Posts made by Alya Nurul Izzati

Nama : Alya Nurul Izzati
NPM : 2217011086
Kelas : A

Video tersebut membahas mengenai evolusi demokrasi Indonesia sejak proklamasi hingga era reformasi merupakan proses yang dinamis dan kompleks, yang mana ditandai oleh periode-periode yang kontras. Pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), fokus utama bangsa Indonesia adalah mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajah. Demokrasi dalam artian sistem pemerintahan yang sepenuhnya berlandaskan kebebasan dan partisipasi rakyat, belum menjadi prioritas utama. Energi dan sumber daya negara tercurah untuk menghadapi berbagai konflik, baik internal maupun eksternal. Meskipun demikian, benih-benih demokrasi mulai terlihat dalam aktivitas pers, seperti yang dilakukan oleh majalah Tempo, yang meskipun terkendala oleh situasi politik, tetap berupaya menyuarakan aspirasi rakyat dan mengkritik kebijakan pemerintah. Peran pers ini menjadi cikal bakal penting bagi perkembangan demokrasi di masa mendatang.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia mencoba menerapkan sistem demokrasi parlementer (1950-1959). Sistem ini, yang mengadopsi sistem multipartai dan pemerintahan berdasarkan parlemen, pada awalnya tampak menjanjikan. Namun, kelemahan sistem adalah terlalu banyak partai politik dengan berbagai ideologi yang saling berbenturan, menyebabkan ketidakstabilan politik yang kronis. Perseteruan antara presiden dan parlemen, serta perebutan kekuasaan antar partai, menjadi pemandangan yang umum. Kondisi ekonomi yang lemah juga memperparah situasi, membuat pemerintah kesulitan menjalankan program pembangunan dan memenuhi kebutuhan rakyat. Kegagalan sistem parlementer ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya stabilitas politik dan konsensus nasional dalam membangun demokrasi.

Masa demokrasi terpimpin (1959-1965) di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno menandai penyimpangan dari prinsip-prinsip demokrasi liberal. Kekuasaan terpusat di tangan presiden, dengan dukungan dari militer dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kebebasan berekspresi dan berpendapat semakin dibatasi, sementara kritik terhadap pemerintah ditindak tegas. Konflik ideologi dan perebutan pengaruh antara berbagai kekuatan politik semakin menguat, menciptakan suasana yang penuh ketegangan dan ketidakpastian. Puncaknya adalah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang menandai berakhirnya masa demokrasi terpimpin dan membuka jalan bagi Orde Baru.

Orde Baru (1966-1998) di bawah kepemimpinan Soeharto, meskipun awalnya diwarnai harapan akan stabilitas dan pembangunan, pada akhirnya menjadi rezim otoriter yang membatasi kebebasan sipil dan partisipasi politik. Partai politik dikendalikan oleh pemerintah, kebebasan pers dibatasi, dan kritik terhadap pemerintah dibungkam. Meskipun pembangunan ekonomi mengalami kemajuan, hal tersebut dicapai dengan mengorbankan demokrasi dan hak asasi manusia. Represi dan pembatasan kebebasan menjadi ciri khas masa ini. Namun, perkembangan ekonomi yang pesat dan relatif stabil di masa Orde Baru juga memberikan landasan bagi kemajuan ekonomi Indonesia di masa depan.

Era reformasi (1998-sekarang) dimulai dengan jatuhnya rezim Soeharto. Reformasi ini ditandai dengan tuntutan akan demokrasi yang lebih inklusif, transparan, dan akuntabel. Pemilu yang lebih bebas dan adil, serta peningkatan kebebasan pers dan sipil, menjadi ciri khas era ini. Meskipun demikian, demokrasi di Indonesia masih terus berkembang dan menghadapi berbagai tantangan, seperti korupsi, ketidaksetaraan, dan polarisasi politik. Proses konsolidasi demokrasi masih berlangsung, dan dibutuhkan komitmen dari semua pihak untuk memperkuat demokrasi dan mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang terus berlanjut, membutuhkan partisipasi aktif dan kesadaran dari seluruh warga negara.
Nama : Alya Nurul Izzati
NPM : 2217011086
Kelas : A

