berikan analisa mu mengenai penyebab/faktor faktor yang mempengaruhi sulit tegaknya hukum di Indonesia dan berikan pula alasan mu mengenai solusi yang tepat untuk permasalahan tersebut....
forum pertanyaan
Keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas aparat penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak diaplikasikannya nilai-nilai Pancasila khususnya nilai kemanusiaan, nilai musyawarah untuk mufakat dan nilai keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keadaan atau situasional suatu daerah, apabila disuatu daerah penegakan hukumnya baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat juga baik di daerah tersebut, namun apabila penegakan hukumnya kurang baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut menjadi kurang baik.
Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mengangkat dan menegakkan supremasi hukum antara lain :
- Harus dilakukan (dirumuskan) unifikasi hukum atau pemetaannya secara pasti
- Peningkatan kualitas moral dan profesionalitas aparat penegak hukum
- Perbaikan sistem
- Serta menumbuhkan rasa kesadaran dalam diri
a. Hasil reformasi konstitusi belum mampu untuk melahirkan suatu sistem ketatanegaraan yang demokratis, mengedepankan supremasi hukum, menghormati HAM, dan berkeadilan sosial.
b. Pembentukan hukum, baik melalui proses legislasi maupun melalui yurisprudensi belum mampu menghasilkan hukum yang berparadima Indonesia.
c. Institusi-institusi penegak hukum, seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat kehilangan kredibilitasnya. Bahkan institusi-institusi baru yang tadinya sangat diandalkan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) mulai dilanda penyakit degeneratif.
d. Masyarakat penggapai keadilan mulai frustasi, sehingga lebih suka mengembangkan budaya kekerasan dan main hakim sendiri.
e. Manajemen penegakan hukum kacau balau karena arogansi sektoral yang melahirkan konflik kelembagaan.
f. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi hukum yang menjadi pemasok utama sumber daya manusia (SDM) penegak hukum memang produktif dari sudut kuantitas, tetapi belum dari segi kualitas dan integritas.
g. Pengaruh kekuatan dan kekuasaan politik masih sangat kental dalam penegakan hukum, sehingga sering membuat mandul hukum dan penegakannya.
Ada berbagai macam cara untuk mengatasi masalah penegakan hukum di Indonesia yaitu :
1. Dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan agar lebih memperhatikan rasa keadilan pada masyarakat dan kepentingan nasional sehingga mendorong adanya kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhinya.
2. Penegak hukum seharusnya berjalan tidak semata melihat fakta, tapi menimbang serta melihat latar belakang peristiwa, alasan terjadinya kejadian, unsur kemanusiaan dan juga menimbang rasa keadilan dalam memberikan keputusan. Hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Dengan ini diharapkan tidak ada keputusan yang kontroversial dan memberikan keputusan yang seadil-adilnya sehigga yang terjadi pada nenek minah tidak terjadi lagi.
3. Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan menghasilkan putusan-putusan yang kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
4. Hakim sebagai pemberi putusan seharusnya tidak menjadi corong undang-undang yang hanya mengikuti peraturan perundang-undangan semata tanpa memperdulikan rasa keadilan. Tapi hakim seharusnya mengikuti perundang-undangan dengan mementingkan rasa keadilan yang seadil-adilnya. Sehingga keputusannya dapat memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
5. Komisi Yudisial sebagai komisi yang dibentuk untuk mengawasi perilaku haki seharusnya memberi peringatan dan sanksi yang tegas kepada hakim yang memberikan putusan yang kontroversial dan tidak memenuhi rasa keadilan, juga yang melanggar kode etik.
6. Meningkatkan pembinaan integritas, kemampuan atau ketrampilan dan ketertiban serta kesadaran hukum dari pelaksana penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya. Dalam melaksanakan tugasnya penegak hukum benar-benar melaksanakan asas persamaan hak di dalam hukum bagi setiap anggota masyarakat.
7. Mencukupi kebutuhan personal, sarana dan prasarana untuk pelaksanaan penegakan hukum. Meningkatkan kesejahteraan penegak hukum. Sehingga tidak ada hakim yang terlibat kasus korupsi.
8. Memberikan pendidikan dan penyuluhan hukum baik formal maupun informal secara berkesinambungan kepada masyarakat tentang pentingnya penegakan hukum diIndonesiasehingga masyarakat sadar hukum dan menaati peraturan yang berlaku.
9. Menyediakan bantuan hukum bagi si miskin dan buta hukum dan melaksanakan asas proses yang tepat, cepat dan biaya ringan di semua tingkat peradilan.
10. Pemberian sanksi yang tegas kepada aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugas dengan semestinya.
11. Harus ada reformasi institusional didalam tubuh lembaga penegak hukum. Bukan hanya reformasi didalam tubuh Polri dan Kejaksaan RI tapi juga pada lembaga penegak hukum lain Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan korban ( LPSK ). Hal ini dikarenakan carut – marutnya hukum yang ada di Indonesia juga disebabkan karena adanya oknum – oknum yang tidak bertanggungjawab didalam tubuh lembaga penegak hukum. Kejaksaan sudah mencanangkan adanya pembaruan didalam tubuh Kejaksaan yakni terkait tentang perekrutan jaksa, kode perilaku, standar minimum profesi, dan pengawasan sanksi disiplin. Selain itu saat Kejaksaan juga merencanakan pemangkasan tiga ribu jabatan jaksa, pengektifan peran pengawasan dan pembinaan, bidang intelejen ditugasi mencegah perbuatan tercela jaksa, pemberian reward and punishment. Kepolisian juga telah merencakan meminta setiap jajaran merancang target dalam waktu tertentu, mengadakan kontrak kerja dan pakta integritas, mengevaluasi secara rutin kinerja jajaran, transparansi sistem rekrutmen anggota polisi dan proses pelayanan administarasi.
12. Adanya penghargaan bagi jaksa dan hakim berprestasi yang memberikan terobosan – terobosan dalam penegakan hukum diIndonesia. Dengan adanya penghargaan ini diharapkan setiap jaksa maupun hakim berlomba untuk memberikan terobosan yang bermanfaat bagi penegakan hukum diIndonesia.
13. Perlunya Kapolri dan Jaksa Agung yang berwibawa, yang mempunyai kredibilitas tinggi.
Pengemban hukum praktis yang dapat berupa parlemen, peradilan, lembaga bantuan hukum, dan birokrasi pemerintahan inilah yang mengisi bangunan sistem hukum di Indonesia dalam struktur hukum dan melakukan pembentukan hukum dalam membangun substansi hukum. Selain itu yang tidak kalah penting adalah budaya hukum itu sendiri yang berpengaruh signifikan pada baik buruknya penegakan hukum di Indonesia. Seberapa besar kemanfaatan hukum dapat dibentuk dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial yang merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Tanpa budaya atau lingkungan hukum yang baik, struktur dan substansi hukum adalah bangunan yang tidak bernilai dalam konstruksi penegakan hukum yang baik. Sehingga pengemban hukum yang berdampak sangat besar pada penegakan hukum di Indonesia harus menjadi profesional terlebih dahulu.
2. Pengemban hukum Indonesia yang memiliki budaya hukum yang kurang baik juga menjadi pengaruh terhadap sulitnya penegakkan hukum di indonesia karena struktur dan substansi hukum adalah faktor penting yang memperkuat penegakkan hukum.
3. Konsep keadilan yang berketuhanan
a). tidak diikutinya azas-azas berlakunya UU
b). belum ada peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan UU,
c). Ketidak jelasan arti kata-kata dalam UU yang akan berakibat kesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya.
Disamping itu adalah ketidakjelasan dalam kata-kata yang dipergunakan dalam perumusan pasal-pasal tertentu. Hal itu disebabkan, karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali. Konsekuensi ini peraturan yang memuat pasal dengan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara luas (multiinterpretasi) dan menyebabkan kesimpang siuran dalam penafsiran atau penerapannya sehingga pada akhirnya menimbulkan konflik. Artinya, faktor hukum yaitu peraturan yang memiliki ketidakjelasan kata-kata dalam perumusan pasal-pasalnya terbukti telah mempengaruhi penegakan hukum terhadap sengketa di Indonesia.
2. faktor penegak hukumnya, adalah pihak-pihak yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penegakan hukum mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penasehat Hukum (Advokat) dan hingga petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Hakim berada dalam peranan yang sangatlah menentukan ketika suatu keputusan diharapkan untuk lahir dan pelaksanaan tugas tersebut, hakim berada di dalam kemandiriannya sendiri, sedangkan tugas dari penegak hukum yang lainnya adalah meyakinkan dan menjelaskan kepada hakim apa dan bagaimanakah permasalahan hukumnya, sehingga akan diperoleh suatu keyakinan hakim untuk dapat memutuskanya secara adil dan juga bijaksana. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu, sebab kenyataannya penegakan hukum tidak berjalan dalam koridor yang benar, sehingga penegakan hukum mengalami kendala dalam tingkatan teknis operasional di masing-masing penegak hukum.
3. faktor sarana dan fasilitas, tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan baik, yang antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah penegakan hukum dapat mencapai tujuannya.
4. faktor masyarakat, Masyarakat di Indonesia semakin lama, jumlah masyarakat miskinnya semakin banyak. Sehingga jika dilihat dari faktor masyarakat, maka masalah kejahatan atau penegakan hukum ini ada di lapisan ini. Setiap stratifikasi sosial memiliki dasar-dasarnya tersendiri, sehingga dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pemberian pengetahuan hukum kepada masyarakat yang mungkin tidak begitu mengerti akan hukum sehingga memudahkan mereka untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di lingkungannya.
5. faktor kebudayaan, kebudayaan lebih ditekankan mengenai masalah sistem nilai-nilai yang ada di tengahnya masyarakat. Dalam faktor masyarakat, dikatakan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat terhadap ketataan aturan masyarakat masih rendah. Hal ini, dikarenakan adanya budaya kompromistis sering terjadi masyarakat Indonesia. Kenyataannya, akan terdapat kecenderungan budaya masyarakat untuk meloloskan diri dari aturan yang berlaku menjadi-jadi.
Kelima hal itu saling berhubungan erat dan dapat saling mempengaruhi tetapi salah satu faktornya dapat mendukung membentuk efektifitas hukum dalam penegakan hukumnya. Jika kelima hal tersebut difungsikan secara optimal maka hukum dapat berjalan efektif, yang dapat diawali dengan mempertanyakan bagaimana hukumnya, bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang disusul dengan bagaimana masyarakt merespon serta kebudayaan yang terbangun. Oleh karena itu, maka masalah-masalah yang terjadi dalam penegakan hukumnya begitu kompleks dan rumit apabila dipelajari lebih dalam dan tidak sesederhana seperti kasat mata melihatnya. Dibutuhkan sebuah gerakan langkah bersama secara nasional yang teratur, tertata dan terlaksana untuk menumbuhkan penegakan hukum berkeadilan dan berpihak kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan.
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Berikut upaya-upaya untuk meningkatkan
penegakan hukum di Indonesia :
1. Pemberantasan Korupsi di institusi hukum di Indonesia
2. Pendidikian hukum yang progresif
3. Pengawasan yang intensif oleh masyarakat terhadap penegak hukum
4. Upaya penegakan hukum pun diarahkan pula pada kebijakan yang konsisten terhadap perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dengan tujuan untuk melakukan tindakan preventif dan korektif terhadap penyimpangan kaidah hukum, norma sosial yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5. Harus ada konsep perubahan yang digunakan dalam penegakan hukum
1. Masalah pembuatan peraturan perundang-undangan
2. Masyarakat mencari kemenangan bukan keadilan
3. Uang mewarnai penegakan hukum
4. Penegakan hukum sebagai komoditas politik, penegakan hukum yang diskriminatif dan ewuh pekewuh.
5. Lemahnya sumberdaya manusia.
6. Advokat tahu hukum versus advokat tahu koneksi.
7. Keterbatasan anggaran.
8. Penegakan hukum yang dipicu oleh media masa
Dalam hal ini diperlukan adanya upaya untuk mengatasi masalah-masalah penegakan hukum di Indonesia. Berikut upaya-upaya yang dapat dilakukan:
1. Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu
2. Menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi, dan partisipasi baik bagi hakim maupun bagi aparat penegak hukum lainnya
3. Meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, Polisi dan PNS melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya sampai dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang disesuaikan dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab kerja yang dibebankan
4. Menunjang terciptanya sistem peradilan pidana yang terpadu melalui sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas dan wewenang hakim dan aparat penegak hukum lainnya
5. Meningkatkan peran Advokat dan Notaris melalui optimalisasi standar kode etik di lingkungan masing-masing
6. Menyempurnakan kurikulum dibidang pendidikan hukum guna menghasilkan aparatur hukum yang profesional, berintegrasi dan bermoral tinggi
7. Meningkatkan kualitas hakim dalam melakukan penemuan hukum baru melalui putusanputusan pengadilan (yurisprudensi) yang digunakan sebagai dasar pertimbangan hukum, yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dilingkungan peradilan
8. Meningkatkan pembinaan terhadap integritas moral, sikap perilaku dan pemberdayaan kemampuan dan kerterampilan aparat penegak hukum
9. Mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution (ADR) dan dengan memperbaiki upaya perdamaian di Pengadilan
10. Meningkatkan mekanisme pertanggungjawaban lembaga pengadilan kepada publik, kemudahan akses masyarakat untuk memperoleh putusan pengadilan dan publikasi mengenai ada tidaknya perbedaan pendapat di antara majelis hakim terhadap setiap pengambilan keputusan
11. Melakukan pembinaan pemasyarakatan baik pembinaan di dalam maupun di luar lembaga pemasyarakatan, agar bekas warga binaan dapat kembali hidup normal di dalam masyarakat
1. Berkembangnya berbagai bentuk “diskresi” yakni tindakan yang didasari kebijakan situasional dengan menyimpang dari prosedural yang baku. Ekses yang terjadi pada saat proses penanganan oleh polisi, misalnya adalah bagian dari perwujudan “diskresi” itu.
2. Birokratisasi kesempatan untuk memperoleh keadilan dalam bentuk kesulitan prosedural yang dialami oleh pencari keadilan.
3. Timbulnya kerugian sosial sebagai akibat penegakan hukum yang tak jarang mewarnai berbagai usaha penertiban, antara lain terhadap kelompok marjinal perkotaan (contohnya: tukang becak) atau misalnya pada peristiwa pembebasan tanah untuk kepentingan dalam rangka perencanaan dan kebijaksanaan kota.
Terdapat lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum: 1) faktor substansi hukum atau peraturan perundang-undangan; 2) faktor penegak hukum, yakni pihak- pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya serta yang berkaitan dengan masalah mentalitas; 3) faktor sarana dan fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum; 4) faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat; dan, 5) faktor budaya hukum.
Soluasi : Penegakan hukum di Indonesia berdasarkan peraturan yang telah dibuat secara tersirat maupun tersurat serta kesamaan semua pihak didalam pengadilan
di Indonesia diawali dengan masalah pembuatan peraturan perundang-undangan,
miskonsepi mengenai keadilan, hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas
, penegakan hukum sebagai komoditas politik, penegakan hukum yang diskriminatif, SDM yang lemah
, keterbatasan anggaran, penegakan hukum yang dipicu oleh media masa
Solusinya yaitu dengan meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk
memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan
terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu
, menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap
proses rekruitmen SDM, dll
Selain moralitas aparat penegak hukum dan masyarakat, peraturan yang ada juga memengaruhi penegakan hukum. Terkadang, peraturan dan kebijakan yang ada hanya disetujui oleh salah satu pihak tanpa memikirkan pihak lainnya. Bahkan undang-undang yang dibuat oleh lembaga perwakilan rakyat pun masih ada yang merugikan rakyat Indonesia dan hanya menguntungkan golongan tertentu saja. Adanya peraturan dan kebijakan yang dirasa merugikan masyarakat akan membuat masyarakat mulai membangkang dan menolak agar peraturan dan kebijakan tersebut dihapuskan dan diganti menjadi yang lebih baik. Sudah banyak kasus demo yang berakhir kericuhan dan vandalisme akibat adanya peraturan yang dianggap merugikan masyarakat. Bahkan masyarakat yang tidak ikut demo pun bisa melakukan pelanggaran hukum karena merasa peraturan yang ada tidak berguna dan hanya menimbulkan kerugian. Pelanggaran hukum yang dilakukan pun bisa jadi hanya untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari kerugian yang ada.
Solusi dari sulitnya penegakan hukum di Indonesia yaitu memperbaiki moralitas penegak hukum dan masyarakat. Penegak hukum harus bisa menjalankan tugasnya dengan penuh integritas dan apabila terdapat penegak hukum yang melanggar peraturan harus diberi sanksi seberat beratnya dan jangan lagi dibiarkan masuk ke ranah hukum. Peraturan dan kebijakan pun juga harus diperhatikan dan dibuat agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Peraturan dan kebijakan tidak boleh tumpang tindih dengan peraturan lainnya yang dapat menyulitkan penegakan hukum. Jangan sampai peraturan dan kebijakan yang seharusnya membuat masyarakat merasa aman justru membuat masyarakat merasakan dirugikan. Apabila peraturan dan kebijakan serta aparat penegak hukum sudah menjalankan integritasnya maka kemungkinan besar masyarakat akan merasa aman dan tidak melakukan pelanggaran hukum selama hak dan kewajiban mereka tidak direnggut.
