FORUM JAWABAN POST TEST
Silahkan analisis dan jawablah menggunakan bahasa anda sendiri, terlebih dahulu tulislah nama, npm, kelas dan prodi. Terima kasih
NAMA : SAMSA RB
NPM : 2406061012
Melihat situasi HAM di Indonesia tahun 2019 berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bahwa bangsa ini masih menghadapi banyak tantangan serius dalam upaya menegakkan hak asasi manusia. Meski Indonesia sering menyuarakan komitmennya terhadap HAM, terutama di panggung internasional, kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan.
Salah satu hal paling mencolok adalah mandeknya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Banyak kasus seperti tragedi 1965, kasus Wasior-Wamena di Papua, hingga berbagai tindakan represif aparat terhadap masyarakat adat dan aktivis lingkungan belum menemui titik terang. Padahal, keadilan bagi korban adalah aspek paling mendasar dalam HAM. Ketika negara gagal menghadirkan keadilan dan hanya menjadikan isu HAM sebagai simbol di atas kertas, maka yang terjadi adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintahan.
Selain itu, pembatasan ruang gerak kebebasan sipil menjadi sorotan utama. Demokrasi Indonesia yang dulunya sempat dirayakan sebagai kemajuan, justru mengalami kemunduran. Aktivis ditangkap, demonstrasi dibungkam, bahkan ruang untuk mengkritik kebijakan negara pun semakin dipersempit. Ini menunjukkan adanya kemunduran demokrasi dan gejala kembalinya pola-pola otoritarianisme yang dulu sempat dilawan oleh gerakan reformasi.
Isu Papua juga menjadi luka terbuka yang tak kunjung sembuh. Masyarakat Papua kerap diperlakukan secara diskriminatif bukan hanya oleh individu, tapi juga oleh sistem. Rasisme dan ketidakadilan struktural di Papua menjadi bukti bahwa prinsip "Bhinneka Tunggal Ika" belum benar-benar dijalankan. Ketika warga Papua menyuarakan ketidakpuasan, suara mereka sering kali diputarbalikkan sebagai bentuk makar atau ancaman terhadap keutuhan negara, tanpa ada upaya sungguh-sungguh memahami akar masalahnya. Yang tak kalah penting adalah persoalan gender. Tahun 2019 mencatat banyak pernyataan pejabat publik yang merendahkan perempuan, serta berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak ditangani secara serius. Ini mencerminkan betapa persoalan kesetaraan gender masih belum menjadi agenda utama negara.
Namun, di tengah semua itu, tetap ada secercah harapan. Munculnya kembali gerakan mahasiswa, perlawanan masyarakat adat terhadap proyek-proyek eksploitatif, dan dorongan dari masyarakat sipil yang terus mengawal isu-isu HAM menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya hak asasi manusia masih hidup. Gerakan seperti ini penting untuk menjaga agar negara tetap berada di bawah pengawasan publik.
Kesimpulannya, tahun 2019 memang layak disebut sebagai tahun kelam bagi HAM di Indonesia. Namun, justru karena kondisi ini, penting bagi kita untuk terus menyuarakan keadilan, mendukung kelompok rentan, serta menuntut akuntabilitas dari negara. Tanpa tekanan dari masyarakat sipil, upaya penegakan HAM hanya akan menjadi retorika kosong yang tak membuahkan hasil nyata.
NPM : 2406061012
Melihat situasi HAM di Indonesia tahun 2019 berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bahwa bangsa ini masih menghadapi banyak tantangan serius dalam upaya menegakkan hak asasi manusia. Meski Indonesia sering menyuarakan komitmennya terhadap HAM, terutama di panggung internasional, kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan.
Salah satu hal paling mencolok adalah mandeknya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Banyak kasus seperti tragedi 1965, kasus Wasior-Wamena di Papua, hingga berbagai tindakan represif aparat terhadap masyarakat adat dan aktivis lingkungan belum menemui titik terang. Padahal, keadilan bagi korban adalah aspek paling mendasar dalam HAM. Ketika negara gagal menghadirkan keadilan dan hanya menjadikan isu HAM sebagai simbol di atas kertas, maka yang terjadi adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintahan.
Selain itu, pembatasan ruang gerak kebebasan sipil menjadi sorotan utama. Demokrasi Indonesia yang dulunya sempat dirayakan sebagai kemajuan, justru mengalami kemunduran. Aktivis ditangkap, demonstrasi dibungkam, bahkan ruang untuk mengkritik kebijakan negara pun semakin dipersempit. Ini menunjukkan adanya kemunduran demokrasi dan gejala kembalinya pola-pola otoritarianisme yang dulu sempat dilawan oleh gerakan reformasi.
