CASE STUDY

CASE STUDY

Number of replies: 2

Sebuah SMA unggulan di kota besar memiliki akses lengkap terhadap fasilitas teknologi seperti LMS, proyektor interaktif, perangkat mobile siswa, dan koneksi internet. Namun, hasil evaluasi menunjukkan bahwa pembelajaran IPS belum berdampak signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis, empati sosial, dan kepekaan terhadap isu-isu global.

Beberapa temuan dari observasi dan wawancara:

  1. Guru masih menggunakan metode ceramah meskipun tersedia teknologi digital.
  2. Siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam proses belajar, meskipun sebagian besar memiliki potensi tinggi dalam berpikir analitis.
  3. Topik-topik seperti konflik global, perubahan sosial, dan isu lingkungan hanya diajarkan dari buku teks.
  4. Penilaian masih berfokus pada hafalan fakta dan definisi, belum menyentuh kompetensi abad 21.
  5. Sekolah ingin menerapkan pendekatan berbasis teknologi yang aktif dan kolaboratif, dengan menerapkan model pembelajaran yang mendorong keterlibatan aktif siswa dalam menyelesaikan masalah sosial nyata melalui model ASSURE.

 

Pertanyaan:

  1. Analisislah akar permasalahan dalam kasus tersebut dari perspektif prinsip desain pembelajaran berbasis teknologi! Mengapa keberadaan fasilitas teknologi tidak otomatis meningkatkan kualitas pembelajaran?
  2. Jelaskan secara rinci bagaimana model ASSURE dapat digunakan untuk merancang ulang pembelajaran IPS pada tema “Konflik Global dan Upaya Perdamaian”! Uraikan masing-masing tahap ASSURE dan bagaimana penerapannya dapat mengatasi masalah yang ada.
  3. Lakukan refleksi kritis-holistik terhadap kelebihan dan keterbatasan model ASSURE dalam pembelajaran IPS kontekstual. Bagaimana model ini dapat mendukung pendidikan IPS yang memadukan aspek kognitif, afektif, dan sosial?
  4. Rancanglah desain pembelajaran singkat berbasis ASSURE untuk topik tersebut, dengan mencakup:
  • Analisis Karakteristik Peserta Didik
  • Tujuan Pembelajaran
  • Metode dan Media
  • Keterlibatan Siswa
  • Penilaian dan Umpan Balik

In reply to First post

Re: CASE STUDY

Sri Astuti གིས-
1. Akar permasalahan: mengapa fasilitas teknologi tidak otomatis meningkatkan kualitas pembelajaran
Adanya perangkat dan infrastrukturseperti LMS, proyektor interaktif, mobile, internet adalah peluang bukan jaminan peningkatan mutu. Akar masalah yang sering muncul:
1. Instruksi masih teacher-centred
Teknologi dipakai untuk menggantikan papan tulis (mis. slide ceramah) bukan mengubah peran siswa, keterlibatan minimal.
2. Kesenjangan desain instruksional bukan masalah teknologi
Tidak ada pemetaan tujuan pembelajaran ke aktivitas teknologi yang secara eksplisit mengembangkan berpikir kritis, empati, atau literasi global (misalnya. kegiatan analisis sumber, debat berbasis bukti, simulasi).
3. Kurangnya integrasi pedagogis (TPACK gap)
Guru mungkin mahir teknologi atau konten, tetapi belum menggabungkan pedagogi + teknologi + konten secara efektif penggunaan teknologinya tidak pedagogis.
4. Penilaian tidak cocok dengan tujuan abad-21
Instrumen masih mengukur hafalan; tanpa asesmen autentik yang memanfaatkan teknologi (portofolio digital, proyek multimedia, rubrik kolaboratif), hasil kompetensi tak terdeteksi.
5. Kapasitas guru & dukungan profesional rendah
Kurang pelatihan desain aktivitas berteknologi tinggi dan bimbingan metode kolaboratif; guru kembali ke ceramah karena nyaman/efisien.
6. Kultur sekolah & manajemen kelas
Sekolah belum membangun praktik kolaboratif/eksperimental (mis. toleransi kegagalan, pembelajaran inquiry) sehingga teknologi tidak dipakai untuk eksperimen pedagogis.
Intinya: teknologi adalah alat. Untuk berdampak, harus ada desain instruksional yang jelas tujuan, aktivitas, penilaian dan guru yang mengintegrasikannya secara pedagogis.

