Nama : Wike Oktaviana
NPM : 2213053194
Kelas : 2G
Analisis Jurnal berjudul DEMOKRASI DAN PEMILU PRESIDEN 2019 oleh R. Siti Zuhro
Sejak era Reformasi, Indonesia telah menggelar empat kali pemilu. Namun, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) mempunyai konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Sebagaimana diketahui, dalam kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head
to head, guna memperebutkan kursi presiden. Secara sederhana demokrasi sendiri dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Tetapi, guna mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah dikarenakan demokrasi perlu adanya proses panjang serta tahapan-tahapan penting yang harus dilewati, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti yang dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi
demokrasi adalah salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dan dipengaruhi beberapa faktor, misal budaya politik, perilaku aktor serta kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi (demokratisasi) ini berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak pemilu 1999. Dinamikanya, bahkan semakin pesat dan semarak setelah pelaksanaan
pemilu presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak 2005.
Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi yakni pemilu merupakan sarana dan juga momentum terbaik bagi rakyat, khususnya, guna menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif serta presiden/wakil presidennya secara damai. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa. Meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih
belum mampu membawa rakyat Indonesia benar-benar berdaulat. Proses pendalaman demokrasi/konslidasi demokrasi memerlukan peran penting stakeholders terkait pemilu dan juga elemen-elemen kekuatan lainnya seperti civil society, elite/aktor, media massa dan medsos serta lembaga survey. Independensi, kedewasaan dan
partisipasi kekuatan-kekuatan sosial (societal forces) tersebut sangat diperlukan. Civil society, misalnya, perlu tetap kritis dalam mengawal pemilu dan hasilnya. Media massa bisa menjadi pemasok berita yang obyektif dan melakukan kontrol sosial yang berpihak pada rakyat. Sampai kini Indonesia mampu melaksanakan
pemilu yang aman dan juga damai. Pemilu 2019 yang kompleks, dengan tingkat kerumitan yang cukup tinggi dan hasilnya yang dipersoalkan
menjadi pelajaran yang sangat berharga. Pemilu yang berkualitas memerlukan parpol dan koalisi parpol yang juga berkualitas. Ini penting karena pemilu tidak hanya merupakan sarana suksesi kepemimpinan yang aspiratif, adil dan damai, tapi juga menjadi taruhan bagi ketahanan sosial rakyat dan eksistensi NKRI. Tantangan yang cukup besar dalam menjalani pemilu serentak 2019 membuat konsolidasi demokrasi yang berkualitas sulit terbangun. Nilai-nilai demokrasi dalam pilpres tak cukup dikedepankan. Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.