Diskusi

Diskusi

Diskusi

Number of replies: 5

Cobalah anda amati fenomena alam dalam satu dasawarsa terakhir, silakan anda analsis korelasi antara manusia dan perubahan fenomena alam. Seberapa besar pengaruh manusia dalam menjaga eksistensi alam bagi generasi mendatang.

In reply to First post

Re: Diskusi

by amaradina fatia sari -
Nama : Amaradina Fatia Sari
NPM : 2523031004

Dalam satu dasawarsa terakhir, fenomena alam menunjukkan perubahan yang sangat signifikan dan mengkhawatirkan. Kita menyaksikan meningkatnya frekuensi bencana alam seperti banjir, kekeringan ekstrem, kebakaran hutan, tanah longsor, hingga pemanasan global yang semakin terasa dampaknya. Fenomena-fenomena tersebut bukan lagi semata-mata proses alami bumi, tetapi sangat erat kaitannya dengan aktivitas manusia yang berlebihan dan kurang bijaksana dalam mengelola sumber daya alam. Terdapat korelasi yang kuat antara perilaku manusia dan perubahan fenomena alam. Eksploitasi hutan tanpa reboisasi, penggunaan energi fosil yang tinggi, polusi udara, penimbunan sampah plastik, serta urbanisasi yang tidak terencana menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem bumi. Misalnya, penggundulan hutan besar-besaran untuk kepentingan industri dan pertanian menyebabkan berkurangnya daya serap karbon dioksida, sehingga mempercepat efek rumah kaca dan memicu perubahan iklim global. Begitu pula pencemaran laut oleh limbah plastik dan kimia menyebabkan kerusakan ekosistem laut serta menurunnya keanekaragaman hayati. Semua ini menunjukkan bahwa manusia adalah faktor utama penyebab percepatan degradasi lingkungan.
Namun, di sisi lain, manusia juga memiliki peran besar dalam menjaga dan memulihkan keseimbangan alam. Melalui inovasi teknologi hijau, pendidikan lingkungan, serta kebijakan pembangunan berkelanjutan, manusia dapat menjadi agen perubahan yang menjaga eksistensi alam untuk generasi mendatang. Gerakan global seperti go green, zero waste, renewable energy, dan carbon neutrality menjadi bukti bahwa kesadaran ekologis mulai tumbuh di berbagai belahan dunia. Pendidikan, terutama pendidikan IPS dan lingkungan hidup, memegang peranan penting dalam menanamkan nilai tanggung jawab ekologis sejak dini agar peserta didik memahami bahwa kelangsungan hidup manusia bergantung pada kelestarian alam.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara manusia dan alam bersifat timbal balik dan sangat menentukan keberlanjutan kehidupan. Ketika manusia memperlakukan alam dengan keserakahan, alam akan merespons dengan bencana; sebaliknya, ketika manusia menjaga dan menghormati alam, alam akan memberikan keberkahan dan kelangsungan hidup yang harmonis. Oleh karena itu, menjaga eksistensi alam bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga tanggung jawab sosial dan generasional. Manusia harus bertindak sebagai penjaga bumi bukan penguasa yang mengeksploitasi, melainkan pengelola yang arif dan beretika terhadap lingkungan, agar generasi mendatang tetap dapat menikmati bumi yang layak, sehat, dan berkelanjutan.
In reply to First post

Re: Diskusi

by HabibahHusnul 2523031006 -
Nama: Habibah Husnul Khotimah
NPM: 2523031006


Fenomena alam dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan perubahan yang semakin ekstrem dan tidak menentu mulai dari peningkatan suhu global, banjir besar, kekeringan panjang, hingga kebakaran hutan yang meluas. Perubahan-perubahan ini tidak hanya merupakan dinamika alam semata, tetapi memiliki korelasi kuat dengan aktivitas manusia. Emisi gas rumah kaca dari industri, transportasi, dan penggunaan energi fosil mempercepat pemanasan global, sementara deforestasi menghilangkan kemampuan alam untuk menyerap karbon dan menjaga stabilitas iklim. Urbanisasi yang tidak terkendali juga mengubah keseimbangan ekosistem lokal sehingga memicu banjir, penurunan kualitas udara, serta meningkatnya suhu perkotaan. Polusi plastik maupun limbah industri memperburuk kondisi ekosistem laut dan daratan sehingga keanekaragaman hayati menurun dengan cepat. Melalui berbagai penelitian iklim terkini, seperti laporan IPCC (2018, 2021) dan kajian keberlanjutan lingkungan oleh Rockström et al. (2018), disimpulkan bahwa lebih dari 70% perubahan fenomena ekstrem dalam dekade terakhir dipicu aktivitas manusia. Artinya, manusia bukan hanya penyebab utama kerusakan, melainkan juga aktor yang memiliki pengaruh paling besar untuk memulihkan dan menjaga eksistensi alam bagi generasi mendatang.

Pengaruh manusia terhadap keberlanjutan alam sangat signifikan karena keputusan hari ini menentukan daya dukung bumi di masa depan. Upaya mengurangi emisi, menghentikan deforestasi, memulihkan ekosistem, mengembangkan energi terbarukan, serta menerapkan gaya hidup berkelanjutan mampu memperlambat laju perubahan iklim. Berbagai studi menunjukkan bahwa pemulihan lingkungan dapat terjadi dengan cepat jika intervensi manusia dilakukan secara kolektif. Sebagai contoh, rehabilitasi mangrove mampu menurunkan abrasi dan meningkatkan keanekaragaman hayati pesisir, sementara reforestasi mampu memulihkan kualitas tanah dan udara dalam waktu relatif singkat. Ini membuktikan bahwa manusia memiliki ruang kendali yang besar terhadap keberlanjutan alam. Oleh karena itu, menjaga eksistensi alam bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi sebuah keharusan untuk menjamin keberlanjutan hidup generasi mendatang, karena kesehatan bumi saat ini adalah fondasi kehidupan manusia pada masa depan.

In reply to First post

Re: Diskusi

by Resti Apriliyani -
Nama : Resti Apriliyani
NPM : 2523031007

Dalam satu dasawarsa terakhir, fenomena alam menunjukkan dinamika yang semakin kompleks dan sering kali ekstrem. Perubahan cuaca yang sulit diprediksi, meningkatnya suhu bumi, frekuensi bencana alam yang lebih tinggi, hingga degradasi ekosistem menjadi indikator bahwa alam sedang mengalami tekanan serius. Jika diamati lebih dalam, terdapat korelasi kuat antara aktivitas manusia dan perubahan-perubahan tersebut—keduanya saling memengaruhi secara timbal balik dalam sebuah hubungan sebab-akibat yang berkelanjutan.

Manusia, melalui perkembangan industri, urbanisasi, dan eksploitasi sumber daya alam, telah menjadi faktor dominan yang mempercepat perubahan fenomena alam. Emisi gas rumah kaca akibat aktivitas kendaraan bermotor, pabrik, dan pembakaran hutan mendorong peningkatan suhu global (global warming) yang berdampak pada perubahan iklim (climate change). Perubahan iklim ini kemudian memicu fenomena alam seperti curah hujan ekstrem, kekeringan yang berkepanjangan, angin siklon yang lebih kuat, serta mencairnya es di kutub yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Artinya, tindakan manusia tidak hanya mengubah kondisi atmosfer, tetapi juga memanipulasi keseluruhan sistem ekologi bumi hingga batas yang mengkhawatirkan.

Lebih jauh lagi, kelalaian manusia dalam menjaga lingkungan—seperti deforestasi, pencemaran laut, dan perusakan habitat—membuat alam kehilangan ketahanan alaminya. Ekosistem yang seharusnya menjadi pelindung alami dari bencana (misalnya hutan sebagai penyerap karbon atau mangrove sebagai penahan ombak) kini semakin rapuh. Akibatnya, ketika fenomena alam terjadi, dampaknya menjadi jauh lebih besar dan merugikan kehidupan manusia sendiri. Dengan kata lain, manusia bukan hanya memperburuk kondisi alam, tetapi juga membuat dirinya semakin rentan terhadap ancaman alam yang tercipta.

Namun, korelasi ini bukan hanya menunjukkan dampak buruk. Di sisi lain, manusia juga memiliki peluang besar untuk memperbaiki kerusakan alam dan menjaga keberlanjutannya bagi generasi mendatang. Teknologi ramah lingkungan, energi terbarukan, reboisasi, dan sistem tata kelola lingkungan berkelanjutan merupakan bukti bahwa manusia mampu menjadi penjaga bumi, bukan hanya perusaknya. Pengaruh manusia sangat besar—baik untuk merusak maupun melindungi. Ketika kesadaran ekologis meningkat dan kebijakan lingkungan diterapkan secara konsisten, manusia dapat memulihkan ekosistem yang rusak serta mengurangi laju perubahan iklim.

