Analisis Jurnal tersebut dengan menggunakan bahasa anda sendiri, terlebih dahulu tulis nama, npm, dan kelas
FORUM JAWABAN POST TEST
Nama : Fernanda Rizky Ardila
NPM : 2213053071
Kelas : 2D
Post Test
Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi Jurnal
Pembahasan :
• Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi merupakan suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tetapi, untuk mewujudkan makna itu bukan hal yang mudah karena demokrasi membutuhkan proses yang panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti yang dikemukakan oleh Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan demokrasi. Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Dalam konteks ini, pilpres langsung dapat dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan terhadap hak-hak politik tersebut.
Tidak dipungkiri bahwa kompetisi dan kontestasi dalam pilpres melalui kampanye diwarnai oleh tingginya kegaduhan yang terjadi di media massa dan media sosial (medsos). Emosi masyarakat tak jarang ikut terlibat dan mengundang keprihatinan tersendiri karena tidak sedikit di antaranya yang akhirnya harus berurusan dengan hukum. Menkopolhukam, Wiranto, misalnya, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2018 ada 53 kasus hoax (berita bohong) dan 324 hate speech (ujaran kebencian) yang terjadi dan sebagian sudah diselesaikan secara hukum.
• Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemilu serentak 2019 merupakan pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Untuk memenuhi hal itu, semua pihak harus berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas pemilu, bukan saja secara prosedural, melainkan juga secara substansial. Dengan kata lain, pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
• Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tidak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Hasil ijtima’, yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahan merekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalisagamis). Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Tetapi, hal tersebut tidak dengan sendirinya memberikan jaminan kemenangan.
• Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu tidak hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi atau evaluasi terhadap pemerintah dan proses
deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat. Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini dapat dilihat dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu.
• Pemilu dalam Masyarakat Plural
Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal. Jika legislator terpilih tidak bekerja dengan baik, rakyat akan mempunyai pilihan untuk tidak memilihnya lagi pada pemilu berikutnya. Pemilu juga signifikan untuk lebih mengenalkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang merupakan masyarakat heterogen. Sudah tentu ada sejumlah ruang yang harus diisi untuk perbaikan-perbaikan, namun hal yang pasti adalah demokrasi masih tetap menjadi agenda bangsa ini.
Nama : Kalia Zalfa Sharfinabilla
NPM : 2213053014
Kelas : 2D
Analisis Jurnal penelitian politik
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi Jurnal
1. Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan
Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dancivil society) mampu mengedepankan tindakan
demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan.
2. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasipolitiknya, memilih wakil-wakil
terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih
belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat.
3. Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim.7
Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahanamerekomendasikan Prabowo untuk memilih
cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalisagamis). Dua tokoh seperti Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
4, Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/ evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan
kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat.11 Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi.
5. Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724- 1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu,masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas,
atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula
Nama : Maya Rezki Yudistrinda
NPM : 2213053116
Kelas : 2D
11 April 2023
Pendidikan Kewarganegaraan
Tugas: Analisis Jurnal
A. IDENTITAS JURNAL
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Vol : 16
3. Nomor : 01
4. Halaman : 69-81
5. Tahun penerbit: Juni 2019
6. Judul Jurnal : DEMOKRASI DAN PEMILU PRESIDEN 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
B. ABSTRAK JURNAL
1. Jumlah Paragraf: 1 Paragraf
2. Uraian paragraf: Abstrak di sajikan dalam format bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Di dalam abstrak sendiri penulis menjelaskan bahwa pendalaman
demokrasi belum terwujud dengan baik di sebabkan karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pilpres 2019 juga belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula membangun kepercayaan publik. Hal ini dapat dilihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena dua kandidat mengklaim sebagai pemenang pilpres.
3. Kata kunci: Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun
Kepercayaan.
C. PENDAHULUAN JURNAL
Di dalam pendahuluan jurnal penulis membahas mengenai pemilu 2019 yang banyak menyita perhatian publik di karenakan kembali di hadapkan nya Joko Widodo dan Prabowo untuk kedua kalinya. Selain itu, pemilu ke lima ini juga di warnai oleh polarisasi Antara dua kubu pendukung capres.
D. PEMBAHASAN
1. Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi merupakan suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Akan tetapi, untuk mewujudkan makna itu bukan suatu hal yang mudah karena demokrasi membutuhkan proses yang panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Dalam konteks ini, pilpres langsung dapat dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan terhadap hak-hak politik tersebut.
Tidak dipungkiri bahwa kompetisi dan kontestasi dalam pilpres melalui kampanye diwarnai oleh tingginya kegaduhan yang terjadi di media massa dan media sosial. Dan hal ini pun sering memancing emosi masyarakat dan membawa keprihatinan di karenakan tak jarang hal ini di bawa ke ranah hukum. Menkopolhukam, Wiranto bahkan menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2018 ada 53 kasus hoax (berita bohong) dan 324 hate speech (ujaran kebencian) yang terjadi dan sebagian sudah diselesaikan secara hukum.
2. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu yang bersamaan. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, baik bagi penyelenggara pemilu, parpol, maupun rakyat. Ini juga merupakan pemilu yang paling gamang. Sebab, di satu sisi dengan adanya presidential threshold (PT) mereka harus berkoalisi dalam mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presidennya (cawapres), di sisi lain dalam saat yang bersamaan mereka juga harus berjuang secara sendiri-sendiri untuk merebut kursi legislatif.
3. Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tidak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim adalah suatu hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu.
4. Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu tidak hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi atau evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat. Ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini dapat dilihat dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Sejak 1999 kinerja parpol tidak kunjung menghasilkan landasan atau platform politik nasional. Kampanye lebih merupakan pameran pernak-pernik demokrasi ketimbang untuk memetakan dan menjawab persoalan bangsa.
5. Pemilu dalam Masyarakat Plural
Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilai-nilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana empat pilar kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal. Jika legislator terpilih tidak bekerja dengan baik, rakyat akan mempunyai pilihan untuk tidak memilihnya lagi pada pemilu berikutnya.
6. Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Pemilu dalam konteks demokrasi tak lain dimaksudkan untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif. Sedangkan salah satu isu krusial pilpres 2019 adalah politisasi birokrasi. Persoalannya, bagaimana menjadikan birokrasi tetap profesional, independen dan netral secara politik dalam pemilu. Harus diakui bahwa birokrasi sangat rentan dijadikan alat kepentingan politik. Keberpihakan birokrasi pada satu kekuatan politik tertentu akan menimbulkan kerawanan tersendiri.
NAMA : ATRASINA QISTHIN
NPM : 2213053182
KELAS : 2 D
Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi Jurnal
Pembahasan :
•> Deepening Democracy dan Tantangannya
demokratisasi
adalah proses yang terus-menerus dan tak
boleh henti.demokrasi Indonesia yang berjalan selama
21 tahun (1998-2019) masih diwarnai prosedural
ketimbang substantif. Masalahnya kepastian
sosial politik (social political certainty) terasa
menjauh seiring dengan hadirnya keriuhan,
kegaduhan, penistaan agama, isu intoleransi,
masalah kebhinekaan yang menimbulkan konflik/
sengketa dan silang pendapat serta berita-berita
hoax yang muncul tanpa henti.
•> Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu
merupakan sarana dan momentum terbaik bagi
rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi
politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di
lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya
secara damai.
•> Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi
identitas dan agama. Fenomena politisasi
identitas dan agama juga diwarnai dengan
berebut suara muslim.7
Munculnya sejumlah
isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang
merugikan mereka pada akhirnya melahirkan
gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan
calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat
•> Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna
demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan
multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip
teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-
1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu
masyarakat majemuk masing-masing kelompok
mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas,
atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya
adalah konflik
•> Pemilu dan Politisasi Birokrasi
termasuk birokrasi kepemiluan.
Pemilu dalam konteks demokrasi tak lain
dimaksudkan untuk menghasilkan pemerintahan
yang efektif. Sedangkan salah satu isu krusial
pilpres 2019 adalah politisasi birokrasi.
Npm : 2253053008
Kelas : 2D
Analisis jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Pembahasan
- Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional (setelah tiga kali melaksanakan pemilu presiden langsung) menunjukkan arah yang tak mudah, khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) atau konsolidasi demokrasi. Kondisi politik Indonesia yang sedang dalam proses konsolidasi demokrasi memunculkan pertanyaan, yakni apakah pilpres langsung saat ini relevan dan bermanfaat bagi penguatan tantangan
yang dihadapi sejak penyelenggaraan pilpres langsung yang berupa kecenderungan munculnya kompromi-kompromi kepentingan antara elite penguasa dan elite masyarakat seharusnya dicarikan solusinya agar pemilu di Indonesia bisa memenuhi harapan yang diinginkan.
- Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah
dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan.
- Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat.
- Pemilu dan Kegagalan Parpol
Dalam perkembangannya aktivitas parpol mewarnai pemerintahan dan parlemen. Perannya cenderung menguat dan berpengaruh signifikan terhadap peta politik Indonesia, meskipun pengaruhnya tidak seluruhnya positif. Pengalaman dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi relatif sama: perilaku distortif, melanggar hukum dan menghalalkan semua cara (vote buying). Tapi parpol sebagai peserta pemilu belum mampu merespon dan memberi solusi konkrit. Harapan
rakyat pasca pemilu, mereka bisa menyaksikan kinerja pemerintah/parlemen yang lebih berpihak pada nasib rakyat. Karena pemilu diharapkan berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat.
- Pemilu dalam Masyarakat Plural
Terbukanya ruang kebebasan membuat politisi bukan satu-satunya aktor yang menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat karena setelah era Reformasi
bermunculan lembaga-lembaga pengawas extra parlementer yang juga melibatkan diri dalam fungsi artikulatif dan pengawasan terhadap pemerintahan. Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan
demokrasi ideal.
- Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi, contoh tersebut menyiratkan pentingnya pembenahan birokrasi. Secara umum, pola relasi antara birokrasi dan politik cenderung dinamis, khususnya ketika proses politik berlangsung, yaitu saat birokrasi dan politik sedang memproses penyusunan peraturan atau perundang-undangan dan peraturan daerah.
Nama : Elsa Nur Pareza
NPM : 2213053163
Kelas : 2D
Post Test
Analisis Jurnal
A. IDENTITAS JURNAL
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. ABSTRAK JURNAL
Demokrasi belum terwujud dengan baik di sebabkan karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pilpres 2019 juga belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula membangun kepercayaan publik. Hal ini dapat dilihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena dua kandidat mengklaim sebagai pemenang pilpres.
C. PENDAHULUAN JURNAL
Membahas mengenai pemilu 2019 yang banyak menyita perhatian publik di karenakan kembali di hadapkan nya Joko Widodo dan Prabowo untuk kedua kalinya. Selain itu, pemilu ke lima ini juga di warnai oleh polarisasi Antara dua kubu pendukung capres.
D. ISI JURNAL
Pembahasan :
• Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan
civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik,
perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik.Pilpres langsung menjadi langkah awal bagi penguatan peran masyarakat. Peran ini tentunya harus berkesinambungan sampai terjadinya pergantian pemerintahan. Dengan cara itu, peran masyarakat akan senantiasa mewarnai implementasi program pemerintah, dan sebaliknya pemerintah akan mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Untuk itu, kiranya perlu dikedepankan kembali tujuan utama pilpres sebagai sarana untuk menegakkan dan mewujudkan kedaulatan rakyat dan kebebasan politik masyarakat.
Berkurangnya nilai-nilai toleransi, khususnya, dalam pemilu telah menimbulkan ekses negatif, seperti kekerasan dan
kerusuhan.
• Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat. Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, baik bagi penyelenggara pemilu, parpol, maupun rakyat. Ini juga merupakan pemilu yang paling gamang. Sebab, di satu sisi dengan adanya presidential threshold (PT) mereka harus berkoalisi dalam mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presidennya (cawapres), di sisi lain dalam saat yang bersamaan mereka juga harus berjuang secara sendiri-sendiri untuk merebut kursi legislatif. Dengan kata lain, pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
• Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu.
Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung
makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Tetapi, hal tersebut tidak dengan sendirinya memberikan jaminan kemenangan.
• Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat. Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi
terhambat. Dalam perkembangannya aktivitas parpol mewarnai pemerintahan dan parlemen. Perannya cenderung menguat dan berpengaruh signifikan terhadap peta politik Indonesia, meskipun pengaruhnya tidak seluruhnya positif. Parpol tidak melakukan fungsi intermediasi secara maksimal. Representasi yang seharusnya dilakukan parpol untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat absen. Parpol juga tampak sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan mengabaikan massa yang menjadi pendukungnya dalam pemilu. Proses pengabaian ini secara lambat tapi pasti telah mendelegitimasi eksistensi parpol.
Bagi massa, parpol gagal melaksanakan
peran dan fungsinya dan cenderung menggunakan institusinya hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri. Absennya beberapa fungsi yang tak dilakukan parpol tersebut membuat kepercayaan rakyat ke parpol menurun drastis. Parpol belum menjadi partai kader, tapi lebih mengandalkan peran ketokohan seorang ketua umum/ketua dewan pembina sebagaimana ditunjukkan selama ini.
• Pemilu dalam Masyarakat Plural
jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal. Jika legislator terpilih tidak bekerja dengan baik, rakyat akan mempunyai pilihan untuk tidak memilihnya lagi pada pemilu berikutnya. Pemilu juga signifikan untuk lebih mengenalkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang merupakan masyarakat heterogen. Sudah tentu ada sejumlah ruang yang harus diisi untuk perbaikan-perbaikan, namun hal yang pasti adalah demokrasi masih tetap menjadi agenda bangsa ini.
• Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa.
Npm: 2253053021
Kelas: 2D
A. Identitas Jurnal
1. Nama jurnal: Jurnal penelitian politik
2. Halaman jurnal: 69-81
3. Tahun terbit: 2019
4. Judul jurnal: Dinamika sosial politik menjelang pemilu serentak 2019
5. Nama penulis jurnal: R. Siti Zuhro
6. Kata kunci jurnal: Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun
Kepercayaan.
7. Volume: Vol 16
8. Nomor: 01
B. Isi Jurnal
Abstrak
Dinamika sosial politik menjelang pemilu serentak 2019 di Indonesia adalah topik yang sangat menarik dan penting untuk dianalisis karena pemilu serentak tersebut merupakan salah satu pemilu terbesar dan paling kompleks dalam sejarah Indonesia. Pemilu serentak tersebut melibatkan pemilihan presiden, anggota parlemen, dan anggota dewan provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Pembahasan
Penelitian politik yang menganalisis dinamika politik sosial menjelang pemilu serentak 2019 di Indonesia dapat memberikan wawasan tentang faktor-faktor apa yang mempengaruhi preferensi pemilih dan perilaku politik di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan wawasan tentang bagaimana partai politik dan kandidat mengelola kampanye mereka dan bagaimana media massa memainkan peran dalam pemilu tersebut.
Beberapa topik yang dapat dianalisis dalam penelitian politik ini adalah Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi preferensi pemilih dan perilaku politik di Indonesia, termasuk faktor sosial, ekonomi, dan politik. Peran media sosial dalam kampanye politik dan pengaruhnya terhadap preferensi pemilih. Strategi kampanye yang digunakan oleh partai politik dan kandidat dalam pemilihan umum serentak 2019 di Indonesia. Pengaruh isu-isu sosial dan ekonomi terhadap preferensi pemilih. Dampak dari kebijakan pemerintah terhadap preferensi pemilih.
Hasil penelitian politik tentang dinamika politik sosial menjelang pemilu serentak 2019 di Indonesia dapat memberikan masukan dan rekomendasi bagi partai politik dan kandidat dalam mengelola kampanye mereka, serta bagi pemerintah dan lembaga-lembaga terkait dalam mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum yang demokratis dan transparan. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan wawasan bagi masyarakat umum tentang dinamika politik di Indonesia dan bagaimana mereka dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi politik.
Kesimpulan
Meskipun Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilu yang aman dan damai, pemilu serentak 2019 yang kompleks dengan tingkat kerumitan yang cukup tinggi dan hasil yang dipersoalkan menjadi pelajaran berharga. Pemilu yang berkualitas memerlukan partai politik dan persekutuan partai politik yang berkualitas juga, karena pemilu tidak hanya tentang suksesi kepemimpinan yang aspiratif, adil, dan damai, tetapi juga menjadi taruhan bagi ketahanan sosial rakyat dan eksistensi NKRI. Tantangan yang dihadapi dalam menjalani pemilu serentak tahun 2019 membuat konsolidasi demokrasi yang berkualitas sulit diungkap. Nilai-nilai demokrasi dalam pilpres juga tidak cukup ditekankan. Indonesia, sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, tampaknya belum dapat menunjukkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.
NPM : 2253053031
Kelas : 2D
Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
Analisi jurnal
Artikel ini membahas demokrasi Indonesia melalui fenomena pemilihan presiden 2019. Meski demokrasi Indonesia telah melalui beberapa kali pemilu, namun masih perlu kerja keras untuk memperdalam dan mengkonsolidasikan demokrasi. Proses demokratisasi berlangsung tidak hanya pada tataran prosedural institusi politik, tetapi juga pada tataran sosial. Demokrasi akan terkonsolidasi jika aktor-aktor politik, ekonomi, pemerintah dan masyarakat sipil mampu mengadopsi tindakan demokrasi sebagai alternatif yang bagus untuk meraih kekuasaan.
Proses demokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan politik. Meskipun pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan langkah penting dalam pendalaman demokrasi, proses demokrasi di tingkat nasional (setelah tiga kali pemilihan presiden langsung) tetap menjadi tantangan dalam hal peningkatan kualitas pemilu pemilihan presiden dan penguatan proses demokrasi. Memperdalam demokrasi atau mengkonsolidasikan demokrasi. Artikel ini menyoroti pentingnya menjaga stabilitas sosial politik nasional dan keutuhan NKRI dalam rangka pendalaman demokrasi Indonesia.
Nama : Ocha Estiani
Npm : 2213053243
Kelas : 2D
Post tes
Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi Jurnal
Pembahasan
Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan
penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil
(political society, economic society, the state, dan
civil society) mampu mengedepankan tindakan
demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan.1 Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik.
Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut
berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak
Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat dan semarak setelah dilaksanakannya pemilu presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak 2005. Demokrasi yang berlangsung di daerahdaerah merupakan landasan utama bagi
berkembangnya demokrasi di tingkat nasional Pemilihan kepala daerah secara langsung
merupakan terobosan penting yang dimaksudkan sebagai upaya pendalaman demokrasi (deepening democracy), yakni suatu upaya untuk mengatasi kelemahan praktek demokrasi substantif, khususnya dalam merespon tuntutan-tuntutan masyarakat lokal. Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional (setelah tiga kali melaksanakan pemilu presiden langsung) menunjukkan arah yang tak mudah, khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) atau konsolidasi demokrasi. Proses ini krusial karena semua tahapan yang dilalui dalam pilpres akan berpengaruh terhadap kualitas tata kelola pemerintahan. Secara khusus pilpres yang berkualitas akan berpengaruh positif
terhadap pemerintahan yang efektif (governable). Secara umum bila demokrasi dimaknai sebagai pemberdayaan rakyat, suatu sistem politik yang demokratis seharusnya dapat menjamin warga masyarakat yang kurang beruntung melalui setiap
kebijakan publiknya.2
Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsipprinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Dalam konteks ini, pilpres langsung dapat dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan terhadap hak-hak politik tersebut. Oleh karena itu, dalam studi ini pilpres dilihat bukan hanya sebatas pesta demokrasi semata, melainkan juga sebagai
instrumen proses pendalaman demokrasi di tingkat nasional. Sebagai instrumen pendalaman
demokrasi, pilpres merupakan upaya penciptaan pemerintahan yang efektif pasca pemilu. pendalaman demokrasi bisa berasal dari negara dan bisa pula dari masyarakat. Dari sisi negara, pendalaman demokrasi dapat bermakna, pertama, pengembangan pelembagaan mekanisme penciptaan kepercayaan semua aktor politik seperti masyarakat sipil, partai politik dan birokrasi (state apparatus). Kedua,
pengembangan penguatan kapasitas administratif – teknokratik yang menyertai pelembagaan yang
telah dibentuk. Dari sisi masyarakat, pendalaman demokrasi merujuk pada pelembagaan penguatan peran
serta masyarakat dalam aktivitas politik formal di
tingkat lokal. Pilpres langsung menjadi langkah
awal bagi penguatan peran masyarakat. Peran
ini tentunya harus berkesinambungan sampai
terjadinya pergantian pemerintahan. Dengan
cara itu, peran masyarakat akan senantiasa mewarnai implementasi program pemerintah, dan sebaliknya pemerintah akan mendapat dukungan penuh dari masyarakat.Pendalaman demokrasi juga dapat dipandang sebagai upaya untuk merealisasikan pemerintahan yang efektif. Menurut Migdal (1988), negara dan masyarakat seharusnya saling bersinergi sehingga bisa saling memperkuat perannya masing-masing. Dengan kapasitasnya
tersebut negara diharapkan mampu melakukan
penetrasi ke dalam masyarakat, mengatur relasi sosial, mengambil sumber daya dan mengelolanya. Selain itu, negara juga harus mampu memberdayakan masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kontrol sosial. Berhasil tidaknya kontrol sosial ini akan mencerminkan kuat tidaknya peran negara. Negara yang kuat, menurut Migdal (1988),adalah yang mampu melakukan ketiga fungsi dasar tersebut.Argumen Smith (1985) dan Arghiros (2001) menyatakan bahwa nilai-nilai demokrasi telah mendasari perilaku, baik elite maupun masyarakat. Untuk itu, sebagian besar pemilih terlebih dulu perlu memiliki kesadaran dan kematangan politik yang cukup memadai. Dengan cara itu, masyarakat diasumsikan memiliki kapasitas untuk melakukan pilihan dan mengambil keputusan atas pilihannyaberdasarkan rasionalitas politik.
