Nama : Alih Bangun Wicaksono
NPM : 2215061016
Kelas : PSTI D
KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME INDONESIA
Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH1.
Konstitusi berasal dari perkataan ‘constitution’ dari bahasa Latin ‘constitutio’.
Undang-Undang Dasar yang mempunyai pengertian yang lebih sempit. UUD adalah konstitusi dalam arti sempit, yaitu konstitusi tertulis. Di samping itu ada pula pengertian tentang konstitusi yang tidak tertulis dan bahkan nilai-nilai fundamental dan filosofis yang terdapat dalam kandungan substantif naskah UUD sebagai konstitusi tertulis itu. Karena itu, yang kita artikan sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia adalah pengertian yang tercakup dan terkandung dalam keseluruhan sistem rujukan Pancasila dan UUD 1945 sebagai satu kesatuan sistem konstitusional yang tidak terpisahkan. Naskah UUD 1945 hanyalah wujud atau jasadnya, sedangkan Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 beserta nilai-nilai fundamental yang hidup dalam masyarakat sebagai kebudayaan konstitusi dalam praktik merupakan roh atau jiwa bangsa yang harus pula dipahami sebagai bagian dari pengertian konstitusi yang tidak tertulis.
Dengan cara pandang demikian, maka konstitusi harus dipahami sebagai sumber rujukan tertinggi yang dalam praktiknya harus tercermin dalam suatu sistem konstitusionalisme yang berfungsi dalam kenyataan.
Anggaran Rumah Tangga untuk pengertian peraturan dasar atau pedoman dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik dalam praktik di Indonesia.
Inggeris sampai dipergunakan untuk pengertian "constitution". Untuk itu, saya menganjurkan agar ada mahasiswa Fakultas Hukum yang meneliti dan membahas mengenai hal ini dengan seksama dalam Skripsi S1 atau Tesis S2.
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.
aturan hukum dan etika yang bersifat fundamental yang disebut konstitusi . Karena itu, berkonstitusi belum tentu secara otomatis menjalankan prinsip konstitusionalisme dalam praktik kekuasaan. Suatu negara konstitusional dikatakan tanpa konstitusionalisme jikalau prinsip-prinsip dasar konstitusi hanya bernilai semantik atau nominal, di atas kertas dan dalam pidato-pidato formal belaka. Konstitusi yang baik haruslah diiringi dengan bekerjanya sistem konstitusionalisme dalam kenyataan praktik yang tidak saja berkenaan dengan dunia kognitif atau pengetahuan para penyelenggara negara dan segenap warga negara, tetapi juga tercermin dalam sikap dan perilaku bernegara, baik dalam hubungan antar institusi-institusi negara, antara institusi negara dengan warga negara, dan antar individuindividu para penyelenggara negara dengan institusi-institusi jabatan-jabatan kenegaraan dan pemerintahan yang bekerja sesuai dengan aturan-aturan konstitusional yang disepakati bersama.
Prinsip Supremasi Konstitusi
Dalam kedudukannya sebagai norma kesepakatan bersama, konstitusi dikonstruksikan sebagai sumber norma tertinggi yang menundukkan semua jenis norma yang berlaku dalam peri kehidupan bersama, baik norma agama , norma etika , dan apalagi norma hukum . Dalam kehidupan beragama, tentu saja norma agama lah yang mempunyai kedudukan paling bagi setiap orang dan setiap komunitas beragama. Namun, norma agama yang bersifat tertinggi itu hanya berlaku secara internal dalam komunitas umat yang meyakini agama yang bersangkutan. Dalam perikehidupan bersama yang bersifat majemuk, dimana setiap orang yang diberi ruang bebas untuk memeluk agamanya masingmasing, maka perikehidupan bersama dalam wadah negara haruslah bersifat lintas agama atau bahkan agama-agama. Kecuali jika negara itu bersifat negara agama tertentu, maka diasumsikan bahwa dalam setiap negara terdapat keanekaragaman pandangan dan keyakinan keagamaan yang bebas, dimana negara secara langsung tidak diperbolehkan ikut campur ke dalam urusan masing-masing agama. Jika diperlukan oleh umat beragama, maka sesuai dengan kesepakatan bersama yang tercermin dalam konstitusi, peran negara hanya bersifat dukungan fasilitatif dan administrative serta menjaga harmoni dalam hubungan antar umat beragama secara internal, harmoni antara pemeluk satu agama dengan yang agama lain, dan harmoni antara sesama umat beragama dengan negara dan pemerintahan.
