Posts made by Bintang Imanuel Putra Gultom

Nama : Bintang Imanuel Putra Gultom
NPM : 2415061018
Kelas : PSTI-A

Video di atas adalah potongan dari rapat Komisi III DPR RI terkait pengaduan Jaksa Jovi Andrea terhadap pidana pencemaran nama baik yang dituntukan kepadanya oleh rekannya sendiri. Pada kasus ini Jaksa Jovi menggunggah suatu postingan kritik terhadap Jaksa Kejari Tapsel Nella Marsela, yang sering memamerkan kendaraan dinas milik Kepala Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan berjenis Pajero Sport, yang dinilainya sebagai suatu penyalahgunaan fasilitas negara. Postingan kritik yang diunggahnya di media sosial, lalu dilaporkan oleh Nella Marsela dengan dalil pencemaran nama baik yang tercantum pada UU ITE. Pada proses ini, Jaksa Jovi dengan tidak gentar melemparkan dirinya kepada pembuktian keadilan atas tindakannya. Namun dalam prosesnya, Jaksa Jovi merasa ada upaya kriminalisasi dan intervensi dari pihak-pihak lainnya yang menyudutkan posisinya dalam mata hukum. Untuk itu, Jaksa Jovi mengajukan pengaduan kepada Komisi III DPR RI, yang akhirnya di bahas dalam suatu rapat terbuka. Di dalam rapat tersebut, Jaksa Jovi memaparkan pokok masalah dalam proses hukum pidana kasus ini. Jaksa Jovi, menekankan adanya tindakan Kriminalisasi dan Intervensi oleh pihak Kejaksaan Negeri Tapsel dan Kejaksaan Tinggi Sumut. Hal ini dibuktikan dengan adanya upaya pembelokan fakta dalam artikel-artikel yang tertulis di media massa yang menuliskan bahwa Jaksa Jovi menuduhkan Nella Marsela menggunakan mobil dinas untuk berhubungan badan dengan pacarnya, yang dengan sumpah dibantah olehnya. Lalu ada juga dugaan upaya Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi untuk menahan keseimbangan informasi dengan tidak menghadirkan Jaksa Jovi dalam pers terkait kasus ini, dan membuat adanya suatu fitnah terhadap Jaksa Jovi yang dikatakan memblokir semua kontak teman jaksanya, yang juga dibantah oleh Jaksa Jovi. Lalu, terdapat dugaan tendensi oleh Kepala Kejari Tapsel, Siti Holija Harahap yang diungkapkan menekan penambahan pasal untuk dijatuhkan terhadap Jaksa Jovi, juga menyudutkan Jaksa Jovi untuk dikeluarkan dari Instansi Kejaksaan Republik Indonesia.
Jaksa Jovi lalu membahas tentang postingan yang diunggahnya ke media sosial. Dalam dua postingan tersebut, telah dibuktikan oleh dua ahli pada persidangan sebelumnya bahwa postingan tersebut tidak melanggar hukum, karena memenuhi kritik untuk kepentingan hukum, yang dimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2024 pasal 45 ayat 7 huruf, bahwa terdapat pergeseran delik formil menjadi delik materil dalam artian negatif, yang artinya ketika suatu tindakan mungkin memenuhi unsur pelanggaran tetapi dilakukan untuk kepentingan umum maka dihapuskannya sifat melawan hukumnya. Jaksa Jovi lalu ikut menjelaskan terkait penggunaan diksi dalam postingannya, yang sama sekali tidak menuduhkan Nella Marsela melakukan hubungan badan menggunakan mobil dinas, melainkan Jaksa Jovi menekankan dengan gaya bahasa yang frontal dan tegas dalam postingannya, terkait membedakan urusan dan kegiatan pribadi dan penggunaan fasilitas negara kepada seluruh jaksa termasuk dirinya. Jaksa Jovi dengan tegas menjelaskan upaya Kriminalisasi terhadapnya oleh Kejaksaan Republik Indonesia dan intervensi dari berbagai pihak dalam instansi yang seolah hendak dengan sengaja menggesernya keluar dari instansi tersebut.