Pertama, faktor hukumnya itu sendiri. Hukum yang dimaksudkan adalah Undang-Undang (“UU”) atau peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Pemerintah. Faktor hukum yang dimaksud adalah bermula dari undang-undangnya itu sendiri yang bermasalah. Penegakan hukum yang berasal dari UU itu disebabkan a). tidak diikutinya azas-azas berlakunya, UU b). belum ada peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan UU, c). Ketidak jelasan arti kata-kata dalam UU yang akan berakibat kesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya. Disamping itu adalah ketidakjelasan dalam kata-kata yang dipergunakan dalam perumusan pasal-pasal tertentu. Hal itu disebabkan, karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali. Konsekuensi ini peraturan yang memuat pasal dengan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara luas (multiinterpretasi) dan menyebabkan kesimpang siuran dalam penafsiran atau penerapannya sehingga pada akhirnya menimbulkan konflik. Artinya, faktor hukum yaitu peraturan yang memiliki ketidakjelasan kata-kata dalam perumusan pasal-pasalnya terbukti telah mempengaruhi penegakan hukum terhadap sengketa di Indonesia. Masalah itu tumbuh karena meskipun UU telah disahkan dan berlaku, tetapi hingga batas waktu tertentu belum juga dibuat peraturan pelaksanaannya sebagai perintah Undang-undang, sehingga akibatnya beberapa pasal dari UU tidak dapat dijalankan.
Kedua, faktor penegak hukumnya. Yang dimaksudkan dengan penegak hukum itu adalah pihak-pihak yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penegakan hukum mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penasehat Hukum (Advokat) dan hingga petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap profesi penegak hukum mempunyai wewenang atau kekuasaan tugas masing-masing. Hakim berada dalam peranan yang sangatlah menentukan ketika suatu keputusan diharapkan untuk lahir dan pelaksanaan tugas tersebut, hakim berada di dalam kemandiriannya sendiri, sedangkan tugas dari penegak hukum yang lainnya adalah meyakinkan dan menjelaskan kepada hakim apa dan bagaimanakah permasalahan hukumnya, sehingga akan diperoleh suatu keyakinan hakim untuk dapat memutuskanya secara adil dan juga bijaksana. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu, sebab kenyataannya penegakan hukum tidak berjalan dalam koridor yang benar, sehingga penegakan hukum mengalami kendala dalam tingkatan teknis operasional di masing-masing penegak hukum. Penyebabnya antara lain, pertama rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat; Kedua, Tidak diindahkannya prinsip the right man in the right place; Ketiga, rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum; Keempat, tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang terintegrasi, baik dan moderen; Kelima, kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia caturwangsa, terutama ke badan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman; Terakhir hal yang kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime antaranggota penegak hukum dengan tuduhan mafia peradilan.
Ketiga, faktor sarana dan fasilitas. Tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan baik, yang antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah penegakan hukum dapat mencapai tujuannya. Tenaga manusia yang berpendidikan tinggi disini diartikan sebagai para penegak hukum yang mumpuni dan berkualitas yaitu mampu atau dapat melayani dan mengayomi masyarakat sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing. Proses penerimaan menjadi penegak hukum sebenarnya sudah memenuhi syarat menghasilkan, misalnya, aparat kepolisian yang memiliki kemampuan baik melayani masyarakat. Tetapi di dalam kenyataannya, sering kali proses penerimaan tersebut dinodai dengan adanya suap atau jumlah orang yang sedikit untuk mau menjadi anggota penegak hukum. Sehingga, kualitas daripada anggota penegak hukum tersebut perlu dipertanyakan dan banyak yang tidak sesuai dengan yang telah ditentukan. Akibatnya para penegak hukum cenderung lebih sedikit daripada jumlah masyarakatnya yang terus bertambah banyak, sehingga aparat penegak hukum tidak dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal sebagai sarana penegakan hukum.
Ke-empat, faktor masyarakat. Dari sudut sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan ragam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasar-dasarnya. Hal lainnya yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga sosial yang hidup, serta sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga masyarakat yang ada. Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut, maka dapat memudahkan penegak hukum untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut. Dalam garis besar, masyarakat di Indonesia terbagi dua yaitu masyarakat kalangan atas (orang kaya) dan kalangan bawah (orang miskin). Penegakan hukum diantara keduanya pun sangat berbeda penyelesaiannya. Hal ini karena pola pikir dan pengetahuan yang jelas berbeda. Jika orang kalangan bawah, keinginan atau taatnya pada suatu hukum oleh seseorang sangat kecil kemungkinannya atau tidak mau mematuhi hukum yang telah diatur.
Kelima, faktor Kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya ketika berhubungan dengan orang lain. Pada dasarnya, kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa saja yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Sebenarnya, faktor kebudayaan memiliki kemiripan dengan faktor masyarakat. Hanya saja, di dalam faktor kebudayaan lebih ditekankan mengenai masalah sistem nilai-nilai yang ada di tengahnya masyarakat. Dalam faktor masyarakat, dikatakan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat terhadap ketataan aturan masyarakat masih rendah. Hal ini, dikarenakan adanya budaya kompromistis sering terjadi masyarakat Indonesia. Kenyataannya, akan terdapat kecenderungan budaya masyarakat untuk meloloskan diri dari aturan yang berlaku menjadi-jadi.
Solusi yang tepat mengenai kelima poin diatas:
Di dalam penegakan hukum jelaslah bahwa kelima faktor tersebut di atas, dalam realitas hubungannya, akan saling berkaitan erat antara satu dengan lainnya. Hal ini, karena di dalam penegakan hukum satu dengan yang lainnya akan dapat saling mempengaruhi dalam perjalanan penegakannya. Kelemahan yang satu berdampak kepada kendala yang lainnya, karena keseluruhannya menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta dalam rangka mempeoleh tolok ukur dari efektifitas penegakan hukumnya. Dari lima faktor masalah penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri itu menjadi titik sentralnya. Hal ini disebabkan baik karena undang-undangnya disusun penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga, merupakan panutan oleh masyarakat luas, sehingga kedudukannya menjadi sangat menentukan di dalam penegakan hukumnya.dengan memperhatikan sistematikanya dari kelima faktor ini jika difungsikan secara optimal penegakan hukum, maka setidaknya hukum itu dinilai dapat dikategorisasikan efektif. Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan sistematika itu dapat membangun efektifitas penegakan hukum, seharusnya, diawali mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimanakah masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun. Artinya, tata urutannya dapat dipredisikan dasar berpikirnya dalam penegakan hukumnya. Oleh karena itu, maka masalah-masalah yang terjadi dalam penegakan hukumnya begitu kompleks dan rumit apabila dipelajari lebih dalam dan tidak sesederhana seperti kasat mata melihatnya. Dibutuhkan sebuah gerakan langkah bersama secara nasional yang teratur, tertata dan terlaksana untuk menumbuhkan penegakan hukum berkeadilan dan berpihak kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan.
a. Manajemen penegakan hukum kacau balau karena arogansi sektoral yang melahirkan konflik kelembagaan.
b. Pembentukan hukum, baik melalui proses legislasi maupun melalui yurisprudensi belum mampu menghasilkan hukum yang berparadima Indonesia.
c. Institusi-institusi penegak hukum, seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat kehilangan kredibilitasnya. Bahkan institusi-institusi baru yang tadinya sangat diandalkan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) mulai dilanda penyakit degeneratif.
d. Hasil reformasi konstitusi belum mampu untuk melahirkan suatu sistem ketatanegaraan yang demokratis, mengedepankan supremasi hukum, menghormati HAM, dan berkeadilan sosial.
e. Masyarakat penggapai keadilan mulai frustasi, sehingga lebih suka mengembangkan budaya kekerasan dan main hakim sendiri.
f. Pengaruh kekuatan dan kekuasaan politik masih sangat kental dalam penegakan hukum, sehingga sering membuat mandul hukum dan penegakannya.
g. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi hukum yang menjadi pemasok utama sumber daya manusia (SDM) penegak hukum memang produktif dari sudut kuantitas, tetapi belum dari segi kualitas dan integritas.
Cara untuk mengatasi masalah penegakan hukum di Indonesia yaitu:
1. Memperhatikan rasa keadilan pada masyarakat dan kepentingan nasional sehingga mendorong adanya kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penegak hukum seharusnya berjalan tidak semata melihat fakta, tetapi menimbang serta melihat latar belakang peristiwa, alasan terjadinya kejadian, unsur kemanusiaan dan juga menimbang rasa keadilan dalam memberikan keputusan. Hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Dengan ini diharapkan tidak ada keputusan yang kontroversial dan memberikan keputusan yang seadil-adilnya sehigga yang terjadi pada nenek minah tidak terjadi lagi.
3. Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan menghasilkan putusan-putusan yang kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
4. Hakim sebagai pemberi putusan seharusnya tidak menjadi corong undang-undang yang hanya mengikuti peraturan perundang-undangan semata tanpa memperdulikan rasa keadilan. Tapi hakim seharusnya mengikuti perundang-undangan dengan mementingkan rasa keadilan yang seadil-adilnya. Sehingga keputusannya dapat memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
5. Komisi Yudisial sebagai komisi yang dibentuk untuk mengawasi perilaku haki seharusnya memberi peringatan dan sanksi yang tegas kepada hakim yang memberikan putusan yang kontroversial dan tidak memenuhi rasa keadilan, juga yang melanggar kode etik.
6. Meningkatkan pembinaan integritas, kemampuan atau ketrampilan dan ketertiban serta kesadaran hukum dari pelaksana penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya. Dalam melaksanakan tugasnya penegak hukum benar-benar melaksanakan asas persamaan hak di dalam hukum bagi setiap anggota masyarakat.
7. Mencukupi kebutuhan personal, sarana dan prasarana untuk pelaksanaan penegakan hukum. Meningkatkan kesejahteraan penegak hukum. Sehingga tidak ada hakim yang terlibat kasus korupsi.
8. Memberikan pendidikan dan penyuluhan hukum baik formal maupun informal secara berkesinambungan kepada masyarakat tentang pentingnya penegakan hukum diIndonesiasehingga masyarakat sadar hukum dan menaati peraturan yang berlaku.
9. Menyediakan bantuan hukum bagi si miskin dan buta hukum dan melaksanakan asas proses yang tepat, cepat dan biaya ringan di semua tingkat peradilan.
10. Pemberian sanksi yang tegas kepada aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugas dengan semestinya.
11. Harus ada reformasi institusional didalam tubuh lembaga penegak hukum. Bukan hanya reformasi didalam tubuh Polri dan Kejaksaan RI tapi juga pada lembaga penegak hukum lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK). Hal ini dikarenakan carut-marutnya hukum yang ada di Indonesia juga disebabkan karena adanya oknum – oknum yang tidak bertanggungjawab didalam tubuh lembaga penegak hukum.
12. Adanya penghargaan bagi jaksa dan hakim berprestasi yang memberikan terobosan-terobosan dalam penegakan hukum diIndonesia. Dengan adanya penghargaan ini diharapkan setiap jaksa maupun hakim berlomba untuk memberikan terobosan yang bermanfaat bagi penegakan hukum di Indonesia.
13. Perlunya Kapolri dan Jaksa Agung yang berwibawa, yang mempunyai kredibilitas tinggi.
rangka program 100 hari pemerintahan baru. Setelah SBY menabuh genderang pertanda perang atas korupsi, maka dimulailah gerakan tersebut dengan terlebih dahulu memeriksa pejabat-pejabat tinggi negara, seperti menteri, gubernur, dan bupati/walikota. Pekerjaan pertama yang dilakukan adalah memeriksa 2 orang menteri, 2 gubernur, dan sekitar 15 bupati/walikota. Seiring dengan program tersebut, dua hari sebelumnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrahman Ruki memerintahkan penahanan atas Gubernur NAD Abdullah Puteh yang dijadikan tersangka korupsi pembelian helikopter buatan rusia sekitar 4 M. Di samping itu ia diduga kuat melakukan korupsi atas pembelian mesin Genset PLN senilai 30 M., kemudian mark up dana pembelian kendaraan dinas anggota DPRD NAD, dan kasus pembelian kapal laut Super Jet. Sehari sesudahnya, Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar dipanggil Kejaksaan Agung RI untuk mempertanggung jawabkan dugaan korupsi yang dilakukannya di daerah tersebut. Sungguh poiltical will yang menggembirakan seorang Presiden secara vulgar memerangi KKN, bahkan berani tampil untuk mengomandani pemberantasan KKN. Namun dibalik itu semua, ternyata masyarakat masih juga skeptis. Masyarakat hampir pasti sudah mengetahui hasil akhir dari “sandiwara hukum” dalam pemeriksaan atas sejumlah kasus KKN tersebut. Masyarakat sudah mengerti bagaimana pola “permainan hukum” dari struktur hukum yang ada di bangsa ini. Ada pula berita yang sangat fantastis bahwa lembaga kepolisian yang dipercaya sebagai institusi penegak hukum ternyata menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi. Jual-beli jabatan di tubuh Polri sudah menjadi tradisi. Demikian pula dengan kasus-kasus lain yang ditangani Polri. Pada pihak lain juga terjadi kasus korupsi yang dinilai masyarakat dan LSM sangat tinggi, misalnya lembaga legislatif dan Parpol, perusahaan-perusahaan, dan beberapa departemen.1 Untuk menegakkan hukum di negeri ini bukan pekerjaan mudah, like doing impossible thing, seperti menegakkan benang basah. Tetapi paling tidak ada beberapa masalah yang perlu didiagnosa, sehingga dengan begitu akan mudah mencari solusinya. Masalah-masalah tersebut terkait dengan: 1) hukum/undang-undang; 2) penegak hukum; 3) sarana dan fasilitas; 4) masyarakat; dan 5) kebudayaan. B. Hukum/Undang-Undang Pertama, Aturan hukum pidana yang dipedomani. Hukum dalam arti aturan tertulis yang digunakan di Indonesia untuk menghakimi pelanggar-pelanggar hukum dalam persoalan pidana masih merujuk kepada KUHP. Kitab hukum ini dinilai sudah tidak kontekstual dan akomodatif. Ada beberapa aspek yang bisa diamati tentang eksistensi dari kitab hukum ini, yakni:
1) dari aspek pembuat-nya, KUHP diproduk oleh pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa saat itu. Bukan oleh orang Indonesia sendiri. Akomodasi atas kepentingan-kepentingan pemerintah Belanda lebih diutamakan dari pada kepentingan masyarakat pribumi, sehingga netralitasnya dipertanyakan dan cenderung diskriminatif. Pemerintah Belanda memandang rakyat pribumi sangat inferior, yang tidak perlu diuntungkan melalui aturan. Adalah ironis, jika aturan dibuat orang Belanda tetapi untuk diterapkan pada orang Indonesia;
2) pada aspek kultur, bahwa kultur orang Belanda berbeda dengan kultur bangsa Indonesia. Kultur bangsa Indonesia merupakan hasil ramuan dari sejumlah tatanan, yaitu tatanan keagamaan sebagai yang utama, tatanan tradisi, tatanan sopan santun, dan tatanan kesusilaan. Tatanan ini yang hampir tidak termuat dalam KUHP tersebut, sehingga nilai-nilai keindonesiaannya nyaris tidak ada;
3) dari aspek materi-nya, KUHP secara tertulis masih terdapat kelemahan, misalnya pasal 284 yang mengancam pidana bagi pelaku persenggamahan di luar nikah, hanya jika salah satu atau kedua pelakunya terikat dengan perkawinan yang sah dengan pihak lain. Artinya jika lelaki dan perempuan yang sama-sama belum nikah melakukan hubungan intim atas dasar suka sama-suka, maka salah satu atau keduanya tidak akan dihukum pidana. Padahal ini jelas-jelas merupakan pelanggaran pidana. Tetapi karena hanya mementingkan orang Belanda yang menganggap biasa jika terjadi hubungan intim di luar nikah, maka materi hukumnya seperti itu;
