CASE STUDY

CASE STUDY

Jumlah balasan: 26

PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.

Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.

Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.

Pertanyaan Evaluatif:

  1. Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
  2. Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
  3. Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.

Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Mourien Ganesti -
Nama : Mourien Ganesti
Npm : 2413031013

1. Kelebihan dan Kekurangan Fair Value, Fair Value memiliki manfaat karena merefleksikan nilai pasar yang terbaru, yang sangat berguna di industri properti komersial yang dipengaruhi oleh lokasi, permintaan, dan kondisi ekonomi. Sebagai contoh, peningkatan nilai aset PT Nusantara Properti pada tahun 2024 menciptakan gambaran yang lebih tepat mengenai keadaan keuangan untuk para investor dibandingkan dengan historical cost yang cenderung tetap. Selain itu, fair value memfasilitasi keputusan yang lebih cerdas, terutama di pasar Indonesia yang mengalami banyak perubahan setelah pandemi dan saat ada perubahan aturan, serta sejalan dengan sifat properti yang sering dimiliki untuk tujuan meningkatkan nilainya. Namun, kelemahannya adalah adanya faktor subjektif dalam penilaian karena tergantung pada asumsi dari penilai, kemungkinan bias di pasar yang kurang likuid, risiko variasi dalam laporan keuangan, dan biaya yang tinggi untuk penilaian berkala serta audit independen. Oleh karena itu, fair value unggul dalam hal relevansi, sedangkan biaya historis lebih stabil dan dapat diandalkan.

2. Di Indonesia, PSAK yang telah menyesuaikan diri dengan IFRS memungkinkan penerapan fair value, contohnya PSAK 16 dan IFRS 13. fair value diukur berdasarkan tingkat (Level 1-3) untuk memastikan kualitas informasi. Implementasi fair value meningkatkan relevansi dengan menyediakan informasi yang dapat memprediksi dan mengonfirmasi, sesuai dengan kerangka konseptual IFRS. Dalam industri properti di Indonesia, yang dipengaruhi oleh urbanisasi dan krisis ekonomi, fair value lebih menggambarkan keadaan pasar terkini dibandingkan dengan historical cost. Di tingkat global, IFRS juga mendorong penggunaan fair value untuk investasi properti (IAS 40), dan di Indonesia, OJK mengharuskan pengungkapan untuk meningkatkan transparansi. Dari perspektif keandalan, mekanisme seperti penilaian independen, tingkatan pengukuran, serta pengungkapan yang mendetail memastikan bahwa representasi tetap akurat meskipun pasar belum berkembang dengan baik. Ini berarti bahwa nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan asalkan didukung oleh peraturan, pengawasan, dan audit yang kuat.

3. Sebagai bagian dari DSAK IAI, kebijakan yang direkomendasikan adalah pendekatan gabungan, wajib menggunakan fair value untuk properti investasi sesuai dengan PSAK 16/IAS 40, sementara aset operasional masih bisa dicatat dengan historical cost dengan pengungkapan yang menyeluruh dan penilaian independen setiap tahun. Proses transisi selama 3-5 tahun akan membantu perusahaan beradaptasi dengan biaya yang dikeluarkan. Pendekatan ini menjaga relevansi dan representasi yang akurat, menerapkan prinsip kehati-hatian dan netralitas, serta meningkatkan kemampuan untuk dibandingkan dengan laporan-laporan global yang berdasarkan pada IFRS. Dengan biaya yang tetap terkendali dan dengan transparansi yang lebih tinggi, kebijakan ini berusaha menyeimbangkan kebutuhan pasar properti Indonesia yang dinamis dengan tuntutan untuk keandalan laporan keuangan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Eris Ana Dita -
Nama : Eris Ana Dita
Npm : 2413031017

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Penggunaan nilai wajar (fair value) pada aset tetap memberikan informasi yang lebih relevan karena mencerminkan nilai pasar saat ini dan prospek perusahaan yang sebenarnya, terutama di pasar properti yang fluktuatif. Namun, nilai wajar bisa kurang andal karena tergantung pada penilaian subjektif pihak ketiga dan bisa menyebabkan nilai aset yang tidak stabil. Sebaliknya, biaya historis (historical cost) lebih objektif dan stabil karena berdasarkan harga beli asli, tetapi kurang relevan karena tidak mencerminkan nilai pasar saat ini.

2. Relevansi dan Keandalan Informasi Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS Di Indonesia dan menurut IFRS, nilai wajar meningkatkan relevansi laporan keuangan dengan memberikan gambaran nilai pasar sebenarnya. Namun, keandalannya harus dijaga dengan pengungkapan lengkap tentang asumsi dan metode penilaian. Dengan demikian, nilai wajar bisa dipakai tanpa mengorbankan keandalan jika standar penilaian dan transparansi diikuti.

3. Rekomendasi Kebijakan DSAK IAI Terkait Penggunaan Nilai Wajar dalam Pelaporan Aset Tetap di Sektor Properti Rekomendasi kebijakan DSAK IAI adalah membolehkan penggunaan nilai wajar sebagai opsi untuk aset properti dengan syarat penilaian dilakukan oleh appraiser profesional dan ada pengungkapan yang detail tentang metode dan asumsi penilaian. Kebijakan ini harus membantu menjaga keseimbangan agar laporan keuangan tetap relevan dan andal, serta mengikuti prinsip pelaporan keuangan yang baik.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Alya Khoirun Nisa -
Nama : Alya Khoirun Nisa
Npm : 2413031019

1. Kelebihan dan Kekurangan Fair Value vs Historical Cost
Penggunaan fair value membuat laporan keuangan PT Nusantara Properti lebih relevan karena mencerminkan kondisi pasar terkini. Investor dapat menilai potensi nilai aset dan risiko dengan lebih akurat, apalagi di industri properti yang harganya fluktuatif. Namun, kelemahannya adalah sifatnya yang subjektif karena bergantung pada asumsi penilai, biaya penilaian yang mahal, serta potensi membuat laporan menjadi lebih volatil. Sebaliknya, historical cost lebih stabil dan objektif, tetapi kurang relevan karena tidak mencerminkan nilai riil saat ini.


2. Relevansi dan Keandalan Fair Value di Indonesia dan IFRS
Dalam IFRS, fair value meningkatkan relevansi karena menunjukkan nilai aset yang sebenarnya di pasar, bukan sekadar biaya perolehan lama. Namun, di Indonesia, masalah muncul pada keandalan. Pasar properti sering tidak transparan, sehingga penilaian rentan subjektif. Jadi, meskipun fair value lebih relevan, keandalannya bisa berkurang jika tanpa pengawasan dan pengungkapan memadai.


3. Rekomendasi Kebijakan Jika di DSAK IAI
Jika menjadi anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan penggunaan fair value tetap dipertahankan untuk sektor properti, tetapi harus diikuti dengan pengungkapan rinci tentang metode, asumsi, dan tingkat input yang digunakan. Selain itu, penilaian perlu diaudit independen dan ada standar nasional bagi profesi penilai agar hasil lebih konsisten. Dengan begitu, laporan tetap relevan sekaligus andal, sesuai prinsip akuntansi: relevansi dan representasi jujur.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Serly Natasa -
Nama: Serly Natasa
NPM: 2413031028

1. • Kelebihan Fair Value:
Memberikan gambaran nilai aset yang lebih mutakhir dan relevan karena mencerminkan kondisi pasar saat ini, sangat diperlukan di sektor properti yang sering mengalami fluktuasi nilai. Meningkatkan keterbukaan dan kredibilitas laporan keuangan dengan menampilkan nilai wajar aset, sehingga memperkuat kepercayaan para investor dan stakeholder. Menyajikan nilai ekonomi saat ini, bukan hanya harga perolehan masa lalu yang kadang tidak sesuai dengan kondisi riil akibat inflasi atau perubahan pasar.

• Kekurangan Fair Value:
Penilaian bergantung pada jasa pihak ketiga dan asumsi pasar yang bisa sangat subjektif, sehingga muncul risiko keandalan informasi yang menurun. Perbedaan metode penilaian dan penilai dapat menyebabkan ketidakkonsistenan dan kesulitan dalam membandingkan laporan antar periode atau perusahaan. Fluktuasi nilai pasar bisa menimbulkan variasi laba dan nilai ekuitas yang tinggi, menyulitkan pemakai laporan yang lebih mengutamakan stabilitas dan konsistensi.

• Kelebihan Historical Cost:
Berbasis pada transaksi aktual, sehingga lebih sederhana dan dapat dipercaya karena mengurangi unsur subjektivitas. Memberikan kestabilan laporan keuangan dengan menghindari perubahan nilai pasaran yang cepat, sesuai bagi pengguna yang menghargai konsistensi dan keandalan.

• Kekurangan Historical Cost:
Tidak merefleksikan nilai pasar terkini, sehingga informasi seringkali kurang relevan untuk pengambilan keputusan investasi, terutama jika pasar sangat dinamis. Mengabaikan perubahan nilai ekonomi aset, yang dapat menyesatkan pemakai laporan terutama investor dan kreditur.

