NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN
PRODI : S1 MANAJEMEN
Setelah membaca artikel karya Syahrul Kemal tentang “Semangat Bela Negara di Tengah Pandemi COVID-19,” saya menemukan bahwa tulisan tersebut secara umum menekankan peran penting bela negara dalam konteks krisis kesehatan. Namun, di sisi lain, saya justru merasa bahwa narasi yang disampaikan di artikel itu seolah-olah menempatkan seluruh beban tanggung jawab di pundak masyarakat, tanpa menyoroti secara kritis bagaimana pemerintah dan lembaga negara juga punya kewajiban yang sama untuk memastikan kondisi yang mendukung semangat bela negara itu sendiri.
Menurut saya, semangat bela negara dalam situasi pandemi seharusnya tidak hanya diartikan sebagai ketaatan penuh pada anjuran pemerintah semata—seperti disiplin di rumah, menjaga jarak, dan mematuhi protokol kesehatan—tetapi juga bagaimana negara menciptakan situasi yang adil dan transparan bagi warganya. Terkadang kita lupa bahwa ketidakpastian yang dialami masyarakat, seperti kehilangan pekerjaan, naiknya harga kebutuhan pokok, dan akses kesehatan yang terbatas, justru bisa menjadi batu sandungan bagi masyarakat untuk benar-benar merasa memiliki negara.
Bela negara itu mestinya bersifat timbal balik. Ketika rakyat diminta untuk patuh, maka negara juga wajib hadir memberikan rasa aman, kepastian ekonomi, dan perlindungan sosial. Sebab, bagaimana mungkin seseorang diminta untuk loyal sementara kebutuhannya untuk bertahan hidup sehari-hari saja tidak terpenuhi? Dalam konteks ini, saya merasa artikel tersebut kurang memberikan ruang bagi kritik konstruktif terhadap kebijakan negara, misalnya terkait distribusi bantuan sosial yang sering kali lambat dan tidak merata, atau layanan kesehatan yang masih timpang antara kota besar dan daerah pelosok.
Di samping itu, artikel tersebut memang banyak menyoroti aspek solidaritas sosial, seperti gotong royong membantu tetangga yang terdampak atau memberikan semangat bagi tenaga medis. Saya sepakat bahwa nilai-nilai ini adalah bagian penting dari karakter bangsa yang sudah melekat lama. Namun, di era digital seperti sekarang, bentuk solidaritas itu juga perlu diperluas. Solidaritas tak hanya tentang membantu secara langsung di lingkungan sekitar, tapi juga tentang bagaimana kita mendukung gerakan-gerakan kritis di media sosial yang memperjuangkan hak-hak kelompok rentan, seperti buruh yang kehilangan pekerjaan, pedagang kecil yang terancam bangkrut, atau tenaga medis yang kekurangan alat pelindung diri.
Sayangnya, artikel ini belum menyentuh peran media sosial secara lebih mendalam sebagai ruang baru bagi bela negara. Dalam praktiknya, media sosial telah menjadi salah satu arena penting untuk mengkritik kebijakan, mendesak transparansi, dan mengadvokasi kepentingan publik. Jika bela negara dimaknai hanya sebatas kepatuhan pada imbauan resmi, maka itu berpotensi mengekang kebebasan berekspresi masyarakat. Padahal, bela negara yang sehat justru menuntut keterbukaan ruang dialog agar kritik yang konstruktif bisa menjadi koreksi bagi pemerintah.
Selain itu, saya kira bela negara juga perlu dikaitkan dengan literasi digital yang baik. Pandemi COVID-19 memang memicu banjir informasi, yang tidak semuanya valid. Penulis menyinggung tentang hoaks, namun seharusnya tanggung jawab memerangi hoaks ini bukan semata dibebankan kepada individu warga. Negara harus hadir dengan kebijakan yang efektif untuk mengedukasi masyarakat, menyediakan akses internet yang adil, dan memperkuat jurnalisme independen.
Pada akhirnya, saya setuju dengan gagasan bahwa bela negara adalah tanggung jawab moral setiap warga negara. Namun, tanggung jawab itu tidak bisa dilepaskan dari peran aktif negara dalam menciptakan suasana yang mendukung. Bela negara bukan hanya urusan warga untuk disiplin; negara juga harus disiplin menegakkan keadilan sosial, menghadirkan pelayanan publik yang memadai, dan mendengar suara-suara kritis. Dengan begitu, bela negara tidak hanya menjadi slogan, tapi benar-benar terasa sebagai ikatan timbal balik antara negara dan rakyatnya.
Jadi, menurut saya, semangat bela negara di tengah pandemi seharusnya lebih dari sekadar kepatuhan. Ia juga mencakup keadilan, keterbukaan, dan kesediaan negara untuk mengoreksi diri. Hanya dengan itulah bela negara menjadi semangat yang hidup di hati setiap warganya, bukan sekadar kewajiban yang terpaksa dijalankan.