PRETEST

PRETEST

Number of replies: 1

PSBB dan pelanggaran HAM

KERIUHAN Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) kian hangat menjadi pembicaraan publik. Cemas dan takut menjadi rasa yang menyatu dalam diri tiap manusia. COVID-19 telah menggantikan isu-isu krusial yang sebelumnya hangat menjadi pembicaraan khalayak. Apa boleh buat karena dampak dari wabah ini telah menjadi sentrum pembicaraan global yang harus segera diselesaikan.

Sejak (11/3/2020) COVID-19 telah ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia: WHO.

Di berbagai belahan dunia, penduduk Bumi sama-sama membicarakan soal COVID-19 serta upaya apa yang sebaiknya dilakukan untuk menangani dan mencegah penularannya. Hingga tulisan ini dikirim, data terbaru pada (10/5/2020) COVID-19 telah menelan korban jiwa sebanyak 279,345 di seluruh dunia. Tak heran jika pandemi COVID-19 dengan cepat menjadi pembicaraan hangat khalayak untuk segera ditangani dengan tanggap oleh Pemerintah di negara-negara yang terjangkit.

Tak terkecuali di Indonesia dari beberapa daerah tercatat jumlah kasus positif terinfeksi sebanyak 14,032 orang (10/5/2020) dan kian meningkat tiap harinya. Perlu diingat angka kematian akibat virus ini tergolong tinggi di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menduduki posisi ke-2 tingkat penyebaran virus mematikan ini.

Dalam upaya pencegahan ada beberapa cara yang dilakukan oleh Pemerintah dalam meminimalisir penyebarluasan pandemi COVID-19 sehingga masyarakat patut mendukung upaya yang dilakukan. Karena Pemerintah sedang mengamalkan amanat Konstitusi negara dalam prolognya “Melindungi segenap bangsa Indonesia”.

Kita patut mengapresiasi niat baik mereka dalam menjalankan tugasnya, serta bersama-sama dengan mereka untuk melawan atau mencegah penyebarluasan wabah virus ini.

Upaya pemerintah di sejumlah daerah yang sekarang banyak disoroti oleh khalayak ialah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tujuannya dalam rangka memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Disorotinya PSBB oleh sejumlah kalangan akibat penerapan yang cenderung otoritatif.

Kecenderungan aparat sipil dan keamanan dalam menindak pelanggar PSBB dinilai telah keluar dari nilai hak azasi manusia (HAM), dalih mereka hampir sama, menerapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Padahal muatan dalam UU 6/18 tepatnya dalam “Bagian menimbang huruf c” menegaskan:

“Bahwa sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkomitmen melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam regulasi internasional di bidang kesehatan, dan dalam melaksanakan amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang, dan penerapannya secara universal.”

Diperkuat landasan hukum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (HAM).

Kita percaya bahwa perlakuan aparat keamanan berawal dari niat baik –memutus mata rantai penyebaran COVID-19– mereka telah mengerahkan tenaga dan pikirannya terkait apa yang mesti dilakukan selama PSBB. Kendati hal yang sebaiknya dilakukan pula ialah menghindari perlakuan intimidatif dan menghormati sepenuhnya martabat manusia secara universal. Agar nilai moral HAM seseorang tidak terlucuti begitu saja.

Perlu kiranya, sebelum melakukan penindakan, terlebih dahulu memberikan edukasi terkait dampak baik dari PSBB yang diterapkan. Kita berharap semoga upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan aparat keamanan dengan niat baiknya mampu dipertanggungjawabkan secara moril kepada mata dunia yang menyaksikan. Karena niat baik seharusnya dilakukan secara baik-baik.

Bukankah peradaban yang lebih baik dihasilkan dari kebijakan yang baik pula, agar apa yang diharapkan mampu dirasakan bersama. Pembuatan kebijakan publik sebaiknya tidak terlepas dari nilai kearifan. Sebab sejatinya seorang ketika telah diberikan konstituen oleh rakyatnya mutlak mengupayakan hal itu dapat tercapai.

Memberi perlindungan, keselamatan dan meretas kesenjangan sosial ditengah pandemi merupakan tindak lanjut penerapan nilai-nilai luhur yang telah menjadi akar kehidupan berbangsa.

Pondasi dan bangunannya tinggal ditata sedemikian rupa. Tak ada salahnya mengharapkan hal itu terkabul, karena sejatinya harapan ialah hal mewah dalam pikiran apalagi dampak baiknya telah dirasakan.

Penuh harap ialah watak manusia yang tak boleh terpisahkan selama kaki masih menjajaki Bumi. Meski harapan itu mungkin tidak akan terealisasi sepenuhnya, namun optimis itu perlu.

Sebagai warga negara yang baik, perlu dan penting kiranya kita mawas diri dan mengikuti anjuran pemerintah setempat dengan niat baiknya. Pandemi COVID-19 sebaiknya ditangani bersama-sama. Bahu-membahu antara negara dan warga merupakan jalan terbaik untuk memutus penyebaran wabah yang melanda kita saat ini. Semoga keselamatan tetap tercurah untuk Bumi pertiwi.

https://www.kompasiana.com/aslangjaya6099/5eb97fe7097f364a4c763ca2/hak-azasi-manusia-dalam-gelombang-psbb?page=1


Analisis Soal 

  1. Hal positif apa yang anda dapatkan dari artikel tersebut? Apakah ada konstitusi yang dilanggar? Jelaskan!
  2. Bagaimanakah jika suatu negara tidak memiliki konstitusi? Apakah konstitusi efektif dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara?
  3. Kemukakan contoh tantangan kehidupan bernegara saat ini, yang menurut Anda perlu diantisipasi, apakah pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 sekarang sudah mampu menjadi pedoman untuk menyelesaikan tantangan tersebut dan mengapa demikian?
  4. Bagaimakah menurut pendapatmu sebagai warganegara mengenai konsep bernegara kita dalam menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan? Adakah yang perlu di perbaiki, jelaskan!


In reply to First post

Re: PRETEST

by Kurniawan Sugiarto -
1.Hal positif dari artikel tersebut adalah kesadaran akan pentingnya menjaga independensi MK untuk menjaga demokrasi. Artikel juga memberikan pemahaman tentang upaya mencegah kerusakan pada demokrasi, terutama terkait revisi Undang-Undang MK.

Namun, hal yang perlu dibenahi adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya independensi lembaga-lembaga penegak hukum, termasuk MK. Masyarakat perlu aktif dalam mengawasi dan mendukung lembaga-lembaga tersebut untuk berfungsi tanpa campur tangan politik.

Perlunya reformasi dalam sistem politik dan hukum untuk memastikan lembaga-lembaga penegak hukum memiliki kewenangan dan mekanisme yang efektif dalam menjaga independensinya. Ini termasuk perbaikan proses pembentukan undang-undang dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.

Dengan demikian,mengingatkan pentingnya independensi lembaga-lembaga penegak hukum dalam menjaga demokrasi dan perlunya keterlibatan aktif masyarakat dalam upaya tersebut.

2.Konstitusi merupakan hukum tertinggi yang menetapkan struktur pemerintahan, hak-hak rakyat, dan batasan kekuasaan. Pentingnya konstitusi bagi suatu negara, seperti Indonesia dengan UUD NRI 1945, adalah sebagai landasan untuk:

1. Menjamin kedaulatan rakyat.
2. Menetapkan pembagian kekuasaan.
3. Melindungi hak asasi manusia.
4. Menyediakan landasan hukum.
5. Menjaga stabilitas dan kontinuitas.
6. Menjamin perlindungan hukum bagi semua warga negara.

Dengan konstitusi, suatu negara dapat diatur secara adil, demokratis, dan teratur, serta memberikan perlindungan hukum bagi semua warga negara.

3. Contoh perilaku Pejabat negara yang tidak konstitusional adalah :
a. Menggunakan kekuatan untuk melakukan kekerasan terhadap individu: Jika pejabat negara menggunakan kekuatan yang diberikan kepadanya untuk melakukan kekerasan terhadap individu, maka ia tidak melakukan tugas yang diberikan oleh undang-undang.

b. Menggunakan kekuatan untuk melakukan kekerasan terhadap negara: Jika pejabat negara menggunakan kekuatan yang diberikan kepadanya untuk melakukan kekerasan terhadap negara, maka ia tidak melakukan tugas yang diberikan oleh undang-undang.

c. Menggunakan kekuatan untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat: Jika pejabat negara menggunakan kekuatan yang diberikan kepadanya untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat, maka ia tidak melakukan tugas yang diberikan oleh undang-undang.

d. Menggunakan kekuatan untuk melakukan kekerasan terhadap lingkungan: Jika pejabat negara
menggunakan kekuatan yang diberikan kepadanya untuk melakukan kekerasan terhadap lingkungan, maka ia tidak melakukan tugas yang diberikan
oleh undang-undang.