NAMA:SUSANTI
NPM:2413031034
1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.
Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.
2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.
Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).
Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.
Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode
penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.
3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:
Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.
Penguatan panduan
penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.
Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.
Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.
Kesimpulan
Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.
Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:
1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.
Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.
2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.
Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).
Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.
Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode
penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.
3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:
Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.
Penguatan panduan
penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.
Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.
Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.
Kesimpulan
Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.
Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:
1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.
Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.
2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.
Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).
Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.
Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode
penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.
3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:
Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.
Penguatan panduan
penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.
Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.
Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.
Kesimpulan
Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.
Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:
1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.
Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.
2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.
Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).
Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.
Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode
penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.
3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:
Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.
Penguatan panduan
penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.
Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.
Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.
Kesimpulan
Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.
Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:
1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.
Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.
2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.
Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).
Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.
Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode
penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.
3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:
Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.
Penguatan panduan
penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.
Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.
Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.
Kesimpulan
Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.
Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:
1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.
Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.
2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.
Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).
Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.
Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode
penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.
3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:
Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.
Penguatan panduan
penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.
Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.
Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.
Kesimpulan
Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.
Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:
1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.
Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.
2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.
Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).
Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.
Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode
penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.
3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:
Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.
Penguatan panduan
penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.
Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.
Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.
Kesimpulan
Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.
Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:
1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.
Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.
2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.
Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).
Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.
Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode
penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.
3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:
Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.
Penguatan panduan
penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.
Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.
Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.
Kesimpulan
Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.
Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:
1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.
Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.
2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.
Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).
Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.
Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode
penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.
3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:
Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.
Penguatan panduan
penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.
Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.
Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.
Kesimpulan
Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.
Berikut jawaban evaluatif dan argumentatif berdasarkan kerangka PSAK 16 (berbasis IFRS) serta konteks pasar Indonesia:
1. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Fair Value dibandingkan Historical Cost Kelebihan Fair Value Relevansi informasi lebih tinggi. Nilai wajar mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga memberikan gambaran yang lebih realistis atas nilai ekonomi aset properti. Ini penting bagi investor, kreditor, dan analis yang menilai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan arus kas di masa depan. Transparansi terhadap nilai pasar. Dengan model revaluasi, laporan keuangan menunjukkan nilai properti yang sejalan dengan harga pasar, memudahkan perbandingan dengan perusahaan lain di sektor yang sama. Meningkatkan daya tarik investasi. Dalam sektor properti yang sensitif terhadap nilai pasar, pelaporan berbasis fair value dapat meningkatkan persepsi positif terhadap nilai aset dan kekuatan modal perusahaan. Kekurangan Fair Value Tingkat subjektivitas tinggi. Penentuan nilai wajar sering kali bergantung pada estimasi dan asumsi (seperti tingkat diskonto, tingkat okupansi, atau proyeksi sewa), terutama bila pasar properti tidak aktif. Volatilitas laporan keuangan. Fluktuasi nilai pasar dapat menyebabkan perubahan besar pada nilai aset dan ekuitas, yang mungkin tidak mencerminkan kinerja operasional perusahaan secara fundamental. Biaya dan kompleksitas. Diperlukan penilai independen dan metode valuasi yang kompleks, menambah beban biaya dan potensi inkonsistensi antarperiode.
Sebaliknya, historical cost lebih andal (faithful representation) karena berdasarkan harga transaksi aktual, mudah diverifikasi, dan stabil. Namun, kekurangannya adalah kurang relevan di tengah perubahan harga properti yang signifikan.
2. Relevansi dan Keandalan Nilai Wajar dalam Konteks Indonesia dan IFRS
Dalam kerangka IFRS dan PSAK, relevansi dan keandalan adalah dua karakteristik kualitatif utama laporan keuangan.
Relevansi (relevance): Fair value meningkatkan kemampuan informasi untuk memprediksi dan mengonfirmasi nilai ekonomi aset. Keandalan (faithful representation): Namun, nilai wajar hanya dapat dianggap andal bila diukur dengan dasar pasar aktif dan data observabel (PSAK 68: Fair Value Measurement).
