CASE STUDY

CASE STUDY

Number of replies: 6

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengembangkan berbagai teknologi pertanian digital (agritech), seperti penggunaan drone untuk penyemprotan pestisida, sistem pemantauan kelembapan tanah berbasis IoT, dan aplikasi pasar digital untuk petani. Namun, adopsi teknologi ini belum merata. Di beberapa daerah, petani menolak menggunakan teknologi ini karena dianggap "tidak sesuai dengan tradisi", sulit dioperasikan, atau tidak relevan dengan kondisi lokal.

Analisislah kasus di atas dengan menjawab pertanyaan berikut:

  1. Identifikasi dan jelaskan aktor-aktor sosial utama dalam kasus di atas serta peran mereka dalam proses konstruksi sosial teknologi.
  2. Berdasarkan pendekatan SCP, bagaimana proses "interpretative flexibility" terjadi dalam konteks teknologi agritech di Indonesia?
  3. Buatlah analisis kritis tentang bagaimana kekuasaan sosial dan budaya lokal membentuk keberhasilan atau kegagalan adopsi teknologi dalam kasus ini.
  4. Berikan rekomendasi strategi implementasi teknologi agritech yang mempertimbangkan prinsip-prinsip SCP agar dapat diterima oleh komunitas lokal.

In reply to First post

Re: CASE STUDY

by Dwi Intan Ramadhani -
Nama: Dwi Intan Rahmadani
NPM: 2213031048

1. Aktor sosial utama dalam kasus adopsi agritech di Indonesia meliputi petani sebagai pengguna langsung, pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan penyedia program modernisasi pertanian, perusahaan agritech sebagai pengembang teknologi, serta lembaga pendamping seperti penyuluh pertanian dan LSM. Petani berperan sebagai pihak yang menilai apakah teknologi sesuai dengan kebutuhan dan tradisi mereka, sementara pemerintah mendorong transformasi melalui regulasi, subsidi, atau pelatihan. Perusahaan agritech membangun desain teknologi yang kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh tiap kelompok pengguna. Penyuluh dan LSM berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara inovator dan komunitas lokal. Interaksi seluruh aktor ini membentuk proses konstruksi sosial teknologi, di mana makna dan keberterimaan teknologi dipengaruhi oleh pengalaman, nilai budaya, dan kepentingan masing-masing pihak.

2. Dalam perspektif Social Construction of Technology (SCOT), interpretative flexibility muncul ketika teknologi agritech dipahami secara berbeda oleh tiap aktor. Pemerintah dan perusahaan agritech melihat teknologi sebagai solusi modern untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan sebagian petani menafsirkannya sebagai alat yang sulit digunakan, tidak sesuai tradisi, atau tidak relevan dengan kondisi lahan lokal. Teknologi yang sama—misalnya sensor IoT atau drone—dapat dianggap bermanfaat oleh petani yang sudah terbiasa dengan teknologi, tetapi dipandang mengancam cara bertani tradisional oleh kelompok lain. Perbedaan penafsiran ini menunjukkan adanya fleksibilitas makna yang terus dinegosiasikan dalam proses adopsi teknologi.

3. Kekuasaan sosial dan budaya lokal sangat memengaruhi penerimaan teknologi. Dalam komunitas agraris, tradisi dan pengalaman turun-temurun menjadi dasar legitimasi dalam mengambil keputusan. Bila teknologi dianggap bertentangan dengan nilai budaya atau mengancam peran sosial tertentu (misalnya menggantikan tenaga kerja lokal), maka penolakannya menjadi lebih kuat. Selain itu, posisi pemerintah dan perusahaan agritech yang sering lebih dominan dapat menciptakan kesenjangan komunikasi, sehingga petani merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Ketimpangan ini membuat teknologi mudah gagal diadopsi karena tidak mencerminkan kebutuhan nyata komunitas. Di sisi lain, kelompok petani yang memiliki pengaruh sosial dapat menentukan apakah teknologi diterima atau ditolak secara kolektif.

4. Untuk meningkatkan penerimaan agritech, strategi implementasi harus mengikuti prinsip SCOT, yaitu melibatkan aktor sosial sejak awal, memahami konteks lokal, serta membangun keselarasan antara teknologi dan budaya masyarakat. Pemerintah dan perusahaan agritech perlu melibatkan petani dalam co-design teknologi agar fungsi dan antarmuka disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pendekatan bertahap dengan pilot project berbasis komunitas dapat membantu membangun kepercayaan. Pelatihan berbasis praktik langsung dan pendampingan intensif juga penting untuk mengurangi persepsi bahwa teknologi sulit digunakan. Selain itu, memanfaatkan tokoh lokal atau petani teladan sebagai champion dapat memperkuat legitimasi sosial teknologi. Dengan demikian, agritech dapat diintegrasikan secara lebih natural dalam praktik pertanian lokal dan diterima sebagai solusi, bukan ancaman.