2. Model ASSURE: pemakaian rinci untuk topik “Konflik Global dan Upaya Perdamaian”
Model ASSURE = Analyze learners State objectives Select methods, media, and materials Utilize media and materials Require learner participation Evaluate and revise.
A. Analyze Learners (Analisis Peserta Didik)
Langkah: Kumpulkan data tentang kemampuan, gaya belajar, literasi digital, pengetahuan prasyarat, sikap terhadap isu global, nilai budaya sekolah, dan kecenderungan partisipasi.
Aplikasi untuk topik:
1. Survei awal (LMS) untuk mengukur: prior knowledge tentang konflik global, kemampuan analisis sumber, keterampilan debat dan kolaborasi, dan tingkat empati (skala singkat).
2. Identifikasi variasi: beberapa siswa kuat analitis, beberapa kurang nyaman berbicara depan umum, sebagian punya pengalaman keluarga terkait migrasi/immigran.
Bagaimana memecahkan masalah sekolah:
Memungkinkan desain aktivitas yang menyesuaikan perbedaan (differentiation): tugas analisis untuk yang kuat berpikir, scaffold untuk yang butuh dukungan, peran non-verbal (editor, peneliti) bagi siswa pemalu.

S. State Objectives (Rumuskan Tujuan secara Spesifik dan Terukur)
Langkah: Tulis tujuan perilaku (SMART / measurable) dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotor/sosial.
Contoh tujuan untuk satu unit (2–3 pertemuan):
1. Kognitif: Siswa dapat menganalisis tiga faktor penyebab konflik etnis di negara X dan menilai dampak sosial-ekonomi-nasionalnya dengan rubrik skor ≥ 3/4.
2. Afektif: Siswa menunjukkan peningkatan empati—terukur lewat refleksi tertulis dan peer-rating—dengan skor rata-rata minimal 70% pada rubrik empati.
3. Psikomotor/sosial: Dalam proyek kelompok, siswa mampu merancang dan menyajikan strategi perdamaian berbasis bukti, mengorganisasi peran, dan bekerjasama efektif sesuai rubrik kolaborasi.
Bagaimana memecahkan masalah:
Tujuan terukur memaksa penggunaan alat penilaian yang sesuai (portofolio, rubrik) sehingga penilaian keluar dari hanya hafalan.

S. Select Methods, Media, and Materials (Pilih Metode & Media)
Langkah: Pilih metode pembelajaran dan media teknologi yang mendukung tujuan. Pastikan alignment tujuan ↔ aktivitas ↔ penilaian.
Contoh pilihan (untuk topik konflik global):
1) Metode: Inquiry-based learning, jigsaw, debate, simulation / role-play (negotiation), project-based learning.
2) Media & bahan: artikel berita internasional (LMS), database video (dokumen, wawancara korban/aktivis), peta interaktif, forum diskusi LMS, Google Docs/Padlet untuk kolaborasi, proyektor interaktif untuk analisis dokumen, aplikasi polling real-time, platform simulasi diplomasi (jika tersedia).
Mengatasi masalah:
Teknologi digunakan untuk aktivitas berpikir (analisis sumber primer, simulasi), bukan hanya presentasi; topik diberi konteks global, bukan hanya buku teks.

U. Utilize Media and Materials (Gunakan/Implementasikan Media & Bahan)
Langkah: Rencanakan detail implementasi: persiapan teknis, orientasi siswa ke tools, langkah penggunaan, backup plan.
Contoh implementasi:
1) Sebelum kelas: unggah paket bahan di LMS (video 6–8 menit, 2 artikel, instruksi tugas).
2) Di kelas: 1) warm-up polling live (proyektor interaktif), 2) jigsaw: tiap kelompok ahli baca satu artikel; gunakan Google Docs untuk mencatat temuan, 3) simulasi mini: peran delegasi negara/NGO, gunakan breakout rooms (mobile/laptop), 4) publikasi hasil di Padlet + peer review.
3) Teknis: cek koneksi, buat panduan singkat penggunaan LMS, siapkan versi offline PDF.
Mengatasi masalah:
Memastikan teknologi berfungsi sebagai mediator kegiatan pembelajaran (bukan distraktor). Orientasi meminimalkan hambatan teknis sehingga siswa fokus ke aktivitas kognitif/afektif.