4) KUHP yang diproduk Belanda hanya mencantumkan sanksi pidana maksimal, sebaliknya tidak mencantumkan sanksi pidana minimal. Hal ini urgen karena bisa saja tindak pidana yang terbukti dilakukan dan diancam dengan sanksi pidana maksimal, tapi pada akhirnya dibebaskan dari hukum karena “permainan” sebagai akibat ancaman minimalnya tidak tertera dalam KUHP. Demikian juga dengan derasnya tuntutan tuntutan perlindungan HAM yang berkaitan dengan kriminalitas. Pemberatan pidana bagi pemerkosa atau pelaku kejahatan terhadap anak-anak sangat penting untuk dicantumkan. Kedua, Aturan hukum yang belum dibuat. Kejahatan teknologi informasi pernah menggegerkan Indonesia. Betapa tidak, hasil pemungutan suara Pemilu Legislatif 2004 yang dinilai sebagai Pemilu yang cukup sukses, ternyata tidak dibarengi dengan kesuksesan dalam proses penghitungan suara secara nasional. Penghitungan suara nasional mengalami bias antara hasil penghitungan suara manual dengan penghitungan suara yang menggunakan Teknologi Informasi (TI). Namun berkat kesigapan petugas, pelaku kejahatan TI dapat diringkus. Persoalan yang muncul kemudian adalah sulitnya menemukan pasal untuk menjerat pelaku kejahatan TI (cybercrimes) tersebut. Hal ini terjadi karena hukum di Indonesia belum mengantisipasi dan membuat hukum tentang cybercrimes. Pelaku kejahatan TI terpaksa dijerat dengan pasal tentang pencurian sebagai hasil analogi hukum dari para penegak hukum. Padahal analogi dan konstruksi hukum dalam hukum pidana tidak diperbolehkan. Yang diperkenankan dalam hukum pidana adalah interpretasi. Oleh karena itu, aturan hukum Indonesia semestinya menegaskan dulu bahwa suatu perbuatan dinyatakan kejahatan atau pelanggaran dengan ancaman sanksi tertentu, yang ditentukan oleh suatu perundang-undangan yang berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan, sehingga asas legalitas atas hukum benar-benar ada. Mengacu pada konsep ini, maka kejahatan TI belum dinyatakan secara tegas sebagai suatu perbuatan jahat dan ditentukan sanksinya, lalu dituangkan dalam bentuk aturan tertulis. Ketiga, Aturan hukum yang perlu diperluas. Kemajuan teknologi modern dapat berakibat membuka peluang wanita menjadi pelaku pemerkosaan terhadap pria dengan menggunakan obat perangsang atau hasil teknologi modern lainnya; dan juga wanita dapat menjadi pelaku pemerkosaan terhadap sesama wanita (lesbian); atau sebaliknya sesama pria (homoseksual). Oleh sebab itu, rumusan tindak pidana pemerkosaan yang kini ada dalam pasal 285 KUHP harus diperluas dan dipertajam dengan mengatur tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh wanita; oleh sesama wanita; dan oleh sesama pria. Keempat, Aturan hukum yang overloaded. Secara kuantitas, Indonesia termasuk negara yang paling rajin membuat aturan hukum, sampai-sampai disebut negara yang hujan aturan. Tetapi segudang aturan hukum itu tidak ditindaklanjuti dengan konsistensi untuk diterapkan kepada para pelaku kejahatan atau pelanggaran. Di antara aturan hukum tersebut terdapat aturan tentang tindak pidana KKN yang diatur dalam: 1) TAP MPR RI No. XI/MPR/RI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi dan Nepotisme; 2) TAP MPR RI No. VIII/MPR/RI/2001 tentang Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; 3) UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; 4) UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan sejumlah aturan lain yang serupa. Dengan segudang aturan hukum ini, manakah yang akan dipergunakan oleh aparat penegak hukum dalam menjerat pelaku KKN. Akibat terlalu banyak aturan hukum, maka banyak pula interpretasi, kemudian aturan hukum saling dibenturkan sehingga tidak ada satu pun yang dijadikan patokan, dan akhirnya pelaku KKN bisa bebas. Kasus lain yang bisa dicermati ialah bahwa dalam KUHAP di Indonesia tidak menegaskan tentang boleh tidaknya pengadilan in-absentia. Pengadilan in-absentia dipandang sebagai bentuk pengebirian HAM bagi terdakwa yang tidak hadir di pengadilan, karena dari sudut pandang hukum terdakwa harus didengar dan dipertimbangkan pembelaan dirinya berdasarkan tafsiran atas Pasal 145 (5); 154 (5); 155 (1); 203; dan 205 KUHAP. Namun pada sisi lain, pengadilan in-absentia tetap dimungkinkan dengan berpatokan pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6/1988, yang pada hakikatnya berisi bahwa pengadilan in-absentia dimungkinkan, jika terdakwa sudah dipanggil berkali-kali tetapi tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah menurut hukum(--misalnya pura-pura sakit). Kemudian dalam hal terdakwa memberikan kuasa kepada pengacara atau penasihat hukumnya, maka seyogyanya pengadilan tetap menolaknya. Kedua aturan hukum ini sering menjadi biang permasalahan antara penasihat hukum dan pengadilan. Tetapi yang terjadi kemudian adalah perang urat saraf yang amat sengit dan tak kunjung usai, antara pengacara yang membela kliennya sekuat tenaga dengan jaksa dan hakim yang ingin segera menuntaskan kasus hukum tersebut. C. Penegak Hukum Kunci utama penegakan hukum di Indonesia adalah adanya kejujuran, kecerdasan, dan keberanian yang mutlak dimiliki oleh aparat penegak hukum. Struktur hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, termasuk pengacara sebagai last resort of justice harus berupaya menghapus pencitraburukan dan ketidakpercayaan masyarakat. Substansi hukum di Indonesia sebenarnya sudah cukup memadai, tinggal bagaimana struktur hukum ini yang wajib dibenahi. Taverne pernah menyatakan: “Berikan saya seorang polisi yang jujur dan cerdas, berikan saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, serta berikan saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan aturan hukum yang paling buruk sekalipun saya akan menghasilkan putusan yang adil.” Jadi untuk menegakkan keadilan di Indonesia tidak perlu banyak polisi, jaksa, dan hakim kalau hanya menjadi sosok “sapu kotor.” Yang diperlukan kini adalah aparat penegak hukum yang punya kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Jika ini terpenuhi maka keadilan hukum tidak lagi utopis. Banyak permasalahan yang muncul terkait dengan kiprah aparat penegak hukum di Indonesia sebagai akibat ketidakjujuran, ketidakcerdasan, dan ketidakberanian mereka. Pertama, penegak hukum (jaksa) selalu bermain “sandiwara hukum” melalui Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3). Fenomena ini banyak dijumpai di Indonesia. Penegak hukum kelihatannya serius dan tegas dalam penyelidikan, penyidikan, dan persidangan di pengadilan. Tetapi sebenarnya hal tersebut hanyalah untuk mengecoh orang yang menyaksikannya, lalu pada akhirnya akan keluar SP3 dengan alasan tidak cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan. Jadi SP3 hanyalah instrumen “sandiwara hukum” dari penegak hukum. Bahkan yang lebih canggih lagi ialah instrumen “sandiwara hukum” dapat berbentuk pencekalan, penahanan, sampai pada persidangan pengadilan, tetapi berujung pada bebasnya terdakwa atau tersangka dari jeratan hukum. Bukti konkrit yang bisa dilihat yaitu dikeluarkannya SP3 dalam kasus money politics yang melibatkan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara dalam pemilihan Gubernur. Kedua, penegak hukum (pengacara) menjadikan Peninjauan Kembali (PK) sebagai lembaga “pengadilan tingkat keempat.” Di Indonesia sebenarnya hanya mengenal dua tingkatan pengadilan (judex facti), yaitu pengadilan tingkat pertama (PN, PA, dan sejenisnya) serta pengadilan tinggi tingkat banding. MA sendiri tidak dapat ditempatkan sebagai “pengadilan tingkat ketiga”, tetapi hanya pengadilan tingkat kasasi, sebab MA tidak berwenang memeriksa fakta lagi, tetapi hanya berwenang memeriksa benar atau salahnya penerapan hukum. Namun demikian, baik banding maupun kasasi merupakan upaya hukum biasa, karena putusan yang diajukan banding atau kasasi belum in-cracht (mempunyai kekuatan hukum tetap). Sebaliknya peninjauan kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh penegak hukum. Keluarbiasaan PK karena PK diajukan setelah upaya hukum biasa sudah mentok, dan karena semua putusan hukum yang sudah in-cracht dapat diajukan kembali menjadi PK. PK ini secara tertulis ditemukan dalam pasal 263 (2) KUHAP bahwa PK dilakukan atas dasar: 1) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung; 2) apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; dan 3) apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Namun ternyata dalam realitasnya PK sudah menjadi “pengadilan tingkat keempat” karena hampir semua kasus yang sudah in-cracht kembali diajukan PK, meskipun fakta sebenarnya ketiga persyaratan untuk PK di atas tidak terpenuhi. Contoh kasus Tommy Suharto terpidana pembunuh hakim agung Syafiuddin Kartasasmita belum lama ini. Jaksa penuntut umum Hasan Madani sudah menyatakan bahwa ketigabelas alat bukti yang diajukan Tommy sebenarnya sudah muncul pada persidangan tahun lalu; lima saksi yang dihadirkan punya hubungan dekat dengan Tommy sehingga pantas diragukan obyektivitasnya; dan temuan dokter forensik dr. Abdul Mun’im Idris patut diragukan karena DNA dan potongan kuku baru diambil dua bulan lalu dan hanya berselang 1 tahun 7 bulan. Jadi pengajuan PK oleh pengacara Tommy hanyalah akal-akalan semata. Lagi pula Tommy tidak menempuh langkah pengadilan tingkat pertama dan tinggi, sebab jika mengajukan banding atau kasasi hukumannya bakal lebih berat. Sedangkan kalau PK alternatifnya maka hanya pengurangan hukuman atau tetap. Ketiga, penegak hukum (polisi) sering melakukan misinterpretasion atas asas praduga tak bersalah (the presumption of innocence) dan asas pembuktian terbalik. Asas praduga tak bersalah dimaksudkan ialah tidak ada seorang pun yang dapat dijatuhi sanksi pidana, kecuali diberikan kesempatan untuk membuktikan ketidakbersalahannya. Ketika asas ini diberlakukan, mula-mula JPU yang harus dibebani untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakannya, selanjutnya terdakwa dapat menyangkali dengan melakukan pembelaan atas dakwaan tersebut. Tetapi kadang polisi melakukan penangkapan dan penahanan dengan dalih asas praduga tak bersalah itu, padahal penerapan asas tersebut dimulai di ruangan persidangan, bukan di lapangan. Mestinya polisi melakukan penangkapan dan penahanan karena seseorang itu asas diduga bersalah, tidak dengan asas praduga tak bersalah. Contoh konkrit yang masih hangat adalah tindakan aparat kepolisian yang menangkapi dan menahan warga Bojong dalam kasus pengrusakan TPST Bojong. Polisi dengan semena-mena memukuli dan menyeret secara kasar warga masyarakat Bojong, tidak mengenal laki atau perempuan; tua atau muda, sementara mereka belum tentu bersalah atau terlibat dalam pengrusakan tersebut. Keempat, penegak hukum hanya pandai menerapkan asas pembuktian terbalik kepada terdakwa kelas bawah. Asas pembuktian terbalik artinya terdakwa sendiri yang harus membuktikan ketidakbersalahannya di muka pengadilan. Seorang jaksa atau hakim harus juga berani mempressure pejabat-pejabat tinggi, seperti yang terjadi di Jepang. Gubernur Tokushima dan Walikota Shimozuma di Ibaraki Jepang berani mengakui kesalahannya di pengadilan atas kasus suap yang menimpanya, dan sebagai konsekuensinya keduanya mundur dari jabatannya. Kelima, para hakim sengaja menumpuk-numpuk perkara tanpa ada langkah penyelesaian yang jelas. Berdasarkan informasi yang akurat bahwa sampai saat ini tidak kurang dari 16.000 tumpukan perkara kasasi yang mengendap di Mahkamah Agung RI. Semestinya para hakim agung segera menuntaskan tumpukan perkara itu dengan memakai asas peradilan cepat (the speedy administration of justice), selaras dengan pasa 4 UU No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa peradilan di Indonesia dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan murah. Kasus yang lebih urgen sebenarnya yang wajib diselesaikan antara lain kasus Semanggi I dan II; kasus Trisakti; kasus Prajogo Pangestu; kasus Samsul Nursalim; dan kasus lain yang sejenis. Tetapi kenyataannya lain, perkara boleh diproses kalau ada yang menggerakkan perkara tersebut. Yang menggerakkan adalah “uang”, sehingga ada selentingan mengatakan bahwa KUHP adalah “kasih uang habis perkara,” atau “maju tak gentar membela yang bayar”. Beginilah profil pengadilan kita di Indonesia yang hanya menumpuk perkara dan memelihara mafia-mafia peradilan. Keenam, aparat penegak hukum (hakim) masih memahami hukum dalam konteks formal justice, bukan substansial justice. Pemahaman atas aturan hukum secara positiv-normatif atau law in book hanya akan melahirkan keadilan formal. Sementara yang lebih penting dari itu adalah bagaimana mewujudkan keadilan yang sebenar-benarnya sesuai dengan moralitas dan rasa keadilan masyarakat. Inilah yang akan dicapai oleh keadilan yang substansial. Seorang hakim mesti menggunakan pula sudut pandang sosiologis dalam menyelami dan memutuskan perkara. Jika tidak, maka kekeliruan dalam pengambilan putusan pasti terjadi. Misalnya hakim Amiruddin Zakaria memutus 15 tahun penjara untuk Tommy Soeharto, sementara Noval Hadad dan Mulawarman diganjar hukuman seumur hidup. Tommy yang terbukti melakukan pembunuhan terencana; menyimpan senjata ilegal di Hotel Cemara dan di Jalan Alam Segar; dan kabur dari hukuman, adalah kategori kejahatan dengan ancaman maksimal hukuman mati. Sedang Noval Hadad dan Mulawarman hanya eksekutor di lapangan mendapat hukuman seumur hidup. Hal ini terjadi karena Amiruddin Zakaria tidak menyelami rasa keadilan dan moralitas di tengah masyarakat. Ia bahkan melogikakan pasal 27 UU Kehakiman, bahwa hukuman pencuri berbeda dengan tokoh masyarakat dalam kejahatan yang sama. Hukuman bagi pencuri harus lebih berat karena baginya hukuman adalah hal biasa, sebaliknya bagi tokoh masyarakat hukuman seminggu pun sangat berat baginya. Jadi hakim mengidentikan Tommy sebagai tokoh masyarakat. Dimanakah ketokohan dan sikap Tommy yang harus diteladani?. Semestinya Tommy yang harus lebih berat hukumannya ketimbang Noval dan Mulawarman demi hukum dan rasa keadilan.
Akibatnya lebih jauh “ular akan menggigit jika ekornya dipegang, tetapi ular tidak berkutik ketika kepalanya dipegang”. Masih dalam pepatah yang sama, “hukum adalah sarang laba-laba, ia menjaring yang lemah dan lunak. Tetapi jaring akan robek jika menjaring si kaya dan penguasa.” Begitulah sosok penegak hukum di Indonesia. Ketujuh, dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka lembaga-lembaga penegak hukum harus ditempati orang-orang yang bersih track record-nya. Mengenai kebersihan tarck record hanya dimungkinkan jika calon Jaksa dan Hakim Agung tidak harus berasal dari intern kejaksaan dan kehakiman. Untuk sementara ini pucuk pimpinan idealnya diambil dari luar kejaksaan dan kehakiman dengan catatan calon tersebut harus mengerti hukum. Sebab jika diambil dari dalam diduga kuat calan itu sudah terkontaminasi dengan mafia peradilan. Sebagai contoh, SBY seharusnya mengambil orang diluar kejaksaan untuk mengangkat Jaksa Agung, seperti Achmad Ali, Adnan Buyung Nasution, atau Todung Mulya Lubis. Faktanya SBY mengangkat orang internal kejaksaan Abdul Rahman Saleh, yang ternyata sampai kini belum melakukan terobosan-terobosan. Ia hanya mengambil “kue siap saji” yang diberikan SBY. Kedelapan, secara institusional kejaksaan dan kehakiman sudah harus independen, tidak terikat lagi dengan kekuasaan eksekutif. Banyaknya kasus yang melibatkan pihak eksekutif, membuat penegak hukum tidak berkutik sebab ada hirarki yang lebih tinggi yang memimpinnya, dalam hal ini Presiden. Gubernur dan bupati/walikota adalah orang-orang yang sulit ditemukan pelanggarannya karena untuk memeriksa mereka harus ada izin tertulis dari Presiden. Sementara Presiden juga atasan penegak hukum.
D. Sarana dan Fasilitas Dibandingkan dengan negara-negara maju, Indonesia termasuk negara yang berada di bawah standar mengenai sarana dan fasilitas yang dipergunakan dalam rangka upaya penegakan hukum. Hukum terkadang kesulitan mengungkap dan memburu pelaku kejahatan disebabkan minimnya fasilitas dan sarana aparat penegak hukum. Kejahatan dunia maya (cybercrimes), seperti kejahatan internet (hacking) yang dilakukan para hacker misalnya, sulit ditemukan dan dikejar karena peralatan yang digunakan para hacker jauh lebih canggih dibanding kepolisian. Kejahatan hacking ini ada yang kategori berat ada pula yang ringan. Modus operandi hacking dimulai dari tahap mempelajari sistem operasi target sasaran, kemudian menyusup masuk ke jaringan komputer, menjelajahi sistem komputer untuk mencari akses-akses yang lebih tingi dan membuat backdoor guna menghilangkan jejak. Pembuktian jenis kejahatan ini amat berat ketimbang kejahatan umumnya. KUHP yang ada baru mampu menghadapi jenis kejahatan biasa, dan menjadi tidak efektif jika diterapkan apa adanya terhadap cybercrimes, sebab cybercrimes mempunyai karakter tersendiri yang umunya berada di luar jangkauan KUHP. Ini pada konteks aturan hukumnya, belum pada konteks kemampuan fasilitas penegak hukum dalam menguak jenis kejahatan ini. Adalah benar asumsi Parsons lewat Teori Sibernetik-nya bahwa amat erat hubungannya antara hukum dan teknologi. Parsons memandang bahwa sub sistem hukum dan sub sistem teknologi saling mempengaruhi secara timbal-balik. Perkembangan teknologi menambah kompleksnya problem yang diatur oleh hukum, sebaliknya juga hasil-hasil teknologi modern membutuhkan perlindungan hukum. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia perlu memperhatikan betul teori di atas dengan melengkapi segala sarana dan fasilitas institusi, kemampuan personal, dan aturan hukum guna penegakan hukum yang lebih optimal.
E. Masyarakat Pengadilan sebagai last resort pengekan hukum di Indonesia sudah mengalami krisis kepercayaan masyarakat. Betapa tidak, pengadilan yang selama ini diamanahkan oleh rakyat mengemban tugas-tugas mulia ternyata yang terjadi justru sebaliknya, pengadilan sibuk dengan “bisnis”-nya sendiri. Pada akhirnya potensial memunculkan fenomena syndrom anomi, di mana masyarakat tidak lagi percaya kepada aparat penegak hukum dan tidak menjadikan pengadilan sebagai sarana penyelesaian perkara, tetapi mereka menyelesaikan perkara dengan menempuh “cara”-nya sendiri. Penyelesaian masalah melalui cara “tawuran” massal menjadi kenyataan yang biasa terjadi di masyarakat. Kasus perkelahian antar kampung di Makassar kerapkali terjadi. Mengapa demikian? Karena masyarakat sudah bosan dengan celoteh para aparat penegak hukum. Mereka juga beranggapan bahwa setiap masalah yang dibawa ke institusi hukum harus melalui banyak prosedur, termasuk “prosedur administrasi.” Belum lagi berbicara mengenai putusan hukum yang diambilnya, hampir dipastikan bakal tidak memperhatikan rasa keadilan di masyarakat.