Lalu bagaimana tanggapan Komisi III DPR terkait hal tersebut? Menurut saya, para anggota DPR justru malah fokus terhadap tindakan Jaksa Jovi membeberkan kasus ini ke media sosial sebagai tindakan yang merugikan instansi dan membesar-besarkan masalah pribadi yang sepele. Tak hanya satu anggota DPR yang malah menyindir umur Jaksa Jovi yang masih baru dalam dunia kejaksaan, seolah mereka mengatakan kepada Jaksa Jovi untuk tidak membuka kebobrokan yang terdapat pada instansi tersebut demi keberlangsungan karirnya. Mereka menganggap tindakan Jaksa Jovi mencoreng nama baik Kejaksaan, yang padahal Jaksa Jovi sedang mencoba membersihkan tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan yang terjadi dalam instansi negara. Hal ini membuat saya berpikir tentang posisi Komisi III DPR RI yang malah seolah berusaha menyudahi kasus ini secara pribadi antar kedua belah pihak dan tidak menyeret instansi kejaksaan ke dalam pengadilan. Padahal fokus utamanya bukan soal masalah pribadi tetapi terkait adanya penyalahgunaan fasilitas yang diadakan melalui uang rakyat oleh instansi yang dipercayai rakyat.

Solusi yang menurut saya dapat diambil adalah ketegasan peraturan yang mengikat instansi dan birokrasi negara. Evaluasi dan juga pembersihan dalam berbagai instansi negara perlu dilakukan untuk membuang parasit yang merugikan dan menyalahgunakan posisinya sebagai aparatur negara. Keterbukaan di mata umum juga harus dilakukan untuk menjamin kepercayaan masyarakat terhadap instansi negara, bukan malah menutupi berbagai penyelewengan di dalamnya untuk menjaga citra sempurna di mata rakyat. Penegasan pendekatan hukum juga perlu dilakukan, adanya transparansi dan keadilan kepada kedua belah pihak dalam hukum harus ditegakkan, bukan malah condong sesuai dengan kepentingan segelintir kelompok. Kasus ini adalah kombinasi dari kenyamanan instansi negara dalam hal hukum, yang membuat mereka sewenang-wenang menyalahkan gunakan kekuasaannya. Jika seorang yang jujur dalam pelaksanaan tugas kenegaraan malah diserang dan disudutkan oleh berbagai pihak dari dalam, salahkah kita jika berasumsi bahwa instansi dan dewan perwakilan dalam negara ini memang berkongsi demi kepentingan pribadi?
Nama : Bintang Imanuel Putra Gultom
NPM : 2415061018
Kelas : 2415061018

Menurut saya bagian yang perlu dipahami dalam video adalah tentang pentingnya pemahaman tentang Pancasila sebagai sistem etika. Karena penting bagi masyarakat untuk memiliki moral dan etika berbangsa dan bernegara. Dari beberapa permasalahan yang menghambat Pancasila sebagai sistem etika seperti, perubahan sosial dan budaya, lunturnya wibawa pemerintahan, penyalahgunaan teknologi, yang akan membawa masalah ekonomi seperti perubahan ekonomi menjadi liberal dan kapitalis. Hambatan ini dapat diatasi dengan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai acuan moral lewat kolaborasi pemerintah dalam menjalankan kenegaraan dengan jujur dan adil, sehingga

MKU Pancasila TI A -> Tanggapan Artikel 1

by Bintang Imanuel Putra Gultom -
Nama : Bintang Imanuel Putra Gultom
NPM : 2415061018
Kelas : PSTI-A

Pancasila, sebagai norma moral dan juga hukum, telah lama diakui sebagai panduan hukum dan etika bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun, artikel yang dibahas mengangkat tantangan besar yang dihadapi bangsa ini: bagaimana Pancasila tetap relevan sebagai sistem etika politik di era pasca-kebenaran, di mana fakta sering kali dikaburkan oleh emosi dan opini yang manipulatif. Di tengah derasnya arus globalisasi informasi, nilai-nilai Pancasila dihadapkan pada ujian berat untuk tetap menjadi pedoman dalam mengarahkan moralitas politik dan perilaku masyarakat.

Era pasca-kebenaran bukanlah sekadar fenomena teknologi, bisa dikatakan sebagai cerminan dari krisis moralitas dan epistemik yang mengakar dalam masyarakat. Informasi yang seharusnya menjadi jembatan menuju kebenaran, kini telah berubah menjadi alat untuk memperkuat emosi, mempolarisasi masyarakat, dan memperuncing konflik. Dalam konteks ini, artikel yang dibahas menawarkan Pancasila sebagai sistem etika politik yang tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak untuk diterapkan.

