Kiriman dibuat oleh Muhammad Akbar Prayuga

Nama : Muhammad Akbar Prayuga
NPM : 2415061017
Kelas : PSTI C

1. Fokus dan Tujuan Tulisan
Tulisan ini mengupas secara kritis dinamika konsolidasi demokrasi dalam konteks Pilpres 2019. Penulis menyoroti perlunya memperdalam praktik demokrasi sebagai fondasi bagi terwujudnya demokrasi yang substansial—yang mencerminkan akuntabilitas dan efektivitas dalam penyelenggaraan negara.

2. Isu Utama yang Diangkat
a. Polarisasi Sosial dan Isu Identitas
Pemilu 2019 menunjukkan adanya perpecahan sosial yang tajam, tercermin dalam penggunaan label seperti "cebong" dan "kampret" yang mencerminkan segregasi politik.
Baik pihak petahana maupun oposisi memanfaatkan sentimen agama dan identitas demi kepentingan elektoral, terutama untuk menarik dukungan pemilih Muslim.
Inisiatif seperti Ijtima’ Ulama semakin menegaskan adanya pembelahan dalam komunitas Islam sendiri.

b. Kegagalan Partai Politik
Partai politik dinilai tidak menjalankan peran kaderisasi secara efektif dan kurang berkontribusi dalam pendidikan politik masyarakat.
Banyaknya figur publik dan selebritas yang diusung sebagai calon legislatif menunjukkan kecenderungan komersialisasi pencalonan.
Minimnya orientasi ideologis serta dominasi elit politik membuat partai tidak mampu merepresentasikan kepentingan rakyat secara memadai.

c. Ketidaknetralan Birokrasi
Keterlibatan aparatur sipil negara (ASN) dan pejabat publik dalam aktivitas kampanye menunjukkan adanya keberpihakan yang tidak semestinya.
Fenomena ini mencerminkan lemahnya institusi dan belum kuatnya prinsip meritokrasi dalam sistem birokrasi.

3. Demokrasi: Prosedural vs Substantif
Penulis membandingkan antara demokrasi yang bersifat prosedural—sekadar memenuhi aspek teknis pemilu—dengan demokrasi substantif yang menekankan akuntabilitas, keadilan, dan pelayanan kepada rakyat. Indonesia dinilai masih berkutat pada aspek formalnya saja.

4. Fakta Lapangan dan Realitas Sosial
Terdapat laporan pelanggaran pemilu dari kedua belah pihak, menunjukkan adanya krisis kepercayaan terhadap integritas proses elektoral.
Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga kerusuhan pada 22 Mei 2019 menjadi bukti rapuhnya demokrasi yang seharusnya mengedepankan rasionalitas dan kedewasaan politik.
Nama: Muhammad Akbar Prayuga
NPM: 2415061017
Kelas PSTI C


Video tersebut secara mendalam mengupas realitas demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang sarat dinamika dan rentan terhadap persepsi negatif, terutama ketika dikaitkan dengan "kegaduhan" yang timbul akibat kebebasan berpendapat. Dalam ruang demokrasi yang terbuka, kebisingan politik dan keberagaman opini adalah keniscayaan, bukan anomali. Demokrasi, pada hakikatnya, mengakomodasi pluralitas pandangan, memperbolehkan masyarakat untuk secara bebas mengekspresikan kritik, aspirasi, bahkan ketidakpuasan terhadap kekuasaan, selama semuanya dilakukan dalam koridor hukum dan prinsip-prinsip demokrasi yang disepakati.

Namun, video ini juga menyampaikan peringatan bahwa ketika kebebasan yang diberikan dalam demokrasi tidak diimbangi dengan kesadaran hukum dan etika publik, maka ruang demokrasi yang sehat dapat tergelincir menjadi arena polarisasi ekstrem, disinformasi, bahkan tindakan anarkistis yang merusak sendi-sendi kebangsaan. Oleh karena itu, kebebasan dalam demokrasi tidak boleh ditafsirkan sebagai kebebasan absolut, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab—kebebasan yang menyatu dengan kesadaran kolektif untuk menjaga kohesi sosial dan stabilitas nasional.

Lebih dari sekadar menyoroti dinamika internal, video tersebut memperluas cakrawala pembahasan dengan menyinggung gejala global berupa kemunduran demokrasi (democratic backsliding) yang terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Indeks demokrasi yang menurun menjadi indikator bahwa sistem ini tengah menghadapi tantangan eksistensial—baik dari dalam berupa apatisme politik dan penyusutan ruang sipil, maupun dari luar seperti tekanan oligarki, populisme, dan manipulasi informasi digital. Demokrasi, dengan demikian, tidak dapat dimaknai sebagai sistem yang sudah selesai, melainkan sebagai proyek berkelanjutan yang memerlukan partisipasi aktif, evaluasi kritis, dan reformasi struktural.

Yang menarik dari narasi video ini adalah penekanan bahwa kegaduhan dalam demokrasi bukanlah gejala dekadensi, melainkan manifestasi vitalitas politik. Justru dalam atmosfer yang terbuka dan kritis inilah sebuah bangsa mampu tumbuh secara deliberatif. Namun, kualitas demokrasi tidak diukur semata dari ada atau tidaknya kebebasan, melainkan dari bagaimana kebebasan itu digunakan: apakah untuk menciptakan diskursus publik yang produktif, atau justru untuk menyebarkan kebencian, hoaks, dan retorika destruktif.

Kesimpulannya, demokrasi tidak boleh dipahami secara simplistis sebagai sistem elektoral belaka. Ia menuntut lebih: peran aktif warga negara, ruang diskusi yang sehat, lembaga yang akuntabel, serta kepemimpinan yang inklusif dan visioner. Tantangan-tantangan yang dihadapi, termasuk penurunan kualitas demokrasi, seharusnya menjadi pemantik untuk introspeksi kolektif—bahwa demokrasi bukan sekadar hak, tetapi juga tanggung jawab bersama untuk menjaganya agar tetap relevan dan adaptif dalam menghadapi perubahan zaman.