Pada akhirnya, keberlanjutan alam sepenuhnya bergantung pada cara manusia memperlakukan bumi. Jika manusia tetap abai dan eksploitasi terus berlanjut, maka generasi mendatang akan mewarisi krisis lingkungan yang semakin sulit dipulihkan. Sebaliknya, jika manusia mengambil peran aktif dalam konservasi, rehabilitasi, dan inovasi ekologis, maka eksistensi alam dapat terjaga sebagai warisan berharga bagi generasi selanjutnya. Dengan memahami korelasi kuat antara tindakan manusia dan dinamika fenomena alam, kita diingatkan bahwa menjaga bumi bukan sekadar pilihan moral, tetapi sebuah kewajiban untuk memastikan keberlangsungan hidup seluruh makhluk di masa depan.
In reply to First post

Re: Diskusi

by Ahmad Ridwan Syuhada -
Ahmad Ridwan Syuhada
2523031008

Dalam satu dasawarsa terakhir, bumi mengalami transformasi ekologis yang dramatis. Kita menyaksikan pencairan es di kutub yang semakin cepat, naiknya permukaan air laut, gelombang panas ekstrem yang memecahkan rekor, serta curah hujan yang tidak menentu—kadang membawa banjir bandang, kadang menyebabkan kekeringan berkepanjangan. Fenomena El Niño dan La Niña kini datang dengan intensitas yang lebih kuat dan pola yang sulit diprediksi. Kebakaran hutan di Amazon, Australia, dan Indonesia menunjukkan skala kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Badai tropis dan siklon menjadi lebih sering dan destruktif. Semua indikator ini menunjukkan bahwa bumi sedang dalam kondisi darurat klimatik yang memerlukan respons segera.
Korelasi antara aktivitas manusia dan perubahan fenomena alam ini sangat jelas dan telah dikonfirmasi oleh ribuan studi ilmiah. Revolusi industri yang dimulai sejak abad ke-18 telah meningkatkan emisi gas rumah kaca secara eksponensial, terutama karbon dioksida dan metana. Aktivitas seperti pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik, penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil, deforestasi masif untuk perkebunan kelapa sawit dan pertanian monokultur, serta industri peternakan intensif telah mengubah komposisi atmosfer bumi secara fundamental. Data menunjukkan bahwa suhu rata-rata global telah meningkat sekitar 1,2 derajat Celsius dibandingkan era pra-industri, dan kita berada di ambang batas kritis 1,5 derajat yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Fenomena ini bukan siklus alami biasa, melainkan akselerasi perubahan yang dipicu oleh jejak karbon manusia.
Lebih dari itu, pola konsumsi modern yang cenderung eksesif dan pemborosan turut memperparah situasi. Budaya konsumerisme yang didorong oleh sistem ekonomi global menciptakan permintaan yang tidak terbatas terhadap sumber daya yang terbatas. Fast fashion menghasilkan jutaan ton limbah tekstil setiap tahun, sementara sampah elektronik mencemari tanah dan air dengan logam berat beracun. Penggunaan plastik sekali pakai menciptakan darurat polusi yang mencekik lautan—diperkirakan pada tahun 2050, jumlah plastik di laut akan melebihi jumlah ikan jika tidak ada perubahan radikal. Pertanian modern dengan penggunaan pestisida dan pupuk kimia berlebihan merusak kesuburan tanah dan mencemari sumber air bersih. Urbanisasi yang pesat tanpa perencanaan matang menciptakan pulau-pulau panas perkotaan dan mengurangi ruang hijau yang vital untuk menyerap polusi udara.