Kondisi politik Indonesia yang sedang dalam proses konsolidasi demokrasi memunculkan pertanyaan, yakni apakah pilpres langsung saat ini relevan dan bermanfaat bagi penguatan demokratisasi dan penciptaan pemerintahan yang Legitimate dan efektif? Untuk menjawab hal ini kiranya perlu dipahami bahwa demokratisasi adalah proses yang terus-menerus dan tak boleh henti. Seiring dengan itu, tantangan yang dihadapi sejak penyelenggaraan pilpres
langsung yang berupa kecenderungan munculnya
kompromi-kompromi kepentingan antara elite
penguasa dan elite masyarakat seharusnya dicarikan solusinya agar pemilu di Indonesia bisa
memenuhi harapan yang diinginkan. Untuk itu,
kiranya perlu dikedepankan kembali tujuan utama
pilpres sebagai sarana untuk menegakkan dan mewujudkan kedaulatan rakyat dan kebebasan politik masyarakat.
NPM : 2213053121
Kelas : 2D
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi Jurnal
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut
berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat dan semarak setelah dilaksanakannya pemilu presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak 2005.
Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsipprinsip demokrasi yang meliputi jaminan
atas prinsip-prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Dalam konteks ini, pilpres langsung dapat
dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan terhadap hak-hak politik tersebut. Oleh karena itu, dalam studi ini pilpres dilihat bukan hanya sebatas pesta demokrasi semata, melainkan juga sebagai instrumen proses pendalaman demokrasi di tingkat nasional. Sebagai instrumen pendalaman demokrasi, pilpres merupakan upaya penciptaan pemerintahan yang efektif pasca pemilu. Sulit dinafikan bahwa kompetisi dan kontestasi dalam pilpres melalui kampanye diwarnai oleh tingginya kegaduhan yang terjadi di media massa dan media sosial (medsos). Keragaman yang menjadi spirit Bhinneka
Tunggal Ika cenderung diabaikan, padahal Indonesia yang berbentuk archipelago, membentang dari Sabang sampai Merauke memiliki karakteristik dan kekhasannya sendiri membutuhkan nilai-nilai toleransi, yakni menerima perbedaan, baik agama maupun suku atau etnis (SARA). Berkurangnya nilai-nilai toleransi, khususnya, dalam pemilu telah menimbulkan ekses negatif, seperti kekerasan dan kerusuhan.
1. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak. politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat. pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Untuk memenuhi hal itu, semua pihak harus berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas pemilu, bukan saja secara prosedural, melainkan juga secara substansial. Dengan kata lain, pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
2. Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim.7 Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahanamerekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalisagamis).
3. Pemilu dalam Masyarakat Plural
Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilainilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan
sosial bangsa di mana empat pilar kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup tajam. Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal. Jika legislator terpilih tidak bekerja dengan baik, rakyat akan mempunyai pilihan untuk tidak memilihnya lagi pada pemilu berikutnya. Pemilu juga signifikan untuk lebih mengenalkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang merupakan masyarakat heterogen. Sudah
tentu ada sejumlah ruang yang harus diisi untuk perbaikan-perbaikan, namun hal yang pasti adalah demokrasi masih tetap menjadi agenda bangsa ini.
4. Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Sejauh ini tataran empirik menunjukkan adanya tarikan politik, khususnya, dari penguasa terhadap birokrasi.
Kelas : 2D
NPM : 2213053212
Analisis jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama jurnal: Jurnal penelitian politik
2. Halaman jurnal: 69-81
3. Tahun terbit: 2019
4. Judul jurnal: Dinamika sosial politik menjelang pemilu serentak 2019
5. Nama penulis jurnal: R. Siti Zuhro
6. Kata kunci jurnal: Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun
Kepercayaan.
7. Volume: Vol 16
8. Nomor: 01
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi adalah suatu proses untuk memperkuat dan mempertahankan sistem demokrasi yang telah terbentuk. Proses ini melibatkan berbagai upaya untuk memperkuat institusi demokrasi, seperti partai politik, lembaga pemerintahan, lembaga keamanan, dan masyarakat sipil.
Sejauh ini Indonesia mampu melaksanakan pemilu yang aman dan damai. Pemilu 2019 yang kompleks, dengan tingkat kerumitan yang cukup tinggi dan hasilnya yang dipersoalkan menjadi pelajaran yang sangat berharga. Pemilu yang berkualitas memerlukan parpol dan koalisi parpol yang juga berkualitas. Ini penting karena pemilu tidak hanya merupakan sarana suksesi kepemimpinan yang aspiratif, adil dan damai, tapi juga menjadi taruhan bagi ketahanan sosial rakyat dan eksistensi NKRI. Tantangan yang cukup besar dalam menjalani pemilu serentak 2019 membuat konsolidasi demokrasi yang berkualitas sulit terbangun. Nilai-nilai demokrasi dalam pilpres tak cukup dikedepankan.
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Indonesia mampu melaksanakan pemilu yang aman dan damai, namun masih ada tantangan dalam membangun konsolidasi demokrasi yang berkualitas. Proses pemilu yang kompleks dan hasilnya yang dipersoalkan menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Pentingnya parpol dan koalisi parpol yang berkualitas dalam pemilu menunjukkan betapa pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik dan kebijakan publik. Dalam konteks Indonesia, pemilu tidak hanya menjadi sarana suksesi kepemimpinan yang aspiratif, adil dan damai, tapi juga menjadi taruhan bagi ketahanan sosial rakyat dan eksistensi NKRI.
Kelas : 2D
Npm : 2213053083
Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi jurnal
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi
memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan
penting yang harus dilalui, seperti proses
konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan
Laurence Whitehead (1989), konsolidasi
demokrasi merupakan salah satu sarana untuk
meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh
lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi.
Ia tidak hanya merupakan proses politik yang
terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga
politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil
(political society, economic society, the state, dan
civil society) mampu mengedepankan tindakan
demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih
kekuasaan.
Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu
merupakan sarana dan momentum terbaik bagi
rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi
politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di
lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya
secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan
pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah
dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem
demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa
untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai
amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak
politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh
konstitusi serta partisipasi politik masyarakat
semakin luas, di tataran empirik pemilu masih
belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia
benar-benar berdaulat.
Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi
identitas dan agama. Fenomena politisasi
identitas dan agama juga diwarnai dengan
berebut suara muslim.7
Munculnya sejumlah
isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang
merugikan mereka pada akhirnya melahirkan
gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan
calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat
representasi ulama sebagai penantang petahana merekomendasikan Prabowo untuk memilih
cawapres yang berasal dari kalangan ulama
(pasangan capres-cawapres bertipe nasionalis-
agamis). Dua tokoh seperti Ketua Majelis Syura
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Salim Segaf.
Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi
kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/
evaluasi terhadap pemerintah dan proses
deepening democracy untuk meningkatkan
kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat.
Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat
melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader
calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol
tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi
terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya
partai yang memilih mencalonkan kalangan
selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan
selebritis tersebut sebagai vote getter partai
dalam pemilu.12 Partai Nasdem, misalnya, tercatat
sebagai partai yang paling banyak mengambil artis sebagai calon legislatifnya dalam pemilu
2019
Npm : 2213053147
Kelas : 2D
A. Identitas jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi jurnal
Pembahasan :
1.Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi yang berlangsung di daerah-daerah merupakan landasan utama bagi berkembang nya demokrasi di tingkat nasional. Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional, menunjukkan arah yang tak mudah, khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) atau konsolidasi demokrasi. demokrasi Indonesia yang berjalan selama 21 tahun (1998-2019) masih diwarnai prosedural ketimbang substantif. Masalahnya kepastian sosial politik (social politicalcertainty) terasa menjauh seiring dengan hadirnya keriuhan, kegaduhan, penistaan agama, isu intoleransi, masalah kebhinekaan yang menimbulkan konflik/sengketa dan silang pendapat serta berita-berita hoax yang muncul tanpa henti.
2.Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat.Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, baik bagi penyelenggara pemilu, parpol, maupun rakyat. Ini juga merupakan pemilu yang paling gamang. Sebab, di satu sisi dengan adanya presidential threshold (PT) mereka harus berkoalisi dalam mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presidennya (cawapres), di sisi lain dalam saat yang bersamaan mereka juga harus berjuang secara sendiri-sendiri untuk merebut kursi legislatif.
3.Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.Sebagai negara yang mayoritas penduduk nya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu.
4.Pemilu dan Kegagalan Parpol
Bagi massa, parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya dan cenderung menggunakan
institusinya hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri. Absennya beberapa fungsi yang tak dilakukan parpol tersebut membuat kepercayaan rakyat ke parpol menurun drastis. Parpol belum menjadi partai kader, tapi lebih mengandalkan peran ketokohan seorang ketua umum/ketua dewan
pembina sebagaimana ditunjukkan selama ini. Di sisi lain, pembenahan partai tampak semakin sulit di tengah maraknya kasus korupsi yang dialami partai atau politisi di parlemen.
5.Pemilu dalam Masyarakat Plura
Terbukanya ruang kebebasan membuat politisi bukan satu-satunya aktor yang menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat karena setelah era Reformasi bermunculan lembaga-lembaga pengawas extra parlementer yang juga melibatkan diri dalam fungsi artikulatif dan pengawasan terhadap pemerintahan. Dengan demikian, proses liberalisasi politik tidak hanya memunculkan CSO, tetapi juga menghadirkan media- media baik media cetak maupun elektronik yang semakin bebas dan berani dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.
6.Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik
dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam
pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya.
NPM : 2213053190
KELAS : 2D
Post Test
Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi Jurnal
Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat dan semarak setelah dilaksanakannya pemilu presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak 2005.
demokrasi Indonesia yang berjalan selama 21 tahun (1998-2019) masih diwarnai prosedural ketimbang substantif. Masalahnya kepastian
sosial politik (social political certainty) terasa menjauh seiring dengan hadirnya keriuhan, kegaduhan, penistaan agama, isu intoleransi, masalah kebhinekaan yang menimbulkan konflik/sengketa dan silang pendapat serta berita-berita hoax yang muncul tanpa henti. Dinamika politik menjelang pemilu 2019 cenderung memanas, terutama terkait tuduhan kecurangan. Hingga 20 April 2019 Badan Pemenangan Nasional (BPN) Capres/Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno, misalnya, secara resmi telah melaporkan sekitar 1.200 daftar sementara kecurangan Pilpres 2019 kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal yang sama juga terjadi diTim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin yang juga menerima 14.843 laporan dugaan pelanggaran atau kecurangan yang menguntungkan paslon
Prabowo-Sandiaga.
Namun Sejauh ini Indonesia mampu melaksanakan pemilu yang aman dan damai. Pemilu 2019 yang kompleks, dengan tingkat kerumitan yang cukup tinggi dan hasilnya yang dipersoalkan menjadi pelajaran yang sangat berharga. Pemilu yang berkualitas memerlukan parpol dan koalisi parpol yang juga berkualitas. Ini penting karena pemilu tidak hanya merupakan sarana suksesi kepemimpinan yang aspiratif, adil dan damai, tapi juga menjadi taruhan bagi ketahanan sosial rakyat dan eksistensi NKRI. Tantangan yang cukup besar dalam menjalani pemilu serentak 2019 membuat konsolidasi demokrasi yang berkualitas sulit terbangun. Nilai-nilai demokrasi dalam pilpres tak cukup dikedepankan. Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.
NPM : 2213053278
Kelas : 2D
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi Jurnal
-Deepening Democracy dan Tantangannya
Seperti yang ditunjukkan oleh Laurence Whitehead (1989), penguatan demokrasi adalah sarana untuk meningkatkan komitmen terhadap aturan permainan demokrasi di semua lapisan masyarakat. Bukan hanya proses politik yang berlangsung di tataran prosedural lembaga politik, tetapi juga di tataran masyarakat. Demokrasi yang berlaku di daerah merupakan basis terpenting bagi perkembangan demokrasi di tingkat nasional
Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional (setelah tiga kali pemilihan presiden langsung) menunjukkan arah yang sulit, terutama dalam membangun kualitas pemilihan presiden dan pendalaman atau konsolidasi demokrasi. Dalam konteks ini, pemilihan presiden secara langsung dapat digolongkan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan kelanjutan dari penjaminan hak-hak politik tersebut.
Di sisi masyarakat, pendalaman demokrasi mengacu pada pelembagaan penguatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik formal di tingkat lokal. Dengan kehendak ini, negara diharapkan untuk menginvasi masyarakat, mengatur hubungan sosial, mengekstraksi dan menguasai sumber daya.
Selain itu, negara juga harus mampu memberdayakan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam kepemimpinan sosial. Situasi politik di Indonesia yang sedang mengkonsolidasikan demokrasi menimbulkan pertanyaan, apakah pemilihan presiden langsung saat ini relevan dan berguna untuk memperkuat demokratisasi dan menciptakan pemerintahan yang sah dan efektif? Seiring dengan penipuan dan ujaran kebencian, isu politisasi agama di Pilpres 2019 menjadi salah satu isu yang paling terlihat di musim kampanye. Penggunaan politisasi agama dan pembunuhan karakter dalam kampanye memperburuk ketegangan sosial dan menyebabkan rasa saling tidak percaya dan tidak hormat di antara orang-orang.
-Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemilu serentak tahun 2019 ini ialah pemilu serentak yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu yang sama, pemilu ini menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol secara terukur dan terhormat
Dalam pemilu ini semua pihak harus berkomitmen untuk bersama sama meningkatkan kualitas pemilu dari segi prosedural dan subtansial
-Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tidak lepas dari isi politisasi identitas dan agama yang diwarnai dengan berebut suara muslim, kemudian muncul ijtima karena ada beberapa isu yang dipandang merugikan umat Islam, ijtima ini digunakan untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden,
Setelah didapatnya keputusan hasil rapat ijtima tetapi masih ada perdebatan diantara ulama NU dan Muhammadiyah karena dinilai tidak merasa terlibat dalam ijtima tersebut. Sebagai negara yang mayoritas muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang wajar
-Pemilu dan Kegagalan Parpol
Fungsi parpol mulai tidak maksimal pada pemilu 2019 ditandai dengan banyaknya arti yang masuk ke dalam caleg dengan tujuan sebagai vite Getter partai dalam pemilu.
Belakangan ini terjadi fermentasi parpol menyebabkan parpol tidak solid, jumlah fraksi cenderung terus meningkat ini mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan massa terhadap parpol, parpol dianggap hanya memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri. Pengalaman dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi relatif sama: perilaku distortif, melanggar hukum dan menghalalkan semua cara (vote buying),
Harapan rakyat pasca pemilu, mereka bisa menyaksikankinerja pemerintah/parlemen yang lebih berpihak pada nasib rakyat. Karena pemilu diharapkan berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat
-Pemilu dalam Masyarakat Plural
Dalam teori etik filsuf jerman, Immanuel kant (1724-1804) yang mengingatkan jika dalam masyarakat majemuk masing-masing mengklaim kebenaran absolut agama, mayoritas, atau kultur, maka hasil akhirnya adalah konflik,
Dalam konteks pilpres 2019 sepertinya semua pihak tidak menyadari pentingnya nilai-nilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa yaitu Pancasila, UUD, NKRI, dan bhineka tunggal Ika, berakar dari sejarah dan falsafah hidup bangsa.
Hal yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur dalam pilpres 2019 lalu ialah penggunaan sebutan cebong dan kampret untuk saling mengejek antara pendukung.
Pemilu serentak dasarnya merupakan upaya demokrasi yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel dihadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal
-Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Ketidaknetralan birokrasi internal Pemilu dapat melemahkan legitimasi pemerintah, penyelenggara pemilu, dll. hasil Sejauh ini menunjukkan tingkat empirisDaya tarik politik terutama datang dari pihak berwenang melawan birokrasi. Itu terlihat sangat kuat. Salah satunya adalah video viral menunjukkan dugaan dukungan seluruh camat Makassar kepada pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin.16 Politisasi birokrasi semakin kentara dengan mengangkat menteri, kepala lembaga, pengurus daerah
kandidat pemenang dalam pemilihan presiden. Itu berarti, birokrasi tidak hanya terlibat dalam politik praktis ke pusat tetapi juga ke daerah.
Nama : Fitri Nanda Shafira
NPM :2213053150
Kelas :2D
Post test
Analisis jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan.
B.Abstrak
Pembangunan demokrasi Indonesia sebagaimana tercermin dari pilpres masih mengalami banyak masalah. Pendalaman
demokrasi belum terwujud dengan baik karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi
demokrasi belum efektif.
C.Pendahuluan
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun
memiliki konsentrasi politik yang lebih menyita perhatian publik.Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Tak ayal bahwa pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat.
D.Pembahasan
>> Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi.konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk
meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi.Pelaksanaan pilpres pada dasarnya merupakan tindak lanjut perwujudan prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu dan persamaan
khususnya dalam hak politik.Oleh karena itu, dalam studi ini pilpres dilihat bukan hanya sebatas pesta demokrasi semata, melainkan juga sebagai instrumen proses pendalaman demokrasi di tingkat nasional.
>>Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemiilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif
dan presiden/wakil presidennya secara
damai.Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang
melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan.Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, baik bagi penyelenggara pemilu, parpol, maupun rakyat pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa,
profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
>>Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu.
Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan
ijtima’ulama untuk mengusung pasangan
calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat
representasi ulama sebagai penantang petahanamerekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalis agamis).
>>Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi
kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/ evaluasi terhadap pemerintah dan proses
deepening democracy untuk meningkatkan
kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat.parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol
tidak maksimal, proses konsolidasi
demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu.
>>Pemilu dalam Masyarakat Plural
memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok
mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas,atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik.
>>Pemilu dan Politisasi Birokrasi
untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya.pentingnya pembenahan birokrasi. Secara konseptual demokratisasi dan debirokratisasi
berjalan seiring dan saling melengkapi. Dengan kata lain, perubahan sistem politik dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi seharusnya mampu mengubah secara signifikan birokrasi,
termasuk birokrasi kepemiluan.
E. Kesimpulan
Konsolidasi demokrasi di Indonesia cenderung fluktuatif dan belum berjalan secara regular karena pilar-pilar pentingnya (pemilu, partai politik, civil society, media massa) belum berfungsi efektif dan belum maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi
kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Pemilu juga mensyaratkan
unsur kejujuran, keadilan, transparansi dan
akuntabilitas.
Nama : Risa Perwita Sari
Npm : 2253053045
Kelas : 2 D
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Pembahasan
1. Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk
meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor.
2. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah
dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak
politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat.
3. Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim.7
Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan
calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat
representasi ulama sebagai penantang petahanamerekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan
capres-cawapres bertipe nasionalisagamis).
4. Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi
kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/ evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat.11 Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol
tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai
dalam pemilu.12 Partai Nasdem, misalnya, tercatat sebagai partai yang paling banyak mengambil artis sebagai calon legislatifnya dalam pemilu 2019.
5. Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna
demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724- 1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas,
atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya
adalah konflik. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan
adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula.
6. Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Sejauh ini tataran empirik menunjukkan adanya tarikan politik, khususnya, dari penguasa
terhadap birokrasi. Hal ini tampak sangat kuat. Salah satunya adalah adanya video viral yang memperlihatkan dugaan dukungan camat seMakassar kepada paslon Joko Widodo-Ma’ruf Amin.16 Politisasi birokrasi makin tampak nyata
dengan dijadikannya menteri-menteri, kepalakepala lembaga, kepala-kepala daerah sebagai pemenangan paslon dalam pilpres. Artinya, birokrasi terlibat politik praktis tak hanya di pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah.
Nama : Maharani Puspita Dewi Wardana
Npm : 2213053279
Kelas : 2D
Analisis jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal: Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman: 69-81
3. Volume : 16
4 Nomor: 01
5. Tahun Terbit: Juni 2019
6. Judul Jurnal: Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis: R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci Pendalaman Demokrasi
B. Isi Jurnal
Pembahasan:
- Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi.Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional menunjukkan arah yang tak mudah, khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) atau konsolidasi demokrasi.
- Pemilu presiden 2019 dan masalahnya
Keberhasilan penyelenggaraan
pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat. Berbeda dengan sebelumnya pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Untuk memenuhi hal itu, semua pihak harus berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas pemilu, bukan saja secara prosedural, melainkan juga secara substansial. Dengan kata lain, pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
-Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahanan,merekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama atau asangan capres-cawapres bertipe nasionalis-agamis.
-Pemilu dan Kegagalan Parpol
Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol
sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat
melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu. Tingkat ketidakpuasan massa
terhadap parpol cenderung makin tinggi.
Masalahnya, aspirasi dan kepentingan massa tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan publik. Parpol tidak melakukan fungsi intermediasi secara maksimal. Representasi yang seharusnya dilakukan parpol untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi
rakyat absen. Parpol juga tampak sibuk dan
terjebak dalam pergulatan kepentingannya
sendiri dan mengabaikan massa yang menjadi pendukungnya dalam pemilu. Proses pengabaian ini secara lambat tapi pasti telah mendelegitimasi eksistensi parpol.
-Pemilu dalam Masyarakat Plural
Terbukanya ruang kebebasan membuat
politisi bukan satu-satunya aktor yang
menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi
kepentingan rakyat karena setelah era Reformasi bermunculan lembaga-lembaga pengawas extra parlementer yang juga melibatkan diri dalam fungsi artikulatif dan pengawasan terhadap pemerintahan. Dengan demikian, proses liberalisasi politik tidak hanya memunculkan CSO, tetapi juga menghadirkan media-media baik media cetak maupuelektronik yang semakin bebas dan berani dalam mengawasipenyelenggaraan pemerintahan.
-Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sejak era reformasi masalah reformasi
birokrasi dan demokrasi di Indonesia telah
menjadi isu sentral dan perdebatan publik.
Krusialnya isu reformasi birokrasi ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan rakyat yang semakin kuat agar birokrasi menjadi ‘abdi rakyat’. Adalah sulit diingkari bahwa kualitas birokrasi yang buruk menjadi salah satu sumber keterbelakangan Indonesia.Selain infrastruktur dan korupsi, birokrasi telah menjadi salah satu penghambat pembangunan yang menunjukkan betapa netralitas birokrasi khususnya dalam memperkuat hak politik pegawai negeri sipil/aparatur sipil negara dan kesetaraan partai politik menjadi tantangan utama yang harus mendapat perhatian untuk membangun iklim demokrasi yang lebih sehat.
Npm: 2213053144
Kelas:2D
Analisis jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif , Membangun Kepercayaan
B.Isi Jurnal
•Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan
makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan.Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsip prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Sulit dinafikan bahwa kompetisi dan kontestasi dalam pilpres melalui kampanye diwarnai oleh tingginya kegaduhan yang terjadi di media massa dan media sosial (medsos). Menkopolhukam,Wiranto, misalnya, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2018 ada 53 kasus hoax (berita bohong) dan 324 hate speech (ujaran kebencian) yang terjadi.
•Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Untuk memenuhi hal itu, semua pihak harus berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas pemilu, bukan saja secara prosedural, melainkan juga secara substansial. Dengan kata lain, pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional,dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, baik bagi penyelenggara pemilu, parpol, maupun rakyat. Ini juga merupakan pemilu yang paling gamang.
•Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Tetapi, hal tersebut tidak dengan sendirinya memberikan jaminan kemenangan.
Sejauh ini, dua tokoh utama NU lainnya, yakni Solahuddin Wahid dan Hasyim Muzadi, juga pernah menjadi cawapres dari capres Nasionalis, yakni Wiranto dan Megawati, tetapi keduanya
kalah.
•Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/ evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat.Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu.Partai Nasdem, misalnya,tercatat sebagai partai yang paling banyak mengambil artis sebagai calon legislatifnya dalam pemilu 2019.Sejak 1999 kinerja parpol tidak kunjung menghasilkan landasan atau platform politik nasional. Kampanye lebih merupakan pameran pernak-pernik demokrasi ketimbang untuk memetakan dan menjawab persoalan bangsa.Pengalaman dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi relatif sama: perilaku distortif,melanggar hukum dan menghalalkan semua cara (vote buying). Tapi parpol sebagai peserta pemilu belum mampu merespon dan memberi solusi konkrit. Harapan rakyat pasca pemilu, mereka bisa menyaksikan kinerja pemerintah/parlemen yang lebih berpihak pada nasib rakyat. Karena pemilu diharapkan berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat.
•Pemilu dalam Masyarakat Plural
mengutip
teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-
1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah,tetapi pada saat yang bersamaan adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula.Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilainilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana empat pilar kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup tajam. Penggunaan istilah “cebong” sebagai julukan pendukung Jokowi dan “kampret” sebagai julukan pendukung Prabowo bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Demikian juga dengan penggunaan politisasi identitas (SARA). Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal. Jika legislator terpilih tidak bekerja dengan baik, rakyat akan mempunyai pilihan untuk tidak memilihnya lagi pada pemilu berikutnya. Pemilu juga signifikan untuk lebih mengenalkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang merupakan masyarakat heterogen. Sudah tentu ada sejumlah ruang yang harus diisi untuk perbaikan-perbaikan, namun hal yang pasti adalah demokrasi masih tetap menjadi agenda bangsa ini.
•Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Politisasi birokrasi makin tampak nyata
dengan dijadikannya menteri-menteri, kepala kepala lembaga, kepala-kepala daerah sebagai pemenangan paslon dalam pilpres. Artinya, birokrasi terlibat politik praktis tak hanya di
pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah.Pemilu dalam konteks demokrasi tak lain
dimaksudkan untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif. Sedangkan salah satu isu krusial pilpres 2019 adalah politisasi birokrasi. Persoalannya, bagaimana menjadikan birokrasi tetap profesional, independen dan netral secara politik dalam pemilu.Secara umum, pola relasi antara birokrasi dan politik cenderung dinamis, khususnya ketika proses politik berlangsung, yaitu saat birokrasi dan politik sedang memproses penyusunan peraturan atau perundang-undangan dan peraturan daerah. Intensitas relasi juga terjadi saat birokrasi menjalankan programnya dan saat institusi politik melakukan pengawasan. Keseimbangan pola relasi antara politik dan birokrasi berpengaruh terhadap proses pembangunan, baik di pusat maupun daerah. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa relasi politik dan birokrasi ditandai dengan ciri-ciri seperti praktik lobi untuk mencari posisi/jabatan dan intervensi politik dalam penentuan jabatan dan politik anggaran. Era reformasi menghasilkan politisi yang sangat pragmatis yang acapkali melakukan manuver politik dengan melakukan politisasi birokrasi seperti yang sudah diuraikan sebelumnya.Relasi birokrasi dan politik sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan kuatnya motif politik dalam birokrasi.Birokrasi,bahkan,bisa dijadikan kekuatan politik karena memiliki jaringan struktur hingga ke basis masyarakat,menguasai informasi yang memadai, dan memiliki kewenangan eksekusi program dan anggaran. Keberadaan birokrasi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik, tapi pada saat yang sama juga bisa digunakan untuk motif politik tertentu. Hal ini membuat birokrasi cenderung menjadi alat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Npm : 2213053006
Kelas : 2D
Tugas Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Abstrak Jurnal
Tulisan ini membahas tantangan konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden (pilpres) 2019. Pembangunan demokrasi Indonesia sebagaimana tercermin dari pilpres masih mengalami banyak masalah.
C. Pendahuluan Jurnal
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar
empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun
2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres)
memiliki konstelasi politik yang lebih menyita
perhatian publik.Sebagaimana diketahui, untuk
kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali
berhadapan dengan Prabowo Subianto, head
to head, untuk memperebutkan kursi presiden.
D. Pembahasan Jurnal
1. Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai
sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan
makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi.
Ia tidak hanya merupakan proses politik yang
terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga
politik, tetapi juga pada level masyarakat.
Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor
politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil
(political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik.
Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut
berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak
Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin
pesat dan semarak setelah dilaksanakannya
pemilu presiden secara langsung sejak 2004
dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
langsung sejak 2005.
2. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima
pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Untuk memenuhi hal itu, semua pihak harus berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas pemilu, bukan saja secara prosedural, melainkan juga secara substansial.
Dengan kata lain, pilpres dan pileg 2019 perlu
disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
3. Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai denganberebut suara muslim.7
Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat
representasi ulama sebagai penantang petahanamerekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalisagamis).
4. Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi
kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/
evaluasi terhadap pemerintah dan proses
deepening democracy untuk meningkatkan
kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat. Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan
selebritis tersebut sebagai vote getter partai
dalam pemilu.
5. Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna
demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan
adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula.
6. Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan
demokrasi yang substansial, reformasi politik
dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi
birokrasi yang profesional terbebas dari
pragmatisme dan kooptasi partai politik dan
penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam
pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Sejauh ini tataran empirik menunjukkan adanya tarikan politik, khususnya, dari penguasa terhadap birokrasi.
