Persimpangan Etika dan Paradigma Pemerintahan
Memasuki
awal dekade abad ke-21, Indonesia mengalami gelombang besar Reformasi yang menuntut adanya
Demokratisasi. Adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah menunjukkan masa transformasi dimulai, membuka kesempatan para pemimpin
daerah provinsi, kabupaten/kota untuk mengambil peran dan melaksanakan
kewajiban dan tanggungjawabnya atas rumah tangga/pemerintahanya sendiri juga
pelayanan umum kepada masyarakat.
Siap
maupun tidak, pemerintah daerah harus memikul konsekuensi dari keputusan
tersebut. Meskipun pergantian rezim orde baru menuju reformasi yang jelas
tampak melahirkan tata kelola pemerintahan yang baru, namun pemerintahan secara
tidak langsung tetap saja mempertahankan budaya birokrasi pemerintahan yang
lama, masalah yang menjadi perhatian khusus sampai saat ini yaitu
ketidakmampuan para birokrat menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat.
Memasuki awal dekade abad ke-21, Indonesia mengalami gelombang besar Reformasi yang menuntut adanya
Demokratisasi. Adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah menunjukkan masa transformasi dimulai, membuka kesempatan para pemimpin
daerah provinsi, kabupaten/kota untuk mengambil peran dan melaksanakan
kewajiban dan tanggungjawabnya atas rumah tangga/pemerintahanya sendiri juga
pelayanan umum kepada masyarakat.
Siap
maupun tidak, pemerintah daerah harus memikul konsekuensi dari keputusan
tersebut. Meskipun pergantian rezim orde baru menuju reformasi yang jelas
tampak melahirkan tata kelola pemerintahan yang baru, namun pemerintahan secara
tidak langsung tetap saja mempertahankan budaya birokrasi pemerintahan yang
lama, masalah yang menjadi perhatian khusus sampai saat ini yaitu
ketidakmampuan para birokrat menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat.
Paradigma pemerintahan yang
dibangun dimasa lalu tetap dipertahankan dan menjadi akar masalah pemerintahan
dan birokrasi sehingga mengancam demokratisasi.
Paradigma
pemerintahan yang keliru seperti itulah yang tetap dipertahankan sehingga
menjadi salah satu ciri kelemahan kinerja jajaran pemerintahan sampai detik
ini. Persimpangan antar etika dan
paradigma pemerintahan semakin mencuat dan menghadapkan diri pada problematika
etik.
Paradigma
pemerintahan yang seharusnya dibangun, tetapi berbalik menjadi kelemahan
jajaran pemerintah yang dihadapkan dengan polemik etik, antara lain :
Independence, independensi harus
dikedepankan untuk menunjukan posisi jajaran pemerintah maupun birokrasi agar
dapat menjalankan kewajibanya dengan baik, namun pada kenyataannya jajaran
birokrasi tidak memiliki independensi baik struktural maupun sikap sehingga
menyebabkan mudahnya terperangkap pada jurang penyalahgunaan dan penyimpangan
jabatan yang melahirkan budaya korupsi dilingkaran persetan pemerintahan baik pusat
maupun daerah;
Impartialy, banyak kasus jajaran
birokrasi tidak memperlakukan pelayanan secara adil dan merata tentu
menguntungkan para pengguna pelayanan dengan identitas tertentu yang
mencerminkan konstelasi politik, tentu hal ini menghasilkan ketidak percayaan
publik pada jajaran birokrasi dan pemerintah;
Integrity, seyogyanya pemerintah dan
jajaran birokrasi mengedepankan prinsip integritas yang tersubprinsip pada
indak jujur,keadilan, ketepatan dan kecepatan pelayanan bukan malah sebaliknya,
masalah ini menghasikan birokrasi yang koruptif dan tidak kredibel;
Transparency, dengan mengedepankan
prinsip transparansi maka dapat mengidentifikasi setiap penyimpangan finansial,
menekan persepsi korupsi, lemahnya kompetensi dan tindakan favoritisme terhadap
kelompok politik tertentu sehingga akan melahirkan birokrasi yang
kredibel;
Efficiency, jajaran birokrasi
seringkali terjebak sikap tidak efisien dalam membelanjakan anggaran publik,
dalam banyak kasus pemborosan menjadi bagian dari motivasi kerja mereka untuk
melakukan perjalanan dinas, manipulasi bukti belanja dan modus lainnya untuk
memperoleh keuntungan pribadi, seharusnya dalam menyusun program kerja harus
ekstra hati-hati untuk menghasilkan kerja yang efisien, berkelanjutan,
berintegritas, modern, dan dapat dipertanggungjawabkan;
Profesionalism, kompetensi menjadi kunci
utama mewujudkan birokrasi yang kredibilitas. Kurangnya menerapkan prinsip
ekuitas, akurasi, ketekunan, dan pelayanan prima yang menjadi ciri dari bentuk
profesionalitas;
Service mindedness, ketidak pahaman dan
ketidaksadaran diri jajaran birokrasi untuk melayani kepentingan masyarakat,
indikator pelayanan publik seakan
tidak diindahkan, ketepatan pelayanan, kecepatan dan waktu pelayanan seringkali
menjadi kendala dan menghasilkan pelayanan yang tidak memuaskan.