Namun demikian, kesadaran global terhadap krisis ekologis ini juga berkembang pesat dalam dasawarsa terakhir. Generasi muda menjadi motor penggerak gerakan climate action, menuntut akuntabilitas dari pemerintah dan korporasi. Inisiatif seperti circular economy, urban farming, reforestation projects, dan pengembangan energi terbarukan (solar, wind, hydro) menunjukkan bahwa solusi-solusi inovatif sedang dikembangkan. Berbagai negara mulai berkomitmen pada transisi energi hijau dan meninggalkan batu bara. Teknologi seperti carbon capture, kendaraan listrik, dan smart grid menawarkan harapan baru. Di tingkat individu, gaya hidup minimalis, diet plant-based, dan conscious consumption mulai menjadi tren yang bermakna. Semua ini membuktikan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berinovasi dan beradaptasi ketika menghadapi ancaman eksistensial.
Pengaruh manusia dalam menjaga eksistensi alam bagi generasi mendatang sangatlah besar—bahkan bersifat determinatif. Kita berada di titik kritis sejarah di mana keputusan yang kita ambil hari ini akan menentukan apakah cucu-cucu kita akan mewarisi planet yang masih layak huni atau dunia yang penuh dengan krisis pangan, kelangkaan air bersih, dan konflik sumber daya. Pendidikan memegang kunci transformasi ini. Melalui pendidikan IPS, sains, dan pendidikan karakter yang menekankan etika lingkungan, kita dapat membentuk generasi yang memiliki ecological literacy—memahami bahwa manusia bukan entitas terpisah dari alam, melainkan bagian integral dari jaring kehidupan yang saling bergantung. Kurikulum yang mengintegrasikan isu-isu keberlanjutan, pemikiran kritis tentang konsumsi, dan keterampilan solusi masalah lingkungan akan menciptakan warga negara yang lebih bertanggung jawab.
Pada akhirnya, hubungan manusia dengan alam adalah cerminan dari sistem nilai dan pilihan kolektif kita sebagai spesies. Jika kita memilih jalan keserakahan, individualisme ekstrem, dan pertumbuhan ekonomi tanpa batas, maka kita sedang menggali kuburan kita sendiri. Namun jika kita memilih jalan kebijaksanaan, solidaritas ekologis, dan pembangunan berkelanjutan yang menempatkan kesejahteraan planet di atas profit jangka pendek, maka masih ada harapan. Generasi mendatang berhak mendapatkan warisan berupa hutan yang rimbun, sungai yang jernih, udara yang bersih, dan keanekaragaman hayati yang kaya—bukan tanah tandus, laut yang mati, dan iklim yang kacau. Ini adalah ujian moral terbesar peradaban kita, dan jawaban atas ujian ini akan ditulis melalui tindakan nyata kita mulai hari ini, bukan hanya melalui janji-janji dan deklarasi yang kosong. Menjaga alam adalah menjaga masa depan manusia itu sendiri.
In reply to First post