Nama : Arda Ami Guspina
NPM : 2213053256
Kelas : 2D
Analisis Jurnal Penelitian Politik
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Abstrak Jurnal :
1. Jumlah Paragraf: 1 Paragraf
2. Uraian paragraf: Abstrak di sajikan dalam format bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Di dalam abstrak sendiri penulis menjelaskan bahwa pendalaman
demokrasi belum terwujud dengan baik di sebabkan karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pilpres 2019 juga belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula membangun kepercayaan publik. Hal ini dapat dilihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena dua kandidat mengklaim sebagai pemenang pilpres.
3. Kata kunci: Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan.
C. Isi Jurnal
Pembahasan :
1. Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi merupakan suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Akan tetapi, untuk mewujudkan makna itu bukan suatu hal yang mudah karena demokrasi membutuhkan proses yang panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Dalam konteks ini, pilpres langsung dapat dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan terhadap hak-hak politik tersebut.
2. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu yang bersamaan. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, baik bagi penyelenggara pemilu, parpol, maupun rakyat. Ini juga merupakan pemilu yang paling gamang. Sebab, di satu sisi dengan adanya presidential threshold (PT) mereka harus berkoalisi dalam mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presidennya (cawapres), di sisi lain dalam saat yang bersamaan mereka juga harus berjuang secara sendiri-sendiri untuk merebut kursi legislatif.
3. Pemilu dalam Masyarakat Plural
Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilainilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan
sosial bangsa di mana empat pilar kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup tajam. Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal. Jika legislator terpilih tidak bekerja dengan baik, rakyat akan mempunyai pilihan untuk tidak memilihnya lagi pada pemilu berikutnya.
4. Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Sejauh ini tataran empirik menunjukkan adanya tarikan politik, khususnya, dari penguasa terhadap birokrasi.Salah satunya adalah video viral menunjukkan dugaan dukungan seluruh camat Makassar kepada pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin.16 Politisasi birokrasi semakin kentara dengan mengangkat menteri, kepala lembaga, pengurus daerah kandidat pemenang dalam pemilihan presiden. Itu berarti, birokrasi tidak hanya terlibat dalam politik praktis ke pusat tetapi juga ke daerah.
Nama: Zahara Siti Khodijah
NPM: 2213053267
Kelas: 2D
Tugas Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal: Jurnal Penelitian Politik
2. Volume: Vol. 16
3. Nomor: No. 01
4. Tahun terbit: Juni 2019
5. Halaman: 69-81
6. Judul Jurnal: Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama penulis: R. Siti Zuhro
8. Kata kunci: Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan.
B. Isi Jurnal
Pembahasan
- Deepening Democracy dan Tantangannya Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Proses demokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti budaya politik, perilaku partisipatif dan kekuatan politik. Sebagai sarana pendalaman demokrasi, pemilihan presiden merupakan upaya untuk menciptakan pemerintahan pasca pemilu yang efektif. Pendalaman demokrasi bisa datang dari negara dan bisa juga dari masyarakat. Dalam kasus negara, pendalaman demokrasi dapat berarti pelembagaan mekanisme pembangunan kepercayaan antara semua aktor politik, seperti masyarakat sipil, partai politik, dan birokrasi (aparat negara). Di sisi masyarakat, pendalaman demokrasi berarti melembagakan penguatan peran masyarakat dalam aktivitas politik formal di tingkat lokal. Pendalaman demokrasi juga dapat dilihat sebagai upaya penerapan pemerintahan yang efektif. Setelah 21 tahun (1998-2019), demokrasi Indonesia masih bercirikan demokrasi prosedural ketimbang substantif. Persoalannya, kepastian sosial politik tampak jauh dengan kegaduhan, kekacauan, penodaan agama, intoleransi, isu keberagaman yang menimbulkan perselisihan/diskusi dan pendapat yang saling bertentangan, serta gencarnya berita bohong. Selain persoalan hoaks dan ujaran kebencian, isu politisasi agama dalam pilpres 2019 menjadi salah satu hal yang paling menonjol dalam masa kampanye.
- Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi menuntut kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Pemilihan serentak jauh lebih rumit dan menyulitkan penyelenggara pemilu, partai politik, dan rakyat. Ini juga pilihan yang paling memusingkan. Karena di sisi lain adanya ambang batas pemilihan presiden (PT). Koalisi untuk mencalonkan calon calon presiden (kandidat) dan wakil presiden(cawapres) tetapi pada saat yang sama mereka juga harus mengatur diri mereka sendiri untuk memenangkan kursi di parlemen.
- Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Munculnya sejumlah isu yang dipandang sebagian umat islam merugikan mereka pada akhirnya munculnya gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahana merekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalisagamis).
- Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pada pemilu 2019 banyak parpol yang gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu.12 Partai Nasdem, misalnya, tercatat sebagai partai yang paling banyak mengambil artis sebagai calon legislatifnya dalam pemilu 2019. Parpol tidak melakukan fungsi intermediasi secara maksimal. Representasi yang seharusnya dilakukan parpol untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat absen. Bagi massa, parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya dan cenderung menggunakan institusinya hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri.
- Pemilu dalam Masyarakat Plural
Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ’sub budaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula. Pemilu juga signifikan untuk lebih mengenalkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang merupakan masyarakat heterogen. Sudah tentu ada sejumlah ruang yang harus diisi untuk perbaikan-perbaikan, namun hal yang pasti adalah demokrasi masih tetap menjadi agenda bangsa ini.
- Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu dapat menyebabkan lemahnya legitimasi pemerintah, penyelenggara dan operasional pemilu. Hasil Birokrasi bukan hanya tentang politik praktis pusat, tetapi juga ke daerah. Salah satu isu sentral Pilpres 2019 adalah politisasi birokrasi. Persoalannya, bagaimana birokrasi tetap profesional, independen, dan netral secara politik saat pemilu. Persoalan krusial reformasi birokrasi tidak lepas dari tuntutan masyarakat yang semakin meningkat untuk menjadikan birokrasi sebagai “pelayan rakyat”. Hubungan antara birokrasi dan politik biasanya bersifat dinamis, terutama ketika terjadi proses politik, yaitu. ketika birokrasi dan politik menghasilkan regulasi atau undang-undang dan peraturan daerah. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa hubungan politik-birokrasi dicirikan oleh ciri-ciri seperti lobi jabatan/jabatan dan campur tangan politik dalam menentukan masa jabatan dan kebijakan fiskal. Keberadaan birokrasi dapat digunakan untuk kepentingan publik, tetapi pada saat yang sama.
Nama: Alisa Syabrina
Npm: 2253053049
Kelas: 2D
Tugas: analisis jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Vol : 16
4. Nomor : 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
B. Isi jurnal
- Deepening Democracy dan Tantangannya
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan terobosan penting yang dimaksudkan sebagai upaya pendalaman demokrasi (deepening democracy), yakni suatu upaya untuk mengatasi kelemahan praktek demokrasi substantif, khususnya dalam merespon tuntutan-tuntutan masyarakat lokal. Sebagai instrumen pendalaman demokrasi, pilpres merupakan upaya penciptaan pemerintahan yang efektif pasca pemilu.
- Pemilu presiden 2019 dan masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memili wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa.
- Politisasi Identitas : Berebut Suara Muslim
Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan itima ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
Yang menarik hasil ijtima ulama tersebut justru mendapat sanggahan dari kelompok umat Islam lainnya karena dinilai tidak mewakili ulama-ulama lainnya. Hal tersebut bisa dipahami dengan terpilihnya Ma ' ruf Amin, ketua MUl dan ketua umum syuriah PBNU, sebagai cawapres Jokowi. Sejauh ini, dua tokoh utama NU lainnya, yakni Solahuddin Wahid dan Hasyim Muzadi, juga pernah meniadi cawapres dari capres Nasionalis, yakni Wiranto dan Megawati, tetapi keduanya kalah.
- Pemilu dan kegagalan parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/ evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat. Representasi yang seharusnya dilakukan parpol untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat absen.
- Pemilu dalam masyarakat plural
Misalnya, proses liberalisasi politik di era transisi ini tidak hanya membuat proses politik menjadi semakin plural, tetapi juga kompetitif.
NPM : 2213053108
Kelas : 2D
Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
Analisi jurnal
Artikel ini mamaparkan tentang demokrasi Indonesia melalui fenomena pemilihan presiden 2019. Demokrasi Indonesia telah melalui beberapa kali pemilu, tetapi masih perlu kerja keras untuk memperdalam dan mengkonsolidasikan demokrasi yang ada di Indonesia. Proses demokratisasi berlangsung tidak hanya pada tataran prosedural institusi politik, tetapi juga pada tataran sosial. Demokrasi akan terkontril jika aktor-aktor politik, ekonomi, pemerintah dan masyarakat sipil mampu mengatasi tindakan demokrasi sebagai alternatif yang bagus untuk meraih kekuasaan.
Demokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan politik. Meskipun pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan langkah penting dalam pendalaman demokrasi, proses demokrasi di tingkat nasional setelah melewati tiga kali pemilihan presiden langsung, tetap menjadi tantangan dalam hal peningkatan kualitas pemilu pemilihan presiden dan penguatan proses demokrasi. Artikel ini menyoroti pentingnya menjaga stabilitas sosial politik nasional dan keutuhan NKRI dalam rangka pendalaman demokrasi Indonesia.
Npm : 2263053002
Kelas : 2D
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Pembahasan
- Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional (setelah tiga kali melaksanakan pemilu presiden langsung) menunjukkan arah yang tak mudah, khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) atau konsolidasi demokrasi. Kondisi politik Indonesia yang sedang dalam proses konsolidasi demokrasi memunculkan pertanyaan, yakni apakah pilpres langsung saat ini relevan dan bermanfaat bagi penguatan tantangan
yang dihadapi sejak penyelenggaraan pilpres langsung yang berupa kecenderungan munculnya kompromi-kompromi kepentingan antara elite penguasa dan elite masyarakat seharusnya dicarikan solusinya agar pemilu di Indonesia bisa memenuhi harapan yang diinginkan.
- Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah
dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan.
- Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat.
- Pemilu dan Kegagalan Parpol
Dalam perkembangannya aktivitas parpol mewarnai pemerintahan dan parlemen. Perannya cenderung menguat dan berpengaruh signifikan terhadap peta politik Indonesia, meskipun pengaruhnya tidak seluruhnya positif. Pengalaman dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi relatif sama: perilaku distortif, melanggar hukum dan menghalalkan semua cara (vote buying). Tapi parpol sebagai peserta pemilu belum mampu merespon dan memberi solusi konkrit. Harapan
rakyat pasca pemilu, mereka bisa menyaksikan kinerja pemerintah/parlemen yang lebih berpihak pada nasib rakyat. Karena pemilu diharapkan berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat.
