FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

Number of replies: 21

Analisis Jurnal tersebut dengan menggunakan bahasa anda sendiri, terlebih dahulu tulis nama, npm, dan kelas

In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Muhammad Ilham -
NAMA : MUHAMMAD ILHAM
NPM : 2115011087
KELAS : C
ANALISIS JURNAL PERTEMUAN 9

Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik.Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat.
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan.
Tantangan pendalaman demokrasi semakin besar ketika kondisi sosial, ekonomi, politik dan hukum juga kurang memadai. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas pemilu dan demokrasi, tapi juga stabilitas nasional. Apalagi ketika pemilu berlangsung di tengah keterbelahan sosial, menyeruaknya berita-berita sensasional di medsos, ujaran kebencian dan maraknya berita-berita hoax membuat hasil pemilu rentan dengan sengketa dan konflik.
Sejauh ini Indonesia mampu melaksanakan pemilu yang aman dan damai. Pemilu 2019 yang kompleks, dengan tingkat kerumitan yang cukup tinggi dan hasilnya yang dipersoalkan menjadi pelajaran yang sangat berharga. Pemilu yang berkualitas memerlukan parpol dan koalisi parpol yang juga berkualitas. Ini penting karena pemilu tidak hanya merupakan sarana suksesi kepemimpinan yang aspiratif, adil dan damai, tapi juga menjadi taruhan bagi ketahanan sosial rakyat dan eksistensi NKRI. Tantangan yang cukup besar dalam menjalani pemilu serentak 2019 membuat konsolidasi demokrasi yang berkualitas sulit terbangun. Nilai-nilai demokrasi dalam pilpres tak cukup dikedepankan. Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Zillia Chairani -
Nama : Zillia Chairani
NPM : 2115011028
Kelas : C

Izin memberikan tanggapan analisis jurnal

Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat. Pemilu Serentak 2019 merupakan pemilu kelima yang dilaksanakan pada era transisi demokrasi, sekaligus pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia melaksanakan pemilu legislatif bersamaan dengan pemilu presiden-wakil presiden.
Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
Pemilu dan Kegagalan Parpol
Tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu.
Pemilu dalam Masyarakat Plural
Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilainilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup tajam. Penggunaan istilah “cebong” sebagai julukan pendukung Jokowi dan “kampret” sebagai julukan pendukung Prabowo bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Demikian juga dengan penggunaan politisasi identitas (SARA).
Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Tak sedikit ditemukan kasus penggunaan fasilitas pemerintah pusat/daerah (Pemda) untuk pemenangan calon tertentu/petahana dalam pemilu/pilkada. Penggunaan anggaran daerah untuk pemenangan calon tertentu pun sulit dihindarkan karena kentalnya politisasi birokrasi.
Dalam pelaksanaan Pemilu, nilai-nilai demokrasi dalam pilpres tak cukup dikedepankan. Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.

Sekian terimakasih.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Lisa Alfina Damayanti -
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Nama : Lisa Alfina Damayanti
NPM : 2115011079
Kelas : C

Izin memberi tanggapan pada jurnal pertemuan 9 “DEMOKRASI DAN PEMILU PRESIDEN 2019”