Re: Diskusi

by Maria Ulfa Rara Ardhika -
Nama: Maria Ulfa Rara Ardhika
NPM: 2523031009

Fenomena alam yang saya amati saya fokuskan dalam lingkup provinsi lampung. Dalam dekade terakhir, Provinsi Lampung menghadapi manifestasi perubahan iklim yang signifikan, ditandai oleh peningkatan variabilitas cuaca ekstrem serta frekuensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran lahan. Analisis data iklim historis dan kebijakan kontemporer menunjukkan bahwa agensi manusia memainkan peran ganda yang krusial: di satu sisi, aktivitas antropogenik memperburuk kerentanan ekologis; di sisi lain, intervensi manusia melalui upaya mitigasi dan adaptasi menjadi kunci untuk membangun resiliensi (IPCC, 2021; KLHK, 2022).
Salah satu ancaman utama adalah fenomena El Niño, yang oleh Pemerintah Provinsi Lampung diidentifikasi sebagai pemicu kekeringan berkepanjangan, peningkatan risiko kebakaran hutan, serta gangguan terhadap ketahanan air dan pangan. Sebagai respons, Pemprov telah merumuskan langkah-langkah strategis antisipatif. Contoh konkret adalah rapat koordinasi Dinas Perkebunan pada Agustus 2023, yang menyiapkan strategi menghadapi potensi penurunan produksi padi melalui penjadwalan ulang kalender tanam dan pengelolaan lahan seluas 100.000 hektare (Pemprov Lampung, 2023). Tindakan preventif ini menggarisbawahi peran proaktif pemerintah dalam menjaga stabilitas sosio-ekonomi dari guncangan iklim.
Validasi empiris mengenai perubahan iklim di Lampung terkonfirmasi melalui studi historis. Penelitian di Kabupaten Lampung Selatan selama periode 1991–2020 mendokumentasikan adanya tren perubahan curah hujan, peningkatan suhu udara, serta pergeseran pola musim yang semakin tidak prediktif. Studi tersebut menegaskan bahwa fluktuasi mengenai musim basah dan musim kering bukan sekadar variasi alamiah, tetapi mencerminkan dampak kumulatif dari aktivitas manusia, termasuk emisi gas rumah kaca dan perubahan tata guna lahan secara intensif (Hidayati et al., 2022).
Dampak perubahan iklim termanifestasi secara nyata pada sektor vital seperti pertanian dan pangan. Banjir di Lampung Selatan, misalnya, tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi, tetapi juga secara langsung dan tidak langsung menekan ketersediaan pangan lokal. Studi Agustina et al. (2023) mendokumentasikan bahwa kejadian banjir memengaruhi produksi tanaman pangan dan mengancam ketahanan pangan masyarakat. Temuan ini memperlihatkan bagaimana intervensi manusia dalam tata ruang dan pengelolaan daerah aliran sungai dapat mengeksaserbasi dampak bencana alam. Di wilayah pesisir, seperti Desa Kelawi dan Maja, nelayan dan petambak menghadapi tantangan eksistensial akibat fluktuasi cuaca, peningkatan suhu laut, dan perubahan pola hujan yang mengganggu sistem produksi perikanan (Sari & Nurhayati, 2021).
Menyadari kompleksitas ancaman ini, pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan telah menginisiasi sejumlah program strategis. Pemprov Lampung mengintegrasikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) ke dalam agenda pembangunan daerah, dengan fokus pada penguatan sinergi antar-stakeholder, peningkatan kapasitas kelembagaan lokal, serta pemberdayaan masyarakat (BPBD Lampung, 2022). Inisiatif ini diperkuat oleh program berbasis komunitas seperti Program Kampung Iklim (ProKlim), yang mendorong desa untuk secara mandiri melaksanakan aksi adaptasi, seperti konservasi air, dan mitigasi, seperti penanaman pohon dan pengurangan emisi skala lokal (KLHK, 2022). Di tingkat akademis, Universitas Lampung turut berperan melalui sosialisasi dan pendampingan masyarakat pesisir dalam memahami risiko iklim dan strategi adaptasi (Universitas Lampung, 2021).
Secara keseluruhan, dinamika fenomena alam di Lampung selama satu dasawarsa terakhir tidak dapat dipisahkan dari peran sentral manusia. Aktivitas antropogenik telah terbukti meningkatkan kerentanan ekosistem, namun di saat yang sama, kesadaran kolektif serta tindakan terstruktur dari pemerintah, akademisi, dan masyarakat menunjukkan potensi besar manusia sebagai agen pemulihan. Prospek keberlanjutan ekologis Lampung di masa depan sangat bergantung pada konsistensi dan skalabilitas langkah-langkah adaptif dan mitigatif ini. Jika kolaborasi multistakeholder, pemberdayaan komunitas lokal, serta implementasi kebijakan pro-lingkungan terus diperkuat, manusia dapat bertransisi dari “penyebab masalah” menjadi arsitek solusi dalam menjaga kelestarian alam untuk generasi mendatang.

Referensi;
Agustina, R., Prasetyo, H., & Lestari, D. (2023). Dampak banjir terhadap ketahanan pangan lokal di Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Ekonomi Pangan dan Agraria, 11(2), 145–158.
BPBD Lampung. (2022). Laporan Pengurangan Risiko Bencana Provinsi Lampung 2022. Bandar Lampung: Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Hidayati, N., Fadilah, R., & Wahyudi, S. (2022). Tren perubahan curah hujan dan suhu udara di Lampung Selatan periode 1991–2020. Jurnal Fisika dan Lingkungan Indonesia, 8(1), 33–44.
IPCC. (2021). Climate Change 2021: The Physical Science Basis. Cambridge University Press.
KLHK. (2022). Pelaksanaan Program Kampung Iklim (ProKlim) dalam penguatan adaptasi perubahan iklim. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pemprov Lampung. (2023). Rapat Koordinasi Mitigasi El Niño dan Penguatan Ketahanan Pangan. Bandar Lampung: Pemerintah Provinsi Lampung.
Sari, L., & Nurhayati, A. (2021). Kerentanan masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim di Lampung Selatan. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Lingkungan, 9(3), 201–214.
Universitas Lampung. (2021). Program Pendampingan Adaptasi Perubahan Iklim pada Masyarakat Pesisir Lampung Selatan. LPPM Unila.