Posts made by Rohmah Shela Saputri 2213053112

Nama : Rohmah Shela Saputri
NPM:2213053112
Kelas: 2G

Identitas Jurnal
Judul Jurnal: Demokrasi Sebagai Wujud Nilai-Nilai Sila Keempat Pancasila Dalam Pemilihan Umum Daerah Di Indonesia
Penulis : Galih Puji Mulyono , Rizal Fatoni Universitas Merdeka Malang
Nama jurnal: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan
Halaman: 98-107
Tahun : 2019

Abstrak:
Pemilihan umum merupakan cerminan dari sistem demokrasi, demokrasi pada hakikatnya ialah mengizinkan warga negara berpartisipasi dalam menjalankan roda. Empiris di Indonesia sampai saat ini tidak mencerminkan suatu ideologi yang telah disepakati oleh masyarakat. Permasalahan yang diulas berkaitan dengan demokrasi sebagai wujud nilai-nilai sila yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum serta negara demokrasi.

Pendahuluan :
Setiap negara di Indonesia mempunyai ideologi masing-masing dan memiliki tujuan untuk menciptakan suatu perkembangan di dalam berbagai, khususnya di Indonesia para pendiri bangsa menciptakan ideologi dengan konsepsi yaitu ideologi Pancasila. Pancasila adalah aspek terpenting dalam membangun bangsa serta negara yang memiliki fungsi pada praktik kehidupan manusia khususnya bagi bangsa Indonesia, Pancasila tidak bisa intervensi dari sudut pandang ideologi maupun sehingga Pancasila mempunyai sifat imunitas yaitu kekebalan terhadap pengaruh ideologi bangsa lain.

Metode:
Penelitian ini menggunakan beberapa metode pendekatan, metode pendekatan ialah anak tangga agar menentukan teori penelitian yang harus dipakai pendekatan penelitian dipakai untuk menentukan dari sisi mana objek penelitian ini dikaji.

Hasil dan Pembahasan:
A. Demokrasi sila ke-4 Pancasila sebagai sumber nilai dalam pemilihan umum daerah di Indonesia
Nilai pada nilai pada dasarnya mempunyai berbagai sifat salah satunya sifat nilai yaitu. Nilai normatif adalah nilai yang mengandung harapan, keinginan dan suatu. Nilai dapat diwujudkan dalam bentuk peraturan sebagai pedoman manusia dalam bertindak bertindak. Pancasila sebagai fundamental norma dan ideologi bangsa menimbulkan kesadaran bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai yang menjadi landasan fundamental dalam menyelenggarakan negara. Salah satu landasan pokok sebagai cerminan penyelenggara negara yaitu pemilu terdapat pada sila ke-4 dalam Pancasila tersebut ialah nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sehingga nilai-nilai dalam sila keempat Pancasila merupakan bentuk dari demokrasi. Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dijabarkan dalam undang-undang republik Indonesia nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi undang-undang republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah merupakan enteri point perubahan mendasar dalam persoalan kewenangan yang diberikan kepada daerah. Pemilihan umum daerah merupakan pemilihan umum yang diselenggarakan di setiap daerah Indonesia dalam rangka memilih pemimpin daerah yang sesuai dengan amanat rakyat.
1) Pemilihan umum kepala daerah Menurut peraturan perundang-undangan pada pasal 1 ayat 3 undang-undang Dasar republik Indonesia tahun 1945 mengatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Maka dapat dirumuskan bahwa seluruh pelaksanaan negara harus tunduk kepada hukum yang berlaku. Salah satu ciri negara hukum yaitu semua sistem pemerintahan dijalankan oleh hukum. Di dalam perihal tersebut pemilihan umum menjadi perhatian penting dalam melaksanakan dinamika hukum di Indonesia.
2) Pemilukada sebagai perwujudan demokrasi sesuai dengan amanat konstitusi pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah salah satu implementasi dari sistem demokrasi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis.

B. Pelaksanaan demokrasi sila ke-4 Pancasila sebagai sumber nilai pemilihan umum daerah di Indonesia.
Terlaksananya pemilihan umum Daerah secara langsung adalah amanat langsung dari UUD 1945 pasal 22e ayat 1 pemilihan umum diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali. Apabila ditinjau dari sudut historis yuridis pelaksanaan demokrasi di daerah mengalami banyak kontradiksi. Tetapi banyak sekali permasalahan dalam pelaksanaan Pilkada langsung tersebut. Pilkada yang tidak sesuai dengan Pancasila sila ke-4 yang berupa pelanggaran kecurangan yang dilakukan oleh peninggalan peserta pilkada dan tim pendukung serta masyarakat dapat diberikan sanksi pidana yang telah diatur dalam pasal 177, dan 178 undang-undang republik Indonesia nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur .

Kesimpulan:
Sebagai negara hukum Indonesia memegang demokrasi dalam pelaksanaan proses berbangsa dan bernegara dalam menyelenggarakan sistem pemilihan. Keberadaan demokrasi sebagai wujud nilai-nilai sila ke-4 pancasila dalam pemilihan umum sangat penting bagi bangsa Indonesia sebagai negara. Maka karena itu sebagai negara hukum yang memegang teguh prinsip, jadi seharusnya juga memegang teguh prinsip demokrasi. Pemilihan umum Daerah dan Indonesia belum mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sila keempat yang berbunyi "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".
Nama: Rohmah Shela Saputri
Npm:2213053112
Kelas: 2G

Analisis Vidio Dengan Judul “Perkembangan Demokrasi Di Indonesia”

Perkembangan demokrasi di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
1. Perkembangan Demokrasi Masa Revolusi Kemerdekaan
Ketika demokrasi pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan sangat terbatas
2. Perkembangan demokrasi parlemeter (1945-1959)
Pada masa perkembangan demokrasi parlementer tahun 1945 sampai 1959 merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia sebab hampir semua elemen demokrasi bisa ditemukan dalam perwujudan kehidupan politik di Indonesia. Sangat disayangkan demokrasi parlementer gagal. Kegagalan tersebut terjadi sebab:
a. Dominannya politik aliran sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik seperti partai islam, partai Nasional, partai non-Islam dan partai serta jengkol.
b. Basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah.
c. Persamaan kepentingan antara Presiden Soekarno dengan kalangan angkatan darat yang sama-sama tidak senang dengan proses politik yang sedang berjalan.
3. Perkembangan demokrasi terpimpin tahun (1959-1965)
Pada saat perkembangan demokrasi terpimpin sekitar tahun 1959 sampai 1965 politik pada masa ini diwarnai oleh tolak ukur yang sangat kuat antara ketiga kekuatan politik yang utama pada saat itu antara pihak ABRI dengan Soekarno kemudian pihak PKI.
4. Perkembangan demokrasi dalam masa pemerintahan orde baru
Yang pertama ada demokrasi Pancasila atau orba. Ada 3 tahun awal kekuasaan seolah-olah akan didistribusikan kepada kekuatan masyarakat. Setelah 3 tahun berlalu dominannya peranan ABRI, birokratisasi serta sentralisasi pengambilan keputusan politik pembatasan peran serta fungsi partai politik campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik serta publik, masa pengembangan, monetisasi ideologi negara serta inkorporasi lembaga non pemerintahan.
5. Perkembangan demokrasi pada masa reformasi (1998 sampai dengan sekarang)
Demokrasi yang diterapkan negara kita pada era reformasi saat ini adalah demokrasi Pancasila, tentu saja dengan karakteristik yang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi parlementer tahun 1950-1959.
Karakteristik demokrasi era reformasi yang pertama yaitu pemilu yang dilaksanakan sekitar tahun 1999 sampai 2004 jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya. Kedua rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampai pada tingkat desa ketiga pola rekrutmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka dan yang terakhir sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan kritik dan saran untuk pemerintah. Saat ini memang demokrasi di era reformasi masih bisa dibilang masih dalam tahap pencarian jati diri namun kami yakin suatu saat nanti demokrasi reformasi mendapatkan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.
Nama: Rohmah Shela Saputri
NPM: 2213053112
Kelas: 2G

Analisis Jurnal Mengenai “ Demokrasi Dan Pemilu Presiden 2019”

Identitas Jurnal
Judul Jurnal: DEMOKRASI DAN PEMILU PRESIDEN 2019
Penulis : R. Siti Zuhro
Nama jurnal: jurnal penelitian politik
Volume, No dan Halaman: Vol. 16, No. 1, Hal. 69-78
Tahun : 1 Juni 2019

Abstrak:
Jurnal ini membahas mengenai konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden 2019. Pembangunan demokrasi Indonesia sebagaimana tercermin dari pilpres masih mengalami banyak masalah. Pendalaman demokrasi belum terwujud dengan baik sebab pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pemilu presiden 2019 belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik serta belum mampu pula membangun kepercayaan. Hal ini dapat dilihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres 2019 oleh komisi pemilihan umum. Saat ini mahkamah konstitusi menjadi penentu akhir hasil pilpres karena dua kandidat mengklaim sebagai pemenang pilpres

Pendahuluan :
Sejak era reformasi Indonesia sudah menggelar 4 kali pemilu tetapi pemilu kelima tahun pada tahun 2019. Khususnya pemilu presiden atau pilpres memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Artikel ini mencoba melihat demokrasi Indonesia melalui fenomena pemilihan presiden 2019 yang merupakan salah satu sarana untuk memilih pemimpin secara demokratis ritual politik lima tahun dan tersebut menarik untuk dilihat di tengah tingginya pro kontra terkait kinerja pemerintah serta pentingnya semua pihak untuk selalu menjaga stabilitas sosial politik nasional dan keutuhan NKRI.