Pada hakikatnya sistem pemilihan umum dibangun agar terwujud penyelenggaraan pemilihan umum yang mampu dipertanggungjawabkan, baik secara proses maupun hasilnya. Sistem pemilu yang dilaksanakan harus mampu mengimplementasikan seluruh keinginan masyarakat, sehingga angka partisipasi masyarakat dapat meningkat. Dalam suatu demokrasi perlu adanya pihak di luar pemerintah untuk menjadi penyeimbang dari berjalanya pemerintahan, agar tidak terjadinya kekuasaan berlebih yang dipegang oleh satu pihak. Pada Pemilu 2019 ini, terdapat dua kubu besar yang memperebutkan posisi eksekutif di Indonesia. Pada Pemilu tersebut, Pemilihan Presiden (Pilpres) dilaksanakan bersamaan dengan Pemilu Legislatif. Proses kampanye Pilpres juga mengalami dinamika dan eskalasi yang kuat dimana terjadi saling menyerang kelemahan masing-masing Calon Presiden oleh para pendukungnya masing-masing. Hal tersebut membawa dampak pada keberadaan dan perkembangan demokrasi di Indonesia yang belum sempurna dan masih memunculkan praktik politik yang mengurangi makna hakikat demokrasi. Fenomena pelaksanaan kekuasaan (power exercise) hingga saat ini masih minim kontrol karena kekuatan penyeimbang yang notabene melekat pada kelompok oposisi dimana hal ini perlu lebih diperhatikan. Dalam dinamika politik pemilu 2019 di Indonesia, beberapa hal yang terjadi justru membuat terjadinya demokrasi menjadi semakin melemah. Beberapa partai peserta pemilu justru melakukan perubahan sikap setelah mengetahui atau mendapat indikasi bahwa pihak yang mereka dukung mengalami kekalahan. Pada Pilpres 2019 salah satu hal yang menjadi berbahaya adalah karena mengabaikan heterogenitas masyarakat dimana pemilu itu dilaksanakan, dan membuat “jurang pemisah” antar masyarakat. Hal tersebut sangat berbahaya bila diterapkan di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan aliran kepercayaan. Pada Pilpres 2019 juga marak penyebaran hoax yang berdasarkan fitnah atau berita-berita yang belum tentu kebenarannya, yang diekspos oleh oknum-oknum pendukung Capres/Cawapres untuk menjatuhkan nama baik Capres/Cawapres di pihak lawan. Treatment selanjutnya yang dapat dilakukan adalah Pemerintah dan Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR RI dan DPD RI) perlu mengajak semua tokoh masyarakat, baik tokoh politik atau tokoh agama, agar mereka semua harus bersama-sama memberikan contoh yang baik, menyadarkan, membangun kembali persatuan berdasarkan kesadaran berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Sekian Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by 2115011057_Muhammad Derrin Toshiro -
NAMA : Muhammad Derrin Toshiro
NPM : 2115011057
KELAS : C

Izin memaparkan menanggapi analisis jurnal,

Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat dan semarak setelah dilaksanakannya pemilu presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak 2005. Demokrasi yang berlangsung di daerahdaerah merupakan landasan utama bagi berkembangnya demokrasi di tingkat nasional.
Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat. Pemilu Serentak 2019 merupakan pemilu kelima yang dilaksanakan pada era transisi demokrasi, sekaligus pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia melaksanakan pemilu legislatif bersamaan dengan pemilu presiden-wakil presiden.
Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Tak sedikit ditemukan kasus penggunaan fasilitas pemerintah pusat/daerah (Pemda) untuk pemenangan calon tertentu/petahana dalam pemilu/pilkada. Penggunaan anggaran daerah untuk pemenangan calon tertentu pun sulit dihindarkan karena kentalnya politisasi birokrasi.
Dalam pelaksanaan Pemilu, nilai-nilai demokrasi dalam pilpres tak cukup dikedepankan. Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by I Gusti Komang Satria Guna Wibawa -
NAMA : I Gusti Komang Satria Guna Wibawa
NPM : 2115011008
KELAS : C
Izin memberikan tanggapan analisis jurnal pertemuan 9
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik.Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presidenPemilu Serentak 2019 merupakan pemilu kelima yang dilaksanakan pada era transisi demokrasi, sekaligus pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia melaksanakan pemilu legislatif bersamaan dengan pemilu presiden-wakil presiden.
Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Tetapi, hal tersebut tidak dengan sendirinya memberikan jaminan kemenangan.
Pemilu dan Kegagalan Parpol
parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut sebagai vote getter partai dalam pemilu.
Pemilu dalam Masyarakat Plural
Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula. Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilainilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana empat pilar kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup tajam. Penggunaan istilah “cebong” sebagai julukan pendukung Jokowi dan “kampret” sebagai julukan pendukung Prabowo bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Demikian juga dengan penggunaan politisasi identitas (SARA).
Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Politisasi birokrasi makin tampak nyata dengan dijadikannya menteri-menteri, kepalakepala lembaga, kepala-kepala daerah sebagai pemenangan paslon dalam pilpres. Artinya, birokrasi terlibat politik praktis tak hanya di pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah.
Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Prasyarat untuk menciptakan hal tersebut memerlukan prakondisi dan komitmen semua elemen bangsa untuk mematuhi peraturan yang ada. . Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif
Sekian tanggapan analisis jurnal, terima kasih
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Setyawan Setyawan Novanto -
Nama: Setyawan Novanto
NPM: 2115011019
Kelas: C