R. Require Learner Participation (Memastikan Partisipasi Aktif)
Langkah: Rancang aktivitas yang memaksa interaksi nyata dan bertanggung jawab: peran, tugas berkontribusi, penugasan antar-anggota yang jelas.
Contoh aktivitas partisipatif:
1) Jigsaw experts: siswa menjadi “pakar” topik kecil (sejarah, penyebab ekonomi, peran internasional) lalu mengajarkan ke kelompok dasar.
2) Debate struktur, tetapi dengan aturan evidence-based: tiap klaim harus didukung sumber yang diunggah di LMS.
3) Simulasi perundingan perdamaian—setiap siswa memegang peran (delegasi, mediator, wartawan). Output: naskah perundingan dan press release.
4) Refleksi empati: menulis surat imajiner kepada korban atau menyiapkan video testimonial.
Mengatasi masalah:
Partisipasi terstruktur mengoptimalkan potensi analitis siswa, membangun empati lewat peran, dan melatih soft skills (negosiasi, komunikasi).

E. Evaluate and Revise (Evaluasi & Revisi)
Langkah: Gunakan penilaian formatif (selama proses) dan sumatif (produk akhir), kumpulkan data, dan revisi desain.
Contoh instrumen & proses evaluasi:
1. Formatif: kuis singkat di LMS, observasi rubrik kolaborasi, jurnal mingguan.
2. Sumatif: proyek kelompok (strategi perdamaian + presentasi) dinilai dengan rubrik multi-dimensi (kognitif, afektif, kolaborasi), portofolio individu (refleksi, kontribusi), peer assessment.
3. Review: pertemuan guru reflektif untuk menilai: efektivitas media, hambatan, kebutuhan scaffolding.
Mengatasi masalah:
Evaluasi komprehensif membuat kinerja berpikir kritis & empati terlihat; revisi berkelanjutan memperbaiki praktik guru dan penggunaan teknologi.

3. Refleksi kritis-holistik: kelebihan dan keterbatasan ASSURE untuk pembelajaran IPS kontekstual
Kelebihan ASSURE
1. Fokus pada integrasi media & pedagogi: membantu guru memilih media yang tepat untuk tujuan pembelajaran (bukan gadget-for-gadget).
2. Praktis & berorientasi pelaksanaan: memberikan langkah-langkah operasional (analisis siswa persiapan partisipasi evaluasi).
3. Mudah dipakai sebagai checklist bagi guru: cocok untuk guru yang ingin mengintegrasikan LMS/proyektor/mobile secara terencana.
4. Mendukung pembelajaran diferensiasi: analisis awal memaksa guru menyesuaikan materi dengan keragaman siswa.
5. Memfasilitasi asesmen formatif berbasis teknologi: LMS memudahkan kuis, rubrik digital, peer review, portofolio.
Keterbatasan ASSURE
1. Bukan model pedagogi utuh: ASSURE membantu penggunaan media tetapi tidak menyediakan teori pembelajaran mendalam (mis. bagaimana membangun argumen filosofis atau menangani konflik emosional intens). Perlu digabung dengan model pedagogi (PBL, inquiry, konstruktivis).
2. Bergantung pada kapasitas guru teknologi-pedagogis: tanpa pelatihan, langkah-langkah ASSURE bisa terlewati permukaan (mis. memilih media yang "menarik" tapi tidak mendalam).
3. Kurang menekankan dinamika nilai & etika langsung: isu konflik memerlukan fasilitasi emosional, manajemen trauma, dan mediasi — ASSURE tidak memberi panduan khusus itu.
4. Potensi teknokratik: fokus pada media bisa menimbulkan ilusi inovasi kalau pedagogi tidak berubah.
5. Keterbatasan waktu dan sumber daya: meski sekolah punya fasilitas, waktu persiapan, dukungan teknis, dan ruang kelas yang sesuai tetap diperlukan.
Sejauh mana ASSURE mendukung pembelajaran holistik IPS?
1. Kognitif: sangat mendukung pemilihan media dan aktivitas analitis dapat mengasah berpikir
kritis.
2. Afektif: berpotensi mendukung (refleksi digital, role-play), tetapi memerlukan fasilitasi sensitif
dari guru.
3. Sosial: mendukung bila aktivitas kooperatif dan penilaian kolaboratif dirancang; ASSURE memberi kerangka namun guru harus menekankan aspek proses sosial.

4. Desain Pembelajaran Singkat (berbasis ASSURE) Topik: “Konflik Global dan Upaya Perdamaian”
Durasi: 3 x 45 menit (atau 2 x 90 menit) unit mini dengan output proyek simulasi perdamaian
A. Analisis Karakteristik Peserta Didik
1. Kelas: SMA unggulan, usia 16–17, mayoritas literasi digital tinggi.
2. Profil: kebanyakan mampu berpikir analitis, beberapa memerlukan scaffold berbicara publik; terbiasa menggunakan LMS & mobile.
3. Latar: umumnya peka isu global namun terbatas pada teks; mampu kerja tim; nyaman dengan diskusi online.
B. Tujuan Pembelajaran (SMART, terukur)
1. Kognitif: Dalam bentuk tertulis, siswa dapat menjelaskan minimal 4 faktor penyebab konflik global (politik, ekonomi, identitas, sumber daya) dan menganalisis dampaknya pada masyarakat lokal dan global dengan skor ≥ 75% pada rubrik analisis.
2. Afektif: Setelah simulasi, minimal 80% siswa mampu mengungkapkan refleksi empati yang menunjukkan pemahaman perspektif pihak-pihak terdampak (dinilai lewat rubrik refleksi).
3. Sosial/psikomotorik: Dalam kelompok, siswa dapat menyusun dan mempresentasikan rancangan diplomatic negotiation plan untuk kasus konflik fiksi dengan implementasi strategi perdamaian minimal 3 tindakan konkret, dinilai ≥ 70% pada rubrik kolaborasi & solusi.
C. Metode dan Media
1. Metode: Inquiry-based learning + jigsaw + simulation (negotiation role-play) + peer instruction.
2. Media & Material:
a) LMS: paket bahan (2 artikel, 1 video dokumenter 8 menit, peta interaktif).
b) Proyektor interaktif: untuk polling & menampilkan peta/dokumen.
c) Google Docs / Padlet: kolaborasi dan publikasi hasil.
d) Breakout rooms (platform video conference) untuk simulasi.
e) Formative quiz di LMS (kahoot/quiz) untuk cek pemahaman.
f) Rubrik digital (Google Forms) untuk peer-review.
D. Keterlibatan Siswa (aktivitias langkah demi langkah)
Pertemuan 1 (45–90 menit)
1. Hook & Pre-assess (10 menit): polling interaktif: “Menurutmu, faktor terbesar penyebab konflik global saat ini?” (proyektor).
2. Jigsaw (30 menit): bagi menjadi 4 kelompok ahli: politik, ekonomi, identitas/kultural, sumber daya lingkungan. Tiap anggota baca artikel/video spesifik (tersedia di LMS), catat 3 bukti penyebab + 2 dampak.
3. Sharing & Synthesis (10–20 menit): kelompok gabung: tiap “pakar” mengajar anggota kelompoknya; hasil sintesis ditulis di Google Doc.
4. Formative quiz (5–10 menit): kuis singkat di LMS cek pemahaman fakta.
Pertemuan 2 (45–90 menit)
1. Simulasi Negotiation (60 menit):
a) Bentuk kelompok 5-6; tiap siswa berperan (delegasi negara A/B, mediator, NGO, wartawan). Kasus: konflik sumber daya fiktif.
b) Tugas kelompok: merancang agenda negosiasi, opsi perjanjian, dan kompromi. Gunakan Google Doc untuk drafting; moderator guru memantau breakout rooms.
2. Presentasi & Debrief (20–30 menit): masing-masing kelompok presentasi 7 menit; gunakan proyektor interaktif. Debrief fasilitasi guru: fokus pada bukti, etika, dan empati.
Tugas rumah:
Refleksi tertulis (500 kata) tentang perspektif pihak terdampak dan satu aksi nyata yang bisa siswa lakukan di lokal.
E. Penilaian dan Umpan Balik
Instrumen:
1. Rubrik Analisis (kognitif): kelengkapan faktor penyebab, kedalaman analisis, referensi bukti.
2. Rubrik Kolaborasi & Negosiasi (sosial/psikomotor): kontribusi, komunikasi, kemampuan negosiasi, pemecahan masalah.
3. Rubrik Refleksi Empati (afektif): kedalaman refleksi, perspektif multiple, rencana aksi lokal.
4. Peer Assessment: tiap siswa memberi skor kontribusi rekan di Google Form.
5. Formative Quizzes & Observasi: hasil kuis + catatan observasi guru pada breakout rooms.
Umpan balik:
1. Format: kombinasi komentar tertulis di LMS (dikembalikan 3 hari kerja), umpan balik lisan setelah presentasi, dan peer feedback terstruktur.
2. Jadwal: feedback formatif segera (1–2 hari), feedback sumatif (rubrik skor + komentar dalam 5 hari).

