Ketiklah disini hasil telaah kedua artikel di atas sebanyak 250 kata.
ACTIVITY: RESUME
Nama : Rafifa Tu Zakia
NPM : 2213031044
Berdasarkan hasil telaah terhadap dua artikel dapat dipahami bahwa keduanya sama-sama membahas arah dan efektivitas kebijakan industri di Indonesia, meskipun dari sudut pandang yang berbeda. Artikel Muchtar Ahmad menyoroti lemahnya strategi industrialisasi nasional pasca reformasi 1998. Ia menegaskan bahwa kebijakan industri Indonesia tidak memiliki koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha. Kebijakan yang dikeluarkan cenderung bersifat tidak antisipatif dan kurang mendukung keberlanjutan industri lokal, khususnya industri kecil dan agroindustri. Ahmad menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan sektor swasta, serta perlunya strategi industrialisasi yang berpijak pada kekuatan pertanian menuju agroindustri agar dapat meningkatkan daya saing dan kesejahteraan ekonomi nasional.
Sementara itu, artikel Ade Faisal lebih menekankan pada pendekatan berbasis kawasan industri (aglomerasi) sebagai strategi pembangunan industri nasional. Ia menyoroti kegagalan pengembangan 14 kawasan industri prioritas karena lemahnya perencanaan, minimnya minat investor, serta kurangnya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha. Faisal mengusulkan agar kebijakan industri didesain berdasarkan analisis biaya-manfaat dan dilandasi pada kebutuhan pelaku usaha, bukan hanya target birokratis.
Secara keseluruhan, kedua artikel tersebut menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan industri di Indonesia bergantung pada koordinasi kebijakan, kesiapan infrastruktur, dan keterlibatan aktif sektor swasta dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi kebijakan industri.
NPM : 2213031044
Berdasarkan hasil telaah terhadap dua artikel dapat dipahami bahwa keduanya sama-sama membahas arah dan efektivitas kebijakan industri di Indonesia, meskipun dari sudut pandang yang berbeda. Artikel Muchtar Ahmad menyoroti lemahnya strategi industrialisasi nasional pasca reformasi 1998. Ia menegaskan bahwa kebijakan industri Indonesia tidak memiliki koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha. Kebijakan yang dikeluarkan cenderung bersifat tidak antisipatif dan kurang mendukung keberlanjutan industri lokal, khususnya industri kecil dan agroindustri. Ahmad menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan sektor swasta, serta perlunya strategi industrialisasi yang berpijak pada kekuatan pertanian menuju agroindustri agar dapat meningkatkan daya saing dan kesejahteraan ekonomi nasional.
Sementara itu, artikel Ade Faisal lebih menekankan pada pendekatan berbasis kawasan industri (aglomerasi) sebagai strategi pembangunan industri nasional. Ia menyoroti kegagalan pengembangan 14 kawasan industri prioritas karena lemahnya perencanaan, minimnya minat investor, serta kurangnya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha. Faisal mengusulkan agar kebijakan industri didesain berdasarkan analisis biaya-manfaat dan dilandasi pada kebutuhan pelaku usaha, bukan hanya target birokratis.
Secara keseluruhan, kedua artikel tersebut menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan industri di Indonesia bergantung pada koordinasi kebijakan, kesiapan infrastruktur, dan keterlibatan aktif sektor swasta dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi kebijakan industri.
Nama: Agnes Yuhestifiani
NPM: 2213031045
Kedua artikel yang ditelaah sama-sama membahas pembangunan dan kinerja industri di Indonesia, namun dari sudut pandang yang berbeda sehingga saling melengkapi. Artikel Analisis Kebijakan Pembangunan Industri Berbasis Aglomerasi (Kawasan) Industri karya Ade Faisal menyoroti kebijakan makro pemerintah dalam mengembangkan 14 Kawasan Industri Prioritas (KIP) di luar Jawa sebagai upaya pemerataan pembangunan dan peningkatan kontribusi sektor industri terhadap PDB. Temuan utama menunjukkan bahwa sebagian besar KIP belum berkembang optimal karena lemahnya perencanaan, minimnya investor, serta masalah lahan dan kurangnya anchor industry. Artikel ini menekankan pentingnya perencanaan matang, studi kelayakan yang akurat, serta kebijakan yang mampu menarik investasi dengan belajar dari best practice negara lain seperti Korea Selatan dan Taiwan. Sementara itu, artikel Analisis Structure-Conduct-Performance (SCP) dan Efisiensi Internal pada Industri Air Minum dan Mineral Dalam Kemasan di Indonesia karya Muhammad Faishal Akbar Dwiputra menggunakan pendekatan SCP untuk menganalisis struktur pasar, perilaku, dan kinerja industri AMDK dengan data panel BPS 1990–2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi industri, efisiensi internal, dan pertumbuhan pasar berpengaruh positif terhadap profitabilitas, sehingga perusahaan dengan efisiensi tinggi mampu bertahan meski persaingan ketat. Artikel ini juga menekankan pentingnya regulasi mutu dan persaingan sehat agar manfaat industri tidak hanya dirasakan oleh perusahaan besar tetapi juga konsumen. Jika disatukan, kedua artikel memberikan gambaran bahwa keberhasilan pembangunan industri Indonesia membutuhkan kombinasi kebijakan makro yang matang dan berorientasi pada daya tarik investasi, serta strategi mikro yang menekankan efisiensi internal, struktur pasar yang sehat, dan regulasi yang adil.
NPM: 2213031045
Kedua artikel yang ditelaah sama-sama membahas pembangunan dan kinerja industri di Indonesia, namun dari sudut pandang yang berbeda sehingga saling melengkapi. Artikel Analisis Kebijakan Pembangunan Industri Berbasis Aglomerasi (Kawasan) Industri karya Ade Faisal menyoroti kebijakan makro pemerintah dalam mengembangkan 14 Kawasan Industri Prioritas (KIP) di luar Jawa sebagai upaya pemerataan pembangunan dan peningkatan kontribusi sektor industri terhadap PDB. Temuan utama menunjukkan bahwa sebagian besar KIP belum berkembang optimal karena lemahnya perencanaan, minimnya investor, serta masalah lahan dan kurangnya anchor industry. Artikel ini menekankan pentingnya perencanaan matang, studi kelayakan yang akurat, serta kebijakan yang mampu menarik investasi dengan belajar dari best practice negara lain seperti Korea Selatan dan Taiwan. Sementara itu, artikel Analisis Structure-Conduct-Performance (SCP) dan Efisiensi Internal pada Industri Air Minum dan Mineral Dalam Kemasan di Indonesia karya Muhammad Faishal Akbar Dwiputra menggunakan pendekatan SCP untuk menganalisis struktur pasar, perilaku, dan kinerja industri AMDK dengan data panel BPS 1990–2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi industri, efisiensi internal, dan pertumbuhan pasar berpengaruh positif terhadap profitabilitas, sehingga perusahaan dengan efisiensi tinggi mampu bertahan meski persaingan ketat. Artikel ini juga menekankan pentingnya regulasi mutu dan persaingan sehat agar manfaat industri tidak hanya dirasakan oleh perusahaan besar tetapi juga konsumen. Jika disatukan, kedua artikel memberikan gambaran bahwa keberhasilan pembangunan industri Indonesia membutuhkan kombinasi kebijakan makro yang matang dan berorientasi pada daya tarik investasi, serta strategi mikro yang menekankan efisiensi internal, struktur pasar yang sehat, dan regulasi yang adil.
Nama : Riani Suniar
Npm: 2213031042
Kebijakan pembangunan industri di Indonesia dibahas dalam artikel pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan industri nonmigas Indonesia tampaknya menurun. Untuk meningkatkan keseimbangan dan meningkatkan jumlah industri besar dan sedang, pemerintah menetapkan pengembangan empat belas kawasan industri prioritas di luar Pulau Jawa. Namun, pembangunan di daerah ini terkendala perencanaan yang buruk, pembebasan lahan, perizinan, dan kurangnya minat investor. Dengan melibatkan pelaku usaha, membuat feasibility study yang lebih akurat, dan menetapkan tahap pembangunan yang jelas, studi ini merekomendasikan perbaikan pola kebijakan pembangunan industri. Dengan bekerja sama dengan sektor swasta dan pemerintah, kebijakan industri harus berkonsentrasi pada menurunkan biaya, meningkatkan nilai tambah, dan memperluas pasar.Dalam artikel kedua, kita akan melihat kebijakan industrialisasi terbaru Indonesia setelah krisis ekonomi 1998. Sebagian besar orang percaya bahwa Indonesia tidak memiliki strategi industrialisasi yang jelas, yang mengakibatkan deindustrialisasi dan perpindahan industri ke negara lain. Dalam artikel ini, pemerintah memainkan peran penting dalam menyusun kebijakan industri dengan bekerja sama dengan lembaga penelitian dan pelaku usaha. Untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mengubah struktur ekonomi, industrialisasi yang berfokus pada agroindustri dan manufaktur harus direncanakan. Namun, selama beberapa tahun terakhir, kebijakan industri Indonesia seringkali sporadis dan kurang berkolaborasi antar lembaga. Untuk mempercepat industrialisasi berkelanjutan, penting untuk membangun institusi yang mendukung koordinasi, inovasi, dan pengembangan sumber daya manusia.