Pada jurnal berjudul Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019 ini membahas tantangan konsolidasi demokrasi dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 di Indonesia. R. Siti Zuhro mengemukakan bahwa meskipun Indonesia telah menyelenggarakan empat kali pemilu sejak era reformasi, namun pilpres 2019 masih menunjukkan beberapa masalah. Menurut beliau pendalaman demokrasi di Indonesia masih belum terwujud dengan baik karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pilpres 2019, menurut penulis, belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula membangun kepercayaan publik. Hal ini terlihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Satu kandidat menolak hasil pemilu, dan akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi penentu akhir hasil pilpres karena dua kandidat mengklaim sebagai pemenang pilpres.

Beliau menekankan bahwa Pilpres 2019 belum selesai dan masih meninggalkan sejumlah masalah yang perlu dicermati. Ia menyoroti beberapa isu penting, seperti:
- Politisasi identitas, di mana Pilpres 2019 tidak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena ini diwarnai dengan perebutan suara muslim, yang ditandai dengan munculnya gerakan ijtima' ulama untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
- Kinerja partai politik yang masih belum maksimal dalam proses kaderisasi. Ia mencontohkan maraknya partai yang mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg, yang menunjukkan bahwa partai politik lebih fokus pada vote getter daripada membangun kader.
- Politisasi birokrasi yang terjadi dalam Pilpres 2019 cenderung menjadi alat kepentingan politik tertentu. Ia mencontohkan kasus penggunaan fasilitas pemerintah pusat/daerah untuk pemenangan calon tertentu dalam pemilu/pilkada.

Beliau menyimpulkan bahwa Pilpres 2019 menjadi bukti bahwa konsolidasi demokrasi di Indonesia masih fluktuatif dan belum berjalan secara regular. Ia menekankan bahwa pilar-pilar penting demokrasi seperti pemilu, partai politik, civil society, dan media massa belum berfungsi efektif dan belum maksimal. Selain itu, beliau juga menyerukan agar semua stakeholders terkait pemilu, termasuk parpol, penyelenggara pemilu, pemerintah, dan institusi penegak hukum, untuk menunjukkan profesionalitas dan independensinya, tidak partisan, dan memiliki komitmen yang tinggi dalam menyukseskan pemilu. Berbagai masalah yang dihadapi oleh warga negara, beliau menyerukan agar semua pihak untuk bekerja sama dalam membangun demokrasi yang lebih kuat dan bermartabat.
Alya Nurul Izzati
2217011086
A

Video tersebut bercerita mengenai kondisi demokrasi di Indonesia, di mana pembicara menekankan pentingnya menjaga situasi tetap kondusif dan menghindari kegaduhan dalam berdemokrasi. Pembicara mengakui bahwa demokrasi memang identik dengan kegaduhan dan keributan. Namun, ia menekankan bahwa kegaduhan tersebut harus tetap dalam konteks yang prosedural dan tidak melanggar hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pembicara memahami bahwa kebebasan berekspresi dalam demokrasi memiliki batasan.Pembicara juga menyoroti korupsi demokrasi yang mungkin merujuk pada praktik-praktik yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang adil dan transparan. Pembicara mungkin khawatir bahwa kegaduhan dan keributan yang terjadi tidak selalu berujung pada perubahan positif, melainkan malah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Selain itu, pembicara juga menyinggung penurunan ranking demokrasi Indonesia berdasarkan studi dari Freedom House dan The Economist Intelligence Unit. Ini menunjukkan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia memang sedang dipertanyakan dan mengalami penurunan. Namun, menurutnya, kondisi ini terjadi di berbagai negara juga, termasuk Amerika Serikat. Oleh karena itu, saya setuju bahwa demokrasi memang memerlukan kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Namun, kebebasan tersebut harus dijalankan dengan bertanggung jawab dan tidak melanggar hukum. Penting juga untuk menjaga kondusifitas dan menghindari kegaduhan yang dapat memicu konflik dan kekerasan.