Isu Papua juga menjadi luka terbuka yang tak kunjung sembuh. Masyarakat Papua kerap diperlakukan secara diskriminatif bukan hanya oleh individu, tapi juga oleh sistem. Rasisme dan ketidakadilan struktural di Papua menjadi bukti bahwa prinsip "Bhinneka Tunggal Ika" belum benar-benar dijalankan. Ketika warga Papua menyuarakan ketidakpuasan, suara mereka sering kali diputarbalikkan sebagai bentuk makar atau ancaman terhadap keutuhan negara, tanpa ada upaya sungguh-sungguh memahami akar masalahnya. Yang tak kalah penting adalah persoalan gender. Tahun 2019 mencatat banyak pernyataan pejabat publik yang merendahkan perempuan, serta berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak ditangani secara serius. Ini mencerminkan betapa persoalan kesetaraan gender masih belum menjadi agenda utama negara.
Namun, di tengah semua itu, tetap ada secercah harapan. Munculnya kembali gerakan mahasiswa, perlawanan masyarakat adat terhadap proyek-proyek eksploitatif, dan dorongan dari masyarakat sipil yang terus mengawal isu-isu HAM menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya hak asasi manusia masih hidup. Gerakan seperti ini penting untuk menjaga agar negara tetap berada di bawah pengawasan publik.
Kesimpulannya, tahun 2019 memang layak disebut sebagai tahun kelam bagi HAM di Indonesia. Namun, justru karena kondisi ini, penting bagi kita untuk terus menyuarakan keadilan, mendukung kelompok rentan, serta menuntut akuntabilitas dari negara. Tanpa tekanan dari masyarakat sipil, upaya penegakan HAM hanya akan menjadi retorika kosong yang tak membuahkan hasil nyata.
NAMA : AGUSTIN MUZAHROH
NPM : 2406061005
PRODI : ADMINISTRASI PERKANTORAN 24
HASIL ANALISIS
Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti di Papua (Wasior dan Wamena), belum terselesaikan secara tuntas. Banyak kasus mandek tanpa kejelasan penyelesaian, memperlihatkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menuntaskan pelanggaran HAM. Selain itu, kualitas demokrasi menurun akibat pembatasan kebebasan sipil, munculnya kembali pola otoritarianisme, serta pembatasan kebebasan berekspresi dan beragama yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat maupun melalui kebijakan negara.
Diskriminasi berbasis gender dan rasisme juga masih terjadi, khususnya terhadap kelompok minoritas di Papua, meskipun Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi rasial. Hukuman kejam seperti vonis mati dan eksekusi di luar pengadilan masih ditemukan, menambah catatan buruk penegakan HAM di Indonesia.
Namun, terdapat hal positif yang patut diapresiasi, seperti komitmen pemerintah untuk terus meratifikasi perjanjian HAM internasional dan munculnya gerakan masyarakat sipil yang kritis, seperti gerakan mahasiswa dan komunitas lokal yang memperjuangkan hak-haknya. Komitmen terhadap reformasi hukum dan peran aktif masyarakat sipil menjadi harapan untuk perbaikan ke depan.
Dari perspektif budaya, demokrasi Indonesia berakar pada nilai musyawarah, gotong royong, dan kebersamaan yang tercermin dalam Pancasila, khususnya sila keempat tentang musyawarah untuk mufakat. Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai ini sering tergerus oleh politik uang, pragmatisme, dan minimnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara nilai demokrasi yang ideal dan realitas di lapangan.
Prinsip demokrasi Indonesia yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa menekankan bahwa kebebasan individu tetap berada dalam koridor moral dan etika agama. Demokrasi Indonesia tidak hanya mengikuti suara mayoritas, tetapi juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan perlindungan hak-hak minoritas. Namun, prinsip ini kadang justru dijadikan alasan untuk membatasi kebebasan kelompok tertentu atas nama moralitas atau agama
.
Secara normatif, demokrasi Indonesia telah diatur dalam Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi HAM. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan, dengan masih banyaknya pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan sipil, dan ketidakadilan hukum. Praktik demokrasi belum sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai dasar konstitusi dan Pancasila.
Anggota parlemen seharusnya menjadi representasi suara rakyat, bukan menjalankan agenda politik pribadi atau kelompok. Ketika mereka lebih mengutamakan kepentingan sendiri daripada kepentingan masyarakat, hal ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat dan mencederai demokrasi. Masyarakat harus lebih kritis dan aktif mengawasi serta menuntut akuntabilitas wakil rakyat.
Kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi atau agama sering kali mampu menggerakkan massa untuk tujuan tertentu, bahkan dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Dalam konteks demokrasi modern, praktik ini bertentangan dengan prinsip HAM karena dapat menimbulkan manipulasi, pembodohan, dan pelanggaran hak-hak individu atas nama loyalitas atau tradisi. Demokrasi seharusnya menjamin kebebasan berpikir dan bertindak setiap warga negara tanpa tekanan dari otoritas tradisional atau agama.
NPM : 2406061005
PRODI : ADMINISTRASI PERKANTORAN 24
HASIL ANALISIS
Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti di Papua (Wasior dan Wamena), belum terselesaikan secara tuntas. Banyak kasus mandek tanpa kejelasan penyelesaian, memperlihatkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menuntaskan pelanggaran HAM. Selain itu, kualitas demokrasi menurun akibat pembatasan kebebasan sipil, munculnya kembali pola otoritarianisme, serta pembatasan kebebasan berekspresi dan beragama yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat maupun melalui kebijakan negara.
Diskriminasi berbasis gender dan rasisme juga masih terjadi, khususnya terhadap kelompok minoritas di Papua, meskipun Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi rasial. Hukuman kejam seperti vonis mati dan eksekusi di luar pengadilan masih ditemukan, menambah catatan buruk penegakan HAM di Indonesia.
Namun, terdapat hal positif yang patut diapresiasi, seperti komitmen pemerintah untuk terus meratifikasi perjanjian HAM internasional dan munculnya gerakan masyarakat sipil yang kritis, seperti gerakan mahasiswa dan komunitas lokal yang memperjuangkan hak-haknya. Komitmen terhadap reformasi hukum dan peran aktif masyarakat sipil menjadi harapan untuk perbaikan ke depan.
Dari perspektif budaya, demokrasi Indonesia berakar pada nilai musyawarah, gotong royong, dan kebersamaan yang tercermin dalam Pancasila, khususnya sila keempat tentang musyawarah untuk mufakat. Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai ini sering tergerus oleh politik uang, pragmatisme, dan minimnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara nilai demokrasi yang ideal dan realitas di lapangan.
Prinsip demokrasi Indonesia yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa menekankan bahwa kebebasan individu tetap berada dalam koridor moral dan etika agama. Demokrasi Indonesia tidak hanya mengikuti suara mayoritas, tetapi juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan perlindungan hak-hak minoritas. Namun, prinsip ini kadang justru dijadikan alasan untuk membatasi kebebasan kelompok tertentu atas nama moralitas atau agama
.
Secara normatif, demokrasi Indonesia telah diatur dalam Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi HAM. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan, dengan masih banyaknya pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan sipil, dan ketidakadilan hukum. Praktik demokrasi belum sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai dasar konstitusi dan Pancasila.
Anggota parlemen seharusnya menjadi representasi suara rakyat, bukan menjalankan agenda politik pribadi atau kelompok. Ketika mereka lebih mengutamakan kepentingan sendiri daripada kepentingan masyarakat, hal ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat dan mencederai demokrasi. Masyarakat harus lebih kritis dan aktif mengawasi serta menuntut akuntabilitas wakil rakyat.
Kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi atau agama sering kali mampu menggerakkan massa untuk tujuan tertentu, bahkan dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Dalam konteks demokrasi modern, praktik ini bertentangan dengan prinsip HAM karena dapat menimbulkan manipulasi, pembodohan, dan pelanggaran hak-hak individu atas nama loyalitas atau tradisi. Demokrasi seharusnya menjamin kebebasan berpikir dan bertindak setiap warga negara tanpa tekanan dari otoritas tradisional atau agama.
Nama : Sisilia Ardila Syah
Npm : 2406061008
Kelas : D3 Administrasi Perkantoran
Isi Artikel dan Penegakan Hak Asasi Manusia
Artikel "Awan Gelap untuk HAM di Indonesia" menyampaikan bahwa situasi HAM di Indonesia sepanjang tahun 2019 mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Pemerintah dinilai gagal menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang berkaitan dengan konflik sumber daya alam dan situasi di Papua. Selain itu, kebebasan sipil mulai dibatasi, dan para pembela HAM mengalami banyak tekanan serta ancaman.
Pelanggaran HAM juga terjadi dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan, pembatasan kebebasan beragama dan berpendapat, serta tindakan represif aparat keamanan, termasuk penerapan hukuman mati dan kekerasan di luar proses hukum. Namun demikian, artikel ini juga menunjukkan adanya titik terang melalui ratifikasi perjanjian HAM internasional serta kembalinya peran aktif masyarakat sipil seperti gerakan mahasiswa dan komunitas lokal dalam memperjuangkan keadilan.