Penutup :
1. Pelatihan guru singkat (micro-training) tentang desain pembelajaran berbasis ASSURE + strategi fasilitasi diskusi sensitif.
2. SOP teknis & backup (versi offline bahan) untuk mengurangi hambatan teknis.
3. Rubrik & alat penilaian siap pakai agar penilaian kompetensi abad-21 terstandardisasi.
4. Refleksi & revisi — guru bertemu tiap akhir unit untuk mengevaluasi praktik dan merevisi design.
In reply to First post

Re: CASE STUDY

Muhammad Ilham Ilham གིས-
1. Analisis akar masalah
Meskipun sekolah memiliki fasilitas teknologi yang lengkap, beberapa faktor desain instruksional / pedagogis menjelaskan mengapa kualitas pembelajaran IPS belum meningkat:
a. Fokus pada alat, bukan pada tugas pembelajaran.
Teknologi tersedia, tetapi guru menggunakan tetap metode ceramah. Alat hanya menggantikan papan tulis, bukan mengubah jenis aktivitas pembelajaran (ruang untuk inquiry, kolaborasi, simulasi).
b. Ketidakselarasan tujuan, aktivitas, penilaian (instructional alignment).
Tujuan masih kognitif rendah; aktivitas dan penilaian tidak meminta berpikir kritis, empati, atau analisis masalah nyata dimana teknologi tidak dimanfaatkan untuk fungsi kognitif/afektif tingkat tinggi.
c. Kurangnya kapasitas pedagogis guru terhadap integrasi teknologi (TPACK gap).
Guru mungkin paham perangkat, tapi kurang terlatih merancang tugas belajar yang memanfaatkan potensi pedagogis teknologi (kolaborasi daring, analisis data, simulasi).
d. Sumber & materi tidak dikontekstualkan.
Topik global diajarkan pasif dari buku teks; tidak ada sumber primer, studi kasus kontemporer, data, dan narasi dari pihak terdampak.
e. Penilaian tidak autentik dan tidak formatif.
Jika penilaian tetap mengukur hafalan, maka aktivitas tinggi-bebas tidak dihargai, siswa fokus pada hafalan, bukan berpikir kritis.
f. Budaya kelas dan manajemen berubah belum mendukung eksperimen pedagogis.
Waktu, beban kurikulum, dukungan teknis, atau kebijakan sekolah mungkin membatasi intervensi inovatif.


2. Penerapan model ASSURE dalam pembelajaran IPS bertema “Konflik Global dan Upaya Perdamaian” mampu mengubah proses belajar yang semula berfokus pada ceramah dan hafalan menjadi lebih aktif, kolaboratif, dan kontekstual. Melalui pendekatan ini, setiap keputusan desain pembelajaran, mulai dari pemilihan metode, media, hingga aktivitas, berdasarkan pada analisis mendalam terhadap karakteristik peserta didik. Teknologi dimanfaatkan bukan sekadar sebagai alat bantu visual, tetapi sebagai sarana berpikir, bereksplorasi, dan berkolaborasi. Sementara itu, siswa tidak lagi menjadi pendengar pasif, melainkan subjek yang aktif sebagai peneliti, komunikator, dan warga dunia yang memiliki empati sosial. Dengan demikian, model ASSURE menjembatani kesenjangan antara ketersediaan teknologi dan kualitas hasil belajar, serta mengintegrasikan aspek kognitif, afektif, dan sosial secara harmonis dalam pembelajaran IPS.
Model ASSURE: Analyze Learners, State Objectives, Select Methods, Media, Materials, Utilize Media & Materials, Require Learner Participation, Evaluate & Revise.
Berikut penerapan praktis setiap tahap untuk mengatasi masalah yang ditemukan.
1) Analyze Learners (Analisis Peserta Didik)
a. Kumpulkan data: profil intelektual (kemampuan analitis tinggi), literasi digital (tinggi), sikap & nilai (beragam), latar budaya, pengalaman internasional (sedikit).
b. Identifikasi kebutuhan: belajar berpikir kritis, berempati, menganalisis sumber, berdiskusi tentang perspektif berbeda, dan kemampuan menyusun rekomendasi kebijakan sederhana.
c. Implikasi: tugas harus menantang berpikir tinggi, kolaboratif, menggunakan teknologi untuk mengumpulkan & menyajikan bukti, dan sensitif terhadap aspek afektif.