2. Pengaruh Nilai Wajar terhadap Relevansi dan Keandalan Informasi Akuntansi ialah
Standar internasional (IFRS) dan Indonesia (PSAK) mengakomodasi penggunaan nilai wajar pada aset tetap dengan syarat ketentuan konsistensi dan keterverifikasian penilaian terpenuhi. Penggunaan nilai wajar meningkatkan relevansi laporan keuangan karena lebih responsif terhadap kondisi pasar terkini. Namun, potensi subjektivitas penilaian perlu dikendalikan dengan pengungkapan lengkap dan audit yang ketat agar keandalan informasi tidak terganggu. Dalam konteks Indonesia, transparansi dalam metode penilaian serta peran auditor sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara relevansi dan keandalan informasi akuntansi.

3. Rekomendasi Kebijakan oleh DSAK IAI yaitu
Jika menjadi anggota DSAK, disarankan memberikan opsi penggunaan nilai wajar sebagai metode revaluasi aset tetap terutama sektor properti yang pasar nilainya aktif dan fluktuatif sesuai PSAK revisi dan IFRS. Harus ada ketentuan pengungkapan yang komprehensif terkait metode penilaian, asumsi pasar, sensitivitas nilai, dan batasan penilaian dari pihak ketiga untuk menjaga keandalan laporan. Mendukung audit independen yang ketat pada proses penilaian agar metodologi dan kompetensi penilai terjamin. Kebijakan juga harus memberikan panduan fleksibel bagi entitas memilih metode yang paling relevan dan handal sesuai karakteristik aset dan kebutuhan pengguna laporan keuangan. Bila pasar tidak aktif atau tidak dapat diandalkan, penggunaan biaya historis tetap dianjurkan untuk menghindari informasi yang menyesatkan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Vina Nailatul Izza -
Nama : Vina Nailatul Izza
NPM : 2413031007

Evaluasi kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti?

Penggunaan fair value memiliki kelebihan utama yaitu memberikan informasi yang lebih relevan bagi pengguna laporan keuangan, terutama investor dan analis. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga laporan keuangan menjadi lebih representatif terhadap nilai ekonomi sebenarnya dari aset properti. Hal ini sangat penting dalam industri properti yang fluktuatif, di mana harga aset dapat berubah secara signifikan. Namun, penggunaan fair value juga memiliki kelemahan karena sangat bergantung pada penilaian pihak ketiga yang bersifat subjektif. Nilai aset bisa dipengaruhi oleh asumsi pasar dan estimasi tertentu sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian serta membuat laporan keuangan menjadi tidak stabil. Sebaliknya, metode historical cost lebih mudah diverifikasi dan stabil, tetapi kurang mencerminkan nilai sebenarnya dari aset pada kondisi pasar saat ini.

2. Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?

Dalam penerapan PSAK 16 dan IFRS, penggunaan nilai wajar dinilai mampu meningkatkan relevansi informasi akuntansi, terutama untuk sektor properti yang nilai asetnya sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar. Laporan keuangan yang menggunakan fair value memberikan gambaran yang lebih realistis bagi investor dalam menilai potensi dan posisi keuangan perusahaan. Meskipun demikian, agar keandalan tetap terjaga, perusahaan perlu memastikan proses penilaian dilakukan secara objektif dan transparan. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan penilai independen yang bersertifikat, menggunakan metode penilaian yang diakui, serta mengungkapkan asumsi dan pendekatan yang digunakan. Dengan demikian, relevansi dapat ditingkatkan tanpa harus mengorbankan keandalan, selama prinsip kehati-hatian dan keterbukaan diterapkan dengan baik sesuai standar IFRS 13 tentang pengukuran nilai wajar.

3. Rekomendasi kebijakan jika menjadi anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI)?

Jika menjadi anggota DSAK IAI, kebijakan yang direkomendasikan adalah menerapkan pendekatan campuran atau mixed measurement dalam pelaporan aset tetap sektor properti. Penggunaan nilai wajar sebaiknya diterapkan pada aset yang memiliki nilai pasar aktif seperti properti investasi, sementara historical cost tetap digunakan untuk aset operasional yang tidak secara langsung diperdagangkan di pasar. Pendekatan ini menciptakan keseimbangan antara relevansi dan keandalan laporan keuangan. Selain itu, perlu dibuat pedoman yang lebih rinci mengenai penentuan nilai wajar, termasuk hierarki penilaian dan pengungkapan asumsi yang digunakan. Dengan kebijakan ini, laporan keuangan perusahaan properti akan menjadi lebih transparan, dapat dipercaya, serta mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya sesuai dengan prinsip pelaporan keuangan internasional.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Nurida Elsa -
Nama: Nurida Elsa
NPM: 2413031012


1. Metode nilai wajar mampu menggambarkan nilai pasar terkini dari aset tetap, yang sangat penting bagi perusahaan properti seperti PT Nusantara Properti di mana harga aset sangat berubah-ubah. Dengan menggunakan nilai wajar, laporan keuangan bisa menjadi lebih bermakna dan memberikan gambaran nyata tentang nilai aset saat ini kepada para investor. Namun, penilaian ini sering bergantung pada perkiraan dan asumsi subyektif dari penilai eksternal, sehingga menimbulkan keraguan tentang keandalan data yang digunakan. Sementara itu, metode biaya historis memberikan nilai yang lebih stabil dan mudah diaudit karena didasarkan pada harga asli saat pembelian, tetapi nilai ini mungkin tidak mencerminkan kondisi pasar saat ini sehingga relevansinya kurang.

2. Dalam kerangka standar akuntansi di Indonesia yang mengikuti IFRS, penggunaan nilai wajar pada aset tetap, khususnya properti, bisa meningkatkan relevansi laporan keuangan bagi para pengguna seperti investor dan kreditur. IFRS sendiri mendorong penggunaan nilai wajar karena dianggap memberikan gambaran nilai ekonomi yang sebenarnya. Namun demikian, penting untuk memastikan bahwa proses penilaian dilakukan oleh pihak yang independen dan kompeten dengan metode yang jelas serta data pasar yang dapat dipercaya agar keandalan informasi tetap terjaga. Jadi, nilai wajar justru dapat meningkatkan relevansi sekaligus keandalan jika prosedur penilaiannya dilakukan dengan baik.

3. Sebagai anggota DSAK IAI, kebijakan yang direkomendasikan adalah memperbolehkan penggunaan nilai wajar untuk aset tetap di sektor properti dengan syarat ketat, seperti penilai harus independen dan memiliki keahlian, metode penilaian harus standar dan transparan, serta harus ada pengungkapan lengkap tentang asumsi dan risiko terkait dalam laporan keuangan. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara prinsip relevansi dan keandalan informasi serta memenuhi kebutuhan pengguna laporan keuangan untuk memperoleh informasi nilai aset yang akurat di pasar yang sangat fluktuatif.

Singkatnya, nilai wajar dapat memberikan informasi yang lebih baik dan relevan di laporan keuangan PT Nusantara Properti jika diikuti dengan standar penilaian yang ketat dan keterbukaan informasi, sementara metode biaya historis tetap berguna sebagai opsi yang lebih stabil saat data pasar sulit diperoleh atau pasar sedang tidak likuid.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Nasroh Aulia -
Nama : Nasroh Aulia
NPM : 2413031004

1. Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Jawab : Penggunaan fair value memberikan kelebihan berupa informasi yang lebih relevan karena mencerminkan nilai pasar terkini, sehingga membantu investor menilai kondisi dan prospek perusahaan. Namun, metode ini juga memiliki kekurangan, seperti potensi subjektivitas penilaian yang bergantung pada asumsi pasar, ketergantungan pada penilai eksternal, serta munculnya volatilitas dalam laporan keuangan yang dapat menyulitkan analisis kinerja jangka panjang.

2. Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jawab : Dalam kerangka PSAK dan IFRS, fair value terbukti dapat meningkatkan relevansi karena lebih mencerminkan nilai ekonomis aset, tetapi keandalan tetap harus dijaga melalui mekanisme tertentu. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan penilai independen, metodologi valuasi yang jelas, serta pengungkapan lengkap mengenai hierarki nilai wajar dan asumsi yang digunakan. Dengan demikian, relevansi dan keandalan dapat berjalan seimbang asalkan tata kelola dan transparansi pelaporan dilaksanakan secara konsisten.

3. Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.
Jawab : Sebagai anggota DSAK IAI, rekomendasi kebijakan adalah memperbolehkan penggunaan fair value pada properti investasi atau aset tetap tertentu yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal. Kebijakan ini harus disertai kewajiban menggunakan penilai independen, pengungkapan yang lengkap, serta pengawasan audit untuk menjaga kualitas pelaporan. Selain itu, perlu ditegaskan pemisahan antara properti investasi dan properti yang digunakan sendiri agar konsistensi pelaporan terjaga. Dengan cara ini, laporan keuangan dapat tetap relevan, andal, dan memenuhi prinsip transparansi serta akuntabilitas.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Nashita Shafiyah -
Nama : Nashita Shafiyah
NPM : 2413031009

1. Pada kasus PT Nusantara Properti, penggunaan fair value dalam mengukur aset tetap memang membawa kelebihan yang besar. Dengan metode ini, laporan keuangan menjadi lebih relevan karena nilai properti yang ditampilkan sesuai dengan harga pasar terkini. Investor tentu lebih mudah menilai posisi dan prospek perusahaan, apalagi dalam industri properti yang nilai asetnya sangat dipengaruhi oleh dinamika pasar. Namun, di sisi lain, penggunaan fair value tidak lepas dari kelemahan. Nilai yang dihasilkan sering kali bergantung pada asumsi penilai independen, yang bisa saja bersifat subyektif. Hal ini membuat keandalan informasi kadang dipertanyakan, apalagi jika pasar properti sedang tidak stabil atau kurang transparan. Selain itu, penggunaan fair value juga bisa membuat laporan keuangan terlihat lebih fluktuatif dari tahun ke tahun, sehingga tidak selalu nyaman bagi pemangku kepentingan yang mencari kestabilan.

2. Dalam konteks Indonesia yang sudah mengadopsi PSAK 16 selaras dengan IFRS, pilihan menggunakan nilai wajar sebenarnya dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan. Informasi yang disajikan jadi lebih segar dan mencerminkan kondisi ekonomi saat ini, sehingga relevansinya meningkat. Akan tetapi, tantangan terbesarnya adalah menjaga keandalan. Pasar properti di Indonesia tidak selalu efisien, sehingga angka yang muncul dalam laporan bisa berbeda jauh dari kondisi riil di lapangan. Untuk menyeimbangkan relevansi dan keandalan, maka pengungkapan yang transparan mengenai metode, asumsi, dan bahkan keterbatasan penilaian menjadi sangat penting agar pembaca laporan tidak salah menafsirkan angka yang disajikan.

3. Jika saya menjadi bagian dari DSAK IAI, saya akan mendorong agar penggunaan fair value di sektor properti tetap dibuka sebagai opsi, tetapi dengan syarat pengungkapan yang ketat dan standar penilaian yang jelas. Saya juga akan merekomendasikan agar kenaikan nilai akibat revaluasi tidak langsung dimasukkan ke laba, melainkan ke ekuitas, supaya tidak menyesatkan pemegang saham dengan “keuntungan semu”. Dengan cara ini, laporan keuangan bisa tetap relevan dan informatif bagi investor, namun tetap menjaga prinsip kehati-hatian dan keandalan informasi. Pada akhirnya, baik historical cost maupun fair value sama-sama memiliki peran, dan tugas kita adalah mencari titik seimbang agar laporan keuangan tidak hanya indah di atas kertas, tetapi juga bermanfaat nyata bagi pengambil keputusan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh TRIASWARI AYUNANDINI -
Nama: Triaswari Ayunandini
NPM: 2413031029

1. Evaluasi Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Nilai Wajar vs. Biaya Historis

Perubahan metode pengukuran aset tetap PT Nusantara Properti dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) memiliki dampak mendasar pada laporan keuangannya.

  • Kelebihan Nilai Wajar

Nilai wajar menawarkan relevansi informasi yang jauh lebih tinggi. Dalam sektor properti komersial yang nilainya sensitif terhadap kondisi pasar yang fluktuatif di Indonesia, nilai wajar mencerminkan nilai ekonomi aset saat ini. Informasi ini sangat penting bagi investor untuk menilai posisi keuangan perusahaan, terutama kemampuan likuiditas dan daya jual aset tersebut, sehingga memungkinkan pengambilan keputusan investasi yang lebih baik. Nilai wajar juga sejalan dengan standar akuntansi global IFRS dan PSAK revisi, yang meningkatkan kualitas pelaporan perusahaan di mata internasional.

  • Kekurangan Nilai Wajar

Kekurangan utama adalah isu keandalan dan objektivitas. Nilai wajar untuk properti komersial seringkali didasarkan pada asumsi subyektif dan estimasi yang dilakukan oleh pihak ketiga (penilai independen), terutama jika aset tersebut tidak diperdagangkan di pasar aktif. Ini menimbulkan keraguan di kalangan pemangku kepentingan mengenai verifiabilitas angka yang dilaporkan. Selain itu, penggunaan nilai wajar dapat menyebabkan volatilitas laba yang signifikan. Kenaikan atau penurunan nilai aset properti akan diakui dalam laporan keuangan, yang bisa jadi tidak mencerminkan kinerja operasional inti perusahaan, melainkan hanya perubahan sentimen pasar.

2. Relevansi Nilai Wajar tanpa Mengorbankan Keandalan

Dalam konteks standar akuntansi global (IFRS) dan Indonesia (PSAK), nilai wajar secara inheren meningkatkan relevansi karena memberikan pandangan yang lebih terkini tentang posisi keuangan entitas. Auditor PT Nusantara Properti benar bahwa nilai wajar memberikan informasi yang lebih berharga dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.

Namun, peningkatan relevansi ini dapat mengorbankan keandalan jika tidak ditangani dengan hati-hati. Keandalan dalam akuntansi mensyaratkan keterwakilan jujur atas informasi, yang berarti harus netral dan bebas dari kesalahan material.

Kuncinya terletak pada transparansi dan pengungkapan. Untuk memastikan keandalan tetap terjaga, PT Nusantara Properti harus secara ekstensif mengungkapkan seluruh asumsi kunci, metodologi penilaian (misalnya, pendekatan pendapatan atau pasar), dan sensitivitas nilai wajar terhadap perubahan asumsi tersebut. Aset properti yang penentuannya sangat bergantung pada asumsi manajemen dan penilai pihak ketiga (sering disebut sebagai input Level 3 dalam Hirarki Nilai Wajar) harus diberikan pengungkapan yang paling rinci. Dengan transparansi ini, pengguna laporan keuangan dapat menilai sendiri tingkat objektivitas dan ketidakpastian nilai wajar tersebut, sehingga menyeimbangkan relevansi yang didapat dengan risiko keandalan yang melekat.

3. Rekomendasi Kebijakan dari DSAK IAI

Jika saya adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), rekomendasi kebijakan saya terkait penggunaan nilai wajar di sektor properti akan fokus pada penguatan aturan pengungkapan untuk memastikan keseimbangan antara relevansi dan keandalan.

Rekomendasi kebijakannya adalah Pendekatan Mandatory Disclosure yang Ketat untuk setiap perusahaan yang memilih model revaluasi (nilai wajar) untuk aset properti.

Argumen Berdasarkan Prinsip Pelaporan Keuangan:

  • Peningkatan Keterwakilan Jujur (Faithful Representation):

Perusahaan harus diwajibkan untuk mengungkapkan lebih dari sekadar nilai akhir. Mereka harus menyajikan analisis sensitivitas kuantitatif yang menunjukkan bagaimana nilai wajar akan berubah (misalnya, dampak kenaikan atau penurunan 1%) jika asumsi kunci (seperti tingkat diskonto atau tarif sewa) diubah. Hal ini memastikan pengguna memahami derajat ketidakpastian yang melekat pada nilai yang dilaporkan, memenuhi prinsip netralitas dan kelengkapan dalam keterwakilan jujur.


  • Penegasan Prinsip Kehati-hatian (Prudence):

DSAK IAI perlu menekankan perlunya skeptisisme profesional yang tinggi dari auditor terhadap asumsi nilai wajar, terutama yang melibatkan penilaian Level 2 atau 3. Sebagai tindakan kehati-hatian, entitas properti harus didorong untuk memastikan independensi dan kompetensi penilai secara berulang. Prinsip kehati-hatian mencegah aset dinyatakan terlalu tinggi, yang merupakan risiko inheren saat menggunakan nilai wajar yang didasarkan pada estimasi masa depan.

  • Mempertahankan Komparabilitas (Comparability):

Meskipun perusahaan menggunakan model nilai wajar, DSAK IAI harus merekomendasikan agar laporan keuangan tetap mengungkapkan data biaya perolehan historis dan akumulasi penyusutan historis terkait aset yang direvaluasi. Data ini penting sebagai titik referensi objektif yang memungkinkan investor membandingkan kinerja dan posisi keuangan PT Nusantara Properti dengan perusahaan lain yang mungkin masih menggunakan model biaya historis atau untuk membandingkan posisi keuangan perusahaan dari tahun ke tahun berdasarkan basis pengukuran yang diverifikasi.

Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Alissya Putri Kartika -

Nama : Alissya Putri Kartika 

NPM : 2413031011


1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value vs Historical Cost

a) Kelebihan Fair Value:

1. Lebih relevan dan mencerminkan kondisi pasar saat ini. Nilai wajar menunjukkan nilai ekonomi sebenarnya dari properti pada tanggal pelaporan, terutama di sektor properti yang harga pasarnya fluktuatif.

2. Meningkatkan transparansi dan daya tarik bagi investor. Investor dapat menilai nilai pasar aset perusahaan dengan lebih akurat.

3. Menyediakan dasar yang lebih realistis untuk pengambilan keputusan investasi dan manajemen.

- Kekurangan Fair Value:

1. Kurang andal jika pasar tidak aktif.Penilaian bergantung pada asumsi atau model yang bersifat subjektif dari penilai independen.

2. Menimbulkan volatilitas dalam laporan keuangan. Perubahan pasar dapat menyebabkan fluktuasi nilai ekuitas dan laba.

3. Biaya dan kompleksitas tinggi. Proses penilaian ulang membutuhkan tenaga ahli dan audit tambahan.

Sebaliknya, historical cost lebih stabil dan objektif, tetapi sering kurang relevan karena tidak mencerminkan nilai ekonomi terkini dari aset.


2. Relevansi dan Keandalan dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka PSAK 16 dan IFRS, tujuan utama pelaporan keuangan adalah memberikan informasi yang relevan dan andal bagi pengambil keputusan.

- Relevansi meningkat karena nilai wajar menyesuaikan dengan kondisi pasar Indonesia yang dinamis, khususnya di sektor properti. 

-Namun, keandalan dapat menurun jika penentuan nilai wajar tidak didukung oleh pasar aktif atau metode valuasi yang transparan.

Oleh karena itu, nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan, asalkan:

- Penilaian dilakukan oleh penilai independen tersertifikasi,

- Metode dan asumsi valuasi diungkapkan secara lengkap, dan

- Ada pengawasan auditor terhadap dasar dan kewajaran estimasi.


3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Saya akan mendukung penggunaan model nilai wajar secara selektif dan terkendali dengan rekomendasi berikut:

1. Gunakan fair value untuk sektor properti yang memiliki pasar aktif, agar nilai tercatat mencerminkan realitas ekonomi.

2. Wajibkan pengungkapan rinci tentang metode, asumsi, dan sumber data penilaian agar pengguna laporan memahami tingkat ketidakpastian nilai tersebut.

3. Larangan atau pembatasan penggunaan nilai wajar untuk aset yang tidak memiliki pasar aktif atau memiliki likuiditas rendah.

4. Dorong audit independen atas hasil penilaian untuk menjaga keandalan.

Alasan: Prinsip pelaporan keuangan menurut Kerangka Konseptual IFRS menekankan relevansi dan faithful representation (penyajian yang jujur). Nilai wajar memperkuat relevansi, tetapi kebijakan harus menjamin bahwa angka yang disajikan juga dapat diverifikasi dan netral, bukan sekadar hasil estimasi manajemen.

Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Rahma Amelia -
Nama: Rahma Amelia
NPM: 2413031026

1. Penggunaan fair value memiliki kelebihan karena menunjukkan nilai aset sesuai harga pasar saat ini. Ini membuat laporan keuangan PT Nusantara Properti terlihat lebih nyata dan relevan bagi investor untuk menilai kondisi perusahaan. Namun, metode ini juga punya kelemahan. Nilai pasar bisa berubah-ubah, jadi laporan keuangan bisa terlihat tidak stabil. Selain itu, penilaian fair value sering bergantung pada asumsi penilai pihak ketiga, sehingga bisa bersifat subjektif dan kurang bisa dipercaya sepenuhnya. Di sisi lain, metode historical cost memang lebih stabil dan mudah diverifikasi, tapi kurang mencerminkan kondisi pasar terkini.

2. Dalam konteks Indonesia dan standar IFRS, penggunaan fair value bisa meningkatkan relevansi laporan keuangan karena nilainya mencerminkan keadaan ekonomi yang sebenarnya. Namun, pasar properti di Indonesia belum sepenuhnya terbuka dan data pembanding sering terbatas. Akibatnya, hasil penilaian bisa kurang akurat dan keandalannya menurun. Karena itu, perusahaan sebaiknya tetap memakai fair value tetapi dengan pengungkapan yang jelas tentang cara menilai, asumsi yang digunakan, serta siapa yang menilai. Dengan begitu, laporan tetap relevan tanpa mengorbankan keandalan informasi.

3. Jika saya menjadi anggota DSAK IAI, saya akan menyarankan agar penggunaan fair value dilakukan dengan hati-hati. Aset tetap sebaiknya dicatat pertama kali dengan historical cost, lalu bisa dinilai ulang dengan fair value jika pasar aktif dan data penilaian jelas tersedia. Selain itu, perusahaan wajib menjelaskan dasar penilaian dan hasil penilai independen agar laporan transparan dan dipercaya. DSAK juga perlu membuat pedoman teknis agar penerapan fair value di sektor properti berjalan konsisten dan tidak menyesatkan. Dengan cara ini, laporan keuangan akan tetap relevan, andal, dan membantu pengambilan keputusan dengan lebih baik.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Amara Gusti Kharisma -
Nama : Amara Gusti Kharisma
Npm : 2413031033

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Nilai Wajar dibanding Biaya Historis di PT Nusantara Properti

Kelebihan nilai wajar mencerminkan kondisi pasar saat ini sehingga memberikan gambaran yang lebih relevan dan up to date mengenai nilai aset tetap perusahaan, informasi yang lebih relevan ini membantu investor dan pemangku kepentingan dalam menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, khususnya pada pasar properti yang bergerak cepat dan fluktuatif, dapat meningkatkan transparansi dan kejelasan laporan keuangan terkait aset yang nilainya sangat dipengaruhi kondisi pasar, sedangkan kekurangan penilaian nilai wajar sering mengandung unsur subjektivitas, terutama bila dilakukan oleh pihak ketiga melalui asumsi pasar yang bisa berbeda-beda, risiko fluktuasi nilai pasar yang tinggi dapat menyebabkan volatilitas laporan keuangan dan dapat menyulitkan prediksi finansial, bisa menurunkan tingkat keandalan informasi karena adanya kemungkinan penilaian yang bias atau kurang tepat, yang dikhawatirkan oleh beberapa pemangku kepentingan.

2. Penggunaan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS untuk Meningkatkan Relevansi tanpa Mengorbankan Keandalan

Dalam standar akuntansi Indonesia yang mengadopsi IFRS (PSAK 16 revisi), nilai wajar diterapkan terutama untuk properti investasi dan aset tetap yang dapat diukur secara andal. Penggunaan nilai wajar meningkatkan relevansi informasi karena mencerminkan nilai pasar saat ini, bukan hanya nilai historis. Untuk menjaga keandalan, PSAK mengharuskan penilaian dilakukan oleh penilai profesional dan menggunakan bukti pasar atau metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Adanya hierarki nilai wajar (harga pasar aktif, harga pasar sejenis, model penilaian terverifikasi) membantu meminimalkan subjektivitas. Namun, informasi nilai wajar harus diimbangi dengan pengungkapan lengkap mengenai metode dan asumsi penilaian agar pengguna laporan memahami tingkat ketidakpastian. Oleh karena itu, relevansi dapat ditingkatkan tanpa mengorbankan keandalan jika pengukuran nilai wajar dilakukan dengan standar profesional dan transparan.

3. Rekomendasi Kebijakan Jika Menjadi Anggota DSAK IAI terkait Penggunaan Nilai Wajar untuk Pelaporan Aset Tetap Properti

Mengadopsi nilai wajar sebagai metode pengukuran setelah pengakuan awal bagi aset tetap properti, sesuai PSAK 16 dan IFRS, agar laporan keuangan lebih relevan dan reflektif terhadap kondisi pasar. Mensyaratkan penilaian nilai wajar dilakukan oleh penilai independen dan bersertifikat dengan menggunakan metode yang diakui serta dapat dipertanggungjawabkan, sesuai hierarki nilai wajar untuk mengurangi subjektivitas. Mewajibkan pengungkapan transparan terkait asumsi, metode penilaian, dan tingkat ketidakpastian untuk menjaga keandalan dan memberikan informasi yang lengkap kepada pengguna laporan. Memberikan opsi bagi perusahaan untuk tetap menggunakan biaya historis pada kondisi pasar yang tidak aktif atau sulit diukur secara andal, untuk menghindari informasi yang menyesatkan. Mendorong pemantauan dan evaluasi berkala terhadap penerapan nilai wajar terutama dalam konteks pasar properti yang volatil agar standar dapat terus disesuaikan dengan kondisi nyata. Memastikan keseimbangan antara relevansi dan keandalan sesuai prinsip pelaporan keuangan utama (relevance and faithful representation) agar laporan keuangan dapat menjadi alat yang efektif dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Rekomendasi ini bertujuan agar penggunaan nilai wajar mendukung penyajian laporan keuangan yang informatif dan dapat dipercaya, sehingga meningkatkan kepercayaan investor dan pemangku kepentingan terhadap perusahaan properti seperti PT Nusantara Properti.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Syifa Dwi Putriyani -
Nama: Syifa Dwi Putriyani
NPM: 2413031024

1. Dalam contoh kasus PT Nusantara Properti, penerapan metode fair value atau nilai wajar dalam penilaian aset tetap memberikan sejumlah manfaat yang cukup signifikan. Melalui pendekatan ini, laporan keuangan menjadi lebih bermakna karena mencerminkan nilai properti sesuai kondisi pasar terkini. Hal ini tentu memudahkan para investor dalam menilai posisi keuangan serta potensi perusahaan, terutama di sektor properti yang sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar. Meski demikian, penggunaan metode ini tidak lepas dari kekurangan. Salah satunya adalah hasil penilaian yang sangat bergantung pada estimasi dari penilai independen, yang dapat bersifat subjektif. Situasi pasar yang tidak stabil atau kurang transparan juga dapat mengurangi tingkat keandalan data yang ditampilkan. Selain itu, metode fair value cenderung membuat laporan keuangan mengalami perubahan nilai yang signifikan setiap tahunnya, sehingga dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pihak-pihak yang menginginkan kestabilan informasi.


2. Dalam konteks Indonesia yang telah mengadopsi PSAK 16 sejalan dengan standar IFRS, penggunaan nilai wajar sebenarnya dapat meningkatkan mutu pelaporan keuangan. Informasi yang disajikan akan menjadi lebih terkini serta lebih mencerminkan kondisi ekonomi yang sedang berlangsung, sehingga meningkatkan relevansinya. Namun demikian, tantangan utama dari penerapan metode ini terletak pada aspek keandalannya. Pasar properti di Indonesia tidak selalu berjalan secara efisien, sehingga nilai yang tercatat dalam laporan berpotensi menyimpang dari kondisi riil. Untuk menjaga keseimbangan antara relevansi dan keandalan informasi, diperlukan keterbukaan dalam pengungkapan metode penilaian, asumsi yang dipakai, serta keterbatasannya, agar pengguna laporan dapat menafsirkan data secara tepat.


3. Apabila saya menjadi bagian dari DSAK IAI, saya akan mendukung agar penggunaan metode fair value tetap dijadikan alternatif dalam sektor properti, dengan catatan harus disertai pedoman penilaian yang terperinci dan pengungkapan informasi yang menyeluruh. Saya juga akan menyarankan agar peningkatan nilai akibat proses revaluasi tidak langsung dicatat sebagai laba, melainkan dialokasikan ke dalam ekuitas, supaya tidak menimbulkan persepsi adanya “keuntungan semu” bagi pemegang saham. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap relevan, akurat, dan informatif bagi para investor, sambil tetap menjaga prinsip kehati-hatian. Kesimpulannya, baik metode historical cost maupun fair value sama-sama memiliki fungsi penting, dan yang perlu dilakukan adalah menemukan titik keseimbangan di antara keduanya agar laporan keuangan tidak hanya tampak baik secara teoritis, tetapi juga memberikan manfaat nyata dalam proses pengambilan keputusan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Resti Gustin -
NAMA : Resti Gustin
NPM : 24130301020

1. Dalam pelaporan aset tetap PT Nusantara Properti, keunggulan fair value memberikan nilai aset yang lebih relevan dan mencerminkan kondisi pasar properti yang sedang berfluktuasi, sehingga membantu investor menilai kondisi keuangan dengan lebih akurat. Namun, kekurangan nilai wajar ini tergantung pada penilai pihak ketiga dan asumsi yang bisa subjektif, yang berpotensi memengaruhi keandalan dan menyebabkan fluktuasi nilai signifikan. Sedangkan historical cost lebih andal dan objektif karena berdasarkan harga perolehan nyata, tetapi kurang relevan jika nilai pasar telah berubah jauh dari biaya perolehan.

2. Dalam konteks Indonesia dan IFRS, fair value dapat meningkatkan relevansi informasi dengan menunjukkan nilai aset terkini, namun harus dilakukan oleh penilai independen menggunakan metodologi yang transparan. Apabila nilai wajar sulit diukur dengan andal, penggunaan historical cost tetap diperbolehkan agar keandalan tidak dikorbankan. Pengungkapan menyeluruh terkait metode penilaian dan asumsi penting sangat diperlukan agar pengguna laporan memahami risiko yang melekat.

3. Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan penggunaan fair value sebagai metode utama pengukuran aset tetap properti di pasar aktif dengan penilai profesional terakreditasi. Namun, opsi biaya historis harus tetap tersedia untuk kondisi pasar tidak aktif atau nilai wajar tidak dapat diukur andal. Kebijakan ini harus menekankan keseimbangan relevansi dan keandalan, serta mengatur pengungkapan lengkap dan pembatasan pengakuan keuntungan belum terealisasi agar laporan keuangan tetap kredibel dan transparan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Refamei Kudadiri -
Nama: Refamei Kudadiri
Npm: 2413031014

1. Penggunaan nilai wajar (fair value)dalam pelaporan aset tetap PT Nusantara Properti membawa dampak yang signifikan terhadap penyajian laporan keuangan. Perubahan dari metode biaya historis (historical cost) ke nilai wajar membuat nilai aset meningkat tajam, sehingga total aset dan ekuitas juga naik. Namun, keputusan ini menimbulkan perdebatan antara relevansi dan keandalan informasi yang disajikan.
Secara konseptual, kelebihan fair value terletak pada kemampuannya mencerminkan kondisi ekonomi dan nilai pasar terkini. Informasi yang berbasis nilai wajar dianggap lebih relevan bagi investor karena memberikan gambaran aktual mengenai nilai properti dan potensi laba yang bisa diperoleh jika aset tersebut dijual pada kondisi pasar saat ini. Dalam pasar properti yang fluktuatif, seperti yang dialami PT Nusantara Properti, fair value juga memudahkan penilaian risiko dan prospek usaha.
Namun, kelemahan utamanya adalah masalah keandalan (reliability). Penilaian berbasis fair value sangat bergantung pada estimasi, asumsi, dan model valuasi yang bisa bersifat subjektif, terutama bila pasar tidak aktif. Dalam kasus PT Nusantara Properti, meskipun penilaian dilakukan oleh pihak ketiga, tetap ada potensi bias atau perbedaan pandangan dalam menentukan nilai pasar wajar. Hal ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan pemakai laporan keuangan karena angka yang disajikan mungkin tidak sepenuhnya dapat diverifikasi. Sebaliknya, historical cost lebih andal karena didasarkan pada harga perolehan yang objektif dan dapat dibuktikan, meski informasi yang dihasilkan kurang relevan bagi pengambilan keputusan saat ini.

2. Dalam konteks PSAK 16 dan IFRS, penggunaan nilai wajar diperbolehkan sepanjang dapat diukur secara andal dan dilakukan secara konsisten untuk satu kelas aset tetap. Standar akuntansi internasional memang menekankan relevansi informasi bagi pengguna, namun tetap mengharuskan adanya verifiabilitas dan transparansi. Dengan pengungkapan yang memadai—seperti asumsi penilaian, teknik valuasi, serta hierarki input (Level 1–3 sesuai IFRS 13)—nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa harus mengorbankan keandalan.

3. Jika saya menjadi anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), saya akan merekomendasikan agar penerapan nilai wajar di sektor properti dilakukan secara selektif dan terukur. Nilai wajar sebaiknya diterapkan hanya pada aset yang memiliki pasar aktif dan dapat dinilai dengan input yang dapat diobservasi (observable inputs). Untuk aset dengan pasar terbatas atau valuasi berbasis asumsi internal, biaya historis tetap menjadi metode utama. Selain itu, penilaian harus dilakukan oleh penilai independen yang tersertifikasi, dengan pengungkapan rinci mengenai metode, asumsi, dan sensitivitas hasil penilaian terhadap perubahan pasar.
Kebijakan ini sejalan dengan prinsip-prinsip pelaporan keuangan, yaitu relevansi, keandalan (faithful representation), keterbandingan, dan transparansi. Dengan kombinasi kehati-hatian dan keterbukaan informasi, nilai wajar dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan tanpa menimbulkan risiko informasi atau manipulasi nilai aset.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Fathiyah Dzahirah 2413031001 -
Nama : Fathiyah Dzahirah
NPM : 2413031001

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value vs Historical Cost
Penggunaan fair value memberikan informasi yang lebih relevan dan up-to-date karena mencerminkan kondisi pasar terkini, khususnya penting bagi sektor properti yang nilai asetnya sangat fluktuatif. Nilai wajar juga meningkatkan transparansi dan daya banding antarperusahaan. Namun, kelemahannya terletak pada reliabilitas dan subjektivitas penilaian, terutama bila pasar tidak aktif atau penilaian bergantung pada asumsi pihak ketiga. Sebaliknya, historical cost lebih andal dan objektif karena didasarkan pada biaya aktual, tetapi sering kali kehilangan relevansi ketika nilai pasar aset berubah secara signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam konteks PSAK yang mengadopsi IFRS, nilai wajar dapat meningkatkan relevansi informasi bagi investor dan analis pasar karena mencerminkan nilai ekonomi saat ini. Namun, penerapannya di Indonesia masih menghadapi tantangan seperti kurangnya pasar aktif dan perbedaan kualitas penilai independen, yang dapat mengurangi keandalan laporan keuangan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas standar penilaian dan pengawasan profesi penilai menjadi kunci agar nilai wajar tetap dapat diandalkan.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Saya merekomendasikan pendekatan hibrida atau pilihan kebijakan terukur: penggunaan nilai wajar untuk properti investasi dan aset dengan pasar aktif, sedangkan aset dengan pasar tidak likuid tetap menggunakan biaya historis. Prinsip relevansi, keandalan, dan kehati-hatian (prudence) harus dijaga. Selain itu, diperlukan pengungkapan yang transparan mengenai metode penilaian, asumsi pasar, dan sensitivitas perubahan nilai agar pengguna laporan dapat menilai risiko dan ketidakpastian. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip IFRS tentang penyajian yang wajar (faithful representation) dan peningkatan kualitas informasi keuangan tanpa mengorbankan keandalannya.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Laila Asia Somad -
NAMA : LAILA ASIA SOMAD
NPM ; 2413031005

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost
Penggunaan nilai wajar (fair value) pada aset tetap memiliki sejumlah kelebihan dan kelemahan dibandingkan dengan biaya historis (historical cost).
Kelebihan:
Fair value memberikan informasi yang lebih relevan karena mencerminkan kondisi ekonomi dan pasar terkini. Dalam konteks PT Nusantara Properti, penggunaan nilai wajar mencerminkan nilai pasar properti komersial saat ini, sehingga lebih berguna bagi investor dalam menilai potensi laba dan posisi keuangan perusahaan. Selain itu, fair value juga dapat meningkatkan transparansi dan daya tarik laporan keuangan, terutama bagi perusahaan publik yang beroperasi di pasar yang aktif seperti sektor properti.
Kekurangan:
Kelemahan utama fair value adalah ketidakandalan (lack of reliability), terutama jika pasar tidak aktif atau penilaian bergantung pada asumsi subyektif dari penilai independen. Nilai yang dihasilkan bisa bervariasi antarpenilai, menimbulkan potensi bias, dan meningkatkan volatilitas laporan laba rugi serta ekuitas. Sebaliknya, historical cost dianggap lebih objektif dan dapat diverifikasi, karena didasarkan pada transaksi aktual yang terdokumentasi, meskipun kurang relevan seiring perubahan nilai pasar.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan Standar Global (IFRS)
Dalam konteks PSAK 16 yang telah mengadopsi IFRS, nilai wajar diakui sebagai dasar pengukuran alternatif untuk aset tetap. Di Indonesia, penggunaan nilai wajar semakin meningkat, khususnya di sektor properti yang memiliki pasar aktif. Pengukuran nilai wajar dapat meningkatkan relevansi informasi keuangan karena memberikan gambaran ekonomi yang sebenarnya kepada investor dan pemangku kepentingan.
Namun, agar relevansi tidak mengorbankan keandalan, penerapan nilai wajar harus memenuhi prinsip “faithful representation” yaitu pengukuran harus didukung oleh metodologi penilaian yang transparan, sumber data yang dapat diandalkan, dan pengungkapan yang memadai tentang asumsi dan metode yang digunakan. Jika pasar tidak aktif atau data pembanding terbatas, perusahaan sebaiknya berhati-hati menggunakan fair value karena risiko distorsi informasi meningkat.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), saya akan merekomendasikan pendekatan hibrida (mixed measurement approach) untuk sektor properti. Artinya, perusahaan dapat menggunakan fair value dengan syarat tertentu, yaitu:
1. Penilaian dilakukan oleh penilai independen bersertifikat dan mengikuti pedoman IFRS 13: Fair Value Measurement.
2. Pengungkapan rinci tentang metode, asumsi, dan sensitivitas penilaian harus disertakan dalam catatan atas laporan keuangan.
3. Jika pasar properti tidak aktif, entitas sebaiknya kembali menggunakan model biaya historis (cost model) untuk menjaga keandalan informasi.
Kebijakan ini sejalan dengan kerangka konseptual IFRS dan PSAK, yang menekankan keseimbangan antara relevansi dan keandalan (reliability). Pendekatan tersebut juga mendukung tujuan utama pelaporan keuangan, yaitu memberikan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan ekonomi tanpa menyesatkan pengguna laporan keuangan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Tantowi Jauhari -
Nama : Tantowi Jauhari
NPM : 2413031008

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost
Penggunaan fair value pada aset tetap memberikan informasi yang lebih relevan dan mencerminkan nilai pasar terkini, sehingga memudahkan investor menilai posisi keuangan perusahaan. Metode ini juga meningkatkan transparansi terhadap kondisi ekonomi yang dinamis, terutama di sektor properti yang nilai pasarnya sering berubah. Namun, kelemahannya adalah adanya subjektivitas tinggi dalam penilaian karena bergantung pada asumsi pihak ketiga, potensi fluktuasi besar dalam laporan keuangan, serta biaya tinggi untuk melakukan revaluasi berkala.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam konteks PSAK 16 dan IFRS, penggunaan fair value diakui dapat meningkatkan relevansi laporan keuangan karena mencerminkan nilai ekonomi saat ini. Namun, keandalan dapat terganggu jika pasar properti tidak likuid atau data penilaian sulit diverifikasi. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan antara relevansi dan keandalan, penilaian harus dilakukan oleh penilai independen bersertifikat, dengan metode dan asumsi yang diungkapkan secara transparan serta menggunakan data pasar yang dapat diuji keabsahannya.

3. Rekomendasi Kebijakan sebagai Anggota DSAK IAI
Sebagai anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), saya merekomendasikan agar penggunaan fair value dalam pelaporan aset tetap sektor properti diterapkan secara selektif. Entitas yang ingin menggunakan metode ini harus memiliki sistem pengendalian internal yang kuat serta didukung pasar properti yang aktif dan transparan. Selain itu, hasil revaluasi perlu diaudit secara independen dan disertai pengungkapan lengkap tentang metode dan asumsi penilaian. Kebijakan ini selaras dengan prinsip IFRS yang menekankan relevansi, keandalan, dan keterbandingan laporan keuangan bagi para pengguna.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Alya Nurani -
Nama: ALYA NURANI
Npm: 2413031025

1. Kelebihan dan Kekurangan Fair Value vs Historical Cost
Penggunaan nilai wajar (fair value) memberikan gambaran yang lebih relevan tentang kondisi ekonomi terkini karena mencerminkan harga pasar aset. Dalam industri properti yang fluktuatif, metode ini membantu investor memahami nilai aset secara aktual. Namun, kelemahannya terletak pada subjektivitas penilaian, terutama jika pasar tidak aktif atau penilaian bergantung pada asumsi pihak ketiga. Sebaliknya, biaya historis lebih andal dan mudah diverifikasi karena berbasis bukti transaksi nyata, tetapi kurang menggambarkan nilai ekonomi saat ini ketika harga properti berubah signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan di Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia yang pasar propertinya cenderung tidak sepenuhnya efisien, penggunaan nilai wajar memang meningkatkan relevansi, tetapi bisa menurunkan keandalan jika metode penilaian tidak transparan. PSAK 16 dan IFRS mengizinkan penggunaan fair value dengan syarat pengungkapan rinci mengenai metode dan asumsi valuasi. Dengan pengawasan auditor dan penilai independen yang kredibel, relevansi dapat ditingkatkan tanpa terlalu mengorbankan keandalan. Transparansi menjadi kunci agar pengguna laporan memahami dasar penentuan nilai tersebut.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai DSAK IAI)
Saya merekomendasikan pendekatan hibrida: memperbolehkan nilai wajar untuk sektor properti dengan syarat adanya pengungkapan penuh, penggunaan penilai independen bersertifikat, serta uji kelayakan pasar yang memadai. Kebijakan ini sejalan dengan prinsip IFRS tentang faithful representation dan relevance, sekaligus mempertahankan prinsip PSAK mengenai kehati-hatian. Selain itu, DSAK perlu memperkuat pedoman teknis agar praktik penilaian lebih konsisten dan mengurangi risiko subjektivitas, sehingga laporan keuangan tetap relevan, andal, dan kredibel bagi seluruh pemangku kepentingan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Waly Tanti Fitrani -
NAMA: WALY TANTI FITRANI
NPM: 2413031031

1. Penggunaan fair value (nilai wajar) dalam pelaporan aset tetap memberikan sejumlah kelebihan, terutama dari segi relevansi informasi. Nilai wajar mencerminkan kondisi ekonomi dan nilai pasar terkini, sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis tentang posisi keuangan perusahaan. Dalam konteks PT Nusantara Properti yang bergerak di sektor properti komersial, fluktuasi harga pasar properti sangat signifikan, sehingga fair value membantu investor dan kreditur memahami nilai ekonomi sebenarnya dari aset perusahaan.
Namun, kelemahannya terletak pada keandalan (reliability). Nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi penilai independen, yang dapat bersifat subjektif. Ketika pasar tidak aktif atau data pembanding terbatas, pengukuran bisa menjadi kurang obyektif dan menimbulkan ketidakpastian. Sebaliknya, historical cost (biaya historis) lebih andal karena didasarkan pada harga perolehan aktual, tetapi kurang relevan karena tidak mencerminkan perubahan nilai ekonomi seiring waktu.

2. Dalam konteks Indonesia yang telah mengadopsi IFRS melalui PSAK, penerapan nilai wajar diakui sebagai langkah menuju pelaporan yang lebih relevan dan transparan. IFRS menekankan pentingnya penyajian informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan ekonomi. Namun, peningkatan relevansi ini hanya efektif jika didukung oleh mekanisme penilaian yang kredibel, seperti penilai independen bersertifikat dan pedoman penilaian pasar yang terstandarisasi.
Dengan demikian, nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan apabila perusahaan mengungkapkan asumsi, metodologi, dan sensitivitas penilaian secara transparan dalam catatan laporan keuangan. Pendekatan ini membantu pengguna laporan memahami tingkat ketidakpastian yang melekat pada estimasi nilai wajar.

3. Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan agar penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti didorong dengan pengawasan dan pedoman yang ketat. Prinsip yang mendasarinya adalah “faithful representation” dan “relevance” sebagaimana tercantum dalam Conceptual Framework for Financial Reporting.

Kebijakan yang disarankan antara lain:
* Menetapkan standar metodologi penilaian properti berbasis IFRS 13 (Fair Value Measurement).
* Mewajibkan pengungkapan rinci atas asumsi, sumber data, serta tingkat hirarki nilai wajar (Level 1, 2, atau 3).
* Mendorong audit independen terhadap proses penilaian agar meningkatkan keandalan.
* Mengizinkan opsi penggunaan model biaya historis bagi entitas yang pasar propertinya belum aktif, untuk menjaga konsistensi dan perbandingan antarperiode.
Dengan kebijakan tersebut, laporan keuangan dapat tetap relevan bagi pengambilan keputusan investor tanpa mengorbankan keandalan dan objektivitas informasi akuntansi.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Rahmi Taqiya Darmawanti -
Rahmi Taqiya Darmawanti
2413031006

1. Penggunaan nilai wajar pada aset tetap memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor, karena mencerminkan nilai pasar saat ini dan kondisi ekonomi terbaru, terutama penting dalam pasar properti yang fluktuatif seperti di Indonesia. Hal ini memungkinkan pemilik dan investor untuk menilai posisi keuangan perusahaan secara lebih akurat. Namun, kelemahannya adalah nilai wajar sangat bergantung pada penilaian pihak ketiga yang seringkali bersifat subjektif dan kurang dapat diverifikasi, sehingga berpotensi mengurangi keandalan laporan keuangan. Sebaliknya, biaya historis lebih andal karena berdasarkan harga perolehan yang tercatat dan mudah diverifikasi, tapi kurang relevan saat nilai pasar berubah signifikan sehingga informasi yang disajikan cenderung menjadi basi.

2. Dalam konteks Indonesia dan standar global IFRS, penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi informasi akuntansi dengan mencerminkan nilai ekonomi saat ini. Akan tetapi, untuk menjaga keandalan, penilaian nilai wajar harus dilakukan secara andal dan metode penilaian harus transparan serta didukung dokumentasi yang memadai. Apabila tidak ada pasar aktif atau data pendukung yang kuat, ketergantungan pada estimasi subjektif dapat mengurangi keandalan. Oleh karena itu, penggunaan nilai wajar harus seimbang dan disesuaikan dengan kemampuan pasar dan infrastruktur akuntansi di Indonesia.

3. Sebagai anggota DSAK IAI, disarankan memformulasikan kebijakan penggunaan nilai wajar untuk aset tetap sektor properti secara kondisional. Penggunaan nilai wajar dapat diterapkan jika nilai tersebut dapat diukur secara andal dan didukung oleh pasar aktif atau penilaian independen yang kredibel. Kebijakan harus mewajibkan pengungkapan transparan tentang metode dan asumsi penilaian untuk menjaga kepercayaan pemangku kepentingan. Sementara itu, untuk aset dengan pasar tidak aktif atau penilaian yang kurang andal, dapat dipertahankan penggunaan biaya historis atau model revaluasi konservatif. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pelaporan keuangan yang menyeimbangkan antara relevansi dan keandalan informasi, sekaligus mempertimbangkan karakteristik pasar properti di Indonesia.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Susan Ti -
NAMA:SUSANTI
NPM:2413031034



1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.

Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.

Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).

Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.

Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:

Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.

Penguatan panduan penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.

Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.

Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.

Kesimpulan

Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.

Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.

Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.

Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).

Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.

Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:

Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.

Penguatan panduan penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.

Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.

Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.

Kesimpulan

Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.

Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.

Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.

Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).

Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.

Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:

Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.

Penguatan panduan penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.

Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.

Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.

Kesimpulan

Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.

Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.

Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.

Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).

Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.

Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:

Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.

Penguatan panduan penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.

Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.

Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.

Kesimpulan

Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.

Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.

Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.

Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).

Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.

Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:

Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.

Penguatan panduan penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.

Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.

Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.

Kesimpulan

Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.

Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.

Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.

Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).

Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.

Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:

Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.

Penguatan panduan penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.

Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.

Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.

Kesimpulan

Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.

Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.

Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.

Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).

Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.

Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:

Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.

Penguatan panduan penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.

Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.

Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.

Kesimpulan

Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.

Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.

Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.

Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).

Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.

Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:

Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.

Penguatan panduan penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.

Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.

Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.

Kesimpulan

Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.

Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.

Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.

Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).

Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.

Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:

Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.

Penguatan panduan penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.

Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.

Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.

Kesimpulan

Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.

Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.

Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.

2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS

Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.

Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).

Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.

Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.

3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)

Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:

Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.

Penguatan panduan penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.

Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.

Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.

Kesimpulan

Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.

PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.

Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.

Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.

Pertanyaan Evaluatif:

Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.

PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.

Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.

Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.

Pertanyaan Evaluatif:

Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.

PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.

Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.

Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.

Pertanyaan Evaluatif:

Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.

PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.

Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.

Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.

Pertanyaan Evaluatif:

Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.

PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.

Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.

Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.

Pertanyaan Evaluatif:

Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Revie Nevilla Extin -

Nama : Revie Nevilla Extin 

NPM : 2413031027

1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value

Penggunaan fair value dalam pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan utama adalah relevansi informasi yang diberikan oleh nilai wajar, terutama dalam pasar properti yang fluktuatif. Dengan menggunakan nilai wajar, perusahaan dapat memberikan gambaran yang lebih akurat tentang posisi keuangan dan prospek perusahaan. Namun, kekurangan utama adalah subjektivitas dalam penilaian nilai wajar, yang dapat mempengaruhi keandalan informasi. Penilaian yang dilakukan oleh pihak ketiga berdasarkan asumsi pasar yang tidak pasti dapat menyebabkan perbedaan signifikan dalam nilai tercatat aset.

2. Relevansi dan Keandalan Informasi Akuntansi

Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi informasi akuntansi jika dilakukan dengan tepat dan transparan. Namun, keandalan informasi juga sangat penting. Untuk meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan, perusahaan harus memastikan bahwa penilaian nilai wajar dilakukan dengan menggunakan metode yang tepat dan asumsi yang wajar. Selain itu, pengungkapan yang memadai tentang metode penilaian dan asumsi yang digunakan juga sangat penting untuk meningkatkan transparansi dan keandalan informasi.

3. Rekomendasi Kebijakan

Jika saya adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), saya akan merekomendasikan beberapa hal terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti. Pertama, saya akan merekomendasikan agar perusahaan menggunakan metode penilaian yang tepat dan asumsi yang wajar dalam menentukan nilai wajar aset tetap. Kedua, saya akan merekomendasikan agar perusahaan memberikan pengungkapan yang memadai tentang metode penilaian dan asumsi yang digunakan. Ketiga, saya akan merekomendasikan agar perusahaan melakukan penilaian nilai wajar secara teratur untuk memastikan bahwa nilai tercatat aset tetap akurat dan terkini. Dengan demikian, penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi informasi akuntansi tanpa mengorbankan keandalan.

Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Nayla Andara -

Nama : Nayla Andara

NPM : 2413031018

Kelebihan Penggunaan Fair Value:

Penggunaan nilai wajar membuat laporan keuangan jadi lebih relevan, karena mencerminkan nilai pasar saat ini yang lebih dekat dengan nilai nyata aset di pasar (, ). Hal ini penting terutama di pasar properti yang sangat fluktuatif, karena nilai aset bisa berubah-ubah seiring kondisi pasar, sehingga informasi menjadi lebih akurat untuk pengambilan keputusan investasi dan penilaian posisi keuangan perusahaan (). Dengan kata lain, nilai wajar bisa memberikan gambaran yang lebih realistis dan up-to-date tentang nilai aset perusahaan.

Kekurangan Penggunaan Fair Value:

Namun, penggunaan fair value juga punya kelemahan, seperti penilaian yang bersifat subyektif karena dilakukan oleh pihak ketiga berdasarkan asumsi pasar yang tidak pasti (). Ini membuat nilai yang tercatat bisa menjadi tidak stabil dan kurang dapat diandalkan karena bergantung pada asumsi pasar yang bisa berbeda-beda dan sulit divalidasi (). Selain itu, nilai wajar bisa menghasilkan fluktuasi besar di laporan keuangan yang justru bisa membingungkan pemakai informasi dan menimbulkan ketidakpastian.

Relevansi vs Keandalan dalam standar internasional dan Indonesia

Dalam konteks IFRS dan PSAK di Indonesia, penggunaan nilai wajar memang meningkatkan relevansi laporan keuangan karena mencerminkan nilai pasar saat ini (, webTapi, keandalan informasi harus tetap dijaga, yakni harus akurat dan dapat diverifikasi (). Jika penilaian berdasarkan asumsi yang subyektif dan tidak cukup data yang andal, maka nilai wajar bisa menurunkan keandalan laporan keuangan. Jadi, harus ada keseimbangan antara kedua aspek ini agar laporan keuangan tetap informatif dan terpercaya.

Rekomendasi sebagai anggota DSAK IAI

Sebagai anggota DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan), saya menyarankan agar penggunaan nilai wajar diterapkan secara hati-hati dan proporsional, terutama untuk aset properti yang nilai pasar sangat fluktuatif. Disarankan juga untuk selalu memakai penilai independen yang kompeten dan melakukan penilaian secara berkala, agar nilai wajar tetap relevan namun tidak mengorbankan keandalan. Prinsip utama pelaporan keuangan harus tetap mengedepankan kombinasi relevansi dan keandalan, serta transparansi dalam pengungkapan asumsi dan metode penilaian yang digunakan
Dengan demikian, penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan apabila dilakukan dengan prosedur yang baik dan didukung data yang valid, tanpa menimbulkan ketidakpastian berlebihan bagi pengguna laporan keuangan.

Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Reyhta Putri Herdian -
Nama : Reyhta Putri Herdian
NPM : 2413031035

1. Penggunaan nilai wajar (fair value) memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan dengan biaya historis (historical cost), terutama dalam konteks perusahaan properti seperti PT Nusantara Properti. Kelebihan utamanya adalah nilai wajar mampu memberikan informasi yang lebih relevan dan terkini karena mencerminkan harga pasar aktual dari aset tetap. Hal ini penting bagi investor dan kreditor untuk menilai posisi keuangan serta potensi ekonomi perusahaan. Selain itu, penerapan fair value dapat meningkatkan transparansi dan daya banding antarperusahaan di sektor yang sama karena nilai aset disajikan berdasarkan kondisi pasar saat ini. Namun, metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu tingkat subjektivitas yang tinggi dalam penilaian karena bergantung pada estimasi dan asumsi pihak ketiga, terutama ketika pasar tidak aktif. Akibatnya, keandalan (reliability) laporan keuangan bisa berkurang. Selain itu, nilai wajar dapat menimbulkan volatilitas karena perubahan harga pasar dapat menyebabkan fluktuasi dalam laporan laba rugi dan ekuitas. Proses revaluasi juga membutuhkan biaya dan keahlian profesional yang lebih besar dibandingkan metode biaya historis.

2. Dalam konteks Indonesia dan standar global IFRS, penggunaan nilai wajar bertujuan untuk meningkatkan relevansi informasi akuntansi agar laporan keuangan mencerminkan nilai ekonomi yang sebenarnya. Di Indonesia, PSAK 16 telah mengadopsi ketentuan IFRS yang memperbolehkan perusahaan menggunakan model revaluasi dengan nilai wajar. Namun, penerapannya menghadapi tantangan karena pasar properti di Indonesia belum sepenuhnya efisien dan transparan, sehingga proses penilaian sering kali bergantung pada asumsi yang bersifat subyektif. Sementara itu, IFRS menekankan keseimbangan antara relevansi dan keandalan (faithful representation), di mana informasi yang relevan tetap harus dapat diandalkan dan dapat diverifikasi. Dengan demikian, nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan apabila dilakukan dengan pengungkapan yang transparan, audit independen, dan metode valuasi yang konsisten. Oleh karena itu, penerapan nilai wajar sebaiknya disertai dengan pengungkapan metode penilaian, asumsi yang digunakan, dan tingkat ketidakpastian untuk menjaga kualitas informasi akuntansi.

3. Sebagai anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), kebijakan yang direkomendasikan terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti adalah tetap mempertahankan dua pilihan model pengukuran, yaitu model biaya historis dan nilai wajar, sebagaimana diatur dalam PSAK 16. Namun, untuk perusahaan terbuka seperti PT Nusantara Properti, sebaiknya diwajibkan menggunakan penilaian nilai wajar secara periodik (misalnya setiap tiga tahun) oleh penilai independen bersertifikat guna memastikan objektivitas dan kredibilitas hasil penilaian. DSAK juga perlu menekankan kewajiban pengungkapan (disclosure) yang jelas mengenai metode valuasi, sumber data pasar, serta tingkat hierarki nilai wajar (Level 1, 2, atau 3) sesuai IFRS 13. Selain itu, perlu dikembangkan pedoman nasional penilaian properti agar hasil penilaian lebih konsisten di seluruh Indonesia. Kebijakan ini didasarkan pada prinsip relevansi, keandalan, dan keterbandingan (comparability) dalam pelaporan keuangan, sehingga informasi yang disajikan tidak hanya mencerminkan nilai ekonomi aktual, tetapi juga dapat dipercaya oleh seluruh pemangku kepentingan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Eka Saryuni -
Nama : Eka Saryuni
Npm : 2413031030

1. Penggunaan fair value pada PT Nusantara Properti memberikan kelebihan dari sisi relevansi informasi karena nilai yang disajikan lebih mencerminkan kondisi pasar terkini, sehingga investor dapat menilai kekayaan perusahaan secara lebih ekonomis. Dalam industri properti yang sangat dipengaruhi dinamika harga pasar, fair value membantu menghasilkan informasi yang lebih mutakhir dibandingkan historical cost yang cenderung usang dan tidak lagi menggambarkan potensi ekonomi aset. Namun, kelemahannya terletak pada ketergantungan tinggi pada penilaian pihak ketiga yang berbasis asumsi dan estimasi, sehingga rentan terhadap bias, ketidakpastian, dan volatilitas. Hal ini dapat menurunkan keandalan laporan keuangan, terutama jika pasar tidak aktif atau jika metode penilaian yang digunakan tidak transparan. Sementara historical cost lebih stabil dan dapat diverifikasi, kelemahannya adalah kurang mampu menggambarkan nilai ekonomi sesungguhnya dari aset properti yang mengalami apresiasi signifikan.

2. Dalam konteks Indonesia dan IFRS, penggunaan fair value berpotensi besar meningkatkan relevansi karena pasar properti secara umum mengalami perubahan harga yang signifikan dari waktu ke waktu, sehingga nilai historis menjadi kurang berguna untuk pengambilan keputusan. IFRS sendiri menekankan relevansi sebagai karakteristik kualitatif utama ketika fair value dapat diukur secara andal. Tantangannya adalah memastikan bahwa pengukuran fair value tidak mengorbankan keandalan. Di Indonesia, kondisi pasar properti tidak selalu memiliki tingkat transparansi dan likuiditas yang tinggi, sehingga penilaian sering bergantung pada pendekatan valuasi dengan asumsi yang kompleks. Oleh karena itu, fair value dapat meningkatkan relevansi sepanjang perusahaan memberikan pengungkapan yang memadai mengenai teknik, asumsi, tingkat input, dan sensitivitas perubahan nilai. Dengan pengendalian kualitas penilai independen dan regulasi yang kuat, relevansi dapat ditingkatkan tanpa mengurangi keandalan secara signifikan.

3. Jika menjadi anggota DSAK IAI, kebijakan yang dapat direkomendasikan adalah mendorong penggunaan fair value untuk sektor properti, tetapi dengan persyaratan ketat terkait pengungkapan, kualitas penilai, serta transparansi metodologi valuasi. Fair value memang lebih mencerminkan nilai ekonomi aset, namun harus digunakan hanya ketika pengukurannya dapat dilakukan secara andal sesuai prinsip faithful representation. Peraturan dapat diarahkan untuk mengharuskan perusahaan menggunakan penilai bersertifikasi, melakukan penilaian berkala, serta mengungkapkan asumsi kunci dan sensitivitas nilai aset terhadap perubahan variabel pasar. Pendekatan ini menjaga keseimbangan antara relevansi dan keandalan, sekaligus sejalan dengan IFRS yang memberikan fleksibilitas namun menuntut kualitas informasi yang tinggi agar laporan keuangan tetap berguna bagi pengambil keputusan.