- Pemilu dalam Masyarakat Plural
Terbukanya ruang kebebasan membuat politisi bukan satu-satunya aktor yang menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat karena setelah era Reformasi
bermunculan lembaga-lembaga pengawas extra parlementer yang juga melibatkan diri dalam fungsi artikulatif dan pengawasan terhadap pemerintahan. Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan
demokrasi ideal.
- Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi, contoh tersebut menyiratkan pentingnya pembenahan birokrasi. Secara umum, pola relasi antara birokrasi dan politik cenderung dinamis, khususnya ketika proses politik berlangsung, yaitu saat birokrasi dan politik sedang memproses penyusunan peraturan atau perundang-undangan dan peraturan daerah.
Nama : Risma Iryani
NPM : 2213053268
Kelas : 2D
Tugas Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Abstrak
1. Jumlah paragraf : 1 paragraf
2. Halaman : Setengah halaman
3. Uraian Abstrak : Abstrak disajikan dalam format bahasa Inggris. Di dalam abstrak tersebut secara keseluruhan penulis langsung menuju ke topik yang akan dibahas dalam tulisannya yaitu untuk membahas tantangan konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden (pilpres) pada tahun 2019.
C. Pendahuluan
Penulis menuliskan dalam pendahuluan bahwa pada jurnal ini mencoba melihat demokrasi Indonesia melalui fenomena pilpres 2019 yang merupakan salah satu sarana untuk memilih pemimpin secara demokratis.
D. Pembahasan
• Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat dan semarak setelah dilaksanakannya pemilu presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak 2005.
• Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Untuk memenuhi hal itu, semua pihak harus berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas pemilu, bukan saja secara prosedural, melainkan juga secara substansial. Dengan kata lain, pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
• Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahanamerekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalisagamis).
• Pemilu dan Kegagalan Parpol
Sejak Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/ evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat.Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu.12 Partai Nasdem, misalnya, tercatat sebagai partai yang paling banyak mengambil artis sebagai calon legislatifnya dalam pemilu 2019.
• Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula.¹⁴
Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal.
• Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Secara umum, pola relasi antara birokrasi dan politik cenderung dinamis, khususnya ketika proses politik berlangsung, yaitu saat birokrasi dan politik sedang memproses penyusunan peraturan atau perundang-undangan dan peraturan daerah. Intensitas relasi juga terjadi saat birokrasi menjalankan programnya dan saat institusi politik melakukan pengawasan. Keseimbangan pola relasi antara politik dan birokrasi berpengaruh terhadap proses pembangunan, baik di pusat maupun daerah. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa relasi politik dan birokrasi ditandai dengan ciri-ciri seperti praktik lobi untuk mencari posisi/jabatan dan intervensi politik dalam penentuan jabatan dan politik anggaran. Era reformasi menghasilkan politisi yang sangat pragmatis yang acapkali melakukan manuver politik dengan melakukan politisasi birokrasi seperti yang sudah diuraikan sebelumnya.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Nama: Azzahra Luthfiah Armina
Kelas: 2D
NPM: 2213053036
Analisis Jurnal
A.Identitas Jurnal
1. Nama jurnal: Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman: 69 – 81
3. Volume: 16
4. Nomor: 01
5. Tahun terbit: 2019
6. Judul Jurnal: Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis: R. Siti Zuhro
B. Abstrak Jurnal
1. Jumlah paragraf: 1 paragraf
2. Uraian paragraf: Abstrak disajikan dalam format bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dalam abstrak sendiri penulis menjelaskan bahwa Pembangunan demokrasi Indonesia sebagaimana tercermin dari pilpres masih mengalami banyak masalah. Pendalaman demokrasi belum terwujud dengan baik karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pilpres 2019 belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula membangun kepercayaan publik.
3. Kata kunci: Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan.
C. Pendahuluan Jurnal
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik.Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden.
D. Pembahasan
1. Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dancivil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan. Argumen Smith (1985) dan Arghiros (2001) menyatakan bahwa nilai-nilai demokrasi telah mendasari perilaku, baik elite maupun masyarakat. tantangan yang dihadapi sejak penyelenggaraan pilpres langsung yang berupa kecenderungan munculnya kompromi-kompromi kepentingan antara elitepenguasa dan elite masyarakat seharusnya dicarikan solusinya agar pemilu di Indonesia bisa memenuhi harapan yang diinginkan. Untuk itu, kiranya perlu dikedepankan kembali tujuan utama pilpres sebagai sarana untuk menegakkan dan mewujudkan kedaulatan rakyat dan kebebasan politik masyarakat.
2. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, baik bagi penyelenggara pemilu, parpol, maupun rakyat.
3. Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Tetapi, hal tersebut tidak dengan sendirinya memberikan jaminan kemenangan.
4. Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/ evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat. parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Sejak 1999 kinerja parpol tidak kunjung menghasilkan landasan atau platform politik nasional. Dalam perkembangannya aktivitas parpol mewarnai pemerintahan dan parlemen. Perannya cenderung menguat dan berpengaruh signifikan terhadap peta politik Indonesia, meskipun pengaruhnya tidak seluruhnya positif. Bagi massa, parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya dan cenderung menggunakan institusinya hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri.
5. Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilai-nilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana empat pilar kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup tajam. Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal. Pemilu juga signifikan untuk lebih mengenalkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang merupakan masyarakat heterogen.
6. Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Secara konseptual demokratisasi dan debirokratisasi berjalan seiring dan saling melengkapi. Dengan kata lain, perubahan sistem politik dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi seharusnya mampu mengubah secara signifikan birokrasi, termasuk birokrasi kepemiluan. Sejak era reformasi masalah reformasi birokrasi dan demokrasi di Indonesia telah menjadi isu sentral dan perdebatan publik. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa relasi politik dan birokrasi ditandai dengan ciri-ciri seperti praktik lobi untuk mencari posisi/jabatan dan intervensi politik dalam penentuan jabatan dan politik anggaran.
Npm: 2213053201
Kelas: 2D
Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat.
Tapi tidak mudah untuk mewujudkannya, karena ada proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui,salah satunya konsolidasi demokrasi yaitu salah satu sarana untuk
meningkatkan prinsip komitmen seluruh
lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi.
Pendalaman demokrasi belum terwujud dengan baik karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Tantangan pendalaman demokrasi semakin
besar ketika kondisi sosial, ekonomi, politik dan
hukum juga kurang memadai. Kondisi ini tidak
hanya berpengaruh terhadap kualitas pemilu dan
demokrasi, tapi juga stabilitas nasional.
Pemilu
merupakan sarana dan momentum terbaik bagi
rakyat, untuk menyalurkan aspirasinya dalam
politik, memilih wakil-wakil terbaik di
lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya
secara damai.
Pemilu serentak pada 2019 adalah pemilu kelima
setelah masa Orde Baru dan juga pemilu serentak
pertama yang dimana pileg dan pilpres
dilakukqn dalam waktu yang bersamaan.
Masalah selama
tahapan-tahapan pilpres tidak mendapatkan
solusi yang konkrit dan memadai. Masalah seperti politisasi identitas dan sengitnya
perebutan suara Muslim, permasalahan parpol dan semua stakeholders terkait pemilu yang belum
mampu mengefektifkan dan memaksimalkan
peran pentingnya dengan penuh tanggungjawab,
tata kelola pemilu yang belum mampu
mengakomodasi keragaman masyarakat, dan
kentalnya politisasi birokrasi menjadi pekerjaan
rumah yang harus segera dibenahi Indonesia
Npm: 2213053032
Kelas :2D
Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
Judul jurnal : Demokrasi Dan Pemilu Presiden 2019
Penulis : R. Siti Zuhro
Nama jurnal : Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tahun : 2019
Volume : 16
Halaman : 69-81
Nomor : 1
Kata kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan.
B. Abstrak Jurnal
Pendalaman demokrasi belum terwujud dengan baik karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pilpres 2019 belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula membangun kepercayaan publik. Hal tersebut bisa dilihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Satu kandidat menolak hasil pemilu. Adalah jelas pilpres belum selesai. Sekarang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi penentu akhir hasil pilpres karena dua kandidat mengklaim sebagai pemenang pilpres.
C. Pendahuluan Jurnal
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga
diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat. Ritual politik lima tahunan tersebut menarik untuk dilihat di tengah tingginya pro-kontra terkait kinerja pemerintah dan pentingnya semua pihak untuk selalu menjaga stabilitas sosial politik nasional dan keutuhan NKRI.
D. Pembahasan Jurnal
“Deepening Democracy dan Tantangannya”
Pendalaman demokrasi juga dapat dipandang sebagai upaya untuk merealisasikan pemerintahan yang efektif. Menurut Migdal (1988), negara dan masyarakat seharusnya saling bersinergi sehingga bisa saling memperkuat perannya masing-masing. Dengan kapasitasnya tersebut negara diharapkan mampu melakukan penetrasi ke dalam masyarakat, mengatur relasi sosial, mengambil sumber daya dan mengelolanya. Selain itu, negara juga harus mampu memberdayakan masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kontrol sosial.
“Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya”
Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, baik bagi penyelenggara pemilu, parpol, maupun rakyat. Ini juga merupakan pemilu yang paling gamang. Sebab, di satu sisi dengan adanya presidential threshold (PT) mereka harus berkoalisi dalam mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presidennya (cawapres), di sisi lain dalam saat yang bersamaan mereka juga harus berjuang secara sendiri-sendiri untuk merebut kursi legislatif.
“Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim”
Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahana- merekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalis- agamis). Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu.
“Pemilu dan Kegagalan Parpol”
Dalam perkembangannya aktivitas parpol mewarnai pemerintahan dan parlemen. Perannya cenderung menguat dan berpengaruh signifikan terhadap peta politik Indonesia, meskipun pengaruhnya tidak seluruhnya positif. Pengalaman dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi relatif sama: perilaku distortif, melanggar hukum dan menghalalkan semua cara (vote buying). Tapi parpol sebagai peserta pemilu belum mampu merespon dan memberi solusi konkrit. Harapan rakyat pasca pemilu, mereka bisa menyaksikan kinerja pemerintah/parlemen yang lebih berpihak pada nasib rakyat. Karena pemilu diharapkan berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat.