Hal Positif dari Artikel
Ada harapan yang tumbuh dari perlawanan masyarakat sipil terhadap berbagai bentuk ketidakadilan. Kesadaran akan pentingnya keterlibatan publik dalam menjaga nilai-nilai HAM menjadi pesan kuat. Selain itu, komitmen Indonesia untuk terus mendekatkan diri pada norma-norma HAM internasional menunjukkan adanya ruang perbaikan di masa depan.
Demokrasi Indonesia dalam Nilai Budaya Asli
Demokrasi Indonesia lahir dari nilai-nilai luhur bangsa yang mengedepankan musyawarah, gotong royong, dan rasa hormat terhadap sesama. Sayangnya, dalam praktiknya, demokrasi seringkali dijalankan secara elitis dan tidak merepresentasikan suara masyarakat akar rumput. Nilai budaya seperti keseimbangan, toleransi, dan kekeluargaan tidak selalu tercermin dalam kebijakan publik maupun perilaku elit politik.
Prinsip Demokrasi yang Berketuhanan Yang Maha Esa
Demokrasi Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya menjamin bahwa nilai-nilai ilahiah menjadi landasan moral dalam pengambilan keputusan dan perlakuan terhadap rakyat. Prinsip ini seharusnya memperkuat komitmen terhadap keadilan sosial, kesetaraan, dan kemanusiaan. Namun, dalam kenyataannya, agama kerap dipolitisasi dan justru menjadi alat pembatas bagi kelompok tertentu, bukan pelindung.
Praktik Demokrasi dan Keselarasan dengan Pancasila dan UUD 1945
Idealnya, demokrasi di Indonesia harus sejalan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 yang menempatkan hak asasi manusia sebagai bagian penting dari kehidupan berbangsa. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa nilai-nilai ini sering terabaikan. Masih banyak kasus penindasan terhadap kebebasan berpendapat, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengabaian hak-hak dasar warga negara yang menunjukkan belum maksimalnya penerapan demokrasi yang berpihak pada rakyat.
Sikap terhadap Anggota Parlemen yang Menyimpang dari Kepentingan Rakyat
Saat anggota parlemen mengklaim mewakili suara rakyat namun justru menjalankan agenda politik pribadi atau kelompok, hal itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah demokrasi. Sikap seperti ini patut dikritisi secara aktif oleh masyarakat sipil. Rakyat memiliki hak untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang bermakna dalam setiap proses pengambilan keputusan publik.
Pandangan terhadap Kekuasaan Kharismatik yang Memanipulasi Emosi Rakyat
Kekuasaan yang bersumber dari kharisma, tradisi, atau agama, jika disalahgunakan untuk memanipulasi emosi dan loyalitas rakyat demi tujuan yang tidak jelas, menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan HAM. Praktik seperti ini sering menempatkan rakyat sebagai alat, bahkan korban, dari kepentingan tertentu. Dalam era demokrasi, kekuasaan harus dijalankan secara rasional, transparan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai landasan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Npm : 2406061008
Kelas : D3 Administrasi Perkantoran
Isi Artikel dan Penegakan Hak Asasi Manusia
Artikel "Awan Gelap untuk HAM di Indonesia" menyampaikan bahwa situasi HAM di Indonesia sepanjang tahun 2019 mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Pemerintah dinilai gagal menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang berkaitan dengan konflik sumber daya alam dan situasi di Papua. Selain itu, kebebasan sipil mulai dibatasi, dan para pembela HAM mengalami banyak tekanan serta ancaman.
Pelanggaran HAM juga terjadi dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan, pembatasan kebebasan beragama dan berpendapat, serta tindakan represif aparat keamanan, termasuk penerapan hukuman mati dan kekerasan di luar proses hukum. Namun demikian, artikel ini juga menunjukkan adanya titik terang melalui ratifikasi perjanjian HAM internasional serta kembalinya peran aktif masyarakat sipil seperti gerakan mahasiswa dan komunitas lokal dalam memperjuangkan keadilan.
Hal Positif dari Artikel
Ada harapan yang tumbuh dari perlawanan masyarakat sipil terhadap berbagai bentuk ketidakadilan. Kesadaran akan pentingnya keterlibatan publik dalam menjaga nilai-nilai HAM menjadi pesan kuat. Selain itu, komitmen Indonesia untuk terus mendekatkan diri pada norma-norma HAM internasional menunjukkan adanya ruang perbaikan di masa depan.