Npm: 2213031042
Kebijakan pembangunan industri di Indonesia dibahas dalam artikel pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan industri nonmigas Indonesia tampaknya menurun. Untuk meningkatkan keseimbangan dan meningkatkan jumlah industri besar dan sedang, pemerintah menetapkan pengembangan empat belas kawasan industri prioritas di luar Pulau Jawa. Namun, pembangunan di daerah ini terkendala perencanaan yang buruk, pembebasan lahan, perizinan, dan kurangnya minat investor. Dengan melibatkan pelaku usaha, membuat feasibility study yang lebih akurat, dan menetapkan tahap pembangunan yang jelas, studi ini merekomendasikan perbaikan pola kebijakan pembangunan industri. Dengan bekerja sama dengan sektor swasta dan pemerintah, kebijakan industri harus berkonsentrasi pada menurunkan biaya, meningkatkan nilai tambah, dan memperluas pasar.Dalam artikel kedua, kita akan melihat kebijakan industrialisasi terbaru Indonesia setelah krisis ekonomi 1998. Sebagian besar orang percaya bahwa Indonesia tidak memiliki strategi industrialisasi yang jelas, yang mengakibatkan deindustrialisasi dan perpindahan industri ke negara lain. Dalam artikel ini, pemerintah memainkan peran penting dalam menyusun kebijakan industri dengan bekerja sama dengan lembaga penelitian dan pelaku usaha. Untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mengubah struktur ekonomi, industrialisasi yang berfokus pada agroindustri dan manufaktur harus direncanakan. Namun, selama beberapa tahun terakhir, kebijakan industri Indonesia seringkali sporadis dan kurang berkolaborasi antar lembaga. Untuk mempercepat industrialisasi berkelanjutan, penting untuk membangun institusi yang mendukung koordinasi, inovasi, dan pengembangan sumber daya manusia.
Nama : Nazwa Bunga Lestari
NPM : 2213031040
Kedua artikel tersebut sama-sama membahas persoalan pembangunan industri di Indonesia, tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Artikel pertama menjelaskan bahwa sejak krisis 1998, Indonesia terlihat tidak memiliki strategi industrialisasi yang jelas. Akibatnya, banyak industri berpindah ke negara lain, investasi baru tidak tumbuh, dan pemerintah sering mengeluarkan kebijakan yang berubah-ubah serta tidak terkoordinasi. Masalah utama yang disorot adalah lemahnya koordinasi antarinstansi, kurangnya insentif yang tepat sasaran, dan tidak adanya arah prioritas industri yang mampu memperkuat struktur ekonomi. Artikel kedua mengangkat masalah yang lebih spesifik, yaitu pembangunan Kawasan Industri Prioritas (KIP) yang ternyata banyak tidak berkembang karena perencanaannya kurang matang. Pemerintah menetapkan 14 kawasan industri baru, namun sebagian besar berjalan lambat karena pengelolaan yang lemah, minimnya infrastruktur dasar, rendahnya minat investor, serta ketidaksiapan lahan dan fasilitas pendukung. Artikel ini juga menegaskan bahwa pembangunan kawasan industri seharusnya memperhatikan kebutuhan nyata pelaku usaha, seperti biaya produksi yang lebih rendah, akses pasar, dan ketersediaan utilitas. Selain itu, artikel kedua menunjukkan contoh negara seperti Korea Selatan dan Taiwan yang berhasil memajukan industrinya melalui perencanaan bertahap, komunikasi intens antara pemerintah dan sektor swasta, serta kebijakan yang konsisten dari waktu ke waktu. Jika dibandingkan, kedua artikel sama-sama menekankan bahwa kegagalan pembangunan industri di Indonesia terutama disebabkan kurangnya koordinasi, lemahnya perencanaan jangka panjang, dan minimnya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha.
NPM : 2213031040
Kedua artikel tersebut sama-sama membahas persoalan pembangunan industri di Indonesia, tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Artikel pertama menjelaskan bahwa sejak krisis 1998, Indonesia terlihat tidak memiliki strategi industrialisasi yang jelas. Akibatnya, banyak industri berpindah ke negara lain, investasi baru tidak tumbuh, dan pemerintah sering mengeluarkan kebijakan yang berubah-ubah serta tidak terkoordinasi. Masalah utama yang disorot adalah lemahnya koordinasi antarinstansi, kurangnya insentif yang tepat sasaran, dan tidak adanya arah prioritas industri yang mampu memperkuat struktur ekonomi. Artikel kedua mengangkat masalah yang lebih spesifik, yaitu pembangunan Kawasan Industri Prioritas (KIP) yang ternyata banyak tidak berkembang karena perencanaannya kurang matang. Pemerintah menetapkan 14 kawasan industri baru, namun sebagian besar berjalan lambat karena pengelolaan yang lemah, minimnya infrastruktur dasar, rendahnya minat investor, serta ketidaksiapan lahan dan fasilitas pendukung. Artikel ini juga menegaskan bahwa pembangunan kawasan industri seharusnya memperhatikan kebutuhan nyata pelaku usaha, seperti biaya produksi yang lebih rendah, akses pasar, dan ketersediaan utilitas. Selain itu, artikel kedua menunjukkan contoh negara seperti Korea Selatan dan Taiwan yang berhasil memajukan industrinya melalui perencanaan bertahap, komunikasi intens antara pemerintah dan sektor swasta, serta kebijakan yang konsisten dari waktu ke waktu. Jika dibandingkan, kedua artikel sama-sama menekankan bahwa kegagalan pembangunan industri di Indonesia terutama disebabkan kurangnya koordinasi, lemahnya perencanaan jangka panjang, dan minimnya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha.