F. Kebudayaan Tatanan tradisi sebagai bagian dari kebudayaan mesti menjadi salah satu instrumen pokok dalam pengambilan putusan oleh para hakim. Misalnya di Sulawesi Selatan terdapat budaya “siri” harus menjadi salah satu komponen dalam menyelidiki dan memutuskan sebuah perkara yang mengandung nilai “siri” tadi. Penegak hukum tidak boleh berpedoman pada law in book semata. Faktor-faktor sosiologis, antropologis, dan psikologis masyarakat harus menjadi perhatian utama penegak hukum. Demikian pula sebaliknya, jangan karena unsur kebudayaan (kekerabatan) mengakibatkan penegakan hukum menjadi pilih kasih. Kolusi dengan memperhatikan faktor kekerabatan sangat memungkinkan terjadi. Dampaknya lebih jauh, hukum hanya dekat kepada masyarakat yang tidak punya keluarga penegak hukum, dan jauh dari mereka yang punya keluarga penegak hukum. Jika demikian adanya, maka kebudayaan punya dampak positif sekaligus punya dampak negatif. Kebudayaan yang dipahami secara proporsional akan melahirkan “rasa malu” masyarakat untuk melakukan pelanggaran hukum. Namun sebaliknya kebudayaan sangat berpotensi besar dalam menjauhkan hukum dari basic idiologic-nya, jika tidak diresapi secara baik dan benar. Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki budaya malu (bushido) untuk melakukan pelanggaran hukum sehingga penegakan hukum di Jepang sangat baik. Sebaliknya budaya utang-budi (utang na loob) di Filipina adalah contoh yang tidak pantas dipraktekan di Indonesia, sebab jaringan kekerabatan bentuk ini tidak hanya memperluas kejahatan korupsi, tetapi juga melindungi pelaku korupsi itu sendiri.
Namun di lapangan penegakan hukum itu tidak seindah yang digambarkan oleh teori-teori hukum dan peraturan yang telah mengaturnya. Masalah pokok penegakan hukum terletak kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah pertama, faktor hukumnya, kedua faktor penegak hukum, ketiga, faktor sarana atau fasilitas, keempat faktor masyarakat dan kelima faktor kebudayaan.
Di dalam penegakan hukum jelaslah bahwa kelima faktor tersebut di atas, dalam realitas hubungannya, akan saling berkaitan erat antara satu dengan lainnya. Hal ini, karena di dalam penegakan hukum satu dengan yang lainnya akan dapat saling mempengaruhi dalam perjalanan penegakannya. Kelemahan yang satu berdampak kepada kendala yang lainnya, karena keseluruhannya menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta dalam rangka mempeoleh tolok ukur dari efektifitas penegakan hukumnya. Dari lima faktor masalah penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri itu menjadi titik sentralnya. Hal ini disebabkan baik karena undang-undangnya disusun penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga, merupakan panutan oleh masyarakat luas, sehingga kedudukannya menjadi sangat menentukan di dalam penegakan hukumnya. Meskipun diakui bahwa Soerjono Soekanto tidak menjelaskan faktor manakah yang sangat berpengaruh besar dari keseluruhan faktor tersebut, tetapi yang patut dicatat adalah bahwa salah satu faktornya dapat mendukung membentuk efektifitas hukum dalam penegakan hukumnya. Namun, dengan memperhatikan sistematikanya dari kelima faktor ini jika difungsikan secara optimal penegakan hukum, maka setidaknya hukum itu dinilai dapat dikategorisasikan efektif. Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan sistematika itu dapat membangun efektifitas penegakan hukum, seharusnya, diawali mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimanakah masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun. Artinya, tata urutannya dapat dipredisikan dasar berpikirnya dalam penegakan hukumnya. Oleh karena itu, maka masalah-masalah yang terjadi dalam penegakan hukumnya begitu kompleks dan rumit apabila dipelajari lebih dalam dan tidak sesederhana seperti kasat mata melihatnya. Dibutuhkan sebuah gerakan langkah bersama secara nasional yang teratur, tertata dan terlaksana untuk menumbuhkan penegakan hukum berkeadilan dan berpihak kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Di samping sudah waktunya para penegak hukum juga memperhatikanlah dengan seksama pendapat Soerjono Soekanto itu sebagai bahan permenungan dan kontemplasi di dalam menjalankan peranannya sebagai penegak hukum yang hendak mengarahkan kemana penagakan hukum itu akan bertujuan sesungguhnya.
1. Penegak hukum menegakkan hukum sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan keadilan. Ada ketimpangan antara penegakan hukum terhadap masyarakat dengan kondisi sosial dan ekonomi yang cenderung menegah kebawah dengan masyarakat kelas atas.
2. Penegak hukum menegakkan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu hukum. Banyak aparat penegak hukum seperti polisi atau tenaga militer yang menyelesaikan masalah hukum dengan kekerasan.
Adapun solusi yang sekiranya dapat diterapkan untuk mengurangi problematika tersebut, yaitu :
- Menumbuhan kesadaran dalam pelaksanaan hukum serta adanya keadilan tanpa memandang adanya ras, suku, budaya, maupun agama.
- Pemerintah dapat mendisiplinkan para penegak hukum dan mengadakan evaluasi terhadap kinerja mereka.
- Pemerintah juga dapat menerapkan program jangka panjang untuk penerapan pendidikan karakter dalam tiap jenjang pendidikan.
- Berikan penghargaan bagi para penegak hukum berprestasi yang memberikan trobosan-trobosan baru dalam penegakan hukum di Indonesia, dan mampu menjaga integritas serta transparansinya dalam proses penegakan hukum di masyarakat.
Hukum yang dimaksudkan adalah Undang-Undang (“UU”) atau peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Pemerintah. Faktor hukum yang dimaksud bermula dari undang-undangnya itu sendiri yang bermasalah. Penegakan hukum yang berasal dari UU itu disebabkan oleh: a). tidak diikutinya azas-azas berlakunya, UU b). belum ada peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan UU, c). Ketidak jelasan arti kata-kata dalam UU yang akan berakibat kesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya. Disamping itu adalah ketidakjelasan dalam kata-kata yang dipergunakan dalam perumusan pasal-pasal tertentu. Hal itu disebabkan, karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali. Konsekuensi ini peraturan yang memuat pasal dengan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara luas (multiinterpretasi) dan menyebabkan kesimpang siuran dalam penafsiran atau penerapannya sehingga pada akhirnya menimbulkan konflik. Artinya, faktor hukum yaitu peraturan yang memiliki ketidakjelasan kata-kata dalam perumusan pasal-pasalnya terbukti telah mempengaruhi penegakan hukum terhadap sengketa di Indonesia. Masalah itu tumbuh karena meskipun UU telah disahkan dan berlaku, tetapi hingga batas waktu tertentu belum juga dibuat peraturan pelaksanaannya sebagai perintah Undang-undang, sehingga akibatnya beberapa pasal dari UU tidak dapat dijalankan. Solusinya adalah melakukan upaya-upaya perbaikan terhadap perundang-undangan yang memiliki ketidakjelasan arti kata-katanya sehingga tidak terjadi sengketa lagi di kemudian hari. Selain itu. pembaruan UU juga dapat dilakukan untuk menanggapi UU yang sudah tidak relevan terhadap nilai-nilai yang ada dalam masyarakat saat ini (contoh: mengesahkan RUU KUHP), mengamandemen UUD oleh lembaga legislatig, ataupun uji materiil UU dengan UUD NRI 1945 di MK, atau UU dengan UU di MA.
2. Faktor penegak hukumnya
Penegak hukum adalah pihak-pihak yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penegakan hukum mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penasehat Hukum (Advokat) dan hingga petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap profesi penegak hukum mempunyai wewenang atau kekuasaan tugas masing-masing. Hakim berada dalam peranan yang sangatlah menentukan ketika suatu keputusan diharapkan untuk lahir dan pelaksanaan tugas tersebut, hakim berada di dalam kemandiriannya sendiri, sedangkan tugas dari penegak hukum yang lainnya adalah meyakinkan dan menjelaskan kepada hakim apa dan bagaimanakah permasalahan hukumnya, sehingga akan diperoleh suatu keyakinan hakim untuk dapat memutuskanya secara adil dan juga bijaksana. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu, sebab kenyataannya penegakan hukum tidak berjalan dalam koridor yang benar, sehingga penegakan hukum mengalami kendala dalam tingkatan teknis operasional di masing-masing penegak hukum. Penyebabnya antara lain, pertama rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat; Kedua, Tidak diindahkannya prinsip the right man in the right place; Ketiga, rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum; Keempat, tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang terintegrasi, baik dan moderen; Kelima, kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia caturwangsa, terutama ke badan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman; Terakhir hal yang kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime antaranggota penegak hukum dengan tuduhan mafia peradilan. Praktek penegakan hukum semakin sulit, karena kurang lemahnya koordinasi di antara penegak hukum, baik pada tataran teroritis dan kaidah, maupun dalam tingkat operasionalnya. Padahal, koordinasi hukum itu adalah salah satu faktor penting bagi pemberdayaan hukum kepada masyarakat. Berpijak pada kurang baiknya koordinasi antarpenegak hukum ini, maka kemudian bergemalah keinginan mewujudkan pendekatan hukum terpadu pada keadilan (integrated justice system). Dengan keadaan demikian ini, maka penegak hukum yang tidak dapat menjalankan UU sebagaimana yang seharusnya telah diamanatkan di dalam UU dan akan berdampak negatif terhadap penegakan hukumnya. Solusinya perbaikan dalam hal stuktur/aparatur penegak hukum, diperlukan adanya pendekatan dalam pembentukan character building (pembinaan ESQ) dan keagamaan serta peningkatan SDM, sehingga aparatur penegak hukum di Indonesia memiliki mental yang kuat dan mampu mengemban amanat sesuai rasa keadilan dalam masyarakat.
3. Faktor Kebudayaan
Pada dasarnya, kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa saja yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Penegakan hukum harus juga dapat memahami permasalahan unsur budaya yang dapat mempengaruhi tegaknya hukum. Pada zaman sekarang dikenal dengan adanya suap. Hal ini sudah tidak asing lagi karena sudah menjadi rahasia umum untuk hampir semua instansi pemerintah pernah mengalaminya. Suap ini dapat terus ada dan menjadi budaya karena adanya penjual dan pembeli daripada suap tersebut dari waktu ke waktu. Penjualnya adalah para penegak hukum, yang mengambil keuntungan untuk pribadinya dan tidak menjalankan peraturan yang ada sebagaimana mestinya. Sedangkan dari pembeli adalah orang yang bersedia membayar aparat atau instansi tersebut supaya apa yang diinginkan agar dapat cepat terealisasikan dengan mengabaikan hukumnya itu sendiri. Hal ini menunjukan kelemahan budaya dalam penegakan hukum yang ada. Tentu sampai kapan pun jika budaya ini tidak hilang, penegakan hukum akan berjalan sebagaimana mestinya. Solusinya, dalam perbaikan legal culture dalam masyarakat, apabila secara substance dan struktur sudah berjalan dengan baik, maka legal culture pun akan mengikuti dengan sendirinya.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah penegakan hukum di Indonesia adalah sebagai berikut
1. Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu
2. Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan agar lebih memperhatikan rasa keadilan pada masyarakat dan kepentingan nasional sehingga mendorong adanya kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhinya.
3. Menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi, dan partisipasi baik bagi hakim maupun bagi aparat penegak hukum lainnya
1. Munculnya berbagai tindakan yang didasari kebijakan situasional yang tidak sesuai denga prosedur seharusnya.
2. Proses birokrasi yang rumit seringkali harus menjadi halangan bagi para pencari keadilan dalam mendapatkan keadilan tersebut
3. Munculnya ketidakadilan bagi kaum kalangan menengah kebawah akibat keputusan peradilan yang semena-mena tanpa memperhattikan kesejahteraan masyarakat
Penegakan hukum sendiri terdiri dari 5 faktor yakni :
1) faktor substansi hukum atau peraturan perundang-undangan;
2) faktor penegak hukum, yakni pihak- pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya serta yang berkaitan dengan masalah mentalitas;
3) faktor sarana dan fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum;
4) faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat; dan,
5) faktor budaya hukum.
Solusi : Sistem Penegakan hukum di Indonesia sudah sebaiknya dibuat lebih ramah terhadap semua kalangan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat secara tersirat maupun tersurat agar bisa menciptakan rasa adil dan kesEtaraan dihadapan hukum sebagaimana tertulis dalam undang-undang.
1. Masalah pembuatan peraturan perundang-undangan
2. Masyarakat mencari kemenangan bukan keadilan
3. Uang mewarnai penegakan hukum
4. Penegakan hukum sebagai komoditas politik, penegakan hukum yang diskriminatif dan ewuh pekewuh.
5. Lemahnya sumberdaya manusia.
6. Advokat tahu hukum versus advokat tahu koneksi.
7. Keterbatasan anggaran.
8. Penegakan hukum yang dipicu oleh media masa
Untuk dapat menegakkan hukum di Indonesia, diperlukan perbaikan moralitas para penegak hukum. Penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan penuh integritas dan apabila terdapat penegak hukum yang melanggar peraturan harus diberi sanksi seberat beratnya dan jangan lagi dibiarkan masuk ke ranah hukum. Peraturan dan kebijakan pun juga harus diperhatikan dan dibuat agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
NPM: 2018011075
Penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya untuk menjadikan norma-norma hukum berfungsi secara nyata sebagai pedoman berperilaku dalam hal lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara (Sumadikara, 2010 dalam Wardani dan Novianto, 2018). Hal ini berarti penegakan hukum sangat berpusat pada upaya atau tindakan seseorang yang dilakukan dengan tujuan memastikan hukum yang berlaku dapat diterapkan dengan baik.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi penegakan hukum, yakni:
1. Faktor undang-undang. Hal ini bisa berupa gangguan yang berasal dari undang-undang.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membuat maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung bagi penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni daerah atau lingkungan yang menjadi lokasi hukum terkait diberlakukan.
5. Faktor budaya, yaitu sebagai karya dan rasa yang berlandaskan pada karsa manusia dalam pergaulan di kehidupan
(Soekanto, 2005 dalam Wardani dan Novianto, 2018).
Kelima inilah yang memberikan pengaruh pada penegakan hukum di Indonesia. Kita dapat melihat terlebih dahulu pada faktor yang pertama, yaitu faktor undang-undang. Tentu bila undang-undang, yang merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam hukum di Indonesia, atau bahkan bisa disebut hukum itu sendiri, tidak sesuai dengan yang seharusnya atau menyimpang dari Pancasila dan tujuan bangsa Indonesia, undang-undang tersebut dapat menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak sesuai harapan. Undang-undang yang isinya tidak membantu dalam mewujudkan keteraturan dan harapan bangsa Indonesia hanya akan memberikan kerugian pada bangsa kita sendiri. Bila suatu hal yang seharusnya dikaji dan dimasukkan ke dalam undang-undang karena merupakan hal yang vital dan penting untuk diberlakukan atau diwujudkan tidak dimasukkan atau dibuat aturannya terkaitnya di dalam undang-undang, tentu akan merugikan pula bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan merugikan bagi orang-orang yang sangat erat kehidupannya dengan hal yang seharusnya dibahas di dalam undang-undang tersebut.
Faktor kedua adalah faktor penegak hukum, Hal ini sangat terlihat jelas di Indonesia. Bila undang-undang ada dan adekuat, tetapi penegak hukumnya sendiri tidak mematuhi undang-undang dan tunduk kepada penyimpangan yang terjadi di masyarakat, tentu hal ini tidak sesuai dengan yang bangsa Indonesia harapkan ketika membentuk hukum tersebut. Penegak hukum yang kurang tegas akan membantu pelanggar hukum dalam tindakan pelanggarannya.
Faktor sarana atau fasilitas juga merupakan hal yang sangat penting. Sarana yang sangat berkaitan dengan penegakan hukum, misalnya kantor polisi atau pos satpam, haruslah dalam keadaan yang baik dan sesuai bila penegakan hukum itu sendiri ingin diberlakukan. Di Indonesia, masih sering dijumpai pos-pos jaga atau pos-pos satpam yang terkesan kurang diurus. Ini tentu mengurangi kemungkinan ditegakkannya hukum dari pihak penjaga atau satpam yang seharusnya menempati pos itu sendiri. Ketiadaan penjaga atau satpam di dalam pos-posnya tidak dapat dipungkiri bila posnya sendiri tidak diurus dengan baik atau bahkan tidak ada sama sekali di tempat di mana penegakan hukum harus dilakukan, yang berarti di setiap tempat di Indonesia.
Faktor masyarakat juga tidak kalah penting. Penegakan hukum merupakan suatu objek yang harus digarisbawahi setiap saat. Namun, apa jadinya hukum bila pelaku penegak hukum, yaitu bangsa Indonesia, tidak bertindak sesuai hukum yang berlaku dan mengabaikan hukum tersebut? Sesesuai apapun hukum yang tertera dalam undang-undang maupun peraturan lainnya, tidak akan berguna bila masyarakat yang tinggal di tempat hukum tersebut diberlakukan tidak bekerja sama menegakkan hukum yang dibuat. Keteraturan dan penegakan hukum yang baik akan sulit dicapai bila kontributor yang seharusnya sangat berperan dalam penegakan hukum itu sendiri, yaitu seluruh masyarakat Indonesia, tidak berkontribusi dengan baik dalam penegakan hukum. Kita masih dapat menemukan hal semacam ini di Indonesia. Masyarakat yang mengabaikan peraturan lalu lintas contohnya. Banyak warga Indonesia yang masih tidak menunjukkan kepedulian yang seharusnya dalam penegakan hukum di Indonesia. Dan yang terakhir adalah faktor budaya yang tentu berpengaruh pula dalam penegakan hukum. Ini masih terkait dengan faktor masyarakat, di mana di dalam masyarakat pastilah ada budaya yang berlaku.
Rendahnya kesadaran masyarakat terkait hukum yang berlaku menjadi salah satu penyebab belum tegaknya prinsip negara hukum Indonesia. Hal ini disebabkan oleh:
1. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terkait hukum serta ketentuannya
2. Kurangnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat akan proses penegakan hukum yang berlangsung
3. Faktor integritas serta moral yang masih rendah
4. Faktor sarana dan prasarana yang masih belum cukup serta belum sesuai
(Usman, 2014).
Kurangnya pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran masyarakat yang ada di Indonesia tentu menjadi penghambat penegakan hukum di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari ketidaktahuan masyarakat mengenai beberapa hukum, bisa juga dilihat dari pengabaian masyarakat terkait hukum. Hal ini pula menjadikan kita kembali kepada pembahasan sebelumnya, yang mana bila hukum ada dan sesuai, tetapi masyarakat yang seharusnya turut serta dalam penegakan hukum tersebut tidak peduli dan tidak ikut bertindak, bahkan tidak sadar atau tidak tahu akan hukum tersebut, bagaimana hukum di Indonesia dapat ditegakkan sesuai harapan?
