Nama : Bintang Imanuel Putra Gultom
NPM : 2415061018
Tantangan terbesar yang dihadapi Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia adalah eksistensinya yang hanya sebagai simbol semata. Pancasila selalu dielu-elukan di panggung upacara, diabadikan dalam buku pelajaran, bahkan disemarakkan di ruang-ruang birokrasi. Namun, di balik parade simbolis ini, penghayatannya sering kali menguap di tengah kenyataan hidup bangsa. Nilai-nilai luhur Pancasila, yang mestinya menjadi pedoman moral bangsa, kerap sekadar menjadi bahan hafalan tanpa makna. Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, menduduki posisi pertama dalam sila, namun bagaimana bisa ketika korupsi, ego sektoral, dan arogansi kekuasaan semakin menancap? Kemanusiaan yang adil dan beradab seakan jadi jargon kosong di hadapan deretan kasus kekerasan dan intoleransi, sementara persatuan menjadi terasa rapuh ketika perbedaan lebih sering dirayakan sebagai alasan perpecahan, bukan kekuatan.
Mengapa ini terjadi? Salah satu sebabnya adalah kurangnya integrasi nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pendidikan dan kebijakan sosial. Pancasila sering kali terpinggirkan, hanya diletakkan sebagai teori yang wajib dikuasai di ruang kelas, lalu ditinggalkan di luar. Ironisnya, pendidikan Pancasila di sekolah pun seringkali berhenti pada aspek kognitif: hafalan butir-butir Pancasila tanpa pemahaman. Pancasila seperti hanya “ornamen sejarah,” benda tua yang hanya sesekali dipoles supaya terlihat berkilau, tapi tak pernah benar-benar dipahami atau diaplikasikan.
Lalu, bagaimana menghadapi sikap warga yang sudah apatis, yang merasa nilai-nilai Pancasila hanyalah formalitas belaka? Menghadapi ketidakpedulian ini, langkah pertama yang harus diambil adalah jujur dengan kenyataan bahwa pendidikan moral Pancasila tidak bisa hanya mengandalkan kurikulum formal yang kaku. Butuh pendekatan yang lebih hidup—hidden curriculum, misalnya, di mana nilai-nilai Pancasila diinternalisasikan melalui teladan langsung di masyarakat dan dalam pendidikan praktis sehari-hari. Kita juga harus berani mengevaluasi diri, terutama institusi-institusi yang seharusnya menjadi teladan pelaksanaan Pancasila, namun justru memberi contoh buruk melalui praktik korupsi, kolusi, atau perilaku tidak beretika.
Sederhananya, wujud implementasi Pancasila bukanlah sekadar peringatan atau penghafalan. Implementasi Pancasila sebagai jati diri bangsa harus berarti bahwa semua warga, dari anak-anak hingga pemimpin, melihat nilai-nilai Pancasila tercermin dalam kebijakan, pelayanan publik, dan interaksi sosial sehari-hari. Jika pemerintah dan masyarakat bisa menunjukkan bahwa Pancasila bukan sekadar “hiasan dinding,” tetapi landasan yang hidup dan relevan dalam tindakan nyata, maka penghargaan terhadap Pancasila akan kembali tumbuh dari bawah, bukan dipaksakan dari atas.
Tanpa keberanian untuk menanggalkan kemasan formalistik ini dan menghidupkan nilai Pancasila secara substantif, selamanya Pancasila hanya akan menjadi filosofi "sakti" dalam simbol, tetapi tumpul dalam praktik.