“Pemilu dalam Masyarakat Plural”
Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal. Pemilu juga signifikan untuk lebih mengenalkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang merupakan masyarakat heterogen.
“Pemilu dan Politisasi Birokrasi”
Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Sejauh ini tataran empirik menunjukkan adanya tarikan politik, khususnya, dari penguasa terhadap birokrasi. Politisasi birokrasi makin tampak nyata dengan dijadikannya menteri-menteri, kepala- kepala lembaga, kepala-kepala daerah sebagai pemenangan paslon dalam pilpres. Artinya, birokrasi terlibat politik praktis tak hanya di pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah.
E. Penutup
Konsolidasi demokrasi di Indonesia cenderung fluktuatif dan belum berjalan secara regular karena pilar-pilar pentingnya (pemilu, partai politik, civil society, media massa) belum berfungsi efektif dan belum maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Proses pendalaman demokrasi/konslidasi demokrasi memerlukan peran penting stakeholders terkait pemilu dan juga elemen- elemen kekuatan lainnya seperti civil society, elite/aktor, media massa dan medsos serta lembaga survey. Independensi, kedewasaan dan partisipasi kekuatan-kekuatan sosial (societal forces) tersebut sangat diperlukan.
NPM: 2213053060
Kelas: 2D
Demokrasi dan pemilu presiden 2019
Sebagai pilar utama demokrasi, Pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi ke rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presiden secara damai. Meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik Pemilu masih belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat.
Pemilu serentak 2019 ada Pemilu kelima pasca orde baru dan merupakan Pemilu serentak pertama yang melangsungkan Pileg dan Pilpres dalam waktu bersamaan. Pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, bagi yang penyelenggara Pemilu, parpol, maupun rakyat. Ini juga merupakan Pemilu yang paling gampang. Sebab, di satu sisi dengan adanya presidential theresold (PT) mereka harus berkoalisi dalam mengusung Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dana, di sisi lain dalam saat yang bersamaan mereka juga harus berjuang secara sendiri-sendiri untuk merebut kursi legislatif.
Nama : Gadis Nurma Guspita
NPM : 2213053097
Kelas : 2D
Post Test
Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi Jurnal
Pembahasan :
- Deepening demokrasi dan tantangan yaitu hubungan pemerintah oleh rakyat dan untuk rakyat. Mewujudkan demokrasi tidak mudah tetapi harus melalui proses panjang dan tahapan-tahapan seperti Laurence whitehed (1989) yaitu konsolidasi demokrasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan prinsip pada demokrasi. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor, misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu 1999.
- pemilihan presides 2019 dan masalahnya
pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Namun, dalam pemilu parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya dan cenderung menggunakan institusinya hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri.
-politisasi identitas : berebut suara mulim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim.7 Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
- Pemilu dan kegagalan parpol
parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu
Pengalaman dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi relatif sama: perilaku distortif, melanggar hukum dan menghalalkan semua cara (vote buying). Tapi parpol sebagai peserta pemilu belum mampu merespon dan memberi solusi konkrit
Nama : Riska Adila Khoirina
NPM : 2213053218
Kelas : 2D
Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Abstrak Jurnal
1. Jumlah Paragraf: 1 Paragraf
2. Uraian paragraf: Abstrak di sajikan dalam format bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Di dalam abstrak sendiri penulis menjelaskan bahwa pendalaman
demokrasi belum terwujud dengan baik di sebabkan karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pilpres 2019 juga belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula membangun kepercayaan publik. Hal ini dapat dilihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena dua kandidat mengklaim sebagai pemenang pilpres.
3. Kata kunci: Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun
Kepercayaan.
C. Pendahuluan Jurnal
Di dalam pendahuluan jurnal penulis membahas mengenai pemilu 2019 yang banyak menyita perhatian publik di karenakan kembali di hadapkan nya Joko Widodo dan Prabowo untuk kedua kalinya. Selain itu, pemilu ke lima ini juga di warnai oleh polarisasi Antara dua kubu pendukung capres.
D. Pembahasan
1. Deepening Democracy dan TantangannyaDemokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional (setelah tiga kali melaksanakan pemilu presiden langsung) menunjukkan arah yang tak mudah, khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) atau konsolidasi demokrasi. Kondisi politik Indonesia yang sedang dalam proses konsolidasi demokrasi memunculkan pertanyaan, yakni apakah pilpres langsung saat ini relevan dan bermanfaat bagi penguatan tantangan yang dihadapi sejak penyelenggaraan pilpres langsung yang berupa kecenderungan munculnya kompromi-kompromi kepentingan antara elite penguasa dan elite masyarakat seharusnya dicarikan solusinya agar pemilu di Indonesia bisa memenuhi harapan yang diinginkan.
2. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan.
3. Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat.
4. Pemilu dan Kegagalan Parpol
Dalam perkembangannya aktivitas parpol mewarnai pemerintahan dan parlemen. Perannya cenderung menguat dan berpengaruh signifikan terhadap peta politik Indonesia, meskipun pengaruhnya tidak seluruhnya positif. Pengalaman dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi relatif sama: perilaku distortif, melanggar hukum dan menghalalkan semua cara (vote buying). Tapi parpol sebagai peserta pemilu belum mampu merespon dan memberi solusi konkrit. Harapan rakyat pasca pemilu, mereka bisa menyaksikan kinerja pemerintah/parlemen yang lebih berpihak pada nasib rakyat. Karena pemilu diharapkan berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat.
5. Pemilu dalam Masyarakat Plural
Terbukanya ruang kebebasan membuat politisi bukan satu-satunya aktor yang menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat karena setelah era Reformasi
bermunculan lembaga-lembaga pengawas extra parlementer yang juga melibatkan diri dalam fungsi artikulatif dan pengawasan terhadap pemerintahan. Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal.
6. Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi, contoh tersebut menyiratkan pentingnya pembenahan birokrasi. Secara umum, pola relasi antara birokrasi dan politik cenderung dinamis, khususnya ketika proses politik berlangsung, yaitu saat birokrasi dan politik sedang memproses penyusunan peraturan atau perundang-undangan dan peraturan daerah.
Sekian dan terimakasih...
Nama: Nadia Afista
NPM: 2213053048
Kelas: 2D
Post Test | Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal: Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman: 69-81
3. Volume: Vol. 16
4. Nomor: No. 01
5. Tahun Terbit: Juni 2019
6. Judul Jurnal: Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis: R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci: Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Isi Jurnal
Pembahasan:
Deepening Democracy dan Tantangannya Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.’ Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan. Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsipprinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Masalahnya, aspirasi dan kepentingan massa tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan publik. Parpol tidak melakukan fungsi intermediasi secara maksimal. Representasi yang seharusnya dilakukan parpol untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat absen. Parpol juga tampak sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan mengabaikan massa yang menjadi pendukungnya dalam pemilu.
C. Kesimpulan
Konsolidasi demokrasi di Indonesia bervariasi dan belum berjalan secara teratur karena pilar utamanya (pemilu, partai politik, masyarakat sipil, media massa) belum berjalan efektif dan belum maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk memeriksa kepemimpinan dan memperbaiki kinerja pemerintah. Kondisi penciptaan ini membutuhkan prasyarat dan komitmen dari seluruh bagian bangsa untuk mematuhi peraturan yang ada. Konsolidasi demokrasi atau pendalaman demokrasi menjadi lebih sulit karena partai politik melalui elit dan aktor pemilunya menunjukkan perilaku yang tidak mendukung proses demokrasi.
NPM : 2213053101
Kelas : 2D
Tugas Analisis Jurnal
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
B. Abstrak
1. Jumlah paragraf : 1 paragraf
2. Halaman : Setengah halaman
3. Uraian Abstrak : Abstrak disajikan dalam format bahasa Inggris. Di dalam abstrak tersebut secara keseluruhan penulis langsung menuju ke topik yang akan dibahas dalam tulisannya yaitu untuk membahas tantangan konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden (pilpres) pada tahun 2019.
C. Pendahuluan
Penulis menuliskan dalam pendahuluan bahwa pada jurnal ini mencoba melihat demokrasi Indonesia melalui fenomena pilpres 2019 yang merupakan salah satu sarana untuk memilih pemimpin secara demokratis.
D. Pembahasan
- Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat dan semarak setelah dilaksanakannya pemilu presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak 2005.
- Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Untuk memenuhi hal itu, semua pihak harus berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas pemilu, bukan saja secara prosedural, melainkan juga secara substansial. Dengan kata lain, pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
- Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahanamerekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalisagamis).
- Pemilu dan Kegagalan Parpol
Sejak Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/ evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat.Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu.12 Partai Nasdem, misalnya, tercatat sebagai partai yang paling banyak mengambil artis sebagai calon legislatifnya dalam pemilu 2019.
- Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula.¹⁴
Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal.
- Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Secara umum, pola relasi antara birokrasi dan politik cenderung dinamis, khususnya ketika proses politik berlangsung, yaitu saat birokrasi dan politik sedang memproses penyusunan peraturan atau perundang-undangan dan peraturan daerah. Intensitas relasi juga terjadi saat birokrasi menjalankan programnya dan saat institusi politik melakukan pengawasan. Keseimbangan pola relasi antara politik dan birokrasi berpengaruh terhadap proses pembangunan, baik di pusat maupun daerah. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa relasi politik dan birokrasi ditandai dengan ciri-ciri seperti praktik lobi untuk mencari posisi/jabatan dan intervensi politik dalam penentuan jabatan dan politik anggaran. Era reformasi menghasilkan politisi yang sangat pragmatis yang acapkali melakukan manuver politik dengan melakukan politisasi birokrasi seperti yang sudah diuraikan sebelumnya.
npm : 2213053189
kelas : 2d
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Politik
2. Halaman : 69-81
3. Volume : Vol. 16
4. Nomor : No. 01
5. Tahun Terbit : Juni 2019
6. Judul Jurnal : Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019
7. Nama Penulis : R. Siti Zuhro
8. Kata Kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan
1. Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi merupakan suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Akan tetapi, untuk mewujudkan makna itu bukan suatu hal yang mudah karena demokrasi membutuhkan proses yang panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Dalam konteks ini, pilpres langsung dapat dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan terhadap hak-hak politik tersebut.
2. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Pemilu serentak 2019 merupakan pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat.
3. Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tidak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Hasil ijtima’, yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahan merekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalisagamis). Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu.