Kiriman dibuat oleh Shalwa Putri Ikhtiarini

Nilai pribadi seseorang memang bisa jadi pedoman, tapi dalam praktiknya keputusan beli sering dipengaruhi faktor yang lebih “nyata” dan langsung terasa. Karena itu, apa yang diyakini tidak selalu muncul dalam tindakan. Alasan utamanya itu karena nilai bersaing dengan realita situasional, kebiasaan dan kenyamanan lebih dominan, serta karena adanya tekanan sosial dan citra diri. Untuk faktor yang bisa bikin tindakan lebih sesuai sama nilai itu ada harga yang lebih terjangkau, karena idealisme butuh opsi yang realistis. Kemudahan akses juga membantu, kalau produk sesuai nilai mudah ditemukan, konsumen jadi lebih mungkin beli. Adanya edukasi dan transparansi brand juga dibutuhkan agar konsumen tahu dampak nyata dari pilihannya. Lalu dukungan sosial dan komunitas dapat membuat tindakan terasa lebih valid dan konsisten. Terakhir, desain pilihan yang “tanpa beban” seperti default ramah lingkungan, kemasan refill, atau fitur rekomendasi yang sesuai nilai.
Algoritma media sosial memang tidak membentuk kepribadian dari nol, tapi bisa mempengaruhi dan “mengasah” kecenderungan yang sudah ada, lalu mengarahkan gaya hidup dan cara berpikir pengguna tanpa disadari. Awalnya, platform membaca kebiasaan seperti apa yang kamu tonton, like, cari, simpan, atau komentari. Dari situ, algoritma menyimpulkan minatmu dan terus menyuplai konten yang sejalan. Lama-lama, ini bisa menguatkan cara pandang, membentuk keinginan, dan bahkan memengaruhi nilai serta gaya hidup. Misalnya soal self-care, belanja, produktivitas, body image, atau lifestyle tertentu. Yang mengendalikan sebenernya bukan sepenuhnya pengguna, tapi juga bukan 100% sistem. Mereka berdua saling memengaruhi. Pengguna memberi arah awal lewat klik, interaksi, dan kebiasaan digital. Sedangkan algoritma memperkuat, mempersempit, atau membentuk preferensi berdasarkan data itu.
Kepribadian seseorang mempengaruhi cara mereka memilih, membeli, dan merespons produk. Seperti orang yang extrovert cenderung konsumtif terhadap hal hal yang mendukung citra sosial, sementara yang introvert lebih pilih produk fungsional atau sesuai minat personal. Begitu juga dengan konsumen yang impulsif, perfeksionis, hedonis, atau hemat, semua menunjukkan pola konsumsi yang berbeda. Brand yang peka biasanya menyesuaikan strategi pemasarannya dengan tipe kepribadian ini. Mereka bisa mengatur gaya komunikasi, visual, harga, hingga platform promosi agar terasa “ngena” ke kelompok tertentu. Jadi, semakin brand memahami variasi kepribadian, semakin efektif mereka menarik dan mempertahankan konsumen dari berbagai segmen.
Brand personality ini bisa jadi “tameng” sekaligus senjata saat brand menghadapi krisis di media sosial. Karena saat ini orang bukan cuma lihat produk, tapi juga nilai, sikap, dan karakter yang ditunjukkan brand. Jadi, cara brand membangun kepribadian sebelumnya sangat menentukan bagaimana respons publik saat terjadi kesalahan atau miskomunikasi. Perannya adalah untuk membangun kepercayaan sebelum krisis terjadi, menentukan gaya komunikasi saat merespons masalah, membantu meredam emosi konsumen, menjaga konsistensi identitas, dan memengaruhi seberapa cepat reputasi brand bisa pulih.
Banyak orang bilang mereka peduli hal-hal seperti lingkungan, etika, atau keberlanjutan, tapi pas belanja, pilihannya tidak selalu sesuai omongan mereka. Bukan karena mereka bohong, tapi karena ada faktor lain yang lebih “kerasa” saat itu juga.

Mulai dari harga, barang yang ramah lingkungan atau etis biasanya lebih mahal. Jadi walaupun niatnya bagus, pas lihat dompet, mereka akhirnya pilih yang lebih murah.

Lalu soal ketersediaan dan kemudahan. Tidak semua toko menjual produk yang sesuai nilai mereka. Jika barang biasa lebih mudah ditemukan, mereka cenderung ambil yang itu saja daripada repot cari alternatif lain.

Juga adanya pengaruh dari lingkungan sosial. Saat orang-orang di sekitar tidak terlalu peduli dengan nilai itu, seseorang bisa ikut-ikutan dan tidak merasa perlu konsisten. Kadang mereka cuma ngomong “peduli” biar terlihat baik, tapi tidak sampai ke tindakan.

Jadi, nilai pribadi mereka sebenarnya tetap ada, tapi sering kalah sama harga, kenyamanan, dan kebiasaan orang lain di sekitar mereka.