Menganalisa dari jurnal tersebut bahwa, Pada hakikatnya sistem pemilihan umum dibangun agar terwujud penyelenggaraan pemilihan umum yang mampu dipertanggungjawabkan, baik secara proses maupun hasilnya. Akan tetapi saat pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik.Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat. Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik.Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilainilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana empat pilar kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup tajam. Penggunaan istilah “cebong” sebagai julukan pendukung Jokowi dan “kampret” sebagai julukan pendukung Prabowo bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Demikian juga dengan penggunaan politisasi identitas (SARA). Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Politisasi birokrasi makin tampak nyata dengan dijadikannya menteri-menteri, kepalakepala lembaga, kepala-kepala daerah sebagai pemenangan paslon dalam pilpres. Artinya, birokrasi terlibat politik praktis tak hanya di pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah.
Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Prasyarat untuk menciptakan hal tersebut memerlukan prakondisi dan komitmen semua elemen bangsa untuk mematuhi peraturan yang ada. . Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Fathan Naufal Ahsan -
Nama : Fathan Naufal Ahsan
NPM : 2115011108
Kelas : C

Analisi Jurnal Pertemuan 9

Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik.Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat.

*Deepening Democracy dan Tantangannya
Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat

*Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa.

Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Tetapi, hal tersebut tidak dengan sendirinya memberikan jaminan kemenangan.

*Pemilu dalam Masyarakat Plural
Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula. Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilainilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana empat pilar kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup tajam. Penggunaan istilah “cebong” sebagai julukan pendukung Jokowi dan “kampret” sebagai julukan pendukung Prabowo bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Demikian juga dengan penggunaan politisasi identitas (SARA).

*Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Politisasi birokrasi makin tampak nyata dengan dijadikannya menteri-menteri, kepalakepala lembaga, kepala-kepala daerah sebagai pemenangan paslon dalam pilpres. Artinya, birokrasi terlibat politik praktis tak hanya di pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah.
Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Prasyarat untuk menciptakan hal tersebut memerlukan prakondisi dan komitmen semua elemen bangsa untuk mematuhi peraturan yang ada. . Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif

Mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan
terima kasih.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Ismi Fadia -
Assalamualaikum wr.wb
Izin memperkenalkan diri :
Nama : Ismi Fadia
NPM : 2115011026
Kelas : C

Izin memberikan tanggapan berupa analisis terkait jurnal pada pertemuan ke-9.
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilprespun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat.

1. Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat.

2. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa.

3. Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.

4. Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik.

5. Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya.

Sekian tanggapan saya terkait artikel di atas, terimakasih pak.
Wassalamualaikum wr.wb
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Eric Rizqy Kharisma -
Nama: Eric Rizqy Kharisma
NPM: 2115011018
Kelas: C

