Posts made by NADIV NAFIS WAVI

NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN

Analisis Kasus “Awan Gelap” bagi HAM di Indonesia

Kasus “awan gelap” bagi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia mencerminkan ironi besar dalam sistem demokrasi kita. Di satu sisi, Indonesia telah mengadopsi dan meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, seolah-olah ingin menunjukkan komitmen tinggi terhadap penghormatan dan perlindungan HAM. Namun, di sisi lain, implementasi di lapangan masih sangat jauh dari harapan. Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan, terutama di wilayah konflik seperti Papua, menjadi potret nyata kegagalan negara dalam melindungi warganya sendiri. Bahkan, beberapa kebijakan negara sering kali justru menjadi pemicu pelanggaran, misalnya melalui kebijakan keamanan yang represif atau pembatasan kebebasan berekspresi yang sering diwarnai tuduhan subversif atau makar terhadap aktivis yang kritis terhadap pemerintah.

Menurut saya, persoalan mendasar yang menyebabkan “awan gelap” ini bukan hanya pada tataran teknis penegakan hukum, tetapi juga pada kerangka politik yang tidak berpihak kepada korban. Dalam banyak kasus, negara justru lebih sibuk menjaga citra stabilitas ketimbang menyelesaikan konflik secara adil. Misalnya, dalam kasus Papua, pendekatan militeristik masih lebih diutamakan ketimbang pendekatan dialog yang mengedepankan penghormatan terhadap HAM. Pendekatan yang cenderung represif inilah yang justru melanggengkan stigma separatis dan menambah ketegangan antara negara dan masyarakat Papua. Selain itu, retorika pemerintah mengenai komitmen HAM sering kali tidak diikuti dengan aksi nyata, sehingga rakyat hanya disuguhi janji kosong tanpa realisasi.

Lebih jauh, saya juga melihat adanya masalah mendasar dalam kesadaran kolektif masyarakat terkait pentingnya HAM. Meskipun berbagai gerakan masyarakat sipil telah berupaya keras untuk mengedukasi publik dan mendorong perubahan kebijakan, pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang belum memahami atau bahkan menganggap HAM hanya sebagai slogan elit perkotaan. Banyak yang memandang HAM sebagai ancaman bagi kedaulatan negara atau sebagai agenda asing yang hendak melemahkan bangsa. Padahal, sejatinya HAM adalah hak dasar setiap manusia tanpa terkecuali, termasuk hak atas hidup, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan kebebasan dari penyiksaan. Pandangan negatif terhadap HAM ini seolah-olah dibiarkan oleh negara demi menjaga status quo.

Dengan demikian, saya berpendapat bahwa penegakan HAM di Indonesia memerlukan transformasi mendasar, bukan hanya tambal sulam kebijakan. Pertama, negara harus lebih serius memperkuat lembaga-lembaga penegak HAM seperti Komnas HAM, bukan malah memotong anggaran atau melemahkan kewenangan mereka. Kedua, perlu ada upaya masif untuk menginternalisasi nilai-nilai HAM ke dalam kurikulum pendidikan dan budaya masyarakat, agar penghormatan HAM menjadi bagian dari kesadaran kolektif bangsa. Ketiga, penting sekali untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan mekanisme yang adil, transparan, dan partisipatif, supaya tidak menambah daftar panjang korban yang merasa keadilan tak pernah hadir. Tanpa langkah-langkah mendasar ini, “awan gelap” HAM akan terus membayangi perjalanan bangsa Indonesia, bahkan di tengah demokrasi yang kerap dibanggakan.
NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN

Analisis Kasus Konflik Komunal di Perbatasan Indonesia–Timor Leste (Bikomi Nilulat – Passabe)

Konflik komunal yang terjadi di perbatasan Indonesia-Timor Leste, tepatnya antara masyarakat Kecamatan Bikomi Nilulat di Indonesia dan masyarakat sub-distrik Passabe di Timor Leste, menunjukkan kompleksitas persoalan perbatasan yang bukan sekadar persoalan garis di peta. Konflik ini tidak hanya mencerminkan tumpang tindih klaim wilayah antara kesepakatan formal antarnegara dan batas adat masyarakat lokal, tetapi juga mencerminkan bagaimana politik identitas dan narasi sejarah lokal menjadi faktor penting yang memperpanjang konflik. Banyak pihak cenderung melihat konflik ini hanya dari sisi legal formal—yakni bagaimana garis perbatasan yang sah harus ditaati. Padahal, konflik ini juga berakar pada persoalan psikologis kolektif masyarakat setempat yang merasa batas-batas leluhur mereka diabaikan oleh negara, sehingga muncul rasa keterasingan dari keputusan negara.

Menurut saya, penyelesaian konflik ini selama ini cenderung terjebak pada pendekatan birokratis dan diplomasi negara yang mengutamakan nota kesepahaman dan zona netral, tetapi justru abai pada aspek rekonsiliasi sosial dan pengakuan identitas kultural masyarakat perbatasan. Negara sering kali terlalu menekankan pentingnya stabilitas keamanan melalui kesepakatan di atas kertas, tanpa benar-benar membangun kepercayaan antara negara dan masyarakat lokal. Padahal, masyarakat adat di daerah perbatasan memiliki kearifan lokal sendiri yang bisa menjadi jembatan dalam penyelesaian konflik. Alih-alih hanya mendekatkan kepentingan negara, penting juga untuk menggali memori kolektif masyarakat tentang bagaimana mereka memandang batas wilayah secara turun-temurun. Ini bukan berarti negara harus tunduk pada batas adat sepenuhnya, tetapi negara perlu menghormati dan mengintegrasikan kearifan lokal agar kebijakan yang dibuat tidak terkesan memaksakan kehendak negara kepada rakyatnya.