Paradigma pemerintahan yang
salah terus tumbuh subur tanpa jeda, tentu berbicara pemerintah dan birokrasi
di Indonesia tidak lepas dari permasalahan yang disinggung sebelumnya.
Kondisi
birokrasi dan pemerintahan Indonesia yang carut marut mengindikasi adanya
penyimpangan paradigma pemerintahan dan pelanggaran kode etik jajaran
birokrat.
Banyaknya
keluhan dan laporan masyarakat menyayangkan sikap aparatur pemerintah yang
tidak memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat seakan para birokrat
menjadi momok yang menjengkelkan bagi masyarakat, lebih baik menghindar daripada berhadapan dengan para birokrat terkecuali
dalam keadaan terpaksa, begitu analoginya.
Hal
itu wajar menyebabkan tingginya ketidakpercayaan masyarakat terhadap jajaran
pemerintah. Tingginya ketidak percayaan masyarakat mengindikasi adanya
kesalahan dalam melaksanakan paradigma pemerintah, masalah ini tentu menjadi
isu krusial yang harus dibenahi oleh pemerintah dengan upaya pembenahan
pengembalian fungsi dan tujuan birokrasi pemerintahan.
Permasalahan
birokrasi pemerintahan Indonesia tidak cukup sampai disitu, melainkan
tersegmentasi lebih jauh kedalam beberapa bahasan persoalan. Pertama, aparat
birokrasi telah terkooptasi sikap dan perilakunya oleh kepentingan-kepentingan
pribadi dan politik sang patron yang cenderung vested interest.
Orientasi
mereka bukan lagi bagaimana masyarakat merasa nyaman dengan dan terlayani
dengan pelayanan yang mereka berikan tapi jutru yang penting bagi mereka
bagaimana pekerjaan mereka menjadi alat penguasaan, dan pada saat yang sama
masyarakat merasa dirugikan. Kedua, lemahnya proses rekruitmen, seleksi serta
pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang tidak terprogram dengan baik.
Adanya
tenaga profesional dalam posisi yang tidak semestinya (the right man in the
wrong place). Ketiga, evaluasi program kepegawaian sangat jarang dilakukan dan
walaupun ada hasilnya, biasanya sangat diragukan obyektivitasnya hanya untuk
memenuhi formalitas belaka.
Keempat,
masih kaburnya kode etik bagi aparat birokrasi publik (code of conduct),
sehingga tidak mampu menciptakan adanya budaya birokrasi yang sehat, seperti
kerja keras, keinginan untuk berprestasi kejujuran, rasa tanggung jawab, bersih
dan bebas dari KKN, dan sebagainya.
Ditambah
lagi sebagian para birokrat yang memiliki sikap tidak terpuji seperti melayani
masyarakat dengan kasar serta tidak acuh dengan masyarakat.
Kelima,
lemahnya responsivitas, representativitas, dan responsibilitas aparatur
pemerintah, dimana mereka hanya mampu menempatkan dirinya sebagai mesin
birokrasi yang tidak mampu mengadaptasikan sikap dan perilakunya pada kondisi
dan tuntutan masyarakat yang terus berubah.
Keenam,
manajemen pelayanan publik (public
sevice management) yang terlalu didominasi paradigma dikotomi
kebijakan-administrasi, manajemen ilmiah, matematis dan mengabaikan paradigma
diskursif, perilaku sosial, sistemik, pilihan publik dan pilihan sosial.
Ketujuh,
politik penggajian dan kesejahteraan pegawai yang kurang adil menyebabkan
pegawai kurang mempunyai motivasi kerja sehingga memicu timbulnya perilaku
kolutif dan koruptif.
Melihat
kenyataan di atas maka tidak ada cara lain untuk mengatasi masalah tersebut.
Kita harus memiliki sense of crisis, sense of urgency, sense of purpose
sehingga mampu mencarikan jalan keluar bagi krisis yang ada pada tubuh
birokrasi publik kita. Perlu adanya gerakan baru yang berani, yang tidak hanya
mengubah sistem saja tetapi bisa mengubah mindset dan paradigma masyarakat dan
pemerintah terhadap birokrasi. Sehingga harus ada dan perlunya suatu upaya yang
dilakukan untuk memulai merubah pola kerja birokrasi dan citra birokrasi
dimasyarakat.
Beberapa
strategi pokok yang perlu dilakukan untuk mengubah paradigma pelayan yang dapat
dilakukan dalam rangka pembenahan pelayanan publik, antara lain : pertama,
mengubah budaya paternalistik dalam pelayanan menjadi budaya egaliter sehingga
posisi antara pejabat, pegawai pemerintahan, dan pengguna jasa layanan publik
adalah sama.
Kedua,
menegakkan kriteria efektivitas dan efisiensi pelayanan. Tidak semata-mata
bahwa pelayanan kepada publik sudah dilakukan, namun harus memerhatikan apakah
pelayanan tersebut sudah cukup cepat, mudah, dan jelas bagi masyarakat, juga
tidak menghabiskan banyak biaya, terutama biaya yang seharusnya tidak perlu
(tidak resmi).
Ketiga,
mengembangkan remunerasi berdasarkan kinerja (merit system), sehingga mendorong
aparatur lebih kreatif dan inovatif dalam memberikan pelayanan yang terbaik
bagi masyarakat.
Keempat,
terbuka menerima kritik yang disampaikan publik (media, LSM, dan masyarakat).
Kelima, membudayakan delegasi kewenangan dan diskresi yang bertanggung jawab.
Tidak boleh lagi ada pelayanan kepada masyarakat yang terhambat karena tidak
adanya pimpinan. Keenam, orientasi kepada pelayanan pengguna jasa.
Semua
permasalahan mengenai kondisi pelayanan publik dan birokrasi pemerintah hari
ini salah satunya karena salah menempatkan paradigma pemerintahan,
maka permasalahan tersebut harus segera diselesaikan. Kalau tidak maka akan
membusuk dan merusak sistem yang lain.
Walaupun
perubahan itu harus memakan waktu dan biaya yang banyak namun itu lebih baik
dilakukan daripada terus dalam persimpangan etika dan paradigma pemerintahan yang
merugikan.
Sudah
banyak konsep-konsep dan strategi-strategi para ilmuan untuk mencari formula
yang tepat untuk mereformasi birokrasi pemerintah, tetap saja semua itu harus
didukung oleh semua pihak. Dibutuhkan komitmen yang tinggi dari semua komponen
agar perubahan itu bisa segera dilakukan sebagai perwujudan reformasi dan perbaikan implementasi
demokrasi.
https://www.kompasiana.com/erlitaasakura/5fb1d29e8ede484e2d232442/persimpangan-etika-dan-paradigma-pemerintahan
Analisis
soal 2
A.
Bagaimanakah
sistem etika perilaku politik saat ini? Sudah sesuaikah dengan nilai-nilai
Pancasila? Jelaskan!
B.
Etika selalu terkait
dengan masalah nilai sehingga perbincangan tentang etika, pada umumnya
membicarakan tentang masalah nilai (baik atau buruk). Bagaimanakah etika
generasi muda yang ada di sekitar tempat tinggal mu? Apakah mencerminkan etika
dan nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia? Berikan solusi mengenai adanya
dekadensi moral yang saat ini terjadi !