Satu hal yang menonjol dari artikel tersebut adalah penekanannya pada pentingnya penguatan literasi media dan pendidikan moral sebagai langkah untuk menghadapi era pasca-kebenaran. Penulis artikel dengan tajam mengidentifikasi bahwa hoaks dan disinformasi tidak akan berkembang jika masyarakat memiliki kemampuan berpikir kritis untuk menyaring informasi. Namun, apa yang sering kali terabaikan adalah bahwa literasi media saja tidak cukup. Literasi ini harus dipadukan dengan nilai-nilai moral yang kuat, sebagaimana terkandung dalam Pancasila, agar masyarakat tidak hanya mampu membedakan informasi yang benar dan salah, tetapi juga memiliki dorongan etis untuk memilih yang benar.

Sayangnya, tantangan utama dalam penerapan ini adalah masyarakat kita sendiri. Seperti yang telah kita bahas, perilaku permisif terhadap ketidakbenaran telah mengakar begitu dalam. Hoaks tidak hanya disebarkan, tetapi juga dinormalisasi. Kepentingan kelompok sering kali mengalahkan kebenaran, dan kecurangan politik dianggap sebagai "bagian dari permainan". Masyarakat ikut berpartisipasi dalam permainan politik yang kotor, namun lalu mencuci tangan mereka, dan menganggap itu bukan hal yang salah atau tabu untuk dilakukan. Ini menunjukkan bahwa moral dan etika yang terbentuk dalam masyarakat masih sangat rendah. Dalam situasi seperti ini, bagaimana Pancasila bisa dijadikan pedoman, ketika interpretasi Pancasila adalah sesuatu yang bahkan tidak lagi dianggap relevan oleh sebagian masyarakat?

Pendekatan lain yang ditawarkan artikel ini adalah penguatan peran pemerintah sebagai teladan dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila. Pemerintah harus mampu menunjukkan integritas yang tinggi dan mengambil tindakan nyata untuk menegakkan etika politik. Namun, sejarah telah mengajarkan bahwa retorika moral sering kali terhenti pada tataran wacana, tanpa disertai tindakan yang substansial. Sebaliknya, masyarakat justru semakin skeptis terhadap kesungguhan pemimpin dalam mengamalkan Pancasila, ketika korupsi dan manipulasi politik terus terjadi tanpa sanksi yang tegas.

Dalam pandangan saya, artikel ini cukup optimis dalam melihat potensi Pancasila sebagai solusi bagi tantangan era pasca-kebenaran. Namun, ada satu hal yang luput dari pembahasannya: yaitu bagaimana mengatasi krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Krisis ini adalah akar dari banyak masalah, termasuk penerimaan terhadap hoaks dan kecurangan politik. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada sistem, mereka cenderung mencari alternatif informasi yang sesuai dengan emosi atau kepentingan mereka, tanpa memedulikan kebenarannya.

Pancasila sebagai sistem etika politik hanya akan efektif jika diterapkan secara holistik. Literasi media dan pendidikan moral yang kuat harus didukung oleh teladan nyata dari para pemimpin, serta penegakan hukum yang adil dan konsisten. Artikel ini benar dalam menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat, tetapi perlu digaris bawahi bahwa sinergi ini hanya bisa tercipta jika ada rasa saling percaya yang kokoh.

MKU Pancasila TI A -> Forum Diskusi 2

by Bintang Imanuel Putra Gultom -
Nama : Bintang Imanuel Putra Gultom
NPM : 2415061018

Tantangan terbesar yang dihadapi Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia adalah eksistensinya yang hanya sebagai simbol semata. Pancasila selalu dielu-elukan di panggung upacara, diabadikan dalam buku pelajaran, bahkan disemarakkan di ruang-ruang birokrasi. Namun, di balik parade simbolis ini, penghayatannya sering kali menguap di tengah kenyataan hidup bangsa. Nilai-nilai luhur Pancasila, yang mestinya menjadi pedoman moral bangsa, kerap sekadar menjadi bahan hafalan tanpa makna. Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, menduduki posisi pertama dalam sila, namun bagaimana bisa ketika korupsi, ego sektoral, dan arogansi kekuasaan semakin menancap? Kemanusiaan yang adil dan beradab seakan jadi jargon kosong di hadapan deretan kasus kekerasan dan intoleransi, sementara persatuan menjadi terasa rapuh ketika perbedaan lebih sering dirayakan sebagai alasan perpecahan, bukan kekuatan.

Mengapa ini terjadi? Salah satu sebabnya adalah kurangnya integrasi nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pendidikan dan kebijakan sosial. Pancasila sering kali terpinggirkan, hanya diletakkan sebagai teori yang wajib dikuasai di ruang kelas, lalu ditinggalkan di luar. Ironisnya, pendidikan Pancasila di sekolah pun seringkali berhenti pada aspek kognitif: hafalan butir-butir Pancasila tanpa pemahaman. Pancasila seperti hanya “ornamen sejarah,” benda tua yang hanya sesekali dipoles supaya terlihat berkilau, tapi tak pernah benar-benar dipahami atau diaplikasikan.

Lalu, bagaimana menghadapi sikap warga yang sudah apatis, yang merasa nilai-nilai Pancasila hanyalah formalitas belaka? Menghadapi ketidakpedulian ini, langkah pertama yang harus diambil adalah jujur dengan kenyataan bahwa pendidikan moral Pancasila tidak bisa hanya mengandalkan kurikulum formal yang kaku. Butuh pendekatan yang lebih hidup—hidden curriculum, misalnya, di mana nilai-nilai Pancasila diinternalisasikan melalui teladan langsung di masyarakat dan dalam pendidikan praktis sehari-hari. Kita juga harus berani mengevaluasi diri, terutama institusi-institusi yang seharusnya menjadi teladan pelaksanaan Pancasila, namun justru memberi contoh buruk melalui praktik korupsi, kolusi, atau perilaku tidak beretika.

Sederhananya, wujud implementasi Pancasila bukanlah sekadar peringatan atau penghafalan. Implementasi Pancasila sebagai jati diri bangsa harus berarti bahwa semua warga, dari anak-anak hingga pemimpin, melihat nilai-nilai Pancasila tercermin dalam kebijakan, pelayanan publik, dan interaksi sosial sehari-hari. Jika pemerintah dan masyarakat bisa menunjukkan bahwa Pancasila bukan sekadar “hiasan dinding,” tetapi landasan yang hidup dan relevan dalam tindakan nyata, maka penghargaan terhadap Pancasila akan kembali tumbuh dari bawah, bukan dipaksakan dari atas.

Tanpa keberanian untuk menanggalkan kemasan formalistik ini dan menghidupkan nilai Pancasila secara substantif, selamanya Pancasila hanya akan menjadi filosofi "sakti" dalam simbol, tetapi tumpul dalam praktik.

MKU Pancasila TI A -> Tanggapan Artikel 1

by Bintang Imanuel Putra Gultom -
Nama : Bintang Imanuel Putra Gultom
NPM: 2415061018

Pancasila sebagai fondasi filsafat seharusnya menjadi dasar utama dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan suatu bangsa seringkali dipengaruhi oleh ideologi dan falsafah yang dipegang bangsa tersebut, karena pendidikan berperan besar dalam membentuk karakter, identitas, serta pola pikir masyarakatnya. Dengan demikian, sebagai ideologi bangsa, Pancasila memiliki posisi yang sangat vital untuk dijadikan dasar pendidikan Indonesia, karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sejalan dengan tujuan untuk membangun karakter bangsa yang berintegritas, berkeadilan, dan memiliki etika sosial yang kuat.

Pancasila sebagai filsafat pendidikan diharapkan mampu memberikan acuan dalam penyusunan kurikulum dan pengembangan metode pembelajaran yang tidak hanya berfokus pada aspek akademis, tetapi juga pada pengembangan moral dan karakter siswa. Dengan memasukkan nilai-nilai Pancasila ke dalam seluruh mata pelajaran, bukan hanya terbatas pada Pendidikan Kewarganegaraan atau mata pelajaran khusus, sistem pendidikan Indonesia diharapkan bisa menanamkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial secara lebih luas dan dalam.

Namun, penerapan filsafat Pancasila dalam pendidikan masih menghadapi beberapa hambatan signifikan. Pertama, ada tantangan dari segi implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum pendidikan yang masih dianggap sebagai tanggung jawab mata pelajaran tertentu, sehingga pendidikan nilai-nilai Pancasila belum diinternalisasi dalam semua aspek pengajaran. Kedua, sebagian pendidik berfokus pada pemenuhan target kurikulum yang berbasis materi dan kurang memberi perhatian pada pembentukan karakter, sehingga siswa sering kali tidak mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang nilai-nilai Pancasila. Ketiga, kesadaran masyarakat akan penerapan Pancasila yang masih kurang, membuat Pancasila dilihat hanya sebagai simbolis bukan pedoman hidup.

Kesadaran masyarakat, ilmu pendidikan yang didasari falsafah Pancasila, juga pembaruan kualifikasi sistem pendidikan yang sesuai dengan Pancasila, serta pengembangan pengetahuan Pancasila pendidik, hal-hal ini akan mempengaruhi pembentukan pendidikan Indonesia yang sesuai dengan cita-cita dan pedoman bangsa.