2) State Objectives (Menetapkan Tujuan Pembelajaran)
Formulasikan tujuan operasional (SMART), Secara spesifik, dalam dua pertemuan, siswa dapat:
1. Mengidentifikasi minimal tiga faktor penyebab konflik global pada kasus X (mis. konflik etnis/teritorial) dengan merujuk pada sumber primer dan sekunder.
2. Menganalisis dampak sosial-ekonomi konflik tersebut pada satu komunitas terdampak menggunakan data ringkas.
3. Menyusun dan mempresentasikan rancangan strategi perdamaian berbasis bukti yang mencerminkan empati dan perspektif multi-pihak.
4. Berekspresi reflektif mengenai peran remaja sebagai warga global melalui jurnal digital.

3) Select Methods, Media, and Materials (Memilih Metode, Media, Materi)
Pilih metode yang mendukung keterlibatan aktif dan berpikir kritis:
1. Metode: PjBL (Project-Based Learning), Structured Academic Controversy, Role-play diplomasi, Jigsaw untuk studi kasus, Inquiry-based learning.
2. Media & bahan: LMS untuk modul dan diskusi; artikel berita internasional; video wawancara korban/pejabat (clips); peta interaktif (Google My Maps); dataset ringkas (statistik pengungsi, ekonomi); dokumen kebijakan; platform kolaborasi (Google Docs/Slides), Padlet/Flip untuk refleksi, aplikasi pembuatan poster (Canva).
3. Materi: Studi kasus nyata (mis. konflik Timur Tengah), kronologi singkat, testimoni (video/teks), infografis statistik, peta interaktif.

4) Utilize Media and Materials (Menggunakan Media & Materi secara Efektif)
Rancang langkah penggunaan di kelas:
1. Sebelum kelas: unggah bahan di Google Classroom (artikel, video, data) dengan panduan tugas.
2. Pada sesi: gunakan proyektor interaktif untuk memetakan kronologi konflik dan memvisualisasikan data; fasilitasi breakout rooms (virtual atau fisik) untuk diskusi jigsaw; siswa menggunakan smartphone/laptop untuk mengakses sumber primer.
3. Pastikan teknis berfungsi (link, hak pakai sumber, subtitle video), beri petunjuk pemrosesan sumber (cek kredibilitas, cara kutip), dan siapkan rubrik penilaian tersedia di LMS.

5) Require Learner Participation (Mendorong Partisipasi Aktif)
Rancang aktivitas yang memaksa keterlibatan nyata:
1. Aktivitas inti: setiap kelompok mengkaji satu perspektif pemangku kepentingan (pemerintah, warga sipil, swasta, media) lalu melakukan structured academic controversy untuk merumuskan solusi komprehensif.
2. Produk: presentasi multimedia (5–7 menit), policy brief 1 halaman, dan poster kampanye perdamaian.
3. Tugas individu: jurnal digital reflektif tentang empati dan tanggung jawab warga global; peer review antar kelompok.
4. Guru memberi umpan balik cepat (audio/text) selama proses dan memfasilitasi diskusi plenary.

6) Evaluate and Revise (Evaluasi & Revisi)
1. Evaluasi formatif: checklist observasi kolaborasi, rubrik draft presentasi, feedback peer.
2. Evaluasi sumatif: rubrik komprehensif menilai pemahaman konsep, kualitas analisis bukti, kualitas solusi, komunikasi, dan refleksi afektif.
3. Revisi: profesikan hasil evaluasi untuk memperbaiki materi, menambah sumber jika ditemukan kekurangan, dan menyesuaikan aktivitas bila partisipasi rendah.