Lebih dari itu, saya melihat bahwa konflik di Bikomi Nilulat dan Passabe juga tidak bisa dilepaskan dari masalah ketidakadilan pembangunan yang menimpa masyarakat perbatasan. Pemerintah sering kali membangun infrastruktur di wilayah pusat atau kota besar, sementara daerah perbatasan masih tertinggal secara ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Ketimpangan ini memperburuk konflik, karena masyarakat merasa negara hanya hadir ketika ada konflik, tetapi menghilang saat mereka membutuhkan pelayanan dasar. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa solusi konflik perbatasan ini tidak cukup hanya melalui pendekatan diplomatik atau penegakan hukum. Negara perlu melakukan investasi serius dalam pembangunan sosial dan ekonomi di wilayah perbatasan agar masyarakat tidak merasa terpinggirkan. Dengan begitu, mereka akan lebih merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia (atau Timor Leste) dan akan lebih siap untuk menerima hasil kesepakatan yang dibuat oleh negara.

Dengan demikian, konflik di Bikomi Nilulat dan Passabe ini mencerminkan bagaimana konflik perbatasan tidak hanya soal garis batas, tetapi juga soal keadilan sosial, rekonsiliasi budaya, dan rasa memiliki terhadap negara. Pendekatan yang lebih transformatif dibutuhkan agar masyarakat tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga subjek yang dihargai suaranya dalam setiap keputusan. Hanya dengan begitu, konflik perbatasan dapat diselesaikan secara damai dan berkelanjutan, serta membangun rasa kebangsaan yang kuat di tengah masyarakat yang hidup di perbatasan negara.
NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN

Analisis Video “Geopolitik Indonesia”

Video berjudul “Geopolitik Indonesia” memberikan pemahaman yang mendalam mengenai posisi strategis Indonesia di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam konteks globalisasi dan kompetisi antarnegara. Video ini menggambarkan Indonesia bukan hanya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tetapi juga sebagai entitas geopolitik yang memiliki peran penting dalam stabilitas regional dan keamanan global. Letak geografis Indonesia yang strategis di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, serta diapit oleh dua benua besar (Asia dan Australia), menjadikan Indonesia sebagai jalur vital bagi perdagangan internasional sekaligus titik rawan konflik kepentingan negara-negara besar. Hal ini menuntut Indonesia untuk mampu memainkan peran diplomasi yang cerdas, menjaga kedaulatan wilayah, serta membangun sinergi antara kepentingan nasional dan tuntutan global.

Selain itu, video ini menyoroti pentingnya pemahaman konsep Wawasan Nusantara sebagai pondasi geopolitik Indonesia. Konsep ini tidak hanya menekankan kesatuan wilayah dari Sabang sampai Merauke, tetapi juga mempertegas pentingnya menjaga keutuhan bangsa di tengah keragaman budaya, etnis, dan agama. Dalam konteks geopolitik modern, konsep ini harus dimaknai lebih dinamis, tidak hanya sebagai slogan persatuan, tetapi juga sebagai strategi integral dalam menghadapi tantangan global seperti perebutan pengaruh asing, ancaman separatisme, dan intervensi ideologi luar. Dengan kata lain, Wawasan Nusantara seharusnya menjadi landasan berpikir dalam perumusan kebijakan luar negeri, keamanan nasional, dan pembangunan ekonomi, agar Indonesia tidak hanya menjadi “penonton” dalam pertarungan geopolitik, melainkan aktor penting yang mampu memainkan peran strategis.

Dari sudut pandang saya sebagai mahasiswa, video ini mengajarkan bahwa geopolitik Indonesia bukan hanya sekadar membahas peta wilayah atau posisi geografis, tetapi juga mencakup dimensi yang lebih kompleks seperti kepentingan ekonomi, kedaulatan maritim, serta diplomasi aktif di berbagai forum internasional. Namun, saya juga menilai bahwa video ini belum sepenuhnya mengkritisi tantangan internal yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi dinamika geopolitik. Misalnya, masih lemahnya pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan yang menyebabkan kesenjangan pembangunan, serta potensi konflik kepentingan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam yang strategis. Video ini juga belum banyak menyinggung bagaimana Indonesia harus mengelola diplomasi maritim secara efektif dalam menghadapi konflik Laut Cina Selatan yang semakin memanas, padahal posisi Indonesia di kawasan ini sangat strategis.

Dengan demikian, menurut saya, pembahasan geopolitik Indonesia seharusnya juga memperhitungkan bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan keunggulan geopolitiknya untuk memperkuat ekonomi nasional, menjaga stabilitas sosial, dan meningkatkan daya saing global. Hal ini penting agar Indonesia tidak hanya menjadi “korban” perebutan pengaruh kekuatan besar, tetapi juga mampu memanfaatkan peluang kerja sama strategis dengan negara-negara sahabat. Video ini memberikan dasar pemahaman yang baik, tetapi perlu dilengkapi dengan analisis kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah diambil pemerintah, terutama terkait diplomasi pertahanan, penguatan industri maritim, dan pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan. Dengan begitu, wawasan geopolitik ini dapat lebih aplikatif dan relevan untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Kesimpulannya, video ini menjadi pintu masuk yang penting untuk memahami posisi strategis Indonesia di kancah geopolitik dunia, tetapi sebagai mahasiswa, saya berpandangan bahwa diskusi geopolitik tidak boleh berhenti pada analisis posisi geografis semata. Harus ada keberanian untuk mengkritisi tantangan internal bangsa, sekaligus menggali potensi keunggulan Indonesia dalam konteks global. Dengan demikian, pemahaman geopolitik bukan hanya menjadi wacana, tetapi juga menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional yang berdaulat dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.