Izin menangggapi Jurnal yang telah diberikan,

Demokrasi secara sederhana bisa dimaknai menjadi ‘pemerintahan berdasarkan warga , sang warga , & buat warga ’. Namun, buat mewujudkan makna tadi tidaklah gampang lantaran demokrasi memerlukan proses panjang & tahapan-tahapan krusial yg wajib dilalui, misalnya proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi adalah galat satu wahana buat menaikkan secara prinsip komitmen semua lapisan warga dalam anggaran main demokrasi. Ia nir hanya adalah proses politik yg terjadi dalam level prosedural forum-forum politik, namun pula dalam level warga . Demokrasi akan terkonsolidasi jika aktor-aktor politik, ekonomi, negara, warga sipil (political society, economic society, the state, & civil society) bisa mengedepankan tindakan demokratis menjadi cara lain primer buat meraih kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yg berlangsung ditentukan beberapa faktor,contohnya budaya politik, konduite aktor & kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tadi berlangsung nisbi dinamis, khususnya semenjak Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat & semarak selesainya dilaksanakannya pemilu presiden secara pribadi semenjak 2004 & pemilihan ketua wilayah (pilkada) secara pribadi semenjak 2005. Demokrasi yg berlangsung pada daerahdaerah adalah landasan primer bagi berkembangnya demokrasi pada taraf nasional.
Pemilu Presiden 2019 & Masalahnya
Sebagai pilar primer demokrasi, pemilu adalah wahana & momentum terbaik bagi warga , khususnya, buat menyalurkan aspirasi politiknya, menentukan wakil-wakil terbaiknya pada forum legislatif & presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan ketua wilayah & pemilihan presiden) & pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa buat mengelola politik & pemerintahan sinkron amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak politik & kebebasan sipil sudah dijamin sang konstitusi dan partisipasi politik warga semakin luas, pada tataran empirik pemilu masih belum bisa mengantarkan warga Indonesia sahih-sahih berdaulat. Pemilu Serentak 2019 adalah pemilu kelima yg dilaksanakan dalam era transisi demokrasi, sekaligus pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia melaksanakan pemilu legislatif bersamaan menggunakan pemilu presiden-wakil presiden.
Pemilu & Politisasi Birokrasi
Tak sedikit ditemukan masalah penggunaan fasilitas pemerintah pusat/wilayah (Pemda) buat pemenangan calon eksklusif/petahana pada pemilu/pilkada. Penggunaan aturan wilayah buat pemenangan calon eksklusif pun sulit dihindarkan lantaran kentalnya politisasi birokrasi.
Dalam aplikasi Pemilu, nilai-nilai demokrasi pada pilpres tidak relatif dikedepankan. Sebagai negara demokrasi angka 4 terbesar pada dunia, Indonesia sepertinya belum bisa menunjukkan dirinya menjadi negara yg menjalankan demokrasi substantif.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Fadel Azra -
Nama : Fadel Azra
NPM : 2115011078
Kelas : C

Izin menanggapi jurnal yang telah ditugaskan,

semenjak era Reformasi, Indonesia telah menggelar empat kali pemilu. namun, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) mempunyai konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik.Sebagaimana diketahui, buat ke 2 kalinya joko widodo (joko widodo) pulang berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. tidak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam rakyat.

Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat dan semarak setelah dilaksanakannya pemilu presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak 2005. Demokrasi yang berlangsung di daerahdaerah merupakan landasan utama bagi berkembangnya demokrasi di tingkat nasional.

Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat. Pemilu Serentak 2019 merupakan pemilu kelima yang dilaksanakan pada era transisi demokrasi, sekaligus pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia melaksanakan pemilu legislatif bersamaan dengan pemilu presiden-wakil presiden.

Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Tak sedikit ditemukan kasus penggunaan fasilitas pemerintah pusat/daerah (Pemda) untuk pemenangan calon tertentu/petahana dalam pemilu/pilkada. Penggunaan anggaran daerah untuk pemenangan calon tertentu pun sulit dihindarkan karena kentalnya politisasi birokrasi.
Dalam pelaksanaan Pemilu, nilai-nilai demokrasi dalam pilpres tak cukup dikedepankan. Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Merisa Trisda Yanti -
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Nama : Merisa Trisda Yanti
NPM : 2115011129
Kelas : C

Izin memberi tanggapan pada jurnal pertemuan 9 “DEMOKRASI DAN PEMILU PRESIDEN 2019”

Pada hakikatnya sistem pemilihan umum dibangun agar terwujud penyelenggaraan pemilihan umum yang mampu dipertanggungjawabkan, baik secara proses maupun hasilnya. Sistem pemilu yang dilaksanakan harus mampu mengimplementasikan seluruh keinginan masyarakat, sehingga angka partisipasi masyarakat dapat meningkat. Dalam suatu demokrasi perlu adanya pihak di luar pemerintah untuk menjadi penyeimbang dari berjalanya pemerintahan, agar tidak terjadinya kekuasaan berlebih yang dipegang oleh satu pihak. Pada Pemilu 2019 ini, terdapat dua kubu besar yang memperebutkan posisi eksekutif di Indonesia. Pada Pemilu tersebut, Pemilihan Presiden (Pilpres) dilaksanakan bersamaan dengan Pemilu Legislatif. Proses kampanye Pilpres juga mengalami dinamika dan eskalasi yang kuat dimana terjadi saling menyerang kelemahan masing-masing Calon Presiden oleh para pendukungnya masing-masing. Hal tersebut membawa dampak pada keberadaan dan perkembangan demokrasi di Indonesia yang belum sempurna dan masih memunculkan praktik politik yang mengurangi makna hakikat demokrasi. Fenomena pelaksanaan kekuasaan (power exercise) hingga saat ini masih minim kontrol karena kekuatan penyeimbang yang notabene melekat pada kelompok oposisi dimana hal ini perlu lebih diperhatikan. Dalam dinamika politik pemilu 2019 di Indonesia, beberapa hal yang terjadi justru membuat terjadinya demokrasi menjadi semakin melemah. Beberapa partai peserta pemilu justru melakukan perubahan sikap setelah mengetahui atau mendapat indikasi bahwa pihak yang mereka dukung mengalami kekalahan. Pada Pilpres 2019 salah satu hal yang menjadi berbahaya adalah karena mengabaikan heterogenitas masyarakat dimana pemilu itu dilaksanakan, dan membuat “jurang pemisah” antar masyarakat. Hal tersebut sangat berbahaya bila diterapkan di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan aliran kepercayaan. Pada Pilpres 2019 juga marak penyebaran hoax yang berdasarkan fitnah atau berita-berita yang belum tentu kebenarannya, yang diekspos oleh oknum-oknum pendukung Capres/Cawapres untuk menjatuhkan nama baik Capres/Cawapres di pihak lawan. Treatment selanjutnya yang dapat dilakukan adalah Pemerintah dan Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR RI dan DPD RI) perlu mengajak semua tokoh masyarakat, baik tokoh politik atau tokoh agama, agar mereka semua harus bersama-sama memberikan contoh yang baik, menyadarkan, membangun kembali persatuan berdasarkan kesadaran berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Sekian Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by RICKY EFENDY PURBA -
Nama : Ricky Efendy Purba
NPM : 21115011059
Kelas : C
Setelah era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik.Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat.

*Deepening Democracy dan Tantangannya
Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat

*Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa.

Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Tetapi, hal tersebut tidak dengan sendirinya memberikan jaminan kemenangan.

*Pemilu dalam Masyarakat Plural
Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula. Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilainilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana empat pilar kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup tajam. Penggunaan istilah “cebong” sebagai julukan pendukung Jokowi dan “kampret” sebagai julukan pendukung Prabowo bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Demikian juga dengan penggunaan politisasi identitas (SARA).

*Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Politisasi birokrasi makin tampak nyata dengan dijadikannya menteri-menteri, kepalakepala lembaga, kepala-kepala daerah sebagai pemenangan paslon dalam pilpres. Artinya, birokrasi terlibat politik praktis tak hanya di pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah.
Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Prasyarat untuk menciptakan hal tersebut memerlukan prakondisi dan komitmen semua elemen bangsa untuk mematuhi peraturan yang ada. . Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Gabriel Purba -
Nama : Gabriel Purba
NPM : 2115011099
Kelas : C

Izin memberikan tanggapan analisis jurnal

Izin memberikan tanggapan berupa analisis terkait jurnal pada pertemuan ke-9.
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilprespun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat.

1) Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat.

2) Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa.

3) Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.

4) Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik.

5) Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya.

Tantangan pendalaman demokrasi semakin besar ketika kondisi sosial, ekonomi, politik dan hukum juga kurang memadai. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas pemilu dan demokrasi, tapi juga stabilitas nasional. Apalagi ketika pemilu berlangsung di tengah keterbelahan sosial, menyeruaknya berita-berita sensasional di medsos, ujaran kebencian dan maraknya berita-berita hoax membuat hasil pemilu rentan dengan sengketa dan konflik. Beberapa masalah yang muncul selama tahapan-tahapan pilpres tidak mendapatkan solusi yang konkrit dan memadai. Beberapa masalah seperti politisasi identitas dan sengitnya perebutan suara Muslim, permasalahan parpol dan Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019 | R. Siti Zuhro | 79 semua stakeholders terkait pemilu yang belum mampu mengefektifkan dan memaksimalkan peran pentingnya dengan penuh tanggungjawab, tata kelola pemilu yang belum mampu mengakomodasi keragaman masyarakat, dan kentalnya politisasi birokrasi menjadi pekerjaan
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Yashinta Amelia Dwi Maharani -
Nama : Yashinta Amelia Dwi Maharani
NPM : 2115011047
Kelas : C

Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik.Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat.

1. Deepening Democracy dan Tantangannya
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat.

2. Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa.

3. Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.

4. Pemilu dalam Masyarakat Plural
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik.

5. Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya.

Sekian merupakan tanggapan dari saya, terima kasih.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Cahyani Putri Agustin -

NAMA: CAHYANI PUTRI AGUSTIN

NPM: 2115011066

KELAS: C

PRODI: S1 TEKNIK SIPIL

Analisis menurut saya dari jurnal tersebut adalah bahwa, Pendalaman demokrasi belum terwujud dengan baik karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pilpres 2019 belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula membangun kepercayaan publik. 


Deepening Democracy dan Tantangannya
Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik.

Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by 2115011007_Aisyah Nabil Athirah S -
Nama : Aisyah Nabil Athirah
NPM : 2115011007
Kelas : C

Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik.Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat.

*Deepening Democracy dan Tantangannya
Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat

*Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa.

Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri-abangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Tetapi, hal tersebut tidak dengan sendirinya memberikan jaminan kemenangan.

*Pemilu dalam Masyarakat Plural
Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula. Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilainilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana empat pilar kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup tajam. Penggunaan istilah “cebong” sebagai julukan pendukung Jokowi dan “kampret” sebagai julukan pendukung Prabowo bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Demikian juga dengan penggunaan politisasi identitas (SARA).

*Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Politisasi birokrasi makin tampak nyata dengan dijadikannya menteri-menteri, kepalakepala lembaga, kepala-kepala daerah sebagai pemenangan paslon dalam pilpres. Artinya, birokrasi terlibat politik praktis tak hanya di pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Cahyani Putri Agustin -
NAMA: CAHYANI PUTRI AGUSTIN
NPM: 2115011066
KELAS: C

Sekian tanggapan saya terkait analisis video di atas, terimakasih pak.
Wassalamualaikum wr.wb

Izin memberikan tanggapan berupa analisis jurnal pada pertemuan ke-9.
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima yaitu tepatnya pada tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat.
pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa.
Kita perlu bersikap bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik.
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi.
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya.

Sekian tanggapan saya terkait analisis video di atas, terimakasih pak.
Wassalamualaikum wr.wb


In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by 2115011117_ Yogi Adya Tama -
Nama : Yogi Adya Tama
NPM : 2115011117
Kelas : C


Tantangan pendalaman demokrasi semakin besar ketika kondisi sosial, ekonomi, politik dan hukum juga kurang memadai. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas pemilu dan demokrasi, tapi juga stabilitas nasional. Apalagi ketika pemilu berlangsung di tengah keterbelahan sosial, menyeruaknya berita-berita sensasional di medsos, ujaran kebencian dan maraknya berita-berita hoax membuat hasil pemilu rentan dengan sengketa dan konflik.

Kepercayaan sebagian publik terhadap netralitas birokrasi minim, demikian juga terhadap penyelenggara pemilu dan institusi penegak hukum. Padahal trust building merupakan suatu keniscayaan dalam proses deepening democracy/konsolidasi demokratisasi. Tumbuhnya rasa saling percaya di antara penyelenggara pemilu, parpol dan masyarakat menjadi syarat utama terbangunnya demokrasi yang berkualitas dan penopang terwujudnya stabilitas politik dan keamanan dalam masyarakat. Secara teoretis konflik atau sengketa dalam pemilu bisa diredam jika peserta pemilu (parpol), penyelenggara pemilu, pemerintah, dan institusi penegak hukum mampu menunjukkan profesionalitas dan independensinya, tidak partisan dan memiliki komitmen yang tinggi dalam menyukseskan pemilu.

Berkenaan dengan hal tersebut semua stakeholders terkait pemilu seperti partai politik, penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP), pemerintah (pusat dan daerah) dan institusi penegak hukum perlu bersinergi secara profesional untuk memperbaiki kepercayaan publik terhadap hasil pilpres. Hal tersebut perlu dilakukan karena sukses tidaknya pemilu, konflik tidaknya pilpres sangat bergantung pada tinggi-rendahnya tingkat kepercayaan rakyat kepada para stakeholders tersebut. Karena itu bisa disimpulkan bahwa semakin substansial demokrasi yang terbangun melalui pemilu akan semakin besar kemungkinan munculnya public trust dan pemilu yang damai. Sebaliknya, semakin prosedural demokrasi yang terbangun melalui pemilu akan semakin besar pula ketidak percayaan publik dan semakin rentan pula sengketa/konflik yang akan muncul.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Keisya Nia Agustin -
Nama : Keisya Nia Agustin
NPM : 2115011107
Kelas : C

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Izin menanggapi jurnal mengenai "Dinamika Sosial Politik Menjelang Pemilu Serentah 2019",
Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai 'pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat'. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor, misalnya budaya politik, perilaku aktor, dan kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) tersebut berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu 1999. Demokrasi yang berlangsung di daerah-daerah merupakan landasan utama bagi berkembangnya demokrasi di tingkat nasional.

Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan terobosan penting yang dimaksudkan sebagai upaya pendalaman demokrasi (deepening democracy), yakni suatu upaya untuk mengatasi kelemahan praktek demokrasi substantif, khususnya dalam merespon tuntutan-tuntutan masyarakat lokal. Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Pendalaman demokrasi berasal dari negara dan bisa pula dari masyarakat. Dari sisi negara, pendalaman demokrasi dapat bermakna, pertama, pengembangan pelembagaan mekanisme penciptaan kepercayaan semua aktor politik seperti masyarakat sipil. partai politik, dan birokrasi (state apparatus). Kedua, pengembangan penguatan kapasitas administratif teknokratik yang menyertai pelembagaan yang telah dibentuk.

Konsolidasi demokrasi di Indonesia cenderung fluktuatif dan belum berjalan secara regular karena pilar-pilar pentingnya (pemilu, partai politik, civil society, media massa) belum berfungsi efektif dan belum maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Prasyarat untuk menciptakan hal tersebut memerlukan prakondisi dan komitmen semua elemen bangsa untuk mematuhi peraturan yang ada.

Sekian tanggapan saya mengenai jurnal tersebut,
Terima kasih,
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by Subkhan Erlangga -
NAMA : Subkhan Erlangga
NPM : 2115011118
KELAS : C

Assalamualakium Warahmatullahi Wabarakatuh, izin menanggapi ANALISIS JURNAL PERTEMUAN 9

Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian public.
Pada dasaarnya demokrasi memang diperunukan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor,misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik.

Kita perlu bersikap bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik.
Tak sedikit ditemukan masalah penggunaan fasilitas pemerintah pusat/wilayah (Pemda) buat pemenangan calon eksklusif/petahana pada pemilu/pilkada. Penggunaan aturan wilayah buat pemenangan calon eksklusif pun sulit dihindarkan lantaran kentalnya politisasi birokrasi.
Dalam aplikasi Pemilu, nilai-nilai demokrasi pada pilpres tidak relatif dikedepankan. Sebagai negara demokrasi angka 4 terbesar pada dunia, Indonesia sepertinya belum bisa menunjukkan dirinya menjadi negara yg menjalankan demokrasi substantif.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

by 2115011067_Mashurio Amirul Huda -
Nama : Mashurio Amirul Huda
NPM : 2115011067
Kelas : C

Sebelumnya mohon maaf atas keterlambatan saya dalam mengirimkan jawaban analisis jurnal saya, karena ternyata jawaban saya tidak terkirim namun hanya tersimpan di draft pak, terimakasih.


Analisis Jurnal
Berdasarkan jurnal tersebut, demokrasi dapat dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Konsolidasi demokrasi di Indonesia cenderung fluktuatif dan belum berjalan secara regular karena pilar-pilar pentingnya (pemilu, partai politik, civil society, media massa) belum berfungsi efektif dan belum maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Sejauh ini Indonesia mampu melaksanakan pemilu yang aman dan damai. Pemilu 2019 yang kompleks, dengan tingkat kerumitan yang cukup tinggi dan hasilnya yang dipersoalkan menjadi pelajaran yang sangat berharga. Pemilu yang berkualitas memerlukan parpol dan koalisi parpol yang juga berkualitas. Ini penting karena pemilu tidak hanya merupakan sarana suksesi kepemimpinan yang aspiratif, adil dan damai, tapi juga menjadi taruhan bagi ketahanan sosial rakyat dan eksistensi NKRI.