Nama: Dwi Intan Rahmadani
NPM: 2213031048
Kedua artikel tersebut menunjukkan bahwa perkembangan teknologi dan kebijakan industri di Indonesia menghadapi tantangan struktural yang berbeda namun saling berkaitan. Artikel pertama menyoroti dorongan modernisasi pertanian melalui teknologi digital seperti IoT, drone, dan aplikasi pertanian. Namun, teknologi ini belum memberi dampak maksimal karena adopsinya terhambat oleh rendahnya literasi digital, resistensi budaya, dan minimnya infrastruktur pendukung, terutama di wilayah terpencil . Teknologi dipandang secara beragam oleh petani, yang menunjukkan adanya interpretative flexibility terhadap inovasi yang ditawarkan. Sebagian petani melihat teknologi sebagai alat peningkat produktivitas, sementara lainnya menilai teknologi tidak relevan atau bertentangan dengan praktik lokal. Hal ini menegaskan pentingnya pendekatan partisipatif yang mempertimbangkan konteks sosial dalam implementasi agritech.
Sementara itu, artikel kedua membahas strategi pengembangan industri melalui konsep aglomerasi dan hilirisasi. Pemerintah mendorong pembentukan kawasan industri agar lebih efisien dan kompetitif, tetapi tantangan seperti penyediaan lahan, infrastruktur, dan koordinasi antarinstansi masih menjadi hambatan utama . Selain itu, kesiapan SDM, efisiensi logistik, serta kepastian regulasi menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan industri berbasis kawasan.
Kedua artikel menunjukkan bahwa baik sektor agritech maupun industri manufaktur memerlukan pendekatan kebijakan yang lebih inklusif, terkoordinasi, dan berorientasi pada penguatan kapasitas lokal. Inovasi teknologi perlu didampingi dengan peningkatan kualitas SDM, dukungan infrastruktur, serta kolaborasi lintas aktor agar transformasi digital dan pengembangan kawasan industri dapat berjalan secara berkelanjutan dan memberikan dampak ekonomi yang luas.
NPM: 2213031048
Kedua artikel tersebut menunjukkan bahwa perkembangan teknologi dan kebijakan industri di Indonesia menghadapi tantangan struktural yang berbeda namun saling berkaitan. Artikel pertama menyoroti dorongan modernisasi pertanian melalui teknologi digital seperti IoT, drone, dan aplikasi pertanian. Namun, teknologi ini belum memberi dampak maksimal karena adopsinya terhambat oleh rendahnya literasi digital, resistensi budaya, dan minimnya infrastruktur pendukung, terutama di wilayah terpencil . Teknologi dipandang secara beragam oleh petani, yang menunjukkan adanya interpretative flexibility terhadap inovasi yang ditawarkan. Sebagian petani melihat teknologi sebagai alat peningkat produktivitas, sementara lainnya menilai teknologi tidak relevan atau bertentangan dengan praktik lokal. Hal ini menegaskan pentingnya pendekatan partisipatif yang mempertimbangkan konteks sosial dalam implementasi agritech.
Sementara itu, artikel kedua membahas strategi pengembangan industri melalui konsep aglomerasi dan hilirisasi. Pemerintah mendorong pembentukan kawasan industri agar lebih efisien dan kompetitif, tetapi tantangan seperti penyediaan lahan, infrastruktur, dan koordinasi antarinstansi masih menjadi hambatan utama . Selain itu, kesiapan SDM, efisiensi logistik, serta kepastian regulasi menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan industri berbasis kawasan.
Kedua artikel menunjukkan bahwa baik sektor agritech maupun industri manufaktur memerlukan pendekatan kebijakan yang lebih inklusif, terkoordinasi, dan berorientasi pada penguatan kapasitas lokal. Inovasi teknologi perlu didampingi dengan peningkatan kualitas SDM, dukungan infrastruktur, serta kolaborasi lintas aktor agar transformasi digital dan pengembangan kawasan industri dapat berjalan secara berkelanjutan dan memberikan dampak ekonomi yang luas.