Hal-hal yang dapat dilakukan sebagai solusi atas permasalahan tersebut antara lain diadakannya penyuluhan mengenai hukum kepada masyarakat, pembaharuan hukum, memastikan proses hukum tidak didasarkan pada motivasi politik, menjunjung tinggi HAM dan tidak diskriminatif, serta melakukan pembenahan agar institusi pemerintahan dapat menjadi lebih baik dan lembaga penegakan hukum menjadi lebih seperti yang diharapkan demi baiknya penegakan hukum di Indonesia (Usman, 2014). Tindakan-tindakan berikut dapat sangat berpengaruh kepada penegakan hukum di Indonesia. Alasannya adalah karena tindakan-tindakan tersebut dapat membantu meningkatkan kesadaran, pengetahuan , serta pemahaman masyarakat mengenai hukum, yang mana ketiga hal yang masih terbilang rendah ini merupakan akar permasalahan sulitnya penegakan hukum di Indonesia. Dengan solusi-solusi tersebut, akar permasalah ini dapat teratasi dan penegakan hukum di Indonesia dapat berjalan ke arah yang lebih baik.
1. Faktor hukum dan peraturan itu sendiri
Hukum yang dimaksudkan adalah Undang-Undang (UU) atau peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Pemerintah. Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidakcocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ketidakserasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, dan seterusnya
2. Faktor penegak hukum
Permasalahan utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukan hanya bersumber dari sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat) serta judicial corruption yang sudah terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
3. Faktor sarana atau fasilitas
Tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan baik, yang antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah penegakan hukum dapat mencapai tujuannya. Tenaga manusia yang berpendidikan tinggi disini diartikan sebagai para penegak hukum yang mumpuni dan berkualitas yaitu mampu atau dapat melayani dan mengayomi masyarakat sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing.
4. Faktor masyarakat
Seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasar-dasarnya. Hal lainnya yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga sosial yang hidup, serta sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga masyarakat yang ada. Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut, maka dapat memudahkan penegak hukum untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut.
5. Faktor kebudayaan
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya ketika berhubungan dengan orang lain. Pada dasarnya, kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa saja yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Solusi atau pemecahan problematika penegakan hukum di Indonesia, diantaranya :
1. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan penegakan hukum sebagai upaya untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia dan untuk meminimalisir terjadinya problematika penegakan hukum.
2. Adanya pengawasan yang intens terhadap para penegak hukum, banyaknya kasus penyuapan di lingkungan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman menjadi bentuk keterpurukan tersendiri dalam buruknya penegakan hukum di Negara kita. Korupsi sekarang telah menjadi budaya yang tidak bisa diberantas, sehingga harus ada penegasan hukuman terhadap para penegak hukum yang melakukan korupsi. Penegasan ini harus member efek jera dan membuat para penegak hukum sadar akan pentingnya keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia.
3. Program jangka panjang yang perlu dilakukan yakni penerapan pendidikan karakter dalam setiap tingkatan pendidikan. Untuk mengetahui tingkat keefektifan program tersebut dalam membangun atau menguatkan mental generasi bangsa ditengah penurunan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun perlu kita pupuk dulu agar nantinya generasi-generasi penerus bangsa tidak salah langkah dalam mengambil setiap keputusan. Program ini juga mempunyai implikasi positif terhadap penegakan hukum yang dijalankan di Indonesia karena para penegak hukum telah dibekali pembangunan karakter yang akan melahirkan atau menciptakan manusia Indonesia yang unggul dan bermoral.
4. Upaya penegakan hukum pun diarahkan pula pada kebijakan yang konsisten terhadap perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dengan tujuan untuk melakukan tindakan preventif dan korektif terhadap penyimpangan kaidah hukum, norma sosial yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan pelaksanaan penegakan hukum yang demikian, diharapkan ke depan penegakan hukum dapat menjadi tumpuan dalam rangka merebut kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dengan mengutamakan beberapa agenda penegakan hukum.
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi hanya pada undang-undang
2. Faktor penegak hukum, yakni tentunya para pihak-pihak yang bertugas untuk menegakkan hukum yang ada di Indonesia
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup yang tentunya tidak akan dapat dipisahkan dengan berbagai variabel yang ada di tengah lingkungan masyarakat Indonesia
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menegakan hukum yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Pemberantasan Korupsi di institusi hukum di Indonesia
2. Pendidikian hukum yang progresif
3. Pengawasan yang intensif oleh masyarakat terhadap penegak hukum. Masyarakat juga hendaknya turut berpartisipasi secara aktif dalam mengawasi jalannya hukum pemerintahan yang ada di Indonesia.
4. Upaya penegakan hukum pun diarahkan pula pada kebijakan yang konsisten terhadap perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dengan tujuan untuk melakukan tindakan preventif dan korektif terhadap penyimpangan kaidah hukum, norma sosial yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5. Harus ada konsep perubahan yang digunakan dalam penegakan hukum
6. Menunjang terciptanya sistem peradilan pidana yang terpadu melalui sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas dan wewenang hakim dan aparat penegak hukum lainnya
7. Meningkatkan pembinaan integritas, kemampuan atau ketrampilan dan ketertiban serta kesadaran hukum dari pelaksana penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya. Dalam melaksanakan tugasnya penegak hukum benar-benar melaksanakan asas persamaan hak di dalam hukum bagi setiap anggota masyarakat.
8. Harus ada reformasi institusional didalam tubuh lembaga penegak hukum. Bukan hanya reformasi didalam tubuh Polri dan Kejaksaan RI tapi juga pada lembaga penegak hukum lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK). Hal ini dikarenakan carut-marutnya hukum yang ada di Indonesia juga disebabkan karena adanya oknum – oknum yang tidak bertanggungjawab didalam tubuh lembaga penegak hukum.
Dalam hal ini diperlukan adanya upaya untuk mengatasi masalah-masalah penegakan hukum di Indonesia. Upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu, Menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi, dan partisipasi baik bagi hakim maupun bagi aparat penegak hukum lainnya dań Meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, Polisi dan PNS melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya sampai dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang disesuaikan dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab kerja yang dibebankan.
Permasalahan dari faktor tersebut dapat siminimalisasi diantaranya:
1. Faktor hukum dengan cara reformasi di bidang hukum
2. Faktor penegak hukum dengan meningkatkan mental dan kinerja serta digunakannya nilai-nilai dalam masyarakat dan nilai-nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugasnya
3. Faktor fasilitas dengan organisasi yang baik, perlatan yang memadai, keuangan yang cukup,
4. Faktor masyarakat dengan sejak dini meningkatkan mental yang kuat, sikap malu, pendirian iman yang kuat serta peran pemerintah dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat
1. Lemahnya Integritas Penegakan Hukum
2. Tidak Ada Pengawasan yang Efektif
3. Masih Melihat Hukum dari Kontennya
4. Mentalitas Praktisi Hukum yang Lemah
5. Struktur Hukum yang Overlapping Kewenangan
6. Sarana dan Prasarana Hukum Kurang Memadai
7. Peraturan Hukum yang Kurang Jelas
8. Independensi Hakim Masih Bermasalah
9. Proses Peradilan yang Masih Bermasalah
10. Kesadaran Hukum Masyarakat yang Kurang
11. Lemahnya Political Will dan Political Action
12.Penegakan Hukum Masih Positivis-Legalistis
13. Peraturan Perundang-Undangan Masih Belum Memihak Rakyat
14. Kebijakan Seringkali Diputuskan oleh Pihak Terkait
15. Budaya Lama yang Terus Dilanjutkan
Untuk itu, solusi agar penegakkan hukum di Indonesia berjalan dengan adil dan berjalan sebagaimana mestinya antara lain:
1. Integritas Penegakan Hukum harus kuat, jangan terpengaruh dengan godaan materi
2.Harus Ada Pengawasan Yang Efektif
3.Tidak lagi Melihat Hukum Dari Kontennya tapi Pada Pelaksanaan dan Manfaatbagi Masyarakat
4.Mentalitas Praktisi Hukum Harus Kuat
5.Struktur Hukum Harus Jelas dan Tidak Overlapping Kewenangan
6.Sarana dan Prasarana Hukum Harus Memadai
7.Peraturan Hukum Harus Jelas dan Mudah Dipahami
8.Independensi Hakim Harus Jelas dan Tidak Bermasalah
9.Proses Peradilan Harus Transparan dan Tidak Bermasalah
10.Kesadaran Hukum Masyarakat Harus Tinggi
11.Political Will dan Political Action Harus Kuat
12.Penegakan Hukum Masih Mengutamakan Substansi bukan Formalnya saja
13.Peraturan Perundang Harus Memihak Rakyat
14.Kebijakan Diputuskan Harus Bersifat Komperhensif atau Menyeluruh
15.Budaya Lama Jangan terus Dilanjutkan Kecuali yang bermanfaat
1. pangkat dan jabatan, seringkali di Indonesia orang-orang yang mempunyai pangkat atau keududukan yang tinggi akan mendapat hak keistimewaan sendiri, termasuk pembelaan dalam hal hukum.
2. korupsi, hal ini berkaitan dengan nomor 1 dimana biasanya orang yang mempunyai kedudukan tinggi akan menggunakan orang dalam untuk mendapatkan keistimewaan dalam hal penegakan hukum dengan membayar atau memberi sesuatu yang menggiurkan agar penegakkan hukum tidak terlaksana
3. pendidikan yang masih kurang, pendidikan mengenai keadilan dan hukum di Indonesia masih dalam bentuk teori belum direalisasikan dalam kehidupan nyata, padahal semenjak kecil seharusnya anak-anak diberi pengetahuan mengenai pentingnya penegakan hukum di Indonesia
4. budaya masyarakat, budaya seringkali juga menjadi penghalang dimana ada beberapa budaya yang mengistimewakan satu golongan tertentu padahal hukum tidak mengenal hal seperti itu
solusi : pembaharuan akal budi manusia, peningkatan kualitas sdm sangat penting dalam menegakkan hukum di Indonesia, melalui pendidikan semua poin-poin yang berada di atas akan dapat diminimalisasi. Dengan catatan, pendidikan yang diberikan harus sesuai dengan aturan Pancasila dan UUD 1945, serta pengamalan akan nilai-nilai Pancasila juga merupakan suatu keharusan yang penting demi tercapainya penegakan hukum di Indonesia.
1. Faktor sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana tentu sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai, tentu sulit untuk menegakkan hukum dan mencapai tujuan yang diinginkan. Sarana dan prasarana yang kurang memadai akan menjadi tantangan yang berat bagi penegakan hukum. Tenaga manusia yang berpendidikan tinggi disini diartikan sebagai para penegak hukum yang mumpuni dan berkualitas yaitu mampu atau dapat melayani dan mengayomi masyarakat sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing.
2. Faktor kebudayaan
Pada dasarnya, kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa saja yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Sebenarnya, faktor kebudayaan memiliki kemiripan dengan faktor masyarakat. Hanya saja, di dalam faktor kebudayaan lebih ditekankan mengenai masalah sistem nilai-nilai yang ada di tengahnya masyarakat.
3. Faktor masyarakat
Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan ragam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasar-dasarnya. Hal lainnya yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga sosial yang hidup, serta sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga masyarakat yang ada. Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut, maka dapat memudahkan penegak hukum untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut.
1) Faktor undang-undang, yakni gangguan yang berasal dari undang-undang mungkin.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegekan hukum
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5) Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
di dalam pergaulan hidup.
Menurut Soerjono Soekanto, kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan
hukum.
Permasalahan dari faktor tersebut dapat siminimalisasi diantaranya:
1. Faktor hukum dengan cara reformasi di bidang hukum
2. Faktor penegak hukum dengan meningkatkan mental dan kinerja serta digunakannya nilai-nilai dalam masyarakat dan nilai-nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugasnya
3. Faktor fasilitas dengan organisasi yang baik, perlatan yang memadai, keuangan yang cukup,
4. Faktor masyarakat dengan sejak dini meningkatkan mental yang kuat, sikap malu, pendirian iman yang kuat serta peran pemerintah dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menegakan hukum yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Pemberantasan Korupsi di institusi hukum di Indonesia
2. Pendidikian hukum yang progresif
3. Pengawasan yang intensif oleh masyarakat terhadap penegak hukum. Masyarakat juga hendaknya turut berpartisipasi secara aktif dalam mengawasi jalannya hukum pemerintahan yang ada di Indonesia.
4. Upaya penegakan hukum pun diarahkan pula pada kebijakan yang konsisten terhadap perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dengan tujuan untuk melakukan tindakan preventif dan korektif terhadap penyimpangan kaidah hukum, norma sosial yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1. Upaya penegakkan hukum yang merupakan tulang punggung tegaknya hukum berlum berjalan dengan baik. Hal ini dapat dikarenakan aparat penegak hukum yang masih kurang menjalankan tugasnya
2. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melaksanakan dan menjalankan hukum yang telah ditegakkan.
3. Hukum yang dibentuk bukan merupakan hukum reponsif. Hal ini merujuk pada hukum yang dibentuk tidak sesuai atau tidak sejalan dengan cita-cita masyarakat dan sedikit melenceng dari landasan Pancasila.
4. Pemahaman yang salah terkait peraturan atau hukum yang sedang berlangsung juga dapat mengacaukan penegakkan hukum di Indonesia.
Solusi :
1. Aparat penegak hukum harus lebih disiplin dan berintegritas tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum
2. Membangun kesadaran akan pentingnya hukum yang berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilakukan melalui ajakan untuk lebih peka dan menaati hukum melalui media sosial dan melalui pembelajaran resmi seperti pembelajaran kewarganegaraan.
3. Hukum yang dibentuk hendaknya sejalan dengan cita-cita bangsa dan sesuai dengan nilai Pancasila
4. Dalam menegakkan hukum, lakukan sosialisasi, hingga nilai yang terkandung dalam hukum tersebut dapat tersampaikan dengan baik.
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan ter- tentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta memberikan keteladanan yang baik. Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat) serta judicial corruption yang sudah terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulit- kan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerap- kan prinsip-prinsip good governance. Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa ber- fungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya. Misalnya, kalau hukum ter- tulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan. Maka seluruh lapisan masyarakat akan merasakan akibat pahitnya.
Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam
penegakkan hukum, menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai berikut:
a) Sampai sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,
b) Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,
c) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat,
d) Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenang- nya.11
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemah- nya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Kondisi riil yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya kegaga- lan aparat-aparat penegak hukum dalam menegakan hukum. Kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri. Ketidakmam- puan penegakan hukum diakibatkan profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum berkait masalah KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) yang dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi rahasia umum. Terlepas dari dua hal di atas lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga dapat kita lihat dari ketidakpuasan masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai wadah untuk mencari keadilan bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa ketidakadilan. Akhir-akhir ini banyak isu yang sedang hangat-hangat di perbincangkan salah satunya adalah permasalahan korupsi. Kasus ini seakan sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di bangsa ini. Penyakit korupsi melanda seluruh lapisan masyarakat bahkan yang menjadi perhatian saat ini adalah para aparat yang seharusnya menjadi penegak dalam kasus ini juga ikut terkait di dalamnya. Salah satu lembaga yang menjadi perhatian adalah lembaga peradilan. Korupsi telah merambat dan mengo- tori hampir seluruh institusi penegakan hukum kita termasuk lembaga peradilan. Misalnya saja tentang salahnya penegakan hukum di Indonesia seperti saat seseorang mencuri sandal, ia disidang dan didenda hanya karena mencuri sandal seorang briptu yang harganya bisa dibilang murah, sedangkan para koruptor di Indonesia bisa dengan leluasa merajalela, menikmati hidup seakan tanpa dosa, karena mereka memandang rendah hukum yang ada di Indonesia. Kita ambil contoh Arthalyta Suryani beberatahun lalu, yang menempati ruang tahanan yang terbilang mewah dari tahanan yang lain karena lengkap dengan fasilitas televisi, kulkas, AC, bahkan sampai ruang karokean. Hal ini kemudian memperlihat- kan diskriminasi di dalam pemutusan perkara oleh lembaga peradilan kita dimana rakyat miskin yang tidak mempunyai kekuatan financial seakan hukum begitu runcing kepadanya sedang-kan para orang-orang yang berduit menganggap hukum itu bisa dibeli bahkan saya anggap bahwa sel tahanan mereka tidak layaklah dikatakan sebagai sel tetapi hotel sementara sedang- kan rakyat miskin begitu merasakan yang namanya sel tahanan. Hukum di negara kita ini dapat diselewengkan atau disuap dengan mudah- nya, dengan inkonsistensi hukum di Indonesia. Selain lembaga peradilan, ternyata aparat kepolisianpun tidak lepas dari penyelewengan hukum. Misalnya saat terkena tilang polisi lalu lintas, ada beberapa oknum polisi yang mau atau bahkan terkadang minta suap agar kasus ini tidak diperpanjang, polisinya pun men- dapatkan keuntungan materi dengan cepat namun salah tempat. Ini merupakan contoh kongkrit di lingkungan kita.
Berbagai realita yang terjadi di era reformasi sampai sekarang terkait dengan penegakan hukum yang terdapat di Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang tertuang dalam kontitusi negara ini. Indonesia dengan berbagai macam problem tentang anarkisnya para penegak hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh para pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser dari amanah konstitusi namun kita tidak sepantasnya untuk menyalahkan sepenuh- nya kegagalan tersebut kepada para penegak hukum atau pihak-pihak yang menjalankan hukum karena bagaimana pun masyarakat adalah pemegang hukum dan tempat hukum tersebut berpijak. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” merupakan entri yang sangat menuju masyarakat kewargaan. Masyarakat kewar- gaan pertama-tama akan mempersoalkan siapa-siapa yang termasuk ke dalam kategori warga atau kewargaan dalam masyarakat. Reformasi hukum hendaknya secara sungguh-sungguh menjadikan “eksistensi kebhinekaan” menjadi agenda dan bagaimana mewujudkan ke dalam sekalian fundamental hukum. Kalau kita belajar dari pengalaman, maka semboyan “Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi tekanan pada aspek ”Tunggal”, sehingga memperkosa eksistensi pluralism. Demi ketunggalan atau kesatuan, pluralism tidak dibiarkan ada.