Selebihnya, urusan negara diatur dan diarahkan berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi dan konstitusionalisme sebagai produk kesepakatan bersama seluruh warga negara atau anggota organisasi. Karena itu, dibandingkan dengan agama yang khusus berlaku bagi para pemeluknya, konstitusi negara sering diibaratkan bagaikan kitab suci agama publik . Seperti dikatakan oleh Sanford Levinson, dalam bukunya, "Constitutional Faith", konstitusi diperlakukan bagaikan kitab suci yang dalam pengertian tertentu menurutnya tidak sehat untuk demokrasi6. Jika pengertian tentang "kitab suci" ini dipakai, maka konstitusionalisme tidak ubahnya bagaikan suatu paham keagamaan atau "agama" dalam pengertian publik bernegara. Ia berlaku sebagai norma rujukan tertinggi dalam segala urusan berbangsa dan bernegara berdasarkan konstitusi. Dalam konteks Indonesia, kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan atas kesepakatan tertinggi seluruh warga yang berciri "bhineka-tunggal-ika" untuk hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 itulah yang dikonstruksikan sebagai sumber norma hukum dan etika tertinggi dalam segala aktifitas berbangsa dan bernegara.
Perspektif tentang sistem supremasi konstitusi itu harus dibedakan dari perspektif yang pernah berlaku sebelumnya di Indonesia, yaitu sebelum reformasi, dimana UUD 1945 menempatkan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam sistem demikian, yang berlaku adalah supremasi institusi, bukan supremasi konstitusi. Sekarang, setelah reformasi, kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi sederajat saja dengan sesama lembaga konstitusional lainnya dengan diikat oleh mekanisme ‘checks and balances’
atau saling mengimbangi dan saling mengawasi satu sama lain. Karena itu, sejak reformasi, saya namaka sistem ketatanegaraan Indonesia berubah dari sistem supremasi institusi menjadi supremasi konstitusi. Yang ‘supreme’ bukan lagi institusi atau subjek kelembagaannya, tetapi sistem ‘rules of the game’nya yang tercermin dalam aturan-aturan hukum dan etikanya menurut konstitusi. Semua aturan atau ‘rules’ di bawah konstitusi tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan konstitusi . Jika terdapat pertentangan, maka disediakan mekanisme peradilan konstitusi yang akan menilainya dan diberi wewenang untuk menyatakannya tidak berlaku mengikat untuk umum. Dengan adanya mekanisme peradilan konstitusi itu diharapkan bahwa aturan-aturan konstitusi dapat ditegakkan dalam praktik yang nyata.
Pada pokoknya materi yang diperjanjikan dalam konstitusi meliputi: kesepakatan tentang cita-cita bersama terkait dengan tujuan bernegara atau berorganisasi, disertai oleh pelbagai prinsip dasar yang disepakati bersama, kesepakatan tentang prinsip-prinsip dasar yang mengatur dan menjamin hak dan kewajiban asasi manusia dan warga negara serta pengaturan tentang hubungan antara warga negara dengan institusi negara dan pemerintahan, pengaturan tentang bentuk-bentuk dan pola-pola relasi serta mekanisme hubungan antar fungsi dan institusi negara dan pemerintahan, dan UU, TAP MPR/S, dan Perpu.
Materi Muatan Konstitusi
Peraturan Daerah Provinsi sebagai peraturan daerah tertinggi berdasarkan ketentuan UU dan Peraturan Pemerintah tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Gubernur Peraturan Kepala Desa.
Sedangkan susunan hirarki norma yang bersifat fungsional didasarkan pada prinsip "legislative delegation and sub-delegation of rule-making power" sebagaimana mestinya. UU dapat memberikan delegasi kewenangan pengaturan lebih lanjut secara langsung kepada PP, Perpres, Permen, ataupun Perda Provinsi sesuai dengan kebutuhan. Jika UU menentukan demikian, maka peraturan pelaksana UU tersebut sama derajatnya dengan PP yang secara formal merupakan peraturan yang mempunyai kedudukan hirarkis langsung di bawah UU.
Misalnya, jika UU memberikan kewenangan kepada Pemda Provinsi Aceh untuk membentuk
Qanun atau Pemda Provinsi Papua untuk membentuk Perda Khusus dalam rangka pelaksanaan UU Otonomi Khusus masing-masing, maka kedudukan Qanun dan Perdasus tersebut berada langsung di bawah UU, karena kedudukannya merupakan pelaksana langsung ketentuan UU.
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tatausaha negara, dan peradilan militer yang sudah memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat . Demikian pula produk hukum administrasi yang dapat berupa keputusan , kontrak, konsesi, lisensi dan perizinan, ataupun aturan-aturan kebijakan yang dituangkan dengan ketetapan yang bersifat administratif. Semua produk hukum administrasi dan ajudikasi tersebut, seperti halnya produk legislasi dan regulasi harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi yang sumber norma tertinggi dalam kegiatan bernegara.
Hal terakhir yang diatur dalam setiap naskah konstitusi tertulis, ialah ketentuan mengenai prosedur perubahan konstitusi atau undang-undang dasar.
Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Demikian pula penting untuk dicatat bahwa objek perubahan menurut Pasal 37 UUD
1945 ini adalah pasal-pasal UUD. Pembukaan UUD 1945 sudah merupakan sesuatu yang final dan tidak dapat diubah sampai kapanpun juga, dan segenap warga bangsa telah pula menentukan sikap dalam Pasal 37 ayat UUD 1945 bahwa khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan.