Pada era Revolusi Industri 4.0, teknologi seperti Internet of Things (IoT), Kecerdasan Buatan (AI), dan Big Data telah mengubah cara manusia berkerja, berinteraksi, dan belajar. Akan tetapi, percepatan transformasi digital yang signifikan ini kerap kali tidak sejalan dengan peningkatan kesadaran lingkungan di kalangan generasi muda. Sebagian besar siswa lebih mengenal dunia digital daripada memahami isu-isu lingkungan di sekitarnya. Sebagai akibatnya, pendekatan Ecopedagogy menjadi penting untuk menghubungkan kesenjangan tersebut. Ecopedagogy bukan hanya memberikan pengetahuan mengenai lingkungan, namun juga mendorong siswa untuk berpikir kritis mengenai sistem sosial-ekonomi dan teknologi yang berpengaruh pada kelestarian bumi (Morrell & O’Connor, 2019). Dalam hal ini menjadi tantangan besar juga bagu guru, dimana guru harus mengembangkan model pembelajaran yang dapat menggabungkan nilai keberlanjutan dengan pola pikir digital yang khas dari generasi milenial dan Gen-Z.
Pendekatan Ecopedagogy yang efektif bagi generasi digital dapat dikembangkan melalui pembelajaran proyek lingkungan yang memanfaatkan teknologi Revolusi Industri 4.0. Menurut laporan Deloitte (2014), ciri-ciri utama Industry 4.0 meliputi jaringan vertikal, integrasi horizontal, dan rekayasa melalui yang menggabungkan sistem fisik dan virtual dalam sebuah jaringan pintar (sistem produksi siber-fisik). Prinsip ini dapat diterapkan dalam pendidikan melalui proyek "ekosistem cerdas sekolah," contohnya siswa merancang sistem pantauan lingkungan berbasis IoT untuk mengukur kualitas udara, suhu, atau kelembaban di sekitar sekolah. Data itu dianalisis dengan aplikasi berbasis cloud computing dan disajikan dalam bentuk visual interaktif. Oleh karena itu, siswa tidak hanya memahami konsep lingkungan dari segi teori, tetapi juga terlibat secara langsung dalam penelitian berbasis data yang otentik, yang sekaligus mengembangkan keterampilan literasi digital dan ekologis mereka (Deloitte, 2014:3–6)
Selain IoT, penerapan Kecerdasan Buatan (AI) juga dapat memperkuat praktik Ecopedagogy. Menurut temuan Sogeti Things3 Report (VINT, 2014), AI dan komunikasi Machine-to-Machine (M2M) memungkinkan sistem digital beroperasi secara mandiri dan responsif terhadap perubahan di lingkungan sekitar. Dalam bidang pendidikan, AI dapat dimanfaatkan untuk menganalisis citra satelit yang bertujuan memantau deforestasi atau pencemaran air, sehingga siswa dapat belajar menghubungkan data teknologi dengan kondisi ekologis yang nyata. Augmented Reality (AR) juga dapat dimanfaatkan untuk menyajikan simulasi interaktif mengenai pengaruh perubahan iklim terhadap ekosistem hutan atau lautan. Pendekatan ini mengubah pembelajaran lingkungan yang awalnya bersifat naratif menjadi pengalaman mendalam yang menumbuhkan empati ekologis siswa melalui teknologi (Komputasi Empatik) (VINT, 2014)
Integrasi teknologi ini tidak hanya meningkatkan antusiasme belajar, tetapi juga menanamkan kesadaran kritis bahwa perkembangan teknologi harus ditujukan untuk keberlanjutan manusia dan lingkungan. Ini sejalan dengan konsep Society 5.0 yang muncul di Jepang, di mana masyarakat menjadikan teknologi sebagai alat untuk mengatasi masalah sosial dan ekologis, bukan hanya sebagai instrumen ekonomi. Laporan mengenai Industry 4.0 menyatakan bahwa teknologi eksponensial seperti kecerdasan buatan, robot, dan sensor mampu meningkatkan efisiensi energi, mengurangi sampah, serta mendukung sistem produksi yang berkelanjutan jika diarahkan dengan tepat (Deloitte, 2014). Oleh sebab itu, pendidikan yang menghubungkan Ecopedagogy dengan teknologi digital tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif, tetapi juga menanamkan tanggung jawab sosial serta etika digital-ekologis pada siswa
Integrasi nilai-nilai Ecopedagogy dengan teknologi Industry 4.0 merupakan langkah nyata menuju komunitas Society 5.0 yang berfokus pada manusia. Dalam hal ini, teknologi harus dimanfaatkan untuk memperbaiki kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Dengan mendidik siswa untuk menciptakan inovasi digital yang ramah lingkungan seperti sistem pengelolaan sampah otomatis menggunakan sensor, atau aplikasi pemetaan pohon di sekolah pendidikan berfungsi sebagai alat untuk memperkuat karakter dan tanggung jawab global. Ecopedagogy digital mengembangkan generasi eco-innovator, yaitu individu yang paham teknologi sekaligus peduli lingkungan. Dengan pembelajaran ini, siswa menyadari bahwa setiap inovasi teknologi membawa tanggung jawab ekologis dan etika sosial (UNESCO, 2021).
Dengan demikian, perpaduan antara Industry 4.0 dan Ecopedagogy menawarkan paradigma pendidikan baru yang tidak hanya membekali generasi dengan kemampuan digital, tetapi juga memiliki karakter ekologis. Teknologi seperti IoT, AI, dan Big Data harus digunakan sebagai alat pembelajaran yang kritis, empatik, dan kolaboratif untuk menciptakan masyarakat Society 5.0 yang adil dan berkelanjutan. Ecopedagogy yang berbasis teknologi akhirnya berfungsi sebagai penghubung antara kemajuan sains dan tanggung jawab etis, membangun keseimbangan antara manusia, teknologi, dan alam.
Deloitte. (2014). Industry 4.0: Challenges and Solutions for the Digital Transformation and Use of Exponential Technologies. Zurich: Deloitte AG.
Sogeti VINT. (2014). Things3: The Internet of Things and Empathetic Computing. VINT Research Report.
Morrell, D., & O’Connor, J. (2019). Ecopedagogy and Critical Environmental Education: Rethinking Learning in the Anthropocene. New York: Routledge.
UNESCO. (2021). Education for Sustainable Development: Towards Achieving the SDGs (ESD for 2030). Paris: UNESCO.