Bertolak dari pengakuan terhadap eksistensi pluralism tersebut, maka konflik adalah fungsional bagi berdirinya masyara- kat. Konflik bukan sesuatu yang harus ditabukan, sebab mengakui kebhinekaan adalah mengakui konflik, sebagai sesuatu yang potensial. Dengan demikian, filsafat yang dipegang adalah menyalurkan konflik sedemikian rupa sehingga menjadi produktif buat masyarakat. Masalah tentang problematika penegakan hukum telah menjadi sebuah tema yang sangat menarik untuk diangkat dalam berbagai seminar. Salah satu diantaranya tidak ada kepuasaan yang dicapai subjek hukum yang tidak lain adalah manusia serta berbagai badan-badan hukum.
Saya mencoba untuk memberikan beberapa pemecahan dari berbagai problematika penegakan hukum di Indonesia. Yang pertama yakni bagaimana sikap serta tindakan para sarjana hukum untuk lebih memperluas cakrawalanya dalam memahami atau menganalisis masalah-masalah yang terjadi sekarang ini. Di sini dibutuhkan sebuah pandangan kritis akan makna atau arti penting penegakan hukum yang sebenarnya. Selain itu dibutuhkan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi dalam mengidentifikasi masalah- masalah sosial serta penegakan hukum yang ada dalam masyarakat agar dalam pembuatan hukum ke depannya dapat menjadikan kekurangan atau kegagalan di masa lalu sebagai bahan pembelajaran. Namun yang perlu diingat bersama adalah adanya kesadaran dalam pelaksanaaan hukum serta adanya keadilan tanpa memandang suku, agama, ras, serta budaya seperti yang terkandung di dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Kemudian yang kedua, cara untuk menyelesaikan berbagai masalah terkait hal tersebut yakni bagaimana tindakan para aparat penegak hukum mulai dari polisi, hakim, jaksa, serta pengacara dalam menangani setiap kasus hukum dengan dilandasi nilai-nilai kejujuran, sadar akan namanya keadilan, serta melakukan proses- proses hukum sesuai dengan aturan yang ada di dalam undang-undang negara kita. Bukan hanya itu filosofi Pancasila sebagai asas kerohanian dan sebagai pandangan hidup dalam bertindak atau sebagai pusat dimana pengamalannya sesuai dengan cita- cita dan tujuan negara kita sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 yang terdapat pada alinea ke-IV. Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks perundang.
1) Pembentukan hukum, baik melalui proses legislasi maupun melalui yurisprudensi belum mampu menghasilkan hukum yang berparadima Indonesia.
2) Ketidak jelasan arti kata-kata dalam UU yang akan berakibat kesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Berikut upaya-upaya yang dapat dilakukan:
1) Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu
2) Menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi, dan partisipasi baik bagi hakim maupun bagi aparat penegak hukum lainnya
3) Meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, Polisi dan PNS melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya sampai dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang disesuaikan dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab kerja yang dibebankan
4) Menunjang terciptanya sistem peradilan pidana yang terpadu melalui sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas dan wewenang hakim dan aparat penegak hukum lainnya
5) Meningkatkan peran Advokat dan Notaris melalui optimalisasi standar
1. Munculnya berbagai tindakan yang didasari kebijakan situasional yang tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya.
2. Proses birokrasi yang rumit seringkali harus menjadi halangan bagi para pencari keadilan dalam mendapatkan keadilan tersebut.
3. Munculnya ketidakadilan bagi kaum kalangan menengah kebawah akibat keputusan peradilan yang semena-mena tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi penegakan hukum, yakni:
1. Faktor undang-undang. Hal ini bisa berupa gangguan yang berasal dari undang-undang.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membuat maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung bagi penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni daerah atau lingkungan yang menjadi lokasi hukum terkait diberlakukan.
5. Faktor budaya, yaitu sebagai karya dan rasa yang berlandaskan pada karsa manusia dalam pergaulan di kehidupan.
Sistem penegakan hukum Indonesia harus lebih ramah kepada semua orang, sesuai dengan peraturan yang telah dibuat secara tersirat maupun tersurat agar bisa menciptakan rasa adil dan kesetaraan dihadapan hukum sebagaimana tertulis dalam undang-undang. Selain itu diperlukan juga kesadaran dalam diri sendiri dalam menegakkan hukum.
1. Faktor hukum sendiri yang terbatas pada undang-undang tertulis tanpa konsiderasi etika dan pembaharuan zaman;
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum tidak bersikap adil, jujur, dan transparan;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum masih belum tercukupi
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan masih memiliki pengetahuan yang kurang akan penegakan hukum; dan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup memepengaruhi keputusan hukum;
Berikut upaya-upaya untuk meningkatkan penegakan hukum di Indonesia:
1. Pemberantasan KKN di institusi hukum di Indonesia;
2. Pendidikian hukum yang progresif kepada seluruh jajaran masyarakat Indonesia tidak terkecuali;
3. Pengawasan yang intensif oleh masyarakat terhadap penegak hukum dan transparansi segala kegiatan hukum di Indonesia;
4. Upaya penegakan hukum dilaksanakan berdasarkan kebijakan yang konsisten terhadap perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dengan tujuan untuk melakukan tindakan preventif dan korektif terhadap penyimpangan kaidah hukum, norma sosial yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan
5. Harus terdapat pembaharuan terhadap hukum tertulis seiring perkembangan zaman.
1. Lemahnya Integritas Penegakan Hukum
Salah satu masalah yang sering terjadi di hukum Indonesia adalah karena lemahnya integritas penegakan hukum di Indonesia yang sangat mempengaruhi sistem hukum Pidana yang seharusnya menjadi hukum formal serta hukum materiil. Solusi hal ini pula lah yang menyebabkan banyaknya permunculan kasus misalnya saja korupsi di Indonesia.
2. Tidak Ada Pengawasan yang Efektif
Hal lainnya yang menyebabkan hukum di Indonesia sangat lemah adalah karena tidak ada pengawasan yang efektif terkait dengan hukum yang berjalan baik oleh pengadilan, pengawasan internal pemerintah, parlemen, dan komisi Negara Independen.
3. Masih Melihat Hukum dari Kontennya
Sebenarnya hukum yang berlaku di Indonesia saat ini masih menganut pada hukum yang berlaku saat masa pemerintahan Belanda. Dimana tujuan dari faktor perubahan sosial adanya hukum hanya untuk melindungi penguasa-penguasa (Belanda) yang berada di Indonesia saja. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum tersebut hadir hanya untuk melindungi kalangan atas saja. Sistem ini lah yang terkadang masih dianut Indonesia sampai saat ini. Bukannya untuk melindungi keadilan rakyat kecil, namun digunakan untuk melindungi penguasa.
4. Mentalitas Praktisi Hukum yang Lemah
Masalah lainnya adalah lemahnya praktisi hukum yang menjalankannya, seperti jaksa, hakim, pengacara, bahkan polisi. Jika praktisi hukum yang ada masih macam- macam bencana alam di Indonesia memiliki mentalitas yang lemah maka tentu saja akan menyulitkan proses hukum yang sedang berlangsung. Sehingga harapan untuk hukum yang adil bagi rakyat hanyalah sebatas impian semata.
5. Struktur Hukum yang Overlapping Kewenangan
Hal lainnya yang dapat menyebabkan permasalahan hukum adalah struktur hukum di Indonesia yang terkadang Overlapping terhadap kewenangan yang ada. Hal ini tentu saja akan membuat asa diferensial fungsional terabaikan yang akhirnya akan memicu konflik.
6. Sarana dan Prasarana Hukum Kurang Memadai
Di Indonesia sendiri, sarana dan prasarana Hukum sangat kurang. Mulai dari batas wilayah laut Indonesia dari bangunan hingga pelaku-pelaku hukum memiliki sumber daya yang terbatas. Sehingga hal ini lah yang membuat jalannya hukum di Indonesia masih begitu mengalami banyak masalah.
7. Peraturan Hukum yang Kurang Jelas
Dengan adanya peraturan yang jelas, pasti serta partisipasi aktif di dalamnya tentu saja akan membuat peraturan hukum di Indonesia semakin baik. Namun sayangnya, di Indonesia sendiri masih banyak masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan penilaian multitafsir dari peraturan-peraturan yang ada. Selain itu, partisipasi publik yang sangat minim dalam pembentukan perundang-undangan juga menjadi penyebab dari masalah hukum di Indonesia.
8. Independensi Hakim Masih Bermasalah
Proses hukum akan berjalan baik jika hakim memiliki kekuasaan yang merdekat tanpa harus dipengaruhi dari tekanan berbagai pihak. Namun masih banyak ditemukan kasus di Indonesia jika independesin hakim masih sangat bermasalah. Masih banyak hakim-hakim Indonesia yang rentan terhadap suap dari beberapa pihak.
9. Proses Peradilan yang Masih Bermasalah
Masih banyak ditemukan proses peradilan di Indonesia yang selalu bermasalah, hal ini bisa saja disebabkan karena tak adanya jaminan ataupun pengaturan yang melarang kegiatan suap menyuap. Masih banyak pula diskriminasi hukum yang beradasarkan status ekonomi dan sosial seseorang.
10. Kesadaran Hukum Masyarakat yang Kurang
Jika kondisi masyarakat Indonesia sudah banyak perkembangan wilayah Indonesia yang “melek” terhadap hukum, maka tentu saja potensi atas penyelewengan hukum bisa diminimalisir. Namun sayangnya masih banyak masyarakat indonesia yang belum terlalu sadar akan hukum, sehingga memicu perkembangan kecurangan serta penyelewengan yang semakin meningkat di dalam proses hukum.
11. Lemahnya Political Will dan Political Action
Lemahnya kedua faktor ini bagi para penguasa Negara tentu saja akan membuat kekuatan hukum semakin melemah di dalam penyelenggaraan pemerintah. Dapat dikatakan jika supremasi hukum hanya sebatas retorika semata saja yang hanya diperdengarkan saat kampanye namun tak dilaksanakan saat pemerintahan.
12. Penegakan Hukum Masih Positivis-Legalistis
Paradigma dari penegakan hukum di Indonesia masih dalam peran dunia internasional dalam konflik Indonesia Belanda bersifat positivis legalistis sehingga membuat tujuan utama pencapaian hukum hanya sebatas keadilan formal bukannya keadilan substansial.
13. Peraturan Perundang-Undangan Masih Belum Memihak Rakyat
Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia saat inbi masih lebih banyak merefleksikan kepentingan politik dibandingkan dengan keragaman suku bangsa dan budaya di Indonesia kepentingan rakyat Indonesia.
14. Kebijakan Seringkali Diputuskan oleh Pihak Terkait
Masih banyak persoalan persoalan hukum di Indonesia yang diputuskan oleh pihak-pihak terkait yang sifatnya masih parisal, tidak komprehensif, ditambahi dan dikurangi sehingga membuat hasil hukum yang ada tidak bersifat adil.
15. Budaya Lama yang Terus Dilanjutkan
Faktor kebudayaan juga menjadi penyebab dari permasalahan hukum di Indonesia. Yang dimaksudkan disini adalah budaya-budaya buruk kegiatan ekspor impor yang terus saja dilakukan dan mengakar di masyarakat Indonesia. Sehingga hukum hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan beberapa pihak tertentu saja
Menurut saya, solusi atas sulitnya menegakkan hukum di Indonesia adalah dengan terlebih dahulu memperbaiki sistem peradilan yang bertumpu pada prinsip transparansi, akuntabilitas, serta adanya pengawasan berjenjang dari ahli terkait dan masyarakat sendiri.
Solusinya, yaitu:
1. memperbaiki seluruh subsitem hukum : substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum
2. supremasi hukum : menempatkan hukum pada posisi tertinggi.
3. kerjasama antar penegak hukum dan sasaran hukum
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain:
1. Undang-undang tidak berlaku surut.
2. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
3. Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
4. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
5. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.
6. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
7. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum. Halangan-halangan tersebut adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai berikut:
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut:
1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.
2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.
3. Yang kurang-ditambah.
4. Yang macet-dilancarkan.
5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum adalah sebagai berikut:
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya. Faktor-faktor tersebut merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
Solusi yang Tepat untuk Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia, yaitu:
1. Penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum, memberi pesan penting kepada kita (terutama akademisi dan praktisi hukum) untuk berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan.
2. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. Para stakeholder hukum di Indonesia (akademisi dan praktisi hukum) didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam.
3. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita. Segala daya dan upaya hendaknya dilakukan untuk bangun dari keterpurukan dan sekali lagi perlu menggugat diri yang selama ini mempunyai cara berpikir yang lebih banyak mendatangkan kesusahan. Sudah semestinya hukum merupakan institusi yang berfungsi untuk menjadikan bangsa kita, merasa sejahtera dan bahagia.
Ketiga solusi tersebut ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo melalui gagasan atau ide hukum progresifnya, kaitannya dengan keterpurukan hukum di Indonesia.
Adapun masalah dari penegakan hukum adalah terletak faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut:Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor Hukumnya sendiri, yang dalam penelitian ini hanya dibatasi pada peraturan perundang-undangan saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas huku, yakni pihak-pihak yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyakarat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan yakni sebagi hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
Adapun ke 5 (lima) faktor tersebut dijelaskan masing-masing sebagai berikut :
1. Faktor Hukum (perundang-undangan)
Yang dalam penelitian ini diartikan dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.
2. Faktor Penegak Hukum
Secara sosiologis maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu didalam struktur kemasyarakatan yang mungkin tinggi sedang atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan sebuah wadah yang isinya adalah hak dan kewajiban tertentu.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegakan hukumn akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut anatara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil. Organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian masyarakat.31 Oleh karena itu dari sudut pandang tertentu masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum. Dari sudt sistem sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society) terdapat banyak golongan etnik dan kebudayaan-kebudayaan khusus.
Cara untuk mengatasi masalah penegakan hukum di Indonesia yaitu:
1. Memperhatikan rasa keadilan pada masyarakat dan kepentingan nasional sehingga mendorong adanya kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penegak hukum seharusnya berjalan tidak semata melihat fakta, tetapi menimbang serta melihat latar belakang peristiwa, alasan terjadinya kejadian, unsur kemanusiaan dan juga menimbang rasa keadilan dalam memberikan keputusan. Hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Dengan ini diharapkan tidak ada keputusan yang kontroversial dan memberikan keputusan yang seadil-adilnya sehigga yang terjadi pada nenek minah tidak terjadi lagi.
3. Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan menghasilkan putusan-putusan yang kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
4. Hakim sebagai pemberi putusan seharusnya tidak menjadi corong undang-undang yang hanya mengikuti peraturan perundang-undangan semata tanpa memperdulikan rasa keadilan. Tapi hakim seharusnya mengikuti perundang-undangan dengan mementingkan rasa keadilan yang seadil-adilnya. Sehingga keputusannya dapat memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
5. Komisi Yudisial sebagai komisi yang dibentuk untuk mengawasi perilaku haki seharusnya memberi peringatan dan sanksi yang tegas kepada hakim yang memberikan putusan yang kontroversial dan tidak memenuhi rasa keadilan, juga yang melanggar kode etik.
Untuk faktor-faktor yang memengaruhi penegak hukum terbagi menjadi lima golongan, yaitu:
1. Faktor undang-undag atau faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini terletak hanya pada undang-undang
2. Faktor penegak hukum, yakni tentunya para pihak-pihak yang bertugas untuk menegakkan hukum yang ada di Indonesia
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup yang tentunya tidak akan dapat dipisahkan dengan berbagai variabel yang ada di tengah lingkungan masyarakat Indonesia
Setelah mengetahui masalah-masalah yang terkait dengan penegakan hukum dan faktor-faktor yang memengaruhinya, tentu kita perlu mengatasinya. Beberapa contoh upaya yang dapat dilakukan, yaitu: Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu; Meningkatkan mental dan kinerja para penegak hukum serta digunakannya nilai-nilai dalam masyarakat dan kemanusiaan ketika menjalankan tugas; Meningkatkan kualitas peralatan dan mendapatkan keuangan yang cukup; Meningkatkan peran Advokat dan Notaris melalui optimalisasi standar kode etik di lingkungan masing-masing; Meningkatkan pembinaan terhadap integritas moral, sikap perilaku dan pemberdayaan kemampuan dan kerterampilan aparat penegak hukum; dll.
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi hanya pada undang-undang
2. Faktor penegak hukum, yakni tentunya para pihak-pihak yang bertugas untuk menegakkan hukum yang ada di Indonesia
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup yang tentunya tidak akan dapat dipisahkan dengan berbagai variabel yang ada di tengah lingkungan masyarakat Indonesia
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah penegakan hukum di Indonesia adalah sebagai berikut
1. Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu
2. Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan agar lebih memperhatikan rasa keadilan pada masyarakat dan kepentingan nasional sehingga mendorong adanya kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhinya.
3. Menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi, dan partisipasi baik bagi hakim maupun bagi aparat penegak hukum lainnya
1. Faktor hukumnya itu sendiri. Hukum yang dimaksudkan adalah Undang-Undang atau peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Pemerintah. Faktor hukum yang dimaksud adalah bermula dari undang-undangnya itu sendiri yang bermasalah. Penegakan hukum yang berasal dari UU itu disebabkan hal hal seperti tidak diikutinya azas-azas berlakunya UU, belum ada peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan UU, ketidak jelasan arti kata-kata dalam UU yang akan berakibat kesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya.
2. Faktor penegak hukumnya. Yang dimaksudkan dengan penegak hukum itu adalah pihak-pihak yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penegakan hukum mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penasehat Hukum (Advokat) dan hingga petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Praktek penegakan hukum semakin sulit, karena kurang lemahnya koordinasi di antara penegak hukum, baik pada tataran teroritis dan kaidah, maupun dalam tingkat operasionalnya.