Hasil dan Pembahasan:
Deepening Democracy dan Tantanganya
Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Akan tetapi untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang serta tahapan-tahapan penting yang harus dilalui seperti proses konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi adalah salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi menurut Laurence whitehead (1989). Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil, mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama agar meraih kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor contohnya budaya politik, perilaku aktor serta kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi berlangsung relatif dinamis khususnya sejak pemilu 1999. Demokrasi yang berlangsung di daerah-daerah ialah landasan utama bagi berkembangnya demokrasi di tingkat nasional. Proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional setelah tiga kali dilaksanakan menunjukkan arah yang tak mudah khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres serta pendalaman demokrasi atau konsolidasi demokrasi.
Melaksanakan pelaksanaan pilpres pada dasarnya merupakan tindak lanjut perwujudan prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu serta persamaan khususnya dalam hal politik. Dalam konteks ini pilpres langsung dapat dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan terhadap hak-hak politik tersebut sehingga dalam studi ini pilpres dilihat bukan hanya sebatas pesta demokrasi semata melainkan juga sebagai instrumen proses pendalaman demokrasi di tingkat nasional.
Pendalaman demokrasi dapat berasal dari negara serta bisa pula dari masyarakat. Pendalaman demokrasi juga bisa dipandang sebagai upaya agar merealisasikan pemerintahan yang efektif. Negara serta masyarakat seharusnya saling bersinergi sehingga bisa saling memperkuat perannya masing-masing menurut miqdal (1988). Dengan kapasitasnya tersebut negara diharapkan bisa melakukan penetrasi ke dalam masyarakat, mengatur relasi sosial, mengambil sumber daya serta mengelolanya. Dan negara juga harus mampu memperdayakan masyarakat agar terlibat aktif dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kontrol sosial.
Nilai dan nilai-nilai demokrasi telah mendasari perilaku baik elit maupun masyarakat untuk itu sebagian besar pemilihan terlebih dulu perlu memiliki kesadaran dan kematangan politik yang cukup memadai. Dengan cara itu masyarakat diasumsikan mempunyai kapasitas untuk melakukan pilihan serta mengambil keputusan atas pilihannya berdasarkan rasionalitas politik. Tujuan utama pilpres yaitu sebagai sarana untuk menegakkan dan mewujudkan kedaulatan rakyat serta kebebasan politik masyarakat.
Dinamika politik menjelang pemilu 2019 cenderung, terutama terkait tuduhan kecurangan, hingga 20 April 2019 badan pemenangan nasional secara resmi telah melaporkan sekitar 1200 daftar sementara kecurangan pilpres 2019 kepada badan pengawas pemilu. Hal yang sama juga terjadi di tim kampanye nasional Jokowi ma'ruf Amin yang juga menerima 14.843 laporan dugaan pelanggaran atau kecurangan yang menguntungkan paslon Prabowo-sandiaga. Sulit dinafikan bahwa kompetisi dan kontestasi dalam pilpres melalui kampanye diwarnai oleh tingginya kegaduhan yang terjadi di media massa dan media sosial. Masyarakat tak jarang ikut terlibat dan mengundang keprihatinan tersendiri karena tidak sedikit diantaranya yang akhirnya harus berurusan dengan hukum sebab emosinya.
Selain persoalan hoax dan ujaran kebencian isu politisasi agama dalam pilpres 2019 menjadi salah satu hal yang paling menonjol dalam masa kampanye uniknya ke-12 pihak mengklaim paling mewakili suara umat Islam. Penggunaan politisasi agama dan charter asasi nation dalam kampanye semakin mempertajam ketegangan sosial yang berdampak pada munculnya rasa saling tak percaya serta saling tak menghargai antar sesama anak bangsa. Dampaknya demokrasi yang terbangun menafikan nilai-nilai budaya positif seperti saling menghargai, menghormati dan saling mempercayai serta saling berempati.
Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu adalah sarana serta momentum terbaik bagi, khususnya untuk menyalurkan ekspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif serta presiden atau wakil presidennya secara damai.
Pemilu serentak tahun 2019 adalah pemilu kelima pasca orde baru serta merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. Berbeda dengan pemilu pemilu sebelumnya pemilu 2019 menjadi tes case penguatan sistem presidensial, jadi pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak serta beradab sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
Politisasi Indentitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas serta agama.: Fenomena politisasi identitas serta agama juga diwarnai dengan merebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima ulama untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hasil ijtima yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang pertahanan merekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama atau pasangan capres cawapres bertipe nasionalis-agamis. Hasil ijtima ulama tersebut justru mendapat sanggahan dari kelompok umat Islam lainnya sebab dinilai tidak mewakili ulama-ulama lainnya oleh karena itu NU misalnya tidak merasa turut terlibat dalam istilah ulama tersebut. Sebagai contoh sekitar 400 kyai serta pengurus pesantren seluruh Indonesia menyatakan mendukung pasangan capres dan cawapres Joko Widodo dan ma'ruf amin.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam berebut suara muslim adalah hal yang logis serta selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri abangan cenderung makin cair pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang mempresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Akan tetapi hal tersebut tidak dengan sendirinya memberikan jaminan kemenangan.
Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan tapi juga merupakan koreksi evaluasi terhadap pemerintahan dan proses deepening Democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat serta bermartabat. Dalam proses konsolidasi tersebut parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon. Akan tetapi ketika fungsi parpol tidak maksimal proses konsolidasi demokrasi menjadi. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses. Sehingga dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis tujuannya menjadikan selebriti tersebut sebagai fotogeter partai dalam pemilu. Contohnya partai Nasdem misalnya tercatat sebagai partai yang paling banyak mengambil arti sebagai calon legislatifnya dalam pemilu 2019.
Pemilu dalam masyarakat Plural
Dalam masalah pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilai-nilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana 4 pilar kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan bhinneka tunggal Ika berasal dari falsafah dan sejarah hidup bangsa.
Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup. Penggunaan istilah cebong sebagai julukan pendukung Jokowi dan kampret sebagai julukan penduduk Prabowo bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Dan juga dengan penggunaan politisasi identitas atau SARA. Sebagai sarana demokrasi rutin lima tahun pilpres dan pilek 2019 belum disikapi secara positif dengan mengedepankan nilai saling menghargai menghormati saling mempercayai dan saling berempati sebagaimana tersirat dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokrasi yang diharapkan bisa menjadikan legislator serta eksekutif menjadi lebih akuntabel dihadapan rakyat sebagaimana tuntunan demokrasi ideal. Jika legislator terpilih tidak bekerja dengan baik rakyat akan mempunyai pilihan untuk tidak memilihnya lagi pada pemilu berikutnya pemilu juga signifikan untuk lebih mengenali nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang merupakan masyarakat heterogen.
Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik serta pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari partisme dan komplikasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa mengakibatkan pada lemahnya registrasi kinerja pemerintah, penyelenggaraan pemilu dan hasilnya. Sejauh ini tataran empirik menunjukkan adanya tarikan politik, khususnya, dari penguasa terhadap birokrasi.
Relasi birokrasi serta menunjukkan kuatnya motif politik dalam birokrasi. Birokrasi, bahkan, bisa dijadikan kekuatan politik sebab mempunyai jaringan struktur hingga ke basis masyarakat, menguasai informasi yang memadai, dan mempunyai kewenangan eksekusi program dan anggaran. Keberadaan birokrasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik tapi pada saat yang sama juga bisa dipergunakan untuk motif politik tertentu. Hal ini membuat birokrasi cenderung menjadi alat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.

Kesimpulan:
Konsolidasi demokrasi di Indonesia cenderung fluktuatif serta belum berjalan secara reguler karena pilar-pilar pentingnya seperti pemilu, partai politik, civil society dan media massa. Belum berfungsi efektif serta belum maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan serta mengoreksi kinerja pemerintah titik pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran keadilan transparansi serta akuntabilitas. Prasyarat untuk menciptakan hal tersebut memerlukan prakondisi serta komitmen semua elemen bangsa agar mematuhi peraturan yang ada titik konsolidasi demokrasi atau proses pendalaman demokrasi akan terhambat ketika plafon melalui para elitenya dan stakeholders terkait pemilu menunjukkan perilaku yang tidak mendorong proses demokrasi. Mereka cenderung kontraining dan tidak konser dengan nilai-nilai demokrasi substansial khususnya yang terkait dengan partisipasi genuine masyarakat, kualitas kompetisi, political equality dan peningkatan political responsiveness