : 1 paragraf
2. Halaman : Setengah halaman
3. Uraian Abstrak : Abstrak disajikan dalam format bahasa Inggris. Di dalam abstrak tersebut secara keseluruhan penulis langsung menuju ke topik yang akan dibahas dalam tulisannya yaitu untuk membahas tantangan konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden (pilpres) pada tahun 2019.
C. Pendahuluan
Penulis menuliskan dalam pendahuluan bahwa pada jurnal ini mencoba melihat demokrasi Indonesia melalui fenomena pilpres 2019 yang merupakan salah satu sarana untuk memilih pemimpin secara demokratis.
D. Pembahasan
- Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat dan semarak setelah dilaksanakannya pemilu presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak 2005.
- Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Untuk memenuhi hal itu, semua pihak harus berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas pemilu, bukan saja secara prosedural, melainkan juga secara substansial. Dengan kata lain, pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
- Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahanamerekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalisagamis).
- Pemilu dan Kegagalan Parpol
Sejak Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/ evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat.Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu.12 Partai Nasdem, misalnya, tercatat sebagai partai yang paling banyak mengambil artis sebagai calon legislatifnya dalam pemilu 2019.
- Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula.¹⁴
Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal.
- Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Secara umum, pola relasi antara birokrasi dan politik cenderung dinamis, khususnya ketika proses politik berlangsung, yaitu saat birokrasi dan politik sedang memproses penyusunan peraturan atau perundang-undangan dan peraturan daerah. Intensitas relasi juga terjadi saat birokrasi menjalankan programnya dan saat institusi politik melakukan pengawasan. Keseimbangan pola relasi antara politik dan birokrasi berpengaruh terhadap proses pembangunan, baik di pusat maupun daerah. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa relasi politik dan birokrasi ditandai dengan ciri-ciri seperti praktik lobi untuk mencari posisi/jabatan dan intervensi politik dalam penentuan jabatan dan politik anggaran. Era reformasi menghasilkan politisi yang sangat pragmatis yang acapkali melakukan manuver politik dengan melakukan politisasi birokrasi seperti yang sudah diuraikan sebelumnya.