3. Faktor sarana dan fasilitas. Tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan baik, yang antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
4. Faktor masyarakat. Dari sudut sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan ragam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada.
5. Faktor kebudayaan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, maka nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.
Solusi untuk menegakkan hum di Indonesia :
1. Pemberantasan Korupsi di institusi hukum di Indonesia
2. Pendidikian hukum yang progresif
3. Pengawasan yang intensif oleh masyarakat terhadap penegak hukum
4. Upaya penegakan hukum pun diarahkan pula pada kebijakan yang konsisten terhadap perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dengan tujuan untuk melakukan tindakan preventif dan korektif terhadap penyimpangan kaidah hukum, norma sosial yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5. Harus ada konsep perubahan yang digunakan dalam penegakan hukum
2. Pengemban hukum Indonesia yang memiliki budaya hukum yang kurang baik juga menjadi pengaruh terhadap sulitnya penegakkan hukum di indonesia karena struktur dan substansi hukum adalah faktor penting yang memperkuat penegakkan hukum.
3. Konsep keadilan yang berketuhanan
Pertama, faktor hukumnya itu sendiri. Hukum yang dimaksudkan adalah Undang-Undang (“UU”) atau peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Pemerintah. Faktor hukum yang dimaksud adalah bermula dari undang-undangnya itu sendiri yang bermasalah. Penegakan hukum yang berasal dari UU itu disebabkan a). tidak diikutinya azas-azas berlakunya, UU b). belum ada peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan UU, c). Ketidak jelasan arti kata-kata dalam UU yang akan berakibat kesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya.
Kedua, faktor penegak hukumnya. Yang dimaksudkan dengan penegak hukum itu adalah pihak-pihak yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penegakan hukum mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penasehat Hukum (Advokat) dan hingga petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap profesi penegak hukum mempunyai wewenang atau kekuasaan tugas masing-masing. Hakim berada dalam peranan yang sangatlah menentukan ketika suatu keputusan diharapkan untuk lahir dan pelaksanaan tugas tersebut, hakim berada di dalam kemandiriannya sendiri, sedangkan tugas dari penegak hukum yang lainnya adalah meyakinkan dan menjelaskan kepada hakim apa dan bagaimanakah permasalahan hukumnya, sehingga akan diperoleh suatu keyakinan hakim untuk dapat memutuskanya secara adil dan juga bijaksana. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu, sebab kenyataannya penegakan hukum tidak berjalan dalam koridor yang benar, sehingga penegakan hukum mengalami kendala dalam tingkatan teknis operasional di masing-masing penegak hukum. Penyebabnya antara lain, pertama rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat; Kedua, Tidak diindahkannya prinsip the right man in the right place; Ketiga, rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum; Keempat, tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang terintegrasi, baik dan moderen.
Ketiga, faktor sarana dan fasilitas. Tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan baik, yang antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah penegakan hukum dapat mencapai tujuannya. Tenaga manusia yang berpendidikan tinggi disini diartikan sebagai para penegak hukum yang mumpuni dan berkualitas yaitu mampu atau dapat melayani dan mengayomi masyarakat sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing. Proses penerimaan menjadi penegak hukum sebenarnya sudah memenuhi syarat menghasilkan, misalnya, aparat kepolisian yang memiliki kemampuan baik melayani masyarakat.
Ke-empat, faktor masyarakat. Dari sudut sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan ragam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasar-dasarnya.
Kelima, faktor Kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya ketika berhubungan dengan orang lain. Pada dasarnya, kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa saja yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Penegakan hukum, maka setidaknya hukum itu dinilai dapat dikategorisasikan efektif. Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan sistematika itu dapat membangun efektifitas penegakan hukum, seharusnya, diawali mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimanakah masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun. Artinya, tata urutannya dapat dipredisikan dasar berpikirnya dalam penegakan hukumnya. Oleh karena itu, maka masalah-masalah yang terjadi dalam penegakan hukumnya begitu kompleks dan rumit apabila dipelajari lebih dalam dan tidak sesederhana seperti kasat mata melihatnya. Dibutuhkan sebuah gerakan langkah bersama secara nasional yang teratur, tertata dan terlaksana untuk menumbuhkan penegakan hukum berkeadilan dan berpihak kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan.
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah.
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain:
1. Undang-undang tidak berlaku surut.
2. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
3. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
4. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
5. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.
6. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
7. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
Ada berbagai macam cara untuk mengatasi masalah penegakan hukum diIndonesia yaitu :
1.Didalam rangka penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan agar lebih memperhatikan rasa keadilan pada masyarakat dan kepentingan nasional sehingga mendorong adanya kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhinya.
2.Penegak hukum seharusnya berjalan tidak semata melihat fakta, tapi menimbang serta melihat latar belakang peristiwa, alasan terjadinya kejadian, unsur kemanusiaan dan juga menimbang rasa keadilan dalam memberikan keputusan. Hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Dengan ini diharapkan tidak ada keputusan yang kontroversial dan memberikan keputusan yang seadil-adilnya sehigga yang terjadi pada nenek minah tidak terjadi lagi.
3.Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuknya yang pa¬ling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan menghasilkan putusan-putusan yang kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
4.Hakim sebagai pemberi putusan seharusnya tidak menjadi corong undang-undang yang hanya mengikuti peraturan perundang-undangan semata tanpa memperdulikan rasa keadilan. Tapi hakim seharusnya mengikuti perundang-undangan dengan mementingkan rasa keadilan yang seadil-adilnya. Sehingga keputusannya dapat memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
5.Komisi Yudisial sebagai komisi yang dibentuk untuk mengawasi perilaku haki seharusnya memberi peringatan dan sanksi yang tegas kepada hakim yang memberikan putusan yang kontroversial dan tidak memenuhi rasa keadilan, juga yang melanggar kode etik. Hal ini dikarenakan tahun ini saja ada 968 putusan yang dilaporkan pada Komisi Yudisial dan sekitar 69 persen dilaporkan masyarakt karena diduga tidak memberikan rasa keadilan.
6.Meningkatkan pembinaan integritas, kemampuan atau ketrampilan dan ketertiban serta kesadaran hukum dari pelaksana penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya. Dalam melaksanakan tugasnya penegak hukum benar-benar melaksanakan asas persamaan hak di dalam hukum bagi setiap anggota masyarakat.
7.Mencukupi kebutuhan personal, sarana dan prasarana untuk pelaksanaan penegakan hukum. Meningkatkan kesejahteraan penegak hukum. Sehingga tidak ada hakim yang terlibat kasus korupsi.
8.Memberikan pendidikan dan penyuluhan hukum baik formal maupun informal secara berkesinambungan kepada masyarakat tentang pentingnya penegakan hukum diIndonesiasehingga masyarakat sadar hukum dan menaati peraturan yang berlaku.
9.Menyediakan bantuan hukum bagi si miskin dan buta hukum.
Melaksanakan asas proses yang tepat, cepat dan biaya ringan di semua tingkat peradilan.
10.Pemberian sanksi yang tegas kepada aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugas dengan semestinya.
Kedua, faktor penegak hukumnya. Yang dimaksudkan dengan penegak hukum itu adalah pihak-pihak yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penegakan hukum mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penasehat Hukum (Advokat) dan hingga petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap profesi penegak hukum mempunyai wewenang atau kekuasaan tugas masing-masing. Hakim berada dalam peranan yang sangatlah menentukan ketika suatu keputusan diharapkan untuk lahir dan pelaksanaan tugas tersebut, hakim berada di dalam kemandiriannya sendiri, sedangkan tugas dari penegak hukum yang lainnya adalah meyakinkan dan menjelaskan kepada hakim apa dan bagaimanakah permasalahan hukumnya, sehingga akan diperoleh suatu keyakinan hakim untuk dapat memutuskanya secara adil dan juga bijaksana. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu, sebab kenyataannya penegakan hukum tidak berjalan dalam koridor yang benar, sehingga penegakan hukum mengalami kendala dalam tingkatan teknis operasional di masing-masing penegak hukum. Penyebabnya antara lain, pertama rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat; Kedua, Tidak diindahkannya prinsip the right man in the right place; Ketiga, rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum; Keempat, tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang terintegrasi, baik dan moderen; Kelima, kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia caturwangsa, terutama ke badan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman; Terakhir hal yang kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime antaranggota penegak hukum dengan tuduhan mafia peradilan. Praktek penegakan hukum semakin sulit, karena kurang lemahnya koordinasi di antara penegak hukum, baik pada tataran teroritis dan kaidah, maupun dalam tingkat operasionalnya. Padahal, koordinasi hukum itu adalah salah satu faktor penting bagi pemberdayaan hukum kepada masyarakat. Berpijak pada kurang baiknya koordinasi antarpenegak hukum ini, maka kemudian bergemalah keinginan mewujudkan pendekatan hukum terpadu pada keadilan (integrated justice system). Dengan keadaan demikian ini, maka penegak hukum yang tidak dapat menjalankan UU sebagaimana yang seharusnya telah diamanatkan di dalam UU dan akan berdampak negatif terhadap penegakan hukumnya.
Ketiga, faktor sarana dan fasilitas. Tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan baik, yang antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah penegakan hukum dapat mencapai tujuannya. Tenaga manusia yang berpendidikan tinggi disini diartikan sebagai para penegak hukum yang mumpuni dan berkualitas yaitu mampu atau dapat melayani dan mengayomi masyarakat sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing. Proses penerimaan menjadi penegak hukum sebenarnya sudah memenuhi syarat menghasilkan, misalnya, aparat kepolisian yang memiliki kemampuan baik melayani masyarakat. Tetapi di dalam kenyataannya, sering kali proses penerimaan tersebut dinodai dengan adanya suap atau jumlah orang yang sedikit untuk mau menjadi anggota penegak hukum. Sehingga, kualitas daripada anggota penegak hukum tersebut perlu dipertanyakan dan banyak yang tidak sesuai dengan yang telah ditentukan. Akibatnya para penegak hukum cenderung lebih sedikit daripada jumlah masyarakatnya yang terus bertambah banyak, sehingga aparat penegak hukum tidak dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal sebagai sarana penegakan hukum.
Ke-empat, faktor masyarakat. Dari sudut sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan ragam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasar-dasarnya. Hal lainnya yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga sosial yang hidup, serta sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga masyarakat yang ada. Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut, maka dapat memudahkan penegak hukum untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut. Dalam garis besar, masyarakat di Indonesia terbagi dua yaitu masyarakat kalangan atas (orang kaya) dan kalangan bawah (orang miskin). Penegakan hukum diantara keduanya pun sangat berbeda penyelesaiannya. Hal ini karena pola pikir dan pengetahuan yang jelas berbeda. Jika orang kalangan bawah, keinginan atau taatnya pada suatu hukum oleh seseorang sangat kecil kemungkinannya atau tidak mau mematuhi hukum yang telah diatur. Hal ini, disebabkan kurang pengetahuan dan pendidikan yang mereka miliki sangat terbatas, dan tidak dapat mengetahui bahwa ada sanksi yang akan mengikat jika dilanggar (blue collar crime).
Kelima, faktor Kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya ketika berhubungan dengan orang lain. Pada dasarnya, kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa saja yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Adapun solusi yang sekiranya dapat diterapkan untuk mengurangi problematika tersebut, yaitu :
- Menumbuhan kesadaran dalam pelaksanaan hukum serta adanya keadilan tanpa memandang adanya ras, suku, budaya, maupun agama.
- Pemerintah dapat mendisiplinkan para penegak hukum dan mengadakan evaluasi terhadap kinerja mereka.
- Pemerintah juga dapat menerapkan program jangka panjang untuk penerapan pendidikan karakter dalam tiap jenjang pendidikan.
- Berikan penghargaan bagi para penegak hukum berprestasi yang memberikan trobosan-trobosan baru dalam penegakan hukum di Indonesia, dan mampu menjaga integritas serta transparansinya dalam proses penegakan hukum di masyarakat.
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Berikut upaya-upaya untuk meningkatkan
Solusi untuk menegakkan hukum di Indonesia :
1. Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu
2. Menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi, dan partisipasi baik bagi hakim maupun bagi aparat penegak hukum lainnya
3. Meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, Polisi dan PNS melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya sampai dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang disesuaikan dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab kerja yang dibebankan
4. Menunjang terciptanya sistem peradilan pidana yang terpadu melalui sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas dan wewenang hakim dan aparat penegak hukum lainnya
5. Meningkatkan peran Advokat dan Notaris melalui optimalisasi standar kode etik di lingkungan masing-masing
6. Menyempurnakan kurikulum dibidang pendidikan hukum guna menghasilkan aparatur hukum yang profesional, berintegrasi dan bermoral tinggi
7. Meningkatkan kualitas hakim dalam melakukan penemuan hukum baru melalui putusanputusan pengadilan (yurisprudensi) yang digunakan sebagai dasar pertimbangan hukum, yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dilingkungan peradilan
8. Meningkatkan pembinaan terhadap integritas moral, sikap perilaku dan pemberdayaan kemampuan dan kerterampilan aparat penegak hukum
1. Problem pembuatan peraturan perundang-undangan.
2. Masyarakat pencari kemenangan bukan keadilan.
3. Uang mewarnai penegakan hukum.
4. Penegakan hukum sebagai komoditas politik, penegakan hukum yang diskriminatif dan ewuh pekewuh.
5. Lemahnya sumberdaya manusia.
6. Advokat tahu hukum versus advokat tahu koneksi.
7. Keterbatasan anggaran.
8. Penegakan hukum yang dipicu oleh media masa.
Solusi atau upaya untuk mencapai ketertiban dan keadilan dalam penegakan hukum dapat dilakukan dengan :
1. Upaya meningkatkan peran penegak hukum untuk menumbuhkan kesadaran hukum anggota masyarakat.
2. Proses Penegakan Hukum di lingkungan Peradilan
3. Upaya Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya.
Solusi atau upaya untuk mencapai ketertiban dan keadilan dalam penegakan hukum telah ada perubahan dan perbaikan dari sistem peradilan itu sendiri, serta upaya meningkatkan sumber daya manasia dan pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya (Kepolisian dan Kejaksaan) serta adanya partisipasi masyarakat demi mewujudkan hukum yang berkeadilan dan mengayomi masyarakat
1. faktor hukumnya sendiri
Undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang yang secara umum diakui dan ditetapkan oleh pemerintah (“UU”) atau peraturan tertulis. Faktor hukum yang dimaksud berasal dari hukum yang bersangkutan itu sendiri. Penuntutan karena hukum disebabkan oleh a). Tidak mengikuti asas hukum, hukum b). Tidak ada ketentuan penegakan yang mendesak untuk menegakkan hukum, c). Ambiguitas dalam arti kata-kata hukum menyebabkan kebingungan dalam interpretasi dan penerapannya. Selain itu, kata-kata yang digunakan dalam perumusan pasal-pasal tertentu kurang jelas. Hal ini disebabkan penggunaan kata-kata yang maknanya sangat luas dapat ditafsirkan. Hasilnya adalah peraturan yang memuat pasal-pasal yang mengandung kata-kata yang dapat ditafsirkan secara luas (multiple interpretasi), yang dapat membingungkan penafsiran atau penerapannya dan pada akhirnya menimbulkan inkonsistensi. Dengan kata lain, ditunjukkan bahwa faktor hukum, yaitu peraturan yang mengandung kata-kata yang tidak jelas dalam susunan pasal, mempengaruhi pelaksanaan sengketa di Indonesia. Meskipun undang-undang tersebut telah disahkan dan diundangkan, masalah semakin meluas karena tidak ada ketentuan untuk memberlakukannya sebagai peraturan dengan batas waktu tertentu dan beberapa peraturan perundang-undangan tidak dapat ditegakkan.
2. faktor penegak hukum,
Faktor penegak humu yg dimaksud adalah pihak-pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penegakan hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hakim, komisi antikorupsi (KPK), penasihat hukum (pengacara) hingga sipir penjara. Setiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangan atau kewenangan atas tugasnya. Hakim memainkan peran yang sangat penting dalam membuat keputusan dan melakukan pekerjaan mereka. Hakim berada dalam kemandiriannya sendiri, kewajiban lembaga penegak hukum lainnya bersifat memaksa, dan menjelaskan kepada hakim apa dan bagaimana masalah hukum untuk menghukum hakim. Akan diperoleh untuk memungkinkan Anda membuat keputusan yang adil dan bijaksana.
3. faktor sarana atau fasilitas
Tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang tepat, tidak mudah bagi lembaga penegak hukum untuk beroperasi dengan baik. Ini termasuk, tetapi tidak terbatas pada, pekerja terampil yang terlatih dengan baik, organisasi yang baik, peralatan yang baik, dan keuangan yang baik. Jika ini tidak terpenuhi, akan sulit bagi lembaga penegak hukum untuk mencapai tujuannya.
4. faktor masyarakat
5. faktor kebudayaan.
Pada hakikatnya kebudayaan mengandung nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Ini adalah konsep abstrak tentang apa yang dianggap baik (untuk dipatuhi) dan apa yang dianggap buruk (untuk dihindari). Memang, faktor budaya mirip dengan faktor sosial. Namun, faktor budaya menggarisbawahi persoalan nilai-nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat.
-> Solusi
1. Lebih memperhatikan keadilan, kesejathteraan masyarakat, dan kepentingan nasional saat penyusunan peraturan perundang-undangan/hukum yang akan diberlakukan.
2. Lembaga penegak hukum perlu mempertimbangkan tidak hanya fakta, tetapi juga latar belakang kasus, alasan faktor kemanusiaan, dan rasa keadilan dalam mengambil keputusan. “Akim berkewajiban mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran penting tentang nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam sistem peradilan pidana, tetapi pekerjaan hakim itu sendiri bersifat materil untuk mencapai keadilan materiil. Yaitu mencari dan menemukan kebenaran. untuk mengambil keputusan yang seadil-adilnya agar tidak ada keputusan yang saling bertentangan dan apa yang terjadi pada Nenek Mina tidak pernah terjadi lagi.
3. Hukum tidak boleh ditegakkan dalam bentuk hitam-putih yang paling keras dan arogan. Kebakaran harus didasarkan tidak hanya dalam konteks hukum hitam-putih, tetapi juga sesuai dengan hukum, tetapi juga pada tingkat yang tinggi. rasa keadilan Hitam-putih Ditegakkan hanya dalam konteks, hanya mengarah pada keputusan yang kontradiktif dan mewujudkan rasa keadilan.
1. Faktor hukumnya sendiri
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang bertugas untuk menegakkan hukum yang ada di Indonesia
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup yang tentunya tidak akan dapat dipisahkan dengan berbagai variabel yang ada di tengah lingkungan masyarakat Indonesia
Upaya atau solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir masalah tersebut dan semakin menegakkan hukum yang ada di Indonesia
1. Faktor hukum dengan cara reformasi di bidang hukum
2. Faktor penegak hukum dengan meningkatkan mental dan kinerja serta digunakannya nilai-nilai dalam masyarakat dan nilai-nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugasnya
3. Faktor masyarakat dengan sejak dini meningkatkan mental yang kuat, pendirian yang kuat
4. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan penegakan hukum
2. Pengemban hukum praktis yang dapat berupa parlemen, peradilan, lembaga bantuan hukum, dan birokrasi pemerintahan inilah yang mengisi bangunan sistem hukum di Indonesia dalam struktur hukum dan melakukan pembentukan hukum dalam membangun substansi hukum. Selain itu yang tidak kalah penting adalah budaya hukum itu sendiri yang berpengaruh signifikan pada baik buruknya penegakan hukum di Indonesia. Seberapa besar kemanfaatan hukum dapat dibentuk dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial yang merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Tanpa budaya atau lingkungan hukum yang baik, struktur dan substansi hukum adalah bangunan yang tidak bernilai dalam konstruksi penegakan hukum yang baik.
3. Keadilan yang berketuhanan merupakan konsep yang menjadikan aspek spiritualitas bertransformasi pada aspek kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial. Karakter konsep ini berasaskan pada spiritualitas bangsa, keniscayaan perubahan baik perubahan tersebut berasal dari sumber ideologinya maupun karena tuntutan masyarakat (demokrasi), adanya keseimbangan antara kepentingan individual dan kelompok, yang dikontrol oleh kehendak Tuhan.
Faktor hukum yang dimaksud adalah bermula dari undang-undangnya itu sendiri yang bermasalah.
- tidak diikutinya azas-azas berlakunya
- belum ada peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan UU,
- Ketidak jelasan arti kata-kata dalam UU yang akan berakibat kesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya.
2. faktor penegak hukumnya
- Rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat;
- Tidak diindahkannya prinsip the right man in the right place
- Rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum
- Tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang terintegrasi, baik dan moderen
- Kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia caturwangsa, terutama ke badan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman
- Terakhir hal yang kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime antar anggota penegak hukum dengan tuduhan mafia peradilan
3. faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas penegakan hukum di Indonesia yang jauh dari cukup. Tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan baik, yang antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah penegakan hukum dapat mencapai tujuannya.
4. faktor masyarakat,
Dengan kemajemukan masyarakat Indonesia, seorang penegak hukum haruslah mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasar-dasarnya. Hal lainnya yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga sosial yang hidup, serta sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga masyarakat yang ada. Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut, maka dapat memudahkan penegak hukum untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut.
5. faktor kebudayaan
adanya budaya kompromistis sering terjadi masyarakat Indonesia yang berakibat pada kecenderungan masyarakat untuk meloloskan diri dari aturan yang berlaku menjadi-jadi.
solusi:
1. perbaiki hukumnya, membuat peraturan pelaksanaan yang baik dan jelas, serta merevisi dan membuat setiap peraturan perundang-undangan yang ada dengan bahasa yang lugas, jelas, tegas, dan tidak ambigu
2. meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari penegak hukum, hal ini dapat ditingkatkan dengan adanya pendidikan non akademik mengenai mental jujur, bertanggung jawab, dan adil sejak dini pada generasi muda.
3. membangun sarana dan prasarana penegakan hukum serta fasilitas umum yang lebih memadai
4. memperhatikan setiap golongan masyarakat sesuai kebutuhannya, sehingga tidak ada masyarakat yang merasa tidak adanya perhatian dari pemerintah hingga menentang peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah
5. dibuatnya mekanisme penegakan hukum yang terintegrasi, tegas, dan bersih tentu akan meminimalisir budaya kompromis di masyarakat
1) Faktor hukumnya sendiri yang bermasalah, artinya ada beberapa peraturan yang memiliki ketidakjelasan kata-kata dalam perumusan pasal-pasalnya yang akan memungkinkan penafsiran berbeda pada setiap orang dan memiliki tafsiran yang sangat luas, atau misalnya karena soal terjemahan bahasa asing yang kurang tepat.
2) Faktor penegak hukumnya, artinya penegak hukum tidak berjalan sesuai koridornya (memustuskan permasalahan secara adil dan bijaksana), penyebabnya adalah rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi, dan advokat. Selain itu, tidak diindahkannya prinsip The Right Man in The Right Plac; rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum; tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang terintegrasi; kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan, terutama badan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman; kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime antaranggota penegak hukum dengan tuduhan mafia peradilan.
3) Faktor sarana dan fasilitas, mencakup tenaga manusiia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal tersebut tidak ada, maka penegakan hukum akan sulit tercapai karena penegakan hukum tidak mudah berlangsung dengan baik. Akan tetapi, banyaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia mengakibatkan penegakan hukum di Indonesia masih tergolong sulit.
4) Faktor masyarakat, penegakan hukum antara orang kalangan dan orang kaya akan sangat berbeda, hal ini karenaa pola piker dan pengetahuan yang jelas berbeda. Jika orang kalangan bawah, keinginan atau taatnya pada suatu hukum oleh seseorang sangat kecil kemungkinannya atau tidak mau mematuhi hukum yang telah diatur. Hal ini, disebabkan kurang pengetahuan dan pendidikan yang mereka miliki sangat terbatas, dan tidak dapat mengetahui bahwa ada sanksi yang akan mengikat jika dilanggar (blue collar crime). Sedangkan, orang-orang kalangan atas cenderung mengikuti hukum atau aturan-aturan yang ada, karena mereka lebih memiliki pengetahuan yang banyak tentang hukum dan mengetahui sanksinya. Oleh karena rata-rata penduduk Indonesia masih di kalangan bawah, maka pelanggaran hukum masih banyak terjadi
5) Faktor kebudayaan, mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum, mana yang dianggap baik dan buruk. Apabila kebudayaan ini tidak berada pada kebenaran maka tidak akan terwujud penegakan hukum di Indonesia
• Solusi permasalahan tersebut:
1) Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada, sebagai contoh, perlunya ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No.4 tahun 2004 terutama yang mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi pelanggar KUHAP, khususnya bagi mereka, yang ditangkap, ditahan,dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan hukum yang jelas, atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya
3) Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non-Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum (law enforcement) dimana lembaga tersebut nantinya berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan/atau melanggar proses penegakan hukum
4) Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu: Hakim, Jaksa dan Polisi (Non Advokat) agar profesionalisme mereka sebagai bagian terbesar penegak hukum di Indonesia dalam kerjanya lebih fokus menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu sendiri
5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa, " setiap masyarakat dianggap tahu hukum", sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan Hukum atau LBH-LBH dan LSM-LSM atau lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama dalam melakukan "advokasi" agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri;
6) Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh "Catur Wangsa" atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu: Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat.
1. Faktor hukumnya, Faktor hukum yang dimaksud adalah bermula dari undang-undangnya itu sendiri yang bermasalah.
2. Faktor aparat penegak hukum, diantaranya adalah rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat, rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum dan kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan.
3. Faktor Kebudayaan, pada dasarnya kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mengenai apa saja yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.
Solusi
1. Penyusunan peraturan undang-undang dilakukan sebaik mungkin
2. Pemilihan aparat penegak hukum yang berkualitas dan berintegritas
3. Menyosialisasikan kesadaran hukum di masyarakat
1. Lemahnya Integritas Penegakan Hukum
2. Tidak Ada Pengawasan yang Efektif
3. Masih Melihat Hukum dari Kontennya
4. Mentalitas Praktisi Hukum yang Lemah
5. Struktur Hukum yang Overlapping Kewenangan
6. Sarana dan Prasarana Hukum Kurang Memadai
7. Peraturan Hukum yang Kurang Jelas
8. Independensi Hakim Masih Bermasalah
9. Proses Peradilan yang Masih Bermasalah
10. Kesadaran Hukum Masyarakat yang Kurang
11. Lemahnya Political Will dan Political Action
12.Penegakan Hukum Masih Positivis-Legalistis
13. Peraturan Perundang-Undangan Masih Belum Memihak Rakyat
14. Kebijakan Seringkali Diputuskan oleh Pihak Terkait
15. Budaya Lama yang Terus Dilanjutkan
Untuk itu, solusi agar penegakkan hukum di Indonesia berjalan dengan adil dan berjalan sebagaimana mestinya antara lain:
1. Integritas Penegakan Hukum harus kuat, jangan terpengaruh dengan godaan materi
2.Harus Ada Pengawasan Yang Efektif
3.Tidak lagi Melihat Hukum Dari Kontennya tapi Pada Pelaksanaan dan Manfaatbagi Masyarakat
4.Mentalitas Praktisi Hukum Harus Kuat
5.Struktur Hukum Harus Jelas dan Tidak Overlapping Kewenangan
6.Sarana dan Prasarana Hukum Harus Memadai
7.Peraturan Hukum Harus Jelas dan Mudah Dipahami
8.Independensi Hakim Harus Jelas dan Tidak Bermasalah
9.Proses Peradilan Harus Transparan dan Tidak Bermasalah
10.Kesadaran Hukum Masyarakat Harus Tinggi
11.Political Will dan Political Action Harus Kuat
12.Penegakan Hukum Masih Mengutamakan Substansi bukan Formalnya saja
13.Peraturan Perundang Harus Memihak Rakyat
14.Kebijakan Diputuskan Harus Bersifat Komperhensif atau Menyeluruh
15.Budaya Lama Jangan terus Dilanjutkan Kecuali yang bermanfaat
1. Hukum atau aturannya sendiri
Dalam upaya penegakan hukum diperlukan adanya keserasian antara berbagai peraturan terutama keserasian atau keharmonisan antara berbagai peraturan perundang-undangan yang berbeda derajatnya. Ketidak cocokan itu bisa terjadi antara tertulis dengan tidak tertulis. Ketidakcocokan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan danpenegakannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
2. Mental aparat penegak hukum
Sistem penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh aparat penegakan hukum antara lain terdiri dari polisi, pengacara, jaksa, hakim, petugas lembagapemasyarakatan, dansebagainya. Jika mental para penegak hukum tidak baik makahukum tidak baik. Sistemhukum dan pengekan hukum juga akan terganggu.
3. Fasilitas Pelaksanaan Hukum
Fasilitas untuk melaksanakan aturan-aturan hukum harus juga memadai, sebab seringkali hukum sukar ditegakkan karena fasilitas untuk menegakkannya tidak mencukupi. Seringkali kasus pelanggaran hukum tidak tertangani karena kurangnya fasilitas. (Sulistiyowati, 2020)
4. Kesadaran, Kepatuhan hukum dan Perilaku Masyarakat
Sistem politik yang demokratis akan sangat mempengaruhi kualitas penegakan hukum. Apabila unsur-unsur yang terdapat dalam kriteria demokratis di dalam suatu negara maka ke empat faktor dalam proses penegakan hukum akanberjalan dengan.Untuk dapat mengukur tingkat kesadaran, kepatuhan hukum dan perilaku masyarakat banyak faktorpenyebabnya. Pada masyarakat yang sederhana ataumisalnya di daerah pedesaan kebutuhan penyelenggaraan hukum akan lebih sederhana, jika dibandingkan di daerahperkotaan karena masyarakatnya sudah lebih modern.
Dalam hal ini diperlukan adanya upaya untuk mengatasi masalah-masalah penegakan hukum di Indonesia. Berikut upaya-upaya yang dapat dilakukan :
1. Meningkatkan pembinaan integritas, kemampuan atau ketrampilan dan ketertiban serta kesadaran hukum dari pelaksana penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya.
2. Pemberian sanksi yang tegas kepada aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugas dengan semestinya.
3. Meningkatkan pembinaan integritas, kemampuan atau ketrampilan dan ketertiban serta kesadaran hukum dari pelaksana penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya. Dalam melaksanakan tugasnya penegak hukum benar-benar melaksanakan asas persamaan hak di dalam hukum bagi setiap anggota masyarakat.
4. Mencukupi kebutuhan personal, sarana dan prasarana untuk pelaksanaan penegakan hukum. Meningkatkan kesejahteraan penegak hukum. Sehingga tidak ada hakim yang terlibat kasus korupsi.
5. Pengawasan yang intensif oleh masyarakat terhadap penegak hukum. Masyarakat juga hendaknya turut berpartisipasi secara aktif dalam mengawasi jalannya hukum pemerintahan yang ada di Indonesia.
6. Upaya penegakan hukum pun diarahkan pula pada kebijakan yang konsisten terhadap perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dengan tujuan untuk melakukan tindakan preventif dan korektif terhadap penyimpangan kaidah hukum, norma sosial yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
7. Harus ada konsep perubahan yang digunakan dalam penegakan hukum
8. Menunjang terciptanya sistem peradilan pidana yang terpadu melalui sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas dan wewenang hakim dan aparat penegak hukum lainnya
Beberapa faktor yang mengakibatkan sulitnya tercapai penegakan hukum, yaitu :
a. Hasil reformasi konstitusi belum mampu untuk melahirkan suatu sistem ketatanegaraan yang demokratis, mengedepankan supremasi hukum, menghormati HAM, dan berkeadilan sosial.
b. Pembentukan hukum, baik melalui proses legislasi maupun melalui yurisprudensi belum mampu menghasilkan hukum yang berparadima Indonesia.
c. Institusi-institusi penegak hukum, seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat kehilangan kredibilitasnya. Bahkan institusi-institusi baru yang tadinya sangat diandalkan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) mulai dilanda penyakit degeneratif.
d. Masyarakat penggapai keadilan mulai frustasi, sehingga lebih suka mengembangkan budaya kekerasan dan main hakim sendiri.
e. Manajemen penegakan hukum kacau balau karena arogansi sektoral yang melahirkan konflik kelembagaan.
f. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi hukum yang menjadi pemasok utama sumber daya manusia (SDM) penegak hukum memang produktif dari sudut kuantitas, tetapi belum dari segi kualitas dan integritas.
g. Pengaruh kekuatan dan kekuasaan politik masih sangat kental dalam penegakan hukum, sehingga sering membuat mandul hukum dan penegakannya.
Oleh karena itu, menurut saya untuk menghindari hal ini dibutuhkan kesadaran oleh negara bahwa penegakan hukum harus dikaitkan dengan lima pilar perangkat hukum yaitu pembangun hukum, penegak hukum, upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan penegakan hukum, budaya dan infrastruktur yang mendukung. Beberapa cara yang dapat diambil mungkin dengan :
1. Melakukan sosilaisasi kepada masyarakat akan pentingnya mematuhi hukum yang ada di Indonesia.
2. Melakukan disiplinisasi dan bagi para aparat yang memiliki jabatan pada bidang penegakan hukum, untuk meningkatkan kinerjanya.
3. Memberikan teguran yang keras ataupun berupa sanksi bagi para pelanggar hukum, untuk memberikan efek jera.
4. Memberikan penghargaan bagi para penegak hukum atas partisipasinya.
5. Meningkatkan kesadaraan diri mengenai pentingnya mematuhi segala hukum yang ada, penerapan ini harus dilakukan oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
6. Melakukan berbagai program pemerintahan yang mungkin dapat membantu dalam penegakahn hukum di Indonesia.
1. Faktor hukumnya sendiri, dimaksudkan adalah undang-undang yang bermasala, tidak diikutinya azas-azas berlakunya UU, arti kata-kata dalam UU yang simpang siur.
2. Faktor penegak hukumnya yaitu pihak-pihak yang langsung maupun tak langsung terlibat dalam penegakan hukum mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, KPK, Advokat dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan
3.Faktor sarana dan fasilitas yang tidak mumpuni sehingga tidak mudah tertegaknya penegakan hukum dengan baik. ntuk itulah, maka kemampuan menguasai sarana teknologi terbarukan adalah kewajiban yang tidak dapat ditolak sarana dan prasana untuk maksud itu.
4. Faktor Masyarakat dari sudut sosial dan budaya, Indonesia yang berisi masyarakat majemuk dengan keragamannya. Setiap stratifikasi sosial memiliki dasar-dasarnya tersendiri, sehingga dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pemberian pengetahuan hukum kepada masyarakat yang mungkin tidak begitu mengerti akan hukum sehingga memudahkan mereka untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di lingkungannya.
5. Faktor kebudayaan dimana mempunya fungsi yang besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya ketika berhubungan dengan orang lain.
Oleh karena itu, maka masalah-masalah yang terjadi dalam penegakan hukumnya begitu kompleks dan rumit apabila dipelajari lebih dalam dan tidak sesederhana seperti kasat mata melihatnya. Dibutuhkan sebuah gerakan langkah bersama secara nasional yang teratur, tertata dan terlaksana untuk menumbuhkan penegakan hukum berkeadilan dan berpihak kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Di samping sudah waktunya para penegak hukum juga memperhatikanlah dengan seksama pendapat Soerjono Soekanto itu sebagai bahan permenungan dan kontemplasi di dalam menjalankan peranannya sebagai penegak hukum yang hendak mengarahkan kemana penagakan hukum itu akan bertujuan sesungguhnya.
upayanya :
1. Meningkatkan peran penegak hukum untuk menumbuhkan kesadaran hukum anggota masyarakat.
2. Proses penegakkan hukum di lingkungan peradilan
3. Upaya pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hkum lainnya.