Dalam konteks Indonesia, pasar properti seringkali kurang transparan dan tidak sepenuhnya likuid, sehingga estimasi nilai wajar sering bergantung pada asumsi subjektif. Oleh karena itu, fair value memang meningkatkan relevansi, tetapi dapat mengorbankan keandalan jika tidak disertai dengan metodologi dan pengungkapan yang memadai.
Kunci keseimbangan antara keduanya terletak pada pengungkapan penuh (full disclosure) atas metode
penilaian, asumsi utama, serta sensitivitas terhadap perubahan variabel pasar.
3. Rekomendasi Kebijakan (Sebagai Anggota DSAK IAI)
Sebagai anggota DSAK IAI, saya merekomendasikan kebijakan berikut:
Pendekatan hibrid (dual model).
PSAK 16 sebaiknya tetap memberikan pilihan antara model biaya dan model revaluasi, agar entitas dapat menyesuaikan dengan tingkat likuiditas dan keterbukaan pasar properti di Indonesia.
Penguatan panduan
penilaian.
Diperlukan pedoman teknis nasional terkait penilai independen, metodologi valuasi, dan hirarki input (Level 1–3) agar hasil fair value lebih kredibel dan konsisten antarentitas.
Kewajiban pengungkapan rinci.
Perusahaan yang menerapkan fair value wajib mengungkapkan asumsi kunci, tingkat sensitivitas nilai terhadap perubahan parameter ekonomi, serta risiko ketidakpastian estimasi.
Pembatasan distribusi keuntungan revaluasi.
Surplus revaluasi sebaiknya diakui di penghasilan komprehensif lain (OCI) dan tidak langsung dibagikan sebagai dividen, untuk mencegah distribusi laba yang belum terealisasi.
Kesimpulan
Penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti layak diterapkan untuk meningkatkan relevansi dan transparansi, asal disertai dengan pengungkapan yang kuat, metodologi yang terstandar, serta pengawasan profesional. Dengan demikian, laporan keuangan dapat tetap memenuhi prinsip utama pelaporan keuangan — relevan, andal, dan dapat dibandingkan — sesuai semangat harmonisasi PSAK dengan IFRS.
PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.
Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena
penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.
Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.
Pertanyaan Evaluatif:
Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.
PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.
Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena
penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.
Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.
Pertanyaan Evaluatif:
Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.
PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.
Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena
penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.
Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.
Pertanyaan Evaluatif:
Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.
PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.
Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena
penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.
Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.
Pertanyaan Evaluatif:
Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.
PT Nusantara Properti adalah perusahaan terbuka di Indonesia yang bergerak di bidang pengelolaan dan investasi properti komersial. Dalam laporan keuangannya tahun 2024, manajemen memutuskan untuk mengubah metode pengukuran aset tetap dari biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value) sesuai dengan ketentuan PSAK 16 revisi dan IFRS.
Perubahan ini menghasilkan lonjakan signifikan dalam nilai tercatat aset properti perusahaan, yang menyebabkan kenaikan total aset dan ekuitas. Namun, beberapa pemangku kepentingan mempertanyakan keandalan nilai wajar tersebut, terutama karena
penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang didasarkan pada asumsi pasar yang bersifat subyektif.
Sebaliknya, auditor perusahaan mencatat bahwa metode nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan bagi investor untuk menilai posisi keuangan dan prospek perusahaan, terutama dalam pasar properti yang sangat fluktuatif.
Pertanyaan Evaluatif:
Evaluasilah kelebihan dan kekurangan penggunaan fair value dibandingkan dengan historical cost dalam konteks pelaporan aset tetap di PT Nusantara Properti.
Dalam konteks Indonesia dan standar global (IFRS), sejauh mana penggunaan nilai wajar dapat meningkatkan relevansi tanpa mengorbankan keandalan informasi akuntansi?
Jika Anda adalah anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI), apa rekomendasi kebijakan Anda terkait penggunaan nilai wajar dalam pelaporan aset tetap di sektor properti? Berikan argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelaporan keuangan.