Demokrasi Indonesia dalam Nilai Budaya Asli
Demokrasi Indonesia lahir dari nilai-nilai luhur bangsa yang mengedepankan musyawarah, gotong royong, dan rasa hormat terhadap sesama. Sayangnya, dalam praktiknya, demokrasi seringkali dijalankan secara elitis dan tidak merepresentasikan suara masyarakat akar rumput. Nilai budaya seperti keseimbangan, toleransi, dan kekeluargaan tidak selalu tercermin dalam kebijakan publik maupun perilaku elit politik.
Prinsip Demokrasi yang Berketuhanan Yang Maha Esa
Demokrasi Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya menjamin bahwa nilai-nilai ilahiah menjadi landasan moral dalam pengambilan keputusan dan perlakuan terhadap rakyat. Prinsip ini seharusnya memperkuat komitmen terhadap keadilan sosial, kesetaraan, dan kemanusiaan. Namun, dalam kenyataannya, agama kerap dipolitisasi dan justru menjadi alat pembatas bagi kelompok tertentu, bukan pelindung.
Praktik Demokrasi dan Keselarasan dengan Pancasila dan UUD 1945
Idealnya, demokrasi di Indonesia harus sejalan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 yang menempatkan hak asasi manusia sebagai bagian penting dari kehidupan berbangsa. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa nilai-nilai ini sering terabaikan. Masih banyak kasus penindasan terhadap kebebasan berpendapat, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengabaian hak-hak dasar warga negara yang menunjukkan belum maksimalnya penerapan demokrasi yang berpihak pada rakyat.
Sikap terhadap Anggota Parlemen yang Menyimpang dari Kepentingan Rakyat
Saat anggota parlemen mengklaim mewakili suara rakyat namun justru menjalankan agenda politik pribadi atau kelompok, hal itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah demokrasi. Sikap seperti ini patut dikritisi secara aktif oleh masyarakat sipil. Rakyat memiliki hak untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang bermakna dalam setiap proses pengambilan keputusan publik.
Pandangan terhadap Kekuasaan Kharismatik yang Memanipulasi Emosi Rakyat
Kekuasaan yang bersumber dari kharisma, tradisi, atau agama, jika disalahgunakan untuk memanipulasi emosi dan loyalitas rakyat demi tujuan yang tidak jelas, menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan HAM. Praktik seperti ini sering menempatkan rakyat sebagai alat, bahkan korban, dari kepentingan tertentu. Dalam era demokrasi, kekuasaan harus dijalankan secara rasional, transparan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai landasan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nama : Salsabilla Atika Putri
NPM: 2456061005
Prodi: D3 Administrasi Perkantoran
Artikel tersebut menyoroti betapa lemahnya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sepanjang tahun 2019. Sejumlah pelanggaran berat HAM masa lalu belum juga terselesaikan, dan kebebasan sipil justru mengalami kemunduran. Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, diskriminasi terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan masyarakat Papua, serta tindakan represif aparat masih terjadi. Namun, ada secercah harapan melalui langkah-langkah reformasi hukum dan meningkatnya kesadaran masyarakat sipil, termasuk gerakan mahasiswa yang mulai kembali aktif mengawasi kebijakan negara.
Hal positif yang dapat diambil dari artikel ini adalah meningkatnya peran masyarakat sipil sebagai penggerak perubahan dan kontrol terhadap kekuasaan. Gerakan sosial di Bali dan Kendeng menjadi contoh bahwa rakyat masih bisa bersuara meskipun ruang kebebasan menyempit. Ini menunjukkan bahwa kesadaran kolektif atas pentingnya HAM masih hidup, walau pemerintah belum sepenuhnya berpihak pada prinsip tersebut.
NPM: 2456061005
Prodi: D3 Administrasi Perkantoran
Artikel tersebut menyoroti betapa lemahnya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sepanjang tahun 2019. Sejumlah pelanggaran berat HAM masa lalu belum juga terselesaikan, dan kebebasan sipil justru mengalami kemunduran. Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, diskriminasi terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan masyarakat Papua, serta tindakan represif aparat masih terjadi. Namun, ada secercah harapan melalui langkah-langkah reformasi hukum dan meningkatnya kesadaran masyarakat sipil, termasuk gerakan mahasiswa yang mulai kembali aktif mengawasi kebijakan negara.
Hal positif yang dapat diambil dari artikel ini adalah meningkatnya peran masyarakat sipil sebagai penggerak perubahan dan kontrol terhadap kekuasaan. Gerakan sosial di Bali dan Kendeng menjadi contoh bahwa rakyat masih bisa bersuara meskipun ruang kebebasan menyempit. Ini menunjukkan bahwa kesadaran kolektif atas pentingnya HAM masih hidup, walau pemerintah belum sepenuhnya berpihak pada prinsip tersebut.