3. Refleksi kritis-holistik terhadap kelebihan dan keterbatasan model ASSURE dalam pembelajaran IPS kontekstual
Kelebihan ASSURE
a. Berorientasi peserta didik: memulai dengan analisis siswa membuat desain lebih relevan.
b. Fokus pada integrasi media/teknologi: cocok untuk sekolah berteknologi tinggi yang ingin mengubah praktik instruksional.
c. Praktis dan aplikatif: memberikan langkah operasional yang mudah diikuti guru di tingkat kelas.
d. Menekankan partisipasi aktif: mendorong aktivitas belajar yang membangun keterampilan kolaborasi dan berpikir kritis.
e. Iteratif (Evaluate & Revise): mendorong perbaikan berkelanjutan berdasarkan bukti.
Keterbatasan ASSURE
a. Kurang menekankan analisis sistemik skala kurikulum: ASSURE efektif di tingkat kelas, tetapi kurang panduan bagi perencanaan program besar atau sinkronisasi kurikulum (tidak sedetail Dick & Carey/ADDIE pada level sistem).
b. Bergantung pada kompetensi guru: tanpa TPACK (pengetahuan pedagogis dan teknologi) guru mungkin tidak memaksimalkan potensi langkah ASSURE.
c. Potensi terjebak pada teknologi sebagai gadget: jika guru tidak kritis, media dipilih berdasarkan ketersediaan bukan relevansi instruksional.
d. Aspek afektif memerlukan strategi khusus: ASSURE menuntut partisipasi, tetapi menumbuhkan empati memerlukan pendekatan yang lebih mendalam (facilitated debrief, trauma-informed pedagogy) yang harus ditambahkan secara eksplisit.
ASSURE dalam mendukung integrasi kognitif, afektif, sosial.
a. Kognitif: melalui tugas analisis bukti, interpretasi data, pembuatan policy brief.
b. Afektif: melalui penugasan reflektif, testimoni korban, role-play yang menuntut empati.
c. Sosial: melalui kerja kelompok, structured controversy, keterlibatan komunitas/NGO.
Namun untuk menyentuh afektif dan sosial secara mendalam, guru perlu menambahkan fase debrief, fasilitasi empatik, dan tindak lanjut aksi nyata (service learning) ASSURE menyediakan kerangka, tetapi implementasi guru menentukan kedalaman integrasi ketiga domain tersebut.


4. Desain Pembelajaran IPS Berbasis Model ASSURE untuk Siswa SMA
Tema : Konflik Global dan Upaya Perdamaian
Durasi : 3 x 45 menit (dapat dikembangkan menjadi proyek selama dua minggu)
a. Analisis Karakteristik Peserta Didik
Peserta didik merupakan siswa kelas XII SMA dengan kemampuan literasi digital yang relatif tinggi karena terbiasa menggunakan perangkat teknologi dalam kegiatan belajar maupun praktik kejuruan. Mereka memiliki keterampilan komunikasi dan kerja sama yang baik, tetapi belum memiliki pengalaman langsung dalam memahami isu-isu global dan perdamaian dunia. Secara umum, siswa memiliki kemampuan berpikir analitis yang cukup, namun masih cenderung berfokus pada konteks lokal dan praktis. Dari sisi afektif, tingkat empati sosial dan kepedulian terhadap isu kemanusiaan masih beragam. Fasilitas sekolah mendukung pembelajaran tatap muka berbasis teknologi dengan tersedianya proyektor interaktif, koneksi internet stabil, serta perangkat mobile pribadi yang dapat digunakan untuk mencari informasi tambahan dan menyusun produk pembelajaran.

b. Tujuan Pembelajaran (Operasional)
Setelah mengikuti pembelajaran, siswa diharapkan dapat:
1. Mengidentifikasi tiga faktor penyebab utama konflik global berdasarkan kasus aktual yang dibahas di kelas.
2. Menganalisis dampak konflik terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, termasuk kemungkinan dampaknya terhadap konteks nasional.
3. Merancang dan mempresentasikan strategi perdamaian yang mempertimbangkan berbagai sudut pandang pemangku kepentingan, seperti negara, organisasi internasional, dan masyarakat sipil.
4. Menunjukkan empati dan kesadaran sebagai warga dunia melalui refleksi pribadi yang mengaitkan nilai perdamaian dengan kehidupan sehari-hari.

c. Metode dan Media Pembelajaran
Pembelajaran dirancang dengan pendekatan Project-Based Learning (PjBL), yang memungkinkan siswa bekerja secara kolaboratif dalam kelompok beranggotakan empat orang. Setiap kelompok akan mengeksplorasi isu konflik global melalui metode Jigsaw, di mana setiap anggota mempelajari satu aspek (misalnya politik, ekonomi, sosial, atau kemanusiaan) untuk kemudian dibagikan kepada kelompoknya. Dalam tahap analisis dan solusi, digunakan Structured Academic Controversy, yaitu diskusi terarah untuk menyeimbangkan argumen pro dan kontra sebelum mencapai kesepakatan bersama. Sebagai puncak kegiatan, siswa melaksanakan role-play diplomasi, mensimulasikan proses negosiasi antarnegara atau organisasi dunia yang berupaya mencapai perdamaian.
Media yang digunakan meliputi video dokumenter singkat tentang konflik global (3–5 menit), peta dunia interaktif (ditampilkan melalui proyektor), artikel berita dan infografik, serta aplikasi ringan seperti Canva atau Google Slides (offline) untuk pembuatan poster digital. Semua bahan ajar dapat dicetak atau diunduh sebelumnya agar pembelajaran tetap dapat dilakukan tanpa ketergantungan pada LMS.

d. Keterlibatan Siswa dalam Pembelajaran (Aktivitas Inti)
Pada awal kegiatan, guru menayangkan video pendek yang menggambarkan situasi konflik dan meminta siswa mengemukakan pandangan awal tentang penyebab serta dampaknya. Kegiatan ini berfungsi sebagai pembuka sekaligus aktivasi pengetahuan awal.
Selanjutnya, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mengikuti kegiatan Jigsaw, di mana setiap anggota mendalami satu aspek konflik berdasarkan bahan bacaan yang disediakan guru. Setelah diskusi internal kelompok, mereka mempresentasikan hasil pemahaman masing-masing untuk membentuk gambaran utuh mengenai konflik yang dipelajari.
Pada sesi kedua, guru memandu kegiatan Structured Academic Controversy, di mana dua kelompok berpasangan untuk berdiskusi dan berdebat mengenai strategi penyelesaian konflik. Kegiatan ini membantu siswa melihat perbedaan sudut pandang secara lebih objektif dan kritis.
Sesi ketiga diakhiri dengan role-play diplomasi, di mana siswa mensimulasikan perundingan damai antara berbagai pihak yang terlibat. Setiap kelompok kemudian membuat poster atau mini-proposal strategi perdamaian, yang dipresentasikan di depan kelas dengan dukungan visual sederhana (poster kertas atau digital).
Sebagai penutup, siswa menulis refleksi pribadi mengenai pelajaran yang mereka peroleh, nilai-nilai empati dan toleransi yang muncul, serta relevansinya bagi kehidupan sosial di sekolah maupun masyarakat.

e. Penilaian dan Umpan Balik
Penilaian dilakukan secara berkelanjutan dengan menggabungkan aspek proses dan produk. Penilaian formatif mencakup observasi guru terhadap keaktifan siswa, kolaborasi kelompok, kemampuan berpikir kritis, serta partisipasi dalam diskusi. Penilaian sumatif meliputi kualitas analisis konflik, kreativitas dan kelayakan solusi perdamaian, serta kedalaman refleksi pribadi siswa.
Indikator penilaian dapat meliputi:
 Kemampuan menggunakan data atau bukti (20%)
a. Kedalaman analisis dan argumentasi (25%)
b. Orisinalitas solusi dan kreativitas (20%)
c. Kerja sama dan kontribusi dalam kelompok (15%)
d. Kualitas komunikasi dan presentasi (10%)
e. Refleksi pribadi yang menunjukkan empati dan pemahaman nilai perdamaian (10%)
Guru memberikan umpan balik langsung secara lisan saat diskusi dan presentasi, serta menuliskan komentar singkat di lembar hasil kerja siswa. Siswa juga diajak untuk memberikan peer feedback terhadap karya teman sekelas agar terbentuk